Bab 14
Semenjak pertemuan tanpa sengaja di tempat gym, Dustin jadi punya kebiasaan baru yaitu memperhatikan semua hal yang dilakukan Rachel. Saat gadis itu melewatinya bersama teman-temannya, mata Dustin tidak lepas memperhatikannya dan menimbulkan kesalahpahaman bagi yang lain.
"Dustin! Gue perhatiin lo suka banget mandang Rachel. Suka sama dia? Naksir?" tanya Sahid.
Dustin menggeleng. "Gue bingung aja napa bisa ada satu cewek bisa beda wajah."
"Hah, maksudnya gimana?"
"Nggak tahu, gue bingung!"
"Emang apa yang beda dari Rachel?"
"Semuanya, wajahnya terutama?"
"Pernah lihat wajahnya dari dekat?"
Dustin teringat saat mereka tanpa sengaja bertemu di depan gym dan saat itu mereka berdiri dekat sekali. Apakah itu bisa dikategorikan lihat dari dekat?
"Nggak tahu."
"Lo bilang dia beda? Maksudnya?"
"Nggak tahu!"
"Ah, ngomong ama lo bisa gila gue!"
Dustin pun merasa hal yang sama, gila memikirkan tentang Rachel. Saat sekarang ini, cewek itu sedang mengobrol bersama teman-temannya di kantin. Dia termasuk salah satu cewek paling populer di sekolah., Cantik, modis, dan anggun, sangat berbeda dengan apa yang dilihatnya saat sore itu. Tapi kenapa harus takut padanya? Sekarang saja Rachel menatapnya diam-diam atau sesekali mencuri pandang. Padahal Dustin tidak peduli mau seperti apa penampilan cewek itu.
Selesai makan, Dustin berpamitan pada temna-temannya hendak ke kamar mandi. Mereka berencana melakukan pembalasan pada anak sekolah lain yang tempo hari mengeroyok Dustin. Sore ini rencana itu akan dilakukan. Ia menyusuri lorong sambil bersenandang dan saat keluar dari kamar mandi, melihat Rachel berdiri di dekat pintu. Dustin mencuci tangan dan menatap sekilas pada cewek itu sebelum melanjutkan langkahnya.
"Dustin, tunggu! Gue mau bicara sama lo!"
Dustin menoleh. "Mau ngomong sama gue?"
Rachel menggigit bibir dan mengangguk. "Iye, ini penting. Bisa nggak kita ke situ ngobrolnya." Ia menunjuk ujung lorong.
Dustin mengangguk, mengikuti cewek cantik yang bertubuh harum semerbak. Mereka berdiri berhadaoan di ujung lorong dekat taman yang sepi. Tidak pernah sebelumnya Dustin berdiri begitu dekat dengan Rachel.
"Ada apa?"
"Itu, pasti lo ingat soal kita ketemu sore-sore."
"Oh, yang lo pakai training?"
"Ssst, kenapa lo kenceng banget ngomongnya?"
"Lah, lo aneh juga. Ngapain takut ada orang tahu lo pakai training? Kalau lo telanjang baru takut."
Rachel menghentakkan kaki ke lantai. "Lo mana paham, sih. Kalau buat cewek itu penampilan segalanya. Coba kalau gue nggak bisa dandan, nggak bakalan ada yang mau temenan sama gue! Makanya kalau di rumah, gue bisa jadi diri sendiri tanpa make-up. Di sekolah? Bisa-bisa gue dicaci maki."
Mengedip bingung, Dustin merasa penjelasan Rachel sungguh tidak masuk akal. Ia menatap cewek di depannya dari atas ke bawah lalu menghela napas panjang.
"Gue nggak ngerti sama pola pikir lo. Asal lo tahu, ya. Teman sejati nggak akan keberatan mau lo pakai riasan atau nggak!"
Dustin meninggalkan Rachel yang berdiri di ujung lorong dalam keadaan gamang. Bagi anak laki-laki mungkin penampilan bukan hal penting tapi beda dengan anak perempuan. Rachel mengamati Dustin yang menjauh sambil menghela napas panjang. Entah kenapa bicara dengan cowok itu justru membuat dadanya terasa berat. Dustin yang urakan tapi populer karena ketampanannya bahkan tidak peduli dengan urusan penampilan, tapi dirinya justru mati-matian untuk tetap populer dengan topeng di wajah. Hidup memang kadang tidak seadil itu.
**
Setelah bertemu dengan Dean beberapa waktu lalu, Jeana makin bersemangat memperbaiki diri. Ada prospek untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih bagus dari yang ditinggalkannya. Ia menyimpan kartu nama Dean seperti harta karun. Uang simpanan dari sang kakek membuat Jeana bisa membiayai kursus untuk meningkatkan skill komputernya. Setiap hari yang dilakukannya adalah pergi kursus, olah raga, dan ke perpustakaan membaca buku. Sesekali Dustin datang untuk menemaninya olah raga atau makan. Ia senang punya teman mengobrol seperti Dustin yang membantunya melewati banyak hal.
"Aku dapat tawaran kerja," ucapnya dengan bangga suatu hari saat Dustin datang untuk menemaninya olah raga.
"Wah, bagus itu. Di mana, Kak?"
"Perusahaan multinasional. Awalnya dulu aku mau mengelola iklanya tapi karena nggak jadi malah direkturnya menawari untuk kerja sama dia."
Dustin mengangguk. "Keren, berarto direkturnya hebat bisa melihat kemampuan kakak. Nama PT apa, Kak?"
"PT. Real Food National. Kamu pasti pernah dengar."
"Hehehe, tentu saja." Sampai sekarang Dustin belum memberitahu Jeana tentang dirinya. Termasuk siapa orang tuanya. Sama seperti teman-teman yang lain di sekolah, ia tidak pernah memberitahu identitas aslinya. Mereka hanya tahu dirinya anak manajer, itu sudah lebih dari cukup. Pada Jeana pun sama. Mungkin suatu hari nanti ia akan cerita tapi tidak sekarang.
"Ngomong-ngomong, kenapa wajahmu memar-memar?" Jeana mengusap pelipis Dustin.
"Oh, ini gara-gara berantem. Kemarin aku berantem sama anak-anak yang ngeroyok aku. Kita samperin depan sekolahannya dan kita serang!"
Jeana tercengang. "Berani sekali kalian? Bisa-bisa tawuran dengan sekolahan lain."
"Biar mereka nggak macam-macam."
"Terus? Orang tua kamu nggak marah? Guru dan pihak sekolah?"
Dustin menggeleng. "Nggak, aman aja."
Gimana tidak aman kalau sang ayah terlampau sibuk dengan urusannya sampai tidak memperhatikan dirinya. Tidak peduli apakah dirinya terluka atau tidak, ayahnya tidak akan pernah bisa melihatnya. Pergi pagi pulang tengah malam, ia dan ayahnya tinggal satu rumah tapi tidak pernah bertegur sapa satu sama lain. Terlebih karena ayahnya juga punya pacar, nyaris tidak ada waktu untuknya. Terus terang ia kurang suka dengan pacar ayahnya tapi bukan haknya untuk memprotes.
"Bulan depan aku harus ke kantor untuk ambil barang-barangku. Semoga saja aku bisa menghadapi mereka," gumam Jeana memecah lamunan Dustin.
"Bisa, Kak. Masih ada waktu untuk lebih langsing dan bugar lagi. Saat menghadapi mereka, Kakak harus lebih percaya diri."
Jeana mengangguk. "Aku harus belanja pakaian. Seolanya yang sekarang udah terlalu kedodoran."
Banyak pakaian Jeana yang disumbangkan ke orang lain karena tidak bisa lagi memakainya. Latihan dan diet rutin membuat berat tubuhnya yang semula 90 kilo menjadi 65 kilo. Ia masih punya taget untuk turun lagi dan sedang berusaha ke arah sana. Demi target itu, ia rela makan dada ayam, telur rebus, dan protein sampai bosan. Menghindari minuman manis dan sejenisnya. Sekarang hasilnya terlihat dan Jeana bangga dengan dirinya sendiri. Dulu saat kuliah semester awal, sebelum akrab dengan Amera ia langsing dan berharap bisa kembali seperti semula.
Sampai sekarang Amera masih tidak terima Jeana resign tanpa pemberitahuan. Perempuan itu masih sering mengirim pesan dengan beragam makian, terutama karena hilangnya kerja sama dengan PT. Real Food.
"Brengsek! Sok kecakepan lo!"
Bukan hanya Amera, tapi mantan teman timnya juga masih melontarkan acaman. Sekarang Jeana mengerti apa yang dikatakan oleh si dokter, kalau sebenarnya dirinya sangat dibutuhkan oleh mereka. Sayangnya mereka tidak bisa menghargai dirinya.
Prima pun sama, mulai menerornya setelah mereka tidak lagi berhubungan. Laki-laki itu mengatakan kalau kedua orang tua berencana datang dan sampai sekarang belum tahu putusnya pertunangan.
"Aku harap kamu mau datang saat orang tuaku datang dan menjelaskan semuanya."
Jeana menjawab dengan cepat. "Boleh aja, tapi bayar. Sorry, nggak ada yang gratis di dunia."
Ia mulai bersikap kejam pada orang-orang yang juga kejam padanya. Tidak perlu lagi bersikap lembut demi orang yang tidak bisa menghargainya.
**
Dustin baru mencapai ruang tamu saat terdengar hardikan yang menbuat jantungnya mencelos.
"Dari mana saja kamu? Sampai malam begini baru pulang?"
Ia mengangkat wajah, menatap sang papa yang rapi dalam balutan jas malam. Sepertinya akan pergi ke pesta. Bisa jadi berkecan dengan kekasihnya. Dustin menjawab acuh tak acuh.
"Dari sekolah."
Dean mendekat, mengamati anaknya dari atas ke bawah. "Mana ada sekolah pulang malam?"
"Kenapa nggak tanya langsung ke sekolah?"
"Membantah kamu?"
"Daddy, mau pergi pacaran'kan? Sana pergi! Aku nggak ganggu!"
Dean mencengkeram lengan anaknya dan kembali mengamati. "Kenapa wajahmu lebam? Tawuran lagi? Begitu caramu menjalani masa sekolah?"
"Apa urusan Daddy?"
Kesabaran nyaris habis dalam diri Dean saat menghadapi anak semata wayangnya. Ingin memukul tapi Dustin bukan lagi anak kecil. Dibentak dan dimaki juga tidak ada gunannya. Lebih sulit mengurus anak dari pada perusahaan. Apakah semua orang tua di dunia merasakan hal yang sama dengannya atau hanya dirinya saja karena sebagai orang tua tunggal? Dibenci anaknya hingga membuatnya tidak bisa meluapkan kasih sayang.
Dean ingin mengancam anaknya, tapi ponselnya berdering. Terpaksa ia melepas cengkeramannya dan melangkah gontai melintasi ruang tamu. Malam ini ada pesta di rumah Elena, dan kekasihnya itu sedari sore sudah menelepon hanya untuk memastikan kalau ia datang. Padahal ia enggan sekali ke pesta karena sudah lelah bekerja.
Dustin berdiri gamang, menatap sosok ayahnya yang menjauh. Timbul secercah rasa sesal karena sudah bersikap kasar pada ayahnya tapi hatinya belum siap untuk memaafkan.
.
.
Di Karyakarsa sudah ending.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top