Cerita Ketiga: "Kami Nggak Sedekat Itu, Kok!"

Dear Diary,

Aaah~!

Pagi-pagi udah suntuk, nih! Padahal lagi weekend... Nggak ada rencana juga sih mau ke mana.

Jadi kepikiran, akhir-akhir ini aku sering banget nulis tentang mereka. Rasanya kayak udah lamaaa banget kenal mereka yah... Padahal sebenarnya nggak juga, 'kan...

Setelah pertama kali ketemu Kak Ray di bengkel, kadang aku suka mampir ke sana pas pulang kerja. Yah, karena kebetulan searah aja. Kalau dipikir-pikir, aku paling sering ngobrol sama dia sih. Soalnya kalau sama Kak Dimas 'kan bisa dibilang baru ketemu. Tapi malah paling cepat akrab sama dia, he he he...

Kalau Reza... Aku ketemu sama dia nggak sesering Kak Ray. Kalau ngobrol, paling pendek-pendek aja. Tapi entah kenapa, aku bisa merasa 'dekat' sama dia. Kadang kami malah nggak sengaja ketemu di tempat-tempat yang nggak terduga. Kalau nggak, malah dia yang datang ke rumah...

EH! Tunggu dulu...

KOK DIA BISA TAHU RUMAHKU DI MANA?!

S-STALKER??!

NGGAKLAH! Reza nggak mungkin kayak gitu! Ah, aku aja bisa cari alamat rumah mereka. Apa susahnya bagi Reza melakukan hal yang sama?

Tapi... Ngomong-ngomong soal dia... Aku masih kepikiran omongan Nanda kemarin. Heran... Nggak biasanya Nanda antipati sampai segitunya sama orang lain. Apa dia 'cemburu' gara-gara ngeliat aku lumayan dekat sama Reza?

Ha ha ha ha... Emangnya Nanda sister complex? Lagian, aku sama Reza nggak sedekat itu, kok...

===========================================================================

"Aw! Panas... !!"

Aku terlonjak ketika tiba-tiba merasakan panas yang menyengat di dadaku. Masih duduk santai setengah bersandar di atas tempat tidur, dengan diary di pangkuan, pena yang tadi kupakai menulis pun terlepas dari genggaman. Aku cepat-cepat memeriksa sumber panas misterius itu.

Dari balik blus putih yang kukenakan, kukeluarkan liontin dari kalung platina yang sudah kumiliki sejak kecil. Liontin itu juga terbuat dari platina yang ukirannya sangat artistik. Dan di tengah-tengahnya terdapat batu permata yang amat indah. Aku tidak tahu itu batu apa. Yang jelas, batu itu halus, bening transparan. Aku hanya ingat samar-samar, kalau liontin ini adalah pemberian mendiang orangtuaku.

Kulepas kalung itu. Kuamati dengan seksama. Sama seperti biasanya. Indah, mempesona. Dan sama sekali tidak terasa panas.

Aneh. Lalu, yang tadi itu apa?

Oh ya... Sekilas tadi, sebelum mengeluarkan kalung dari balik bajuku, aku seperti melihat cahaya samar keemasan. Apa asalnya dari liontin ini juga?

Ah! Tidak mungkin! Apa aku berkhayal?

Mungkin aku kecapekan.

Kutarik napas dalam-dalam, lalu kuhembuskan perlahan. Sekali lagi, kupandangi liontin di tanganku. Seketika kerinduan menyeruak, menguasai diriku seutuhnya, seperti yang sudah-sudah. Rindu pada orangtuaku. Rindu pada masa kecilku. Dan... seperti yang sudah-sudah juga, ada satu perasaan aneh yang tidak kumengerti.

Entahlah. Aku tidak tahu perasaan apa itu. Ganjil. Menyesakkan. Seolah ada sesuatu yang kurang. Tapi aku sama sekali tidak tahu, apa yang kurang itu.

DEG!

Mendadak selintas debaran menyakitkan terasa. Tajam dan dalam, tanpa aku tahu sebabnya. Detik berikutnya, sama mendadaknya, sentakan nyeri mencengkeram kepalaku, sampai aku refleks memeganginya dengan kedua tangan sambil memejamkan mata.

Dalam keadaan mata terpejam, aku justru melihat bayangan-bayangan kabur melintas silih berganti di benakku. Ada seseorang di depanku, sosoknya sangat samar. Tapi rasanya familiar. Dan dia seperti sedang bertarung dengan... makhluk yang belum pernah kulihat sebelumnya... Monster VUDO? Entah mengapa, perasaanku mengatakan, seseorang itu sedang bertarung demi aku.

Apa ini?

Kepalaku semakin sakit, dan bayangan-bayangan itu semakin kabur. Semakin tidak jelas. Ketika rasa sakit itu mencapai puncaknya, tiba-tiba aku seperti mendengar suara yang bergema di dalam kepalaku...

Aku pasti akan melindungimu!

Aku menjerit akibat rasa sakit yang nyaris tak tertahankan. Namun detik berikutnya, rasa sakit itu tiba-tiba lenyap, seperti tak pernah ada sebelumnya. Aku tersengal, mencoba mengatur napas. Tak butuh waktu lama sampai aku berhasil menenangkan diri. Dan pada saat itu, hanya satu hal yang menguasai pikiranku.

Suara itu!

Aku kenal suara itu. Pasti, tidak salah lagi! Wajah sang pemilik suara itu kini memenuhi benakku. Lalu tanpa sadar, bibirku membisikkan sebuah nama.

"Reza...?"

===========================================================================

~Reza~

Pemuda itu meraih jaket hitam miliknya, lalu mengenakannya di atas kaos berwarna abu-abu. Ia masih berada di dalam kamarnya, tapi sudah rapi dengan dandanan kasualnya yang biasa. Tampaknya sedang bersiap-siap untuk pergi keluar.

Kemudian ia meraih changer miliknya -berupa gauntlet berwarna hitam dengan ornamen warna emas, dan Power Stone Hitam tertanam tepat di tengah-tengahnya-, yang ada di atas sebuah meja kecil. Baru saja tangannya menyentuh benda itu, tiba-tiba Power Stone Hitam memancarkan cahaya keemasan.

Reza tersentak pelan. Dan sebelum ia sempat berbuat apapun, mendadak di benaknya melintas gambaran kejadian-kejadian yang tidak dipahaminya. Silih berganti dengan cepat, seiring rasa sakit teramat tajam yang tiba-tiba menyerang kepalanya.

"Aargh!"

Reza merintih tertahan, lalu jatuh terduduk di dekat meja dengan mata terpejam rapat. Ia mencengkeram kepala dengan tangan kirinya yang bebas, sementara tangan kanannya masih menyentuh changer di atas meja. Rasa sakit itu bukannya pergi, malah semakin menjadi. Sementara, kilasan-kilasan kejadian masih datang dan pergi dalam bayangan-bayangan kabur.

Reza merasa dirinya tengah bertarung sebagai Azazel. Musuh yang dihadapinya sangat kuat, dan ia tidak bisa menandinginya. Ia tak yakin siapa musuh itu. Semua serba samar. Namun ia merasa sosok itu familiar. Seperti... monster VUDO?

Dan di belakangnya, Reza merasa ada seseorang. Seseorang yang menjadi alasan pertarungannya. Sempat dilihatnya sekelebat, orang itu mengenakan pakaian serba putih. Seperti gaun. ... Seorang gadis? Rambutnya panjang sebahu dan berwarna hitam. Sepertinya. Kemudian, saat ia semakin terdesak, Reza mendengar suaranya sendiri, meneriakkan satu kalimat.

Aku pasti akan melindungimu!

Lalu, semuanya berhenti. Baik rasa sakit maupun kilasan-kilasan misterius itu. Hilang begitu saja. Reza masih berdiam diri pada posisi terakhirnya, berusaha menentramkan napasnya yang tersengal.

"Apa-?" Reza memutus ucapannya sendiri. Sama sekali tidak mengerti, apa yang baru saja terjadi.

Kapan? Kapan aku pernah bertarung seperti itu? pikirnya. Meskipun berusaha mengingat, ia sangat yakin tidak pernah ada kejadian seperti itu.

Setelah lebih tenang, Reza menyadari sejak tadi dirinya masih memegang changer. Iapun bangkit, lalu mengambil benda itu dan memasangnya di tangan kanan.

"Power Stone Hitam," katanya sambil mendekatkan changer ke dada, "apa yang ingin kausampaikan padaku?"

Reza memejamkan mata, mencoba berkonsentrasi. Namun Power Stone Hitam tidak bercahaya lagi, tidak memperlihatkan apapun lagi. Ketika akhirnya membuka mata kembali, tiba-tiba Reza teringat gadis bergaun putih yang tadi dilihatnya dalam kilasan. Ia merasa mengenal gadis itu, meskipun tidak bisa ingat siapa. Sampai kemudian ia mengasosiasikan sosok itu dengan seseorang yang dekat dengan kesehariannya. Ciri-cirinya cocok!

"Gadis itu! Jangan-jangan... ?"

Tatapan Reza menajam. Iapun bergegas meninggalkan kamar, bermaksud untuk menemui orang yang sekarang ada di dalam pikirannya. Namun ketika hampir mencapai teras, langkahnya terhenti. Didengarnya ada suara percakapan.

"... Reza?" mendengar namanya disebut, Reza spontan menyembunyikan diri di dekat pintu masuk dan mendengarkan diam-diam. Suara Dimas. "Maksudmu apa, Ray?"

"Reza itu adikku," kali ini suara Ray. "Aku tahu kalau dia sedang menyembunyikan sesuatu."

"Jadi... mungkin dia tahu sesuatu yang kita tidak tahu?" Dimas menyahut. "Ah! Apa kamu pikir, itu ada hubungannya dengan..."

"Ada hubungannya atau tidak, kita harus cepat bertindak."

"Kamu yakin? Tapi bisa saja 'kan, 'bahaya' yang kita rasakan itu sebenarnya bukan dari dia, melainkan seseorang atau sesuatu yang ada di dekatnya. Bagiku dia kelihatan seperti gadis biasa."

"Dimas... Kita adalah Satria. Tugas kita adalah melindungi bumi dan orang-orang."

"Kamu benar. Kita tidak bisa membiarkan hal yang bisa menjadi ancaman untuk banyak orang!"

Di persembunyiannya, Reza mengepalkan tangan, sebelum akhirnya melangkah keluar ke teras.

"Kak Ray, aku mau keluar sebentar...," Reza berkata sebelum menjatuhkan tatapannya pada Dimas. "Dimas? Kamu di sini? Kalian... sedang membicarakan apa?"

"Kami," Dimas menjawab, sempat ada jeda sejenak, "cuma ngobrol biasa saja, kok."

"Oh... " Reza memandang Dimas dan Ray, sambil berpikir, ternyata mereka tidak ingin membagi pembicaraan tadi dengannya.

"Kamu mau ke mana, Reza?" Ray bertanya kemudian.

"Ah, aku tahu!" Dimas menyambung sebelum Reza sempat menjawab. "Pasti mau mencari jejak Power Stone lagi. Yang ungu belum ketemu, 'kan?"

Reza hanya tersenyum samar. "Aku pergi dulu, Kak Ray, Dimas."

===========================================================================

~Nanda~

TOK. TOK.

"Kak... Aku masuk, ya?" Nanda berkata, setelah mengetuk pelan pintu kamar kakak perempuannya.

Ia lalu masuk, dan langsung mendekati sang kakak yang sedang berbaring di ranjang sambil memeluk guling.

"Kakak beneran sakit?" tanya Nanda sambil duduk di tepi tempat tidur. Disentuhnya sejenak kening sang kakak dengan telapak tangan kanannya. "Memang agak demam... Kok bisa, sih? Perasaan tadi Kakak baik-baik aja..."

"Aku nggak apa-apa kok, Nanda. Paling cuma kecapekan, he he he..."

"Jangan ketawa begitu! Kakak ngerti nggak sih, kalau aku ini benar-benar cemas!"

Tanpa sadar, Nanda meninggikan suaranya. Detik berikutnya, ia langsung menyesal, begitu melihat sang kakak tersentak pelan dan menatapnya.

"Ma-Maaf, Kak... Aku nggak bermaksud membentak Kakak..."

Ucapan Nanda terputus ketika tiba-tiba tangan sang kakak terulur menyentuh wajahnya. Gadis itu tersenyum lembut.

"Terima kasih sudah mencemaskan aku," katanya. "Tapi... paling ini cuma masuk angin biasa. Jangan lebay, ah..."

Nanda ikut tersenyum tipis dengan mata berkaca-kaca, sementara sang kakak menarik tangannya kembali.

"Ya sudah. Kalau begitu, Kakak istirahat saja. Mumpung hari libur. Aku tinggal, ya? Kalau perlu apa-apa, panggil saja aku."

Nanda beranjak pergi. Di depan pintu kamar, ia berhenti sebentar. Dipandangnya sang kakak yang sudah mulai tertidur. Sekilas ia melihat liontin kalung platina yang selalu dipakai kakak perempuannya itu. Sekejap, ia seperti melihat benda itu memancarkan cahaya keemasan. Redup saja. Tatapan mata Nanda menajam, tapi ia tidak mengatakan atau melakukan apapun.

Setelah keluar dari kamar itu dan menutup pintunya, Nanda menuju ruang depan. Ia lalu duduk diam di salah satu sofa, terpekur lama. Sebelum akhirnya menghela napas panjang.

"Sepertinya sudah tidak bisa ditahan lebih lama lagi," Nanda berkata pada dirinya sendiri. "Kakak... Kalau begini terus... 'dunia' yang diinginkan Kakak ini, akan hancur. Harus hancur."

Nanda menautkan kedua tangan di pangkuan, membiarkannya saling mengepal. Ekspresinya dipenuhi bermacam-macam emosi, tapi yang mendominasinya adalah kecemasan.

Kemudian semua itu hilang. Ia tiba-tiba tersentak dan bangkit dari duduknya. Menatap lurus ke depan, seolah sedang melihat sesuatu di kejauhan.

"Dia!" ucapnya dengan tangan terkepal. Kelihatan sekali, seperti ada sesuatu yang membuatnya tidak senang. "Dia akan datang lagi ke sini? Kenapa?!"

Meskipun tampak sangat kesal, Nanda juga seperti ragu-ragu harus berbuat apa. Namun keraguan itu tidak berlangsung lama.

"Tidak bisa! Orang itu... Tidak akan kubiarkan berbuat seenaknya!"

==========================================================================

~Ray & Dimas~

"Maaf, Ray. Aku tidak bermaksud membohongi Reza," Dimas berkata setelah memastikan Reza sudah pergi cukup jauh dengan motornya.

"Aku mengerti, kok," sahut Ray. "Tapi... Reza pasti punya alasan, kenapa dia belum mau bicara pada kita. Aku percaya padanya."

Dimas mengangguk setuju.

"Tapi, Ray," katanya kemudian. "Bagaimana dengan gadis itu? Kita sudah berusaha mendekatinya dan bicara padanya. Tapi sepertinya dia benar-benar tidak tahu apa-apa. Kenapa, ya... Kok bisa, kita merasakannya sebagai 'keberadaan yang membahayakan'?

Ray terdiam, tapi ia seperti sedang memikirkan sesuatu.

"Tadi kamu bilang kita harus cepat bertindak, 'kan?" Dimas berkata lagi. "Maksudmu, kita sekarang harus melakukan apa?"

"Itu..."

=========================================================================

Reza memacu motornya dengan kecepatan sedang. Berusaha tetap fokus berkendara, meskipun saat ini pikirannya dipenuhi banyak hal.

Ia mengakui, memang telah merasakan 'keberadaan yang berbahaya' dari gadis itu. Gadis ceria yang tiba-tiba datang di kehidupannya. Yang entah mengapa bisa begitu mudah terasa akrab dengan dirinya, seolah sudah lama saling mengenal. Namun ketika ia mencoba menyelidiki lebih dalam, tampaknya gadis itu tidak tahu apa-apa. Mungkinkah gadis itu tanpa sadar telah membawa kekuatan jahat di dalam dirinya?

Kita adalah Satria. Tugas kita adalah melindungi bumi dan orang-orang.

Tiba-tiba ucapan Ray terngiang di benak Reza. Tentu saja, Reza sangat mengerti kata-kata itu. Namun di sisi lain, ia juga merasakan dorongan yang sangat kuat untuk melindungi gadis itu.

Motor Reza sudah semakin dekat ke tempat tujuan. Memasuki kompleks perumahan tempat gadis itu tinggal, Reza mengurangi kecepatan. Jalanan di sana cenderung sepi, sama seperti biasa. Apalagi ini hari libur. Mungkin sebagian besar penghuni kompleks sedang pergi berlibur.

"Hah?!"

Reza tersentak ketika tiba-tiba di depannya muncul cahaya terang. Cahaya keemasan yang kecil, tapi segera meluas dengan cepat. Sia-sia saja usaha Reza untuk mengerem. Jaraknya terlalu dekat! Sebelum Reza bisa berpikir apa yang terjadi, dirinya sudah terhisap masuk ke dalam cahaya itu!

* * * * * * * * *

Ketika sudah bisa membuka mata lagi setelah tenggelam dalam cahaya yang nyaris membutakan, Reza menemukan dirinya berada di dunia yang asing. Dunia serba putih, berkabut tipis. Dan di situ hanya ada dia sendiri.

"Ini... Limbo?" Reza berdialog dengan dirinya sendiri. "Tidak. Bukan. Rasanya berbeda... "

Reza mencoba melangkah maju. Namun tempat itu seperti dunia tanpa batas. Tidak ada awal dan akhir. Tidak ada ujung dan pangkal.

Menakutkan.

Reza berhenti. Ia mengepalkan tangan, lalu menggelengkan kepala, mencoba mengusir kegamangan yang menyusup ke dalam hatinya.

Tepat pada saat itulah, tiba-tiba Reza merasakan seperti ada seseorang di belakangnya. Ia segera berbalik, tapi tak ada siapa-siapa. Beberapa kali, perasaan yang sama terasa lagi, tapi tiap kali berbalik, Reza tetap tidak menemukan apa pun.

"Siapa?!" akhirnya Reza berseru. Tidak ada jawaban. "Apa kau yang membawaku ke tempat ini?"

Masih tidak ada jawaban.

"Keluarlah! Katakan, apa yang kauinginkan dariku?!"

Kali ini ada reaksi. Bukan jawaban, tapi Reza malah merasakan 'bahaya' dari arah belakang. Cepat-cepat berbalik, ia hanya sempat melihat sekilas, tiga tombak cahaya keemasan melesat ke arahnya. Pemuda itu refleks mengangkat tangan kanan dan menyilangkannya di depan tubuh, menggunakan kekuatan Power Stone Hitam untuk melenyapkan tombak-tombak cahaya.

Kemudian, hanya dua meter di depan Reza, tahu-tahu sudah berdiri seorang pemuda. Ia mengenakan semacam jas panjang warna putih, sedangkan di baliknya berpakaian kontras serba hitam, mulai dari baju, celana panjang, sampai sepatu. Bukan jenis busana yang lazim dipakai sehari-hari. Modelnya pun tampak sangat asing. Namun Reza mengenali pemuda itu, dan ia tersentak.

"Kamu?" katanya. "Kamu Nanda, 'kan? Adiknya..."

Ucapan Reza terputus. Tiba-tiba ia merasakan sesuatu yang 'berbahaya', asalnya dari pemuda yang berdiri di hadapannya. Pada saat yang sama, kabut tipis yang menyelimuti tempat itu juga menghilang.

Nanda mengulurkan tangan kanannya lurus-lurus ke depan. Kemudian dari telapaknya memancar cahaya keemasan yang memanjang ke kanan dan ke kiri, sampai mencapai panjang tertentu. Saat cahaya itu hilang, di tangan Nanda sudah tergenggam sebuah tombak putih yang mata tombaknya memiliki warna platina. Di dekat mata tombak dan di ujung satunya, terdapat sedikit ornamen emas. Secara keseluruhan, badan tombak itu dihiasi ukiran artistik, begitu pula mata tombaknya.

Nanda menggenggam tombak itu dengan kedua tangan, memutar-mutarnya sebentar di atas kepala. Lalu sambil pasang kuda-kuda, ia menyiagakan senjata itu terarah ke depan. Sebelum detik berganti, ia langsung melesat ke arah Reza dengan kecepatan tinggi!

Reza sudah bersiaga ketika Nanda menerjang maju. Namun kemudian sosok Nanda lenyap begitu saja! Reza tersentak. Ia segera melihat ke sekelilingnya, tapi tak menemukan sosok pemuda itu di mana pun.

Kemudian mendadak Reza merasakan bahaya dari atas. Ketika mendongak, dilihatnya tombak terarah kepadanya dalam posisi tegak lurus. Begitu juga posisi Nanda yang memegang tombak, vertikal dengan kepala di bawah.

Reza menghindar dengan melompat ke belakang. Mudah saja. Lalu saat mata tombak Nanda menyentuh tanah -atau pijakan apa pun itu yang ada di bawah-, Reza sudah ambil ancang-ancang. Iapun melepaskan tendangan memutar dengan kaki kanan, tepat mengenai badan tombak. Harusnya itu cukup untuk menjatuhkan lawan, tapi dengan keseimbangan luar biasa, Nanda berhasil mendarat dengan selamat.

"Tunggu!" Reza berseru sebelum Nanda bergerak lagi. "Kenapa kamu menyerangku?"

Nanda mendengus, lalu berkata, "Kau ingin menemui kakakku, 'kan? Itu tidak akan kubiarkan!"

"Kenapa?" sahut Reza. "Kenapa aku tidak boleh menemuinya?"

"Diam kau! Apa masih belum cukup... kau membuat kakakku menderita?!"

"Apa?"

"Berubah wujudlah!" tiba-tiba Nanda berkata, mengejutkan Reza. "Lalu hadapi aku... Satria Garuda Azazel!"

Reza menatap Nanda. Jelas, pemuda itu bukan manusia biasa. Perasaannya pun semakin kuat, bahwa ada kekuatan besar yang bersemayam dalam diri Nanda. Hampir seperti... 'sesuatu' yang dirasakannya selama ini dari gadis itu!

"Kenapa? Tidak mau? ... Oh... Meremehkan aku, ya...," Nanda berkata ketika Reza hanya diam. Ia mendengus, lalu tersenyum sinis. "Ngomong-ngomong, aku sudah mengamati kalian selama beberapa waktu. Cara bertarung para Satria itu... menarik! Boleh juga kalau kucoba."

Nanda mengumpulkan energi di tangan kanan, membentuknya menjadi bola berwarna keemasan.

"Mengubah energi menjadi bermacam-macam bentuk serangan... Seperti ini, 'kan?" kata Nanda, tampak bersiap untuk melepaskan bola energi itu. "Light Shoot!"

Tembakan pertama yang diarahkan kepada Reza itu bisa dihindari. Namun, Nanda terus mengejar dengan serangan yang sama, beruntun dan cepat. Sampai satu bola energi berhasil mengenai sasaran.

"Akh!" Reza jatuh berlutut, sambil menekan dada kirinya yang tadi terkena serangan. Rasanya nyeri dan sesak.

"Sudah kubilang, 'kan? Berubah wujudlah! Tubuh manusia biasa tidak akan bisa bertahan dari seranganku," kata Nanda. "Asal tahu saja, aku masih menahan kekuatanku."

Reza bangkit kembali. Aura permusuhan yang dirasakannya dari Nanda, sejak tadi tidak berubah sedikit pun.

"Apa boleh buat," kata Reza akhirnya, sambil menyiapkan changer. "Berubah!"

"Bagus," Nanda berkomentar dengan nada sinis, melihat Reza benar-benar berubah wujud menjadi Azazel, tepat di depan matanya. "Dengan begini, aku bisa menghancurkanmu dengan kekuatan penuh! Light Shoot!"

"Dark Shoot!"

Nanda melontarkan bola energi lagi, yang dibalas Azazel dengan cara yang sama. Itu adalah jurus original Azazel, berupa bola energi hitam yang berasal dari kekuatan kegelapan yang dimampatkan. Melihat serangan Nanda yang disebutnya 'Light Shoot' itu, tampaknya memang meniru 'Dark Shoot' milik Azazel.

Kedua bola energi bertabrakan, menimbulkan ledakan yang saling meniadakan. Nanda dan Azazel masih bertukar jurus yang sama sampai beberapa kali lagi. Tetap seimbang.

"Ayolah! Apa cuma itu serangan yang kaupunya?" Nanda berseru memprovokasi.

"Taranis!" akhirnya Azazel memanggil partnernya. Pedang garuda hitam, Taranis, muncul entah dari mana, di 'langit' tempat itu. Namun, alih-alih ke tangan Azazel, Taranis terbang ke arah Nanda, lalu mulai menyerangnya. Semua serangan masih bisa ditahan Nanda dengan tombaknya.

"Dark Shoot!"

Di sisi lain, Azazel masih menyerang dari jauh dengan bola energi. Juga bisa dihancurkan oleh Nanda dengan tebasan tombaknya. Meski begitu, konsentrasinya terpecah karena harus menghalau serangan Taranis yang tanpa henti.

Sampai suatu ketika, dengan tombaknya Nanda memukul Taranis sampai terpental jauh. Namun ia terlambat menyadari bahwa gara-gara itu pertahanannya jadi terbuka. Iapun melihat Azazel sedang berlari ke arahnya sambil menyiapkan serangan.

"Dark Shoot!"

Untuk kesekian kalinya, Azazel melontarkan bola energi itu. Kali ini mengincar tombak, dan sukses membuat senjata itu terlepas dari tangan pemiliknya. Nanda melihat Azazel yang sudah begitu dekat, tengah mengarahkan pukulan ke arahnya. Bukan sembarang pukulan, karena dilapisi energi kegelapan. Tak sempat menghindar, Nanda menyilangkan kedua tangan di depan dada, ditambah lapisan perisai energi yang dibuat dengan terburu-buru.

Dua energi bertabrakan, dan Nanda langsung merasakan tekanan yang begitu besar. Ia terdorong mundur cukup jauh, dan harus bersusah payah mempertahankan keseimbangan. Azazel juga sempat terdorong mundur dua-tiga langkah, tapi ia bisa segera memantapkan pijakannya, lalu kembali menerjang maju dengan pukulan-pukulan berikutnya.

Yang terjadi kemudian adalah pertarungan jarak dekat dengan tangan kosong. Azazel yang di atas angin, sementara Nanda dipaksa untuk lebih banyak bertahan. Pendeknya, dia terdesak.

"Taranis!" setelah berhasil memojokkan lawan, Azazel memanggil Taranis ke tangannya.

Nanda melihat Azazel melapisi pedang itu dengan energi berwarna keemasan. Ia tak sempat lagi bereaksi apapun, ketika kemudian senjata itu ditebaskan tepat ke arah lehernya!

Tapi, tidak.

Ternyata tebasan itu berhenti tepat sebelum mengenai Nanda. Azazel yang menggenggam pedang itu, masih mengarahkan sisi tajamnya, mengancam leher Nanda. Namun ia tidak berbuat lebih jauh lagi.

"Hentikan semua ini," Azazel berkata dengan suaranya yang berat dan dalam.

Nanda mendengus pelan, lalu tertawa. Sinis dan pendek saja.

"Jadi begitu, ya... Kau sengaja menjaga jarak karena aku menggunakan tombak, dan itu tidak menguntungkanmu yang memakai pedang. Karena itu, kau mencari celah untuk melucuti senjataku, baru setelah itu menyerang dari jarak dekat. Cara bertarung yang cerdas," kata Nanda. "Sepertinya, akulah yang terlalu meremehkanmu."

GREP!

Tiba-tiba dengan tangan kirinya, Nanda mencekal tangan kanan Azazel yang menggenggam pedang, di dekat pergelangannya. Nyaris tanpa jeda, dari tangan kiri Nanda mengalir dengan deras, energi keemasan yang berkilat-kilat. Energi itu bergerak dengan sangat cepat, menyelimuti seluruh tubuh Azazel, dan juga Taranis.

"Apa ini?" kata Azazel, kaget. "Aku... tidak bisa bergerak..."

"Satu-satunya kesalahanmu adalah... tidak menghabisiku selagi bisa," Nanda berkata, sembari mengambil Taranis dari tangan Azazel. "Apa itu karena aku masih berwujud manusia?"

Nanda melemparkan Taranis jauh-jauh ke arah kanan atas. Sampai di satu titik, pedang garuda hitam itu lenyap, seperti tertelan ke dimensi lain. Atau dikeluarkan dengan paksa oleh Nanda dari dimensi ini.

"Kebaikan hati... kadang-kadang juga bisa melukai seseorang," tiba-tiba Nanda berkata. Ada kegetiran samar dalam nada suaranya. Lalu, masih dengan tangan kiri mencekal lengan Azazel, dan masih sambil mengalirkan energi yang melumpuhkan, Nanda mundur sedikit. Kemudian ia mengarahkan telapak tangannya yang bebas, ke dada lawan. "Kali ini, kebaikan hatimu itu... akan mencelakai dirimu sendiri!"

Bola energi keemasan terbentuk dengan cepat di tangan kanan Nanda. Ia lalu melepaskan cekalannya, sembari menghantamkan bola energi yang sudah semakin membesar, ke tubuh lawan. Menerima serangan sekuat itu secara langsung, dari jarak sedekat itu, Azazel terlempar jauh ke belakang, terhempas ke tanah, dan berubah kembali ke wujud manusianya.

Nanda berjalan mendekati Reza yang masih terbaring kesakitan, sudah menyiapkan bola energi lagi. Namun sebelum bola itu terbentuk sempurna, sesuatu melesat dengan kecepatan tinggi ke arahnya dari atas. Nanda spontan menghindar dengan melompat mundur ke belakang, sementara energi di tangannya menghilang. Pemuda itu mencari tahu apa yang tadi menyerangnya. Ternyata Taranis!

"Kau?!" seru Nanda. "Kenapa kembali lagi? Pergi! Aku tidak ada urusan denganmu!"

Menjawab kata-kata itu, Taranis malah kembali terbang melesat ke arah Nanda dengan niat menyerang.

"Oh, begitu?" kata Nanda sambil menghindar. "Jadi kau ingin melindungi dia? ... Baik!"

Cepat sekali, Nanda melontarkan bola energi, yang tepat mengenai sasaran. Taranis terpental, tapi berhasil mempertahankan keseimbangan, lalu kembali melesat maju melanjutkan serangan. Hampir semuanya bisa dihindari Nanda. Sebaliknya, serangan Nanda beberapa kali berhasil mengenai Taranis.

Sementara itu, Reza -meskipun masih kesakitan- berusaha bangkit. Ia sudah bisa bergerak lagi, tapi sekarang tubuhnya terasa berat. Meski begitu, ia mengkhawatirkan partnernya.

"Taranis!" Reza berseru, sementara napasnya masih tersengal. "Sudah, cukup! ... Pergilah!"

Seruan Reza membuat segala gerakan Taranis terhenti, tapi hanya sebentar. Detik berikutnya, tampaknya Taranis memutuskan untuk menyerang lagi.

Tentu saja, Nanda tidak tinggal diam. Tak mau membuang waktu, ia menciptakan bola energi yang jauh lebih kuat, lalu menembakkannya tepat ke arah Taranis. Ledakan hebat pun terjadi.

"TARANIS!" Reza berseru lagi. Sisa-sisa ledakan itu makin pudar, tapi ia tidak melihat Taranis lagi. "Taranis..."

Kejadian ini membuat Reza cukup terpukul. Namun kemudian ia mengepalkan tangan, dan berusaha bangkit sekali lagi. Belum lagi pemuda itu berhasil berdiri tegak, ternyata Nanda sudah mendekat sampai dua langkah di hadapannya.

Reza melihat Nanda mengarahkan telapak tangan kanan lagi, lurus-lurus ke arahnya.

"Kalau sekarang mau berubah pikiran, kau tidak akan kubunuh," kata Nanda, dingin.

Sambil menatap tajam ke arah Nanda, dengan napas masih tersengal, Reza berkata tegas, "Aku... harus menemuinya!"

"Keras kepala!" Nanda berucap kesal. "Baiklah kalau begitu. Jangan salahkan aku!"

Energi keemasan yang lebih kuat daripada sebelumnya, meluap dari tangan kanan Nanda, bergerak dengan cepat mengelilingi Reza, lalu mengurungnya dalam bola energi raksasa. Nanda menggerakkan tangannya ke atas, dan bola itu ikut terbang sampai hampir 3 meter dari tanah.

Sementara itu, Reza yang terkurung di dalam bola energi, merasakan tekanan yang luar biasa. Seolah datang dari segala arah, seperti ingin menghancurkannya. Masih ditambah lagi dengan serangan-serangan kilat yang menyakitkan. Pada saat itu, Power Stone Hitam pada changer di tangan kanan Reza, bereaksi, bercahaya keemasan. Reza merasakan energi dari Power Stone miliknya itu, melawan energi yang bersifat merusak dari Nanda.

"Kegelapan...," tiba-tiba Nanda berkata penuh tekanan. "Aku benci kegelapan."

Reza tersentak. Dadanya mendadak berdesir tajam tanpa alasan yang jelas.

"Kata-kata... itu...," ucapnya kemudian. "Rasanya... pernah kudengar... Kenapa? ... Siapa kau sebenarnya?"

Nanda tersenyum sinis.

"Aku?" pemuda itu menyahut. "Aku adalah cahaya. Dan aku jauh lebih kuat darimu!"

"Apa-?"

"Tentu saja, kau tidak ingat. Lebih baik tidak usah ingat untuk selamanya!" Nanda berkata lagi. "ENYAHLAH!"

Tiba-tiba tekanan yang dirasakan Reza bertambah berkali-kali lipat, memaksanya berteriak kesakitan. Cahaya keemasan dari bola energi Nanda bertambah kuat, mengalahkan cahaya Power Stone Hitam. Cahaya itu makin terang, meluas. Sampai pada titik tertentu, sosok Reza di dalamnya sudah tidak terlihat lagi, tenggelam dalam cahaya.

Kemudian, terjadi ledakan dahsyat!

Nanda memandang ke atas, ke tempat terjadinya ledakan itu, nyaris tanpa berkedip. Dalam detik-detik singkat selanjutnya, bekas ledakan maupun bola cahaya, telah lenyap tanpa jejak. Begitu pula sosok Reza, sudah tidak tampak lagi di mana pun.


Cerita Ketiga -FIN-


Fanfic: Heidy S.C. 2015 ©

Fandom: Satria Garuda Bima X; RCTI, Ishimori Pro 2014-2015 ©

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top