Bab 1

Kecemasan sedang melanda grup lima, karena salah satu anggota sedang sakit sedangkan hari ini ada presentasi penting. Biasanya Amera selalu menjadi juru bicara, orang yang bisa diandalkan untuk maju dan menerangkan tentang pekerjaan serta konsep yang mereka susun. Sudah dua hari Amera sakit, dan membuat kalang kabut semua orang. Sebenarnya tidak hadirnya Amera bukan hal penting, karena yang menyusup konsep, mengembangkan ide, serta menyelesaikan rancangan yang diminta klien, semua dilakukan oleh Jeana. Teman satu tim hanya membantu karena mereka sadar yang paling berpengalaman adalah Jeana. Sayangnya, Jeana yang berbobot 90 kilo, dianggap tidak cukup cantik untuk tampil. Karena itu Amera yang berwajah mungil dengan tubuh langsing dan kulit putih, dianggap sebagai simbol kecantikan yang baik untuk mewakili mereka. Tidak akan pernah terbersit dalam benak mereka akan tib hari ini dan sekarang semua orang kalang kabut untuk mencari jalan keluar.

"Kita nggak mungkin batalin ini," gumam Adelio dengan wajah pucat. Rambut cokelatnya berantakan karena terus menerus disisir. "Klien kita kali ini sangat penting dan perusahaan besar."

"Bagaimana kalau kita cari orang lain untuk tampil?" celetuk Ida. Perempua muda yang berkulit sawo matang dengan rambut potongan bob.

"Kenapa bukan lo yang tampil?" tanya Adelio pada Ida.

"Gue nggak bisa karena suka gugup. Bisa-bisa konsep kita nggak tersampaikan dengan baik kalau gue yang maju."

Adelio dan Ida saling pandang, secara reflek mata mereka tertuju pada laki-laki muda berambut hitam cepak yang sedang menatap jendela. Laki-laki itu mengernyit, seakan sedang berpikir keras. Di sudut ruangan, Jeana duduk menghadap laptop dan mendengarkan perdebatan yang terjadi. Sudah biasa seperti ini, kalau dirinya sebagai penggagas dan pelaksana, tapi urusan tampil di presentasi tidak pernah menjadi bagiannya. Padahal bisa dikatakan kalau dirinya yang paling menguasai pekerjaan.

Jeana mencabut selembar tisu dan mengelap wajah. Meskipun berada di ruangan berpendingin, tapi dirinya tetap merasa gerah dan panas. Sering berkeringat, dan napasnya pun sesekali tersengal saat bergerak berlebihan. Karena itu ia lebih suka duduk dan mengerjakan semuanya dalam diam.

"Nail, lo'kan pimpina tim. Gimana ini?" tanya Adelio.

Nail menatap mereka lalu menggeleng cepat. Terlihat sama frustrasinya dengan dua temannya. "Gue bisa aja maju, tapi kalian tahu kalau aku sulit menghapal sesuatu. Bisa-bisa presentasi kita berantakan kalau gue yang maju."

"Hah, jadi gimana ini?" bisik Ida putus asa.

Ruangan hening, hanya terdengar suara keyboard dari laptop Jeana. Mereka saling pandang tidak mengerti, sedangkan waktu sudah mendesak. Satu jam dari sekarang pihak perusahaan Real and Health Food akan datang. Bisa-bisa status mereka diturunkan karena dianggap tidak mampu mengurus masalah penting. Tim lima dikenal sebagai tim elite yang terbiasa menangani klien besar, tidak terhitung sudah berapa banyak iklan yang mereka tangani. Kali ini sang direktur mempercayakan mereka untuk mengurus iklan sereal yang eklusif dengan biaya yang tidak sedikit. Kalau ini gagal maka karir mereka akan terancam.

"Oke, selesai PPT-nya, tinggal pakai aja!" Jeana menyelesaikan pekerjaan dengan lega. Ia memang mendengar percakapan mereka tapi tidak ambil pusing. Bukan bagiannya lagi untuk menjadi pembicara. Menatap sang ketua tim, Jeana menyerahkan flash disc. "Semua ada di situ."

Nail menggeleng, tidak menerima uluran flash disc dari Jeana. Biasanya ia akan menyambut gembira kalau Jeana berhasil menyelesaikan tugas, dengan begitu beban kerja mereka berkurang tapi kali ini tidak begitu. Absennya Amera, sang ikon dari tim lima membuat semua orang kelimpungan dan mempengaruhi mood kerja.

"Jeana, kenapa lo diam aja. Harusnya lo juga ikutan mikir!" celetuk Ida kesal.

Jeana mengernyit. "Mikir apaan? Dari tadi gue kerja selesaian PPT. Emangnya harus mikir yang lain?"

"Ah, elo bisanya cuma gitu!" balas Ida dengan suara meninggi. "Kita sedang pusing siapa yang akan tampil untuk presentasi, elo malah santai-santai aja!"

Adelio mengangguk, menunjuk ke arah Jeana. "Setidaknya elo punya sedikit kekuatiran sama tim kita. Nggak bijak kalau apa-apa harus kita yang tangani."

Jeana menghela napas panjang, ingin sekali membanting laptop dan berteriak keras pada anggota timnya. Bagaimana bisa mereka menuduhnya bersantai-santai sedangkan dari awal ide tertus justru dirinya yang paling sibuk. Dari mulai riset pasar sampai menyiapkan presentasi, ia mengerjakan sendiri. Anggota yang lain hanya menambah ide dan mengoreksi kesalahan. Salahnya di mana kalau ia fokus dengan pekerjaannya. Lagi pula selama ini ia tidak pernah dipertimbangkan untuk menjadi pembicara jadi tidak terlalu peduli soal itu.

Timnya sama dengan orang-orang lain di kantor ini, menganggap dirinya tidak cukup menarik untuk tampil. Selalu Amera yang mereka kedepankan. Biasanya Jeana yang menyelesaikan tugas, Amera yang menghapal sebelum presentasi. Bahkan selama Amera tampil pun, ia harus menjadi asisten sekaligus tim pendukung, untuk membantu kalau ada masalah.

Amera yang jelita, dengan senyum yang menawan mampu membuat orang-orang terutama para klien terpesona. Biasanya para klien tidak banyak menolak konsep yang mereka tawarkan kalau Amera yang presentasi. Menggunakan seluruh kemampuan untuk merayu serta sikap yang menarik, Amera menjadi kebanggan bagi tim lima.

Jeana bisa mengerti kalau anggota timnya kuatir karena Amera sakit. Ia sendiri sudah berusaha menghubungi Amera dan ternyata tidak bisa. Mungkin memang kondisinya terlalu parah karenanya tidak bisa berkomunikasi.

"Jeana, kamu dan Amera bersahabat. Seharusnya elo bisa ngerawat dia dengan baik! Sahabat sakit masa elo diam aja!" protes Adelio.

Mengusap kelopak matanya yang lelah karena semalaman berhadapan dengan laptop, Jeana bahkan tidak punya tenaga untuk berdebat. Bagaimana bisa ia merawat Amera kalau pekerjaannya sendiri menumpuk. Ia bukan robot yang bisa mengerjakan segala hal sendirian. Robot yang paling canggih pun memerlukan manusia untuk mengoperasikan sistem. Sedangkan dirinya hanya sendiri berkecamuk dengan pekerjaan yang menumpuk, mana mungkin harus merawat Amera? Meskipun bersahabat dengan Amera, bukan berarti ia punya kemampuan untuk mencegah orang sakit. Memangnya ia malaikat?

Ia bangkit dari kursi, meraih blazer hitam untuk menutupi kemeja putihnya. Tersenyum pada Adelio yang melotot.

"Terserah kalian mau bicara apa. Tapi, gue nyaris nggak tidur untuk ngerjain semua. Kalau kalian masih berdebat, kita akan telat ke ruang presentasi. Harusnya perwakilan dari PT. Real Food sudah sampai."

Peringatan Jeana membuat mereka tersadar. Nail terburu-buru memakai jasnya, begitu pula Adelio dan Ida yang bergegas mengemasi barang-barang mereka. Sepanjang jalan menuju ruang presentasi yang ada di lantai lima, mereka masih sibuk memikirkan siapa yang akan tampil. Dengan konyol Ida berharap ada keajaiban semoga Amera muncul. Sayangnya, itu hanya harapan sia-sia. Setelah tiba di ruang presentasipun, tidak ada tanda-tanda kemunculan Amera. Nail dengan gusar mengatakan tamat riwayat mereka kalau sampai ini gagal.

Mereka saling pandang dengan tegang. Nail sibuk berdiskusi bersama Ida serta Adelio. Menganggap seakan Jeana tidak ada. Perlakuan acuh tak acuh dan meremehkan seperti ini sudah sering diterima Jeana, dan membuatnya cukup kebal untuk tidak ambil peduli.

Jeana mengutak-atik ponselnya dengan tenang. Mencoba menghubungi tunanganya. Sudah beberapa hari ini Prima sulit untuk dihubungi karena sedang tugas keluar kota. Beberapa pesannya pun tidak dibalas. Jeana dan Prima sudah menjalin hubungan selama dua tahun, berencana untuk ke pelaminan tahun depan setelah Prima melamarnya beberapa bulan lalu. Jeana selalu menganggap dirinya beruntung, dengan kondisi fisiknya yang seperti sekarang ada seorang laki-laki muda, tampan, serta mapan yang bersedia menjadi pasangannya. Ia sangat menghargai hubungan ini dan berharap untuk bisa selamanya bersama sang tunangan.

"Sayang, kenapa nggak balas pesanku? Nggak ada sinyal atau sibuk banget?"

Pekerjaan Prima sebagai manajer suprvisor sebuah perusahaan retail memang mengharusnya sering keluar kota untuk mengecek pasar. Sama-sama sibuk membuat mereka jarang bertemu, meski begitu hubungan keduanya sejauh ini baik-baik saja.

Serombongan orang memasuki ruangan. Berada paling depan adalah direktur perusahaan bernama Firma. Du samping Firman ada laki-laki tinggi dan tampan berumur empat puluhan dengan jas abu-abu. Penampilan laki-laki itu dengan jam tangan malah di pergelangan kanan, mata elangnya mengedarkan pandangan tanpa ekspresi. Seorang sekretaris perempuan berada di belakangnya bersama tiga laki-laki lain. Firma berdehem, mulai membuka pertemuan/

"Tim lima, apa kalian sudah siap. Kalian pasti bertanya-tanya siapa perwakilan dari Real Food yang datang ke kantor kita. Kalian harus berbangga hati karena yang datang adalah Direktur Utama Pak Dean Indra Kusuma bersama tim marketing mereka. Karena itu, kalian harus memberikan yang terbaik bagi Real Food."

Tepuk tangan canggung memenuhi ruangan. Keringat sebesar biji jagung muncul di dahi Nail. Jeana sendiri terlihat antusias, dan bertepuk tangan lebih keras dibandingkan yang lain. Tanpa sengaja pandangannya bersirobok dengan Dean, dan seketika ia menunduk. Ada sesuatu dalam tatapan mata laki-laki itu yang membuatnya gugup.

"Ayo, mulai sekarang presentasinya!" perintah Firman.

Baru kali ini tim lima merasa gugup, selain karena direktur mereka datang langsung juga karena kehadiran Dirut Real Food. Mereka saling pandang, Nail menghela napas panjang lalu mengulurkan tangan untuk menepuk punggung Jeana.

"Presentasi kali ini akan dilakukan oleh tim analisis kami, Jeana."

Anggota tim lima tercengang, begitu pula Jeana. Ia tidak menyangka akan ditunjuk menjadi pembicara. Menatap Nail untuk meminta kepastian karena takut kalau ketua timnya salah sebut. Ternyata Nail justru menarik kursinya dan menepuk punggung Jeana dengan lebih keras.

"Berusahalah, jangan permalukan kami," bisiknya.

"Kenapa harus aku?" tanya Jeana gugup.

"Karena kamu yang paling menguasai materi. Tunjukkan kemampuanmu, Jeana. Jangan jadi pengecut!"

Jeana hampir terjatuh dari kursinya saat mendengar kata-kata Nail. Ia bukan pengecut dan tidak pernah lari dari tugas. Tapi ini pertama kalinya didapuk maju dan mau tidak mau harus berani. Meraih flash disc, Jeana melangkah ke ujung meja di mana ada papan di sana. Adelio bergegas mematikan lampu dan Ida menyalakan proyektor. Jeana berdehem sebelum bicara, menyapa para direktur serta semua orang yang hadir. Sekali lagi pandangannya bertemu dengan Dean, dan ia berusaha untuk tetap tenang.

"Sekarang, ijinkan saya untuk memperkenalkan konsep iklan yang kami tawarkan untuk sereal dari PT. Real Food and Health."

Sepanjang Jeana bicara, tidak ada yang menyela. Semua orang menyimak dengan serius. Cara Jeana menjelaskan sangat luwes dan mudah dipahami. Beberapa saat kemudian, presentasi selesai. Ida mematikan proyektor dan Adelio menyalakan lampu. Tepuk tangan pertama kali mereka dapatkan dari orang yang sungguh tidak disangka yaitu Dean.

"Bagus! Aku suka konsepnya! Kerjakan iklan ini secepatnya dan kalian bisa kordinasi dengan timku!"

Setelah Dean dan Firman keluar dari ruangan, tim lima ambruk di kursi masing-masing. Bersyukur bisa melewati presentasi yang sangat penting. Nail mengusap wajah dan berujar keras pada Jeana yang masih sibuk merapikan berkas-berkas.

"Elo lihat cara kerja gue'kan Jeana. Kalau gue nggak mikir cepat, pasti kita nggak akan selamat!"

Jeana tidak menjawab, kecewa dengan reaksi yang diterimanya. Berbeda dengan Amer yang setiap kali selesai presentasi mendapatkan pujian serta sanjungan, dirinya sama sekali tidak mendapatkan itu. Naik sibuk bicara dengan Adelio dan Ida. Ternyata dalam dunia nyata semua orang memandang fisik dan bukan otak, Jeana sudah tahu kenyataan itu tapi tetap saja merasa pedih.
.
.
.
Di Karyakarsa bab 1-5.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top