Bab 10
Jeana duduk sendirian di restoran cepat saji. Di depannya ada ayam goreng dalam jumlah yang tidak sedikit. Ada pula dua burger besar, dua kentang goreng, dan dua gelas minuman bersoda. Sedari tadi ia tidak berhenti mengunyah ayam goreng dan menelannya seakan dirinya tidak makan selama berminggu-minggu. Bagi orang yang melihat, porsi yang dibelinya bisa jadi untuk tiga atau empat orang tapi Jeana ingin menghabiskannya sendirian.
Ia kabur dari kantor lebih cepat, setelah seharian merasa moodnya sangat memburuk. Melakukan pekerjaan setengah hati dan akhirnya tidak tahan lagi. Memilih untuk pergi, makan ayam goreng, dan menikmati kesedihannya sendiri. Hingga satu sosok datang dalam balutan seragam sekolah.
"Kak Jeana."
Jeana mendongak dan tersenyum. "Dustin, duduklah! Ayo, kita makan. Maaf udah minta kamu datang dadakan."
Dustin mengernyit, menatap meja yang penuh dengan makanan. Ia meletakkan tas di kursi kosong dan duduk berhadapan dengan Jeana. Menerima dengan senang hati saat Jeana mengulurkan burger, kentang, dan minuman bersoda.
"Ayamnya ambil sendiri kalau mau."
"Ulang tahun, Kak?" tanya Dustin, mencicipi kentang goreng yang berminyak dan gurih.
Jeana menggeleng membuat rambutnya yang dikuncir ekor kuda bergerak perlahan. "Nggak, ulang tahunku masih beberapa bulan lagi."
"Oh, kalau ini lagi merayakan apa?"
"Kesedihanku dan kesialanku. Barang kali kalau aku makan dan menyenangkan diri sendiri, kesialan akan hilang dari hidupku!"
Seakan bertemu teman laman, Jeana tanpa malu lagi mengungkapkan semua kesedihan dan kemarahannya pada Dustin. Di samping itu juga merasa sangat miris, karena menyadari kalau dirinya sama sekali tidak mempunya teman dan untunglah ada Dustin sekarang.
"Maafkan aku Dustin, harusnya kita ketemu Minggu tapi aku majukan. Malah sekarang bikin kamu eneg karena dengar ceritaku."
Mengelap mulut dengan tisu, Jeana baru saja menandaskan ayam ke empatnya. Sudah terlalu banyak makanan masuk tapi anehnya ia masih merasa lapar. Seolah apa yang baru saja dimakannya tidak cukup untuk menghilangkan rasa laparannya. Ia minum dengan rakus dan menandaskan nyaris setengah gelas soda.
"Kakak marah? Sudah lampiaskan pada mereka?" Dustin membuka suara setelah mendengar cerita Jeana.
"Percuma aku marah pada mereka. Semua orang seolah menutup telinga. Bayangkan saja, aku yang kerja siang malam dan mereka yang menggunakannnya. Dengan alasan aku tidak cukup cantik serta terlalu gemuk untuk tampil."
"Alasan macam apa itu?"
"Nah' benar bukan? Alasan macam apa itu? Memangnya kalau aku gemuk bukan manusia?" Menghela napas panjang untuk meredakan kemarahannya, Jeana menatap Dustin lekat-lekat. "Apa menurutmu aku begitu hina jadi manusia?"
Dusti menggeleng dengan prihatin. "Nggak, Kak. Kamu hebat kok!"
"Hah, hebat apanya? Kalau hebat aku nggak akan biarkan mereka injak-injak harga diriku!"
Ponsel Jeana yang berada di atas meja berdering. Nomor ponsel Nail, sepertinya ia akan dimarahi. Enggan untuk menjawabnya, Jeana membiarkan panggilan itu terhenti tanpa dijawab. Selang beberapa detik, panggilan yang lain datang. Kali ini dari Amera yang diberi nama kontak, cantikku. Ia merasa muak melihatnya dan berniat akan mengganti nama itu segera menjadi si binal. Ia memang sejahat itu dan Amera pantas mendapatkannya.
"Amera, tidak hanya mengambil tunanganku tapi juga pekerjaanku. Sebenarnya ada dendam apa dia padaku, Dustin. Padahal selama ini aku sangat baik padanya."
Hati Dustin tersentuh oleh rasa iba saat melihat Jeana murung. Ia teringat peristiwa di ruang tamu dan perselingkuhan yang berhasil mereka pergoki. Beban Jeana sangat berat karena harus menanggung rasa marah pada orang yang tidak bisa dihindari. Persis apa yang terjadi antara dirinya dan sang ayah. Ia mengerti bagaimana perasaan dan juga segala macam tuduhan serta cacian yang bergema di hati Jeana karena merasakan hal yang sama.
"Kak, mungkin selama ini dia hanya memanfaatkan kebaikanmu saja."
"Bisa jadi, setelah dipikir-pikir benar adanya. Aku selalu ada saat dia butuh, membantunya dalam setiap kesempatan. Memberinya dukungan untuk pekerjaan dan asal kamu tahu, aku juga yang menariknya kerja di perusahaan ini. Awalnya Amera dulu hanya admin dari perusahaan kecil karena nilainya rendah. Ibarat memelihara anak harimau dan memberinya makan, sekarang tanganku digigitnya."
"Kata orang-orang, binatang aja nggak akan gigit orang yang ngasih dia makan."
"Nah'iya, kamu benar. Rupanya aku salah pelihara harimau." Jeana membuka bungkusan burger dan menggigitnya. Merasa harus makan lebih banyak lagi. Menyodorkan ayam pada Dustin yang mengambilnya tanpa malu-malu. "Makan yang banyak, Dustin. Sampai kenyang! Kalau kurang kita beli lagi."
Ponsel kembali berdering, kali ini dari sang direktur. Mau tidak mau Jeana menerimanya. Ia meletakkan burger yang masih tersisa setengah, mengelap tangan dengan tisu dan mengambil ponsel.
"Iya, Pak."
"Jeana, di mana kamu?" Suara Firman terdengar nyaring. Tidak memedulikan hiruk pikuk di sekitar restoran, Jeana meletakkan ponsel ke atas meja dan menyalakan pengeras suara. "Di luar, Pak!"
"Kenapa kamu berani keluar saat jam kerja?"
"Riset."
"Oh, begitu. Kalau sudah selesai, bisakah kamu kembali ke kantor? Kita mau meeting sekarang."
"Maaf, Pak. Sepertinya waktunya nggak cukup untuk kembali ke kantor."
"Kalau begitu besok saja. Ingat, besok kita rapat di ruanganku. Ini menyangkut iklan untuk PT. Real Food."
Bola mata Dustin melebar saat mendengat nama PT. Real Food, tapi tidak mengatakan apa pun. Menatap Jeana yang menerima panggilan dengan sikap enggan. Ia makan kentang dengan perlahan, menikmati rasa di lidahnya.
"Kenapa dengan iklannya, Pak? Bukannya udah selesai."
"Ada sedikit kendala. Pokoknya besok pagi kamu ke ruanganku."
Panggilan dimatikan tanpa sopan. Jeana memasukan ponsel ke tas dan melanjutkan makan. Mendadak merasa mual dan bangkit buru-buru dari kursi.
"Dustin, aku ke kamar mandi dulu."
Ia nyaris mendobrak pintu kamar mandi, terduduk di atas closet dan memuntahkan semua makanan yang baru saja ditelannya hingga perutnya kosong. Ia terduduk di atas closet setelah menyiramnya. Mengambil tisu untuk membasuh tubuh serta wajah yang berkeringat. Selama satu hari ini ia sudah dua kali kena serangan asma dan tidak boleh kena lagi. Entah masalah apa yang terjadi dengan proposal yang dibuatnya, orang-orang itu panik agar ia kembali.
"Nggak apa-apa, Kak?" tanya Dustin kuatir saat melihat Jeana datang dengan wajah pucat.
Jeana mengangguk. "Terlalu banyak makan."
"Muntah?"
"Iya, semua makanan. Dustin, maafkan aku ya, bikin kamu ikutan mual pasti."
Dustin menggeleng. "Kenapa minta maaf. Kakak nggak ada salah sama aku. Ada masalah sama kantor?"
"Begitulah. Setelah mereka mengambil proposalku, dengan seenaknya memintaku datang memperbaiki masalah. Dustin, kenapa orang-orang itu kejam padaku."
Sebuah ratapan yang sebenarnya tidak perlu dilakukan tapi Jeana ingin mengungkapkan isi hatinya. Tidak tahan berada dalam tekanan sendirian. Ia memijat pelipis, menahan rasa sakit kepala yang mendadak muncul. Berharap tidak vertigo di tempat ramai seperti ini. Ponsel di dalam tasnya kembali berdering. Ia enggan sekali mengeluarkannya karena takut orang-orang kantornya yang menelepon. Tapi karena benda sialan itu tidak berhenti berbunyi akhirnya memutuskan untuk mengeluarkan dan ternyata si penelepon adalah kerabatnya.
"Kak, ada kabar soal kakek?"
"Jeana, bisa nggak kamu pulang? Kakek sedang kritis."
Air mata Jeana tumpah seketika. Ia memasukkan ponsel dengan tangan gemetar. "Dustin, aku harus pulang kampung sekarang. Minta maaf nggak bisa temani kamu makan sampai selesai."
"Kak, biar aku antar sampai rumah."
"Tapi—"
"Aku bawa motor. Lebih cepat!"
Jeana tidak bisa menolak kebaikan hati Dustin. Selama ini tukang ojek banyak yang menolaknya dengan alasan berat tubuhnya yang berlebih. Ia sendiri merasa kuatir kalau Dustin akan keberatan tapi nyatanya tidak, motor yang mereka naiki berukuran cukup besar. Dustin sebisa mungkin mengebut, dengan Jeana menangis di belakangnya. Angin menerpa wajah dan tubuh Jeana, membuat air mata turun tidak terbendung. Hidup yang kejam padanya, memberinya masalah bertubi-tubi yang seakan tiada habis untuk diratapi. Pertunangan yang hancur, pekerjaan yang tersendat, dan sekarang sang kakek yang terbaring kritis. Entah sampai batas mana Tuhan memberinya cobaan.
Tiba di kontrakan, Dustin membantunya mengepak barang yang akan dibawa. Memberi sedikit waktu untuk Jeana meredakan asmanya yang kambuh.
"Kakak duduk dulu, setelah tenang lalu mandi. Aku antar ke terminal."
"Terima kasih, Dustin. Kamu paling baik, padahal baru kenal."
"Kakak sudah menyelamatkan nyawaku. Sudah semestinya aku membalas."
Jeana mengangguk dengan rasa terharu, berjanji dalam hati kelak akan membantu Dustin dalam segala situasi. Setelah asmanya reda, ia mandi dan berganti pakaian. Menggunakan koper kecil, ia membawa barang yang perlu saja. Tidak lupa mengirim pesan di grup kalau dirinya akan mengambil cuti selama beberapa hari. Balasan yang didapat sungguh luar biasa kejam tapi Jeana tidak peduli.
"Bisa-bisanya lo cuti saat kita ada masalah?"
"Jeana, lo nggak tanggung jawab jadi orang!"
"Tidak boleh ijin. Lo besok harus masuk!" tegur Nail. "Lo nggak takut dipecat apa?"
Jeana bahkan tidak peduli kalau harus dipecat. Baginya kantor itu bukan lagi tempat bekerja yang nyaman. Orang-orang di sana membuatnya tidak lagi merasa kalau kantor itu layak untuk diperjuangkan. Ia membisukan notifikasi grup, dan membiarkan mereka mengoceh sepuasnya.
Tiba di terminal, Dustin yang membeli tiket dan membawa koper. Membantu Jeana menemukan bisnya dan setelah memastikan Jeana duduk di tempatnya, ia berpamitan.
"Kak, baik-baik di jalan. Semoga Kakek cepat sembuh dan Kakak kembali kemari."
Jeana mengangguk. "Terima kasih Dustin. Aku pasti kembali dan kita makan bersama lagi ntar."
Mereka bersalaman sebelum Dustin turun. Jeana menatap pemuda yang menjauh dan melambaikan tangan dari jendela. Saat bus mulai bergerak, ia menyandarkan kepala ke kursi dan memejam. Satu pesan masuk ke ponsel membuatnya terbangun dan mendapati dari Amera.
"Gendut! Jangan coba-coba buat lo ijin besok. Apa pun yang terjadi lo harus masuk. Ingat, kalau sampai nggak masuk, gue akan ngadu ke HRD biar lo dipecat! Tahu diri dikit jadi orang! Sekarang lo tahu kenapa Prima nggak suka sama lo'kan? Karena lo ngeselin!"
Jeana mengambaikan cacian itu dan kembali terpejam. Satu panggilan dari kerabatnya membuat air matanya tumpah tidak terkira.
"Jeana, Kakek meninggal baru saja."
Hidup, terlalu kejam untuk Jeana yang sebatang kara.
.
Di karyakarsa update bab 50.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top