Bab 13
Jeana menikmati aktivitas barunya, mempelajari kalori yang masuk ke dalam tubuh serta berolah rasa teratur. Atas saran Dustin, ia menggunakan personal trainer agar hasil olah raganya maksimal. Dustin juga membantunya mengelompokkan makanan dari yang paling kecil kalorinya sampai paling besar. Sekarang nyaris setiap hari ia makan dada ayam tanpa tulang dan kulit, dalam beragam cara memasak yang kesemuanya tidak memakai minyak. Berseling-seling antara direbus dan dicocol sambal, ditumis dengan sedikit saos tiram, atau dikukus dengan bawang putih. Dalam seminggy berat badannya turun dua kilo, setelah makan lebih banyak protein dan olah raga angkat beban secara teratur. Tidak lupa, saat malam tidur yang cukup, meskipun ini sangat sulit dilakukan. Bagaimana tidak, ia masih tidak bisa menerima kematian sang kakek dan hampir setiap malam meratapi kematiannya. Kedukaan membuatnya sulit untuk tidur nyenyak.
Menggunakan simpanannya untuk bayar kontrakan serta makan sehari-hari, Jeana yang sedang tidak bekerja masih fokus dengan tubuhnya. Ia semakin giat untuk berolah raga saat mendapatkan hasil yang bagus. Untuk urusan pekerjaan bisa menyusul nanti. Kalau memang tidak mendapatkan pekerjaan baru, ia bisa memikirkan untuk merintis usaha, meskipun belum terpikir ingin membuka bisnis apa.
Satu telepon masuk ke ponsel saat Jeana sedang berlatih otot kaki. Melihat nama yang muncul di layar rasa enggan melingkupinya. Ia sedang tidak ingin bicara dengan Prima saat ini. Sayangnya laki-laki itu tidak mau diabaikan, terus menerus menelepon dan membuat Jeana kesal.
"Ada apa?" tanya ketus saat menerima panggilan.
"Jeana, bisa kita ketemu di tempat biasa? Ada barang yang mau aku kasih. Sore ini jam empat, jangan sampai nggak datang!"
Masih seperti dulu, Prima seenaknya saja memerintah. Jeana bertekad tidak ingin menemuinya sampai satu pesan masuk.
"Jeana, barang ini penting. Lo pastinya mau tahu apa barangnya."
Mengepalkan tangan, Jeana menghentakkan kaki ke lantai. Kembali ke alat-alat olah raga untuk membuat tubunya berkeringat dan moodnya membaik. Ia tidak ada keingian untuk bertemu dengan laki-laki yang sudah mematahkan hatinya. Prima adalah si angkuh yang merasa hebat hanya karena Jeana jatuh cinta padanya. Kalau mengingat hinaan dari mulut Prima, rasa marahnya masih terasa sampai sekarang. Namun, ia tidak lagi patah hati atau kecewa karena cinta. Kehilangan sosok sang kakek telah menghancurkan hatinya lebih dari apa pun.
Selepas olah raga, Jeana bergegas mandi dan bersiap untuk bertemu Prima. Sayangnya pakaiannya tidak ada yang cocok lagi. Bobotnya yang sudah turun cukup lumayan membuat semua pakaiannya longgar. Untungnya ia punya minidress yang bisa dipakai, meskipun terlalu longgar paling tidak nyaman digunakan. Jeana berpikir untuk membeli pakaian baru kalau nanti target berat badannya terpenuhi. Menaiki ojek online, ia bergegas menuju kafe. Tempat ini memang biasa didatangi mereka untuk berkencan dulu. Alih-alih memesan es kopi karamel kesukaannya, Jeana memilih es americano. Ia bukan hanya mengurangi asupan lemak tapi juga gula.
"Jeana, sudah lama nunggu?"
Jeana meraih ponsel dan menghitung waktu. "Lima belas menit."
"Sorry, macet banget." Prima menghenyakkan diri di seberang Jeana dan mengernyit. "Kamu sakit?"
"Nggak."
"Kok kayaknya kurusan?"
Enggan menanggapi komentar Prima, ia mengaduk es kopi dan meneguknya. Kali ini tidak menawari Prima minum, membiarkan laki-laki itu memesan sendiri. Ia teringat dulu saat masih pacaran, selalu dirinya yang repot memesan makanan dan minuman saat kencan dan juga membayarnya. Dipikir lagi, itu adalah hal bodoh yang dilakukannya.
"Ada apa ngajakin ketemu?" tanya Jeana tanpa basa basi.
Prima menatap mantan kekasihnya. Merasa perbedaan pada Jeana bukan hanya di wajah yang men jadi sedikit tirus tapi juga sikap yang ketus. Ia mengeluarkan tablet eletronik dari dalam tas meletakkan di atas meja.
"Ini milikmu bukan? Ketinggalan di mobil."
Jeana meraih tablet dan memasukkan ke dalam tasnya. "Makasih. Kenapa repot-repot ketemu, padahal bisa dikirim."
"Aku memang ingin bicara denganmu." Prima berucap dengan nada yang dibuat seramah mungkin., Berharap bisa menarik hati Jeana. Ia mengerti bagaimana menaklukan hati gadis di depannya. Yakin seratus persen kalau Jeana masih mencintainya. "Sudah lama kita nggak ngobrol."
Jeana memutar bola mata, makin ramah nada bicara Prima makin curiga dirinya. "Soal apa? Nggak usah bertele-tele."
"Aku dengar kamu resign. Kenapa mendadak sekali? Apa yang terjadi Jeana?"
Menghela napas panjang, Jeana mengeluh dalam hati. Akhirnya niat sebenarnya dari Prima ingin bertemu terbongkar. Semua yang dilakukan laki-laki itu berhubungan dengan Amera dan ia yakin, pertemuan ini digagas oleh Amera. Apakah Prima berniat membujuknya kembali bekerja demi proyek iklan dengan PT. Real Food? Kalau benar begitu, sudah semestinya ia pergi segera. Bangkit dengan tergesa ia menyelempangkan tas ke bahu.
"Apa yang aku lakukan bukan urusanmu, Prima!"
"Jeana, please duduk. Kita bisa bicara baik-baik."
"Nggak perlu. Nggak ada yang harus kita omongin dan berhenti memerintahku. Bilang saja sama pacarmu itu, untuk nggak ganggu aku lagi. Muak sekali aku sama kalian berdua!"
"Jeana, tunggu! Aku belum selesai bicara!"
Tidak memedulikan teriakan Prima, Jeana bergegas keluar dari kafe. Setengah berlari melewati deretan kursi dan meja. Saat ini, ia ingin pergi dari Prima sejauh mungkin. Tadinya ia berpikir, bertemu lagi dengan Prima setelah peristiwa itu akan membuat hatinya sedih tapi ternyata salah. Justru kebencian yang dirasakannya dan juga keenggan untuk berdekatan. Dalam ketergesaan, ia hampir menubruk seorang laki-laki di tangga.
"Ups, maaf."
"Jeana? Sedang apa di sini?"
"Pak Dean! Untunglah kita bertemu!" seru Jeana dengan gembira saat melihat Dean. "Pak, bisa tolong sembunyikan saya? Ada orang gila yang sedang mengejar!"
Terdengar teriakan Prima di keramaian dan Jeana menengok ke belakang dengan ketakutan. Dean menyadari siatusi, tanpa sadar meraih pergelangan tangan Jeana dan membawanya masuk ke mobil yang terparkir. Ia menyetir sendiri kali ini dan membawa mobil meninggalkan halaman kafe.
Jeana bernapas lega saat menyadari sudah lepas dari cengkeraman Prima. "Pak, terima kasih sudah membantu saya."
Dean mengetuk kemudi, melirik Jeana yang sedang menyeka wajah dengan tisu. "Siapa laki-laki tadi?"
"Mantan tunangan, Pak."
"Apa yang dia inginkan?"
"Menginginkan sesuatu yang nggak bisa saya penuhi."
Tadinya Dean berniat untuk membeli kopi sebelum melanjutkan perjalanan menuju kantor. Niatnya tidak terjadi karena harus menolong Jeana. Siapa sangka kalau orang yang ingin dihindari Jeana adalah sang mantan tunangan. Ia tidak tahu apa yang terjadi dengan kehidupan pribadi Jeana dan tidak ingin bertanya karena tidak sopan. Sebuah pertunangan bisa rusak, berarti ada masalah besar terjadi di antara mereka.
"Jeana, temani aku minum kopi. Tadi nggak jadi beli gara-gara kamu."
Jeana ternganga. "Ah, maafkan saya, Pak. Bolehkah saya traktir sebagai tanda terima kasih?"
Dean tergelak, mengarahkan kendaraan ke kafe besar yang terkenal. "Nggak usah. Simpan uangmu, nanti saja kamu traktir kalau aku mau."
Keduanya duduk di teras belakang, karean Dean ingin merokok. Embusan angin sore yang sepoi-sepoi membuat suasana menjadi nyaman. Jeana tidak menolak saat Dean membelikannya es lemon tea dengna sedikit tambahan gula. Laki-laki memilih kopi hitam yang panas. Untuk beberapa saat tidak ada percakapan dan itu justru membuat Jeana merasa nyaman. Duduk berhadapan, masing-masing sibuk dan tidak perlu sok akrab dalam bercakap-cakap. Jeana tidak habis pikir, bisa duduk berdua dan sedekat ini dengan seorang direktur utama dari perusahaan multinational.
"Jeana, kenapa kamu belum menyerahkan revisi proposal? Aku menunggu dan kalian tidak ada laporan?"
Jeana menatap Dean dengan bingung. "Revisi? Bukannya sudah dibawa kedua tim saya yang lain, Pak?"
"Memang, tapi aku menolak keduanya. Menginginkan kamu datang secara langsung."
Menggigit bibir Jeana bingung sekarang. Ia tidak ingin mengecewakan Dean yang sudah begitu baik padanya, tapi kenyataan tetap harus diungkapkan. Ia tidak habis pikir kenapa pihak kantor tidak ada yang memberitahu Dean secara resmi soal ini.
"Pak, maafkan saya tapi saya sudah resign."
Menatap Jeana yang meminta maaf sambil menunduk, Dean mengernyit bingung. "Kamu resign? Kapan?"
"Beberapa Minggu lalu. Saya pu-lang kampung karena Kakek meningal dan resign." Jeana berujar dengan sedikit terbata. Tidak ingin mengalami rasa sedih karena sang kakek tapi tetap saja merasakannya.
"Turut berduka, Jeana. Pasti kalian dekat sekali."
"Dia satu-satunya orang tua saya dan sekarang saya sebatang kara."
Untuk sesaat keduanya terdiam, menikmati minuman masing-masing dan memperhatikan orang-orang yang berdatangan ke kafe. Dalam sekejap kafe dipenuhi oleh orang-orang yang baru pulang bekerja. Suasana sedikit menjadi riuh. Dean biasanya tidak terlalu suka berada dalam keramian, tapi saat ini tidak keberatan duduk minum kopi dan mendengarkan seorang perempuan sedang mencurahkan dukanya.
"Kamu nggak ada rencana untuk pindah kerja?"
Jeana mengangguk. "Ada, Pak. Tapi nunggu beberapa saat."
"Kenapa?"
"Mungkin terdengar aneh, tapi saya sedang ingin mengubah pola hidup saya, Pak. Ingin lebih langsing, makan makanan yang bergizi dan sebagainya."
"Kamu bisa lakukan itu sambil bekerja."
"Memang, tapi saya belum mengambil barang-barang dari kantor lama dan sekarang belum ada keberanian ke sana."
"Ada masalah dengan anggota timmu."
Jeana menghela napas panjang, menatap senja yang turun perlahan. "Pak, mantan tunangan saya berselingkuh dengan sahabat saya sendiri yang juga bagian dari tim. Sejujurnya saya nggak sanggup kalau setiap kali bekerja harus menahan kebencian pada satu orang'
Sungguh-sungguh di luar nalar, apa yang sedang dilakukannya sekarang. Jeana merasa dirinya sedikit nekat karena mencurahkan perasaannya di hadapan seorang direktur utama. Ia tidak pernah mengenal Dean secara dekat tapi bicara dengan laki-laki-laki ini ternyata sangat menyenangkan. Tanpa penghakiman, tanpa banyak pertanyaan, yang membuat Jeana seakan sedang bicara dengan kakak atau teman. Dengan usia yang terpaut cukup jauh, Dean sama sekali tidak menunjukkan keangkuhan seorang laki-laki.
"Aku bisa mengerti perasaanmu. Kedukaan karena baru saja kehilangan dua hal penting dalam hidupmu, pertunangan dan juga kakekmu. Siapa pun pasti terpukul karenanya. Tapi hidup harus tetap berjalan bukan?"
"Benar, Pak."
"Yang kamu lakukan sekarang pun sudah benar, memperbaiki pola hidupmu demi kesehatanmu. Aku melihatmu lebih kurus, wajah juga tirus, tapi terlihat sangat bersemangat. Itu hal yang bagus, Jeana." Dean mengeluarkan kartu nama dan memberikannya pada Jeana. "Kalau kamu sudah siap untuk bekerja lagi, hubungi aku."
Jeana menerima kartu dengan bingung. "Pak, Anda ingin memberikan pekerjaan untuk saya?"
"Kebetulan aku sedang merencanakan untuk membangun perusahaan baru. Aku rasa kamu akan mendapatkan posisi yang cocok di sana."
Menatap kartu nama di tangannya, Jeana tersenyum lebar. Satu hal membahagiakan datang setelah duka datang berkali-kali dalam hidupnya. Orang yang memberinya kebahagiaan justru sama sekali yang bukan disangkanya.
"Pak, terima kasih banyak."
"Untuk apa? Kamu belum mulai kerja."
"Untuk segalanya, terutama tawaran kerja dan juga waktu untuk menemani saya bicara. Itu bahkan nggak bisa diukur pakai uang." Jeana memberanikan diri menatap Dean dan tersenyum lebar. "Terima kasih, Pak. Anda baik sekali."
Keduanya saling pandang di antara riuh keramaian. Jeana dengan wajah yang berseri, Dean dengan pikiran yang tidak menentu. Keduanya mengobrol akrab hingga tanpa sadar sudah melewati waktu.
.
.
Di Karyakarsa sebentar lagi ending.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top