Cerita Kelima: Limit

Gadis itu merasa dirinya tengah bermimpi panjang. Layaknya orang-orang kebanyakan, yang menyadari ketika dirinya sedang bermimpi. Dan di dalam mimpinya, gadis itu dipanggil dengan sebuah nama yang aneh.

Putri Aeon.

Benar-benar aneh, seperti berada di dalam cerita fantasi. Dia, Putri Aeon, adalah gadis muda yang berasal dari negeri yang jauh. Dunia yang benar-benar sangat berbeda, seperti dunia lain yang dipenuhi kekuatan ajaib. Orang-orang menyebutnya kekuatan 'cahaya'. Dan Putri Aeon bertanggungjawab menjaga kekuatan cahaya terbesar di tempat itu, yang disebut Kristal Aeon.

Mimpi itu terus berputar dengan cepat, sama seperti mimpi-mimpi lain. Putri Aeon kehilangan segalanya, saat dunia penuh limpahan cahaya itu, dihancurkan oleh 'kegelapan'. Ia lalu pergi meninggalkan tempat yang telah menjadi reruntuhan, berkelana dari satu dunia ke dunia yang lain.

Kemudian ia tiba di bumi. Sayangnya, di dunia yang ini pun, ia dikejar. Tepatnya oleh Rexor dari Kerajaan VUDO, yang menginginkan kekuatannya. Dan sekali lagi, ia bertemu seseorang yang menggunakan kekuatan kegelapan yang dibencinya. Namun, berbeda dengan di dunianya, sang pemilik kekuatan kegelapan di dunia ini, ternyata menggunakan kekuatan itu untuk bertempur melawan kejahatan. Bahkan orang itu melindunginya. Ya, dia adalah ksatria yang menggunakan armor berwarna dominan hitam. Satria Garuda Azazel.

Eh?

Azazel?

Tunggu dulu! Apa-apaan ini? Apa aku sedang menciptakan dunia mimpi aneh dengan memasukkan VUDO dan Azazel sebagai karakter di dalamnya?

Di dalam mimpi pun, gadis itu berpikir demikian. Namun, mimpinya terus berputar. Begitu jelasnya sampai terasa nyata, meskipun ia tahu ini hanya mimpi. Bahwa Azazel mempertaruhkan nyawa demi melindunginya. Bahwa ia sendiri, akhirnya memutuskan untuk berkorban demi menyelamatkan nyawa Azazel. Nyawa Reza.

"... Putri... Aku... pasti akan melindungimu!"

Kata-kata Reza ini terngiang di telinganya bagaikan melodi yang sangat indah. Jantungnya mendadak berdegup kencang, tapi hatinya terasa hangat. Perasaan itu tetap tertinggal, saat ia benar-benar mengorbankan diri demi memberikan kekuatan Kristal Aeon kepada Reza. Untuk mengalahkan Rexor.

Lalu... Lalu...

Gadis itu tersentak. Mimpinya terus berputar, bagaikan film dengan dirinya sendiri sebagai tokoh utama. Kemudian, perlahan tapi pasti, ia mulai menyadari sesuatu. Bukan... Ini semua sama sekali bukan mimpi!

Ini adalah ingatannya sendiri!

Bersamaan dengan munculnya kesadaran itu, kristal bening pada kalung yang selalu dikenakannya, tiba-tiba memancarkan cahaya emas menyilaukan yang memaksanya menutup mata. Cahaya kecil yang membesar dalam sekejap, menelan segalanya.

...

...

...

Ketika membuka mata kembali. Gadis itu menemukan dirinya berada di dunia serba putih. Berkabut tipis. Iapun melangkahkan kaki, lurus ke depan, sementara ingatannya semakin jelas. Tentang jati dirinya. Tentang Kristal Aeon. Tentang kehidupannya. Tentang Reza. Tentang nama panggilan yang diberikan Reza padanya.

Putri.

Nama yang sekarang dipakainya dalam menjalani 'kehidupan kedua' di planet ini.

"Putri!"

Tiba-tiba gadis itu mendengar namanya dipanggil. Suara panggilan yang samar, bergema memenuhi tempat itu. Langkahnya pun sontak terhenti. Suara itu... Ia sangat mengenal suara itu.

"Reza?" Putri berkata lirih. Sementara, di hatinya timbul perasaan tidak nyaman. Seperti firasat yang sangat buruk.

Baru saja detik berganti, tiba-tiba Putri melihat kilasan-kilasan di benaknya. Ia melihat adiknya, Nanda, memakai semacam jubah putih panjang yang sangat tidak biasa, serta membawa sebuah senjata berupa tombak. Ia juga melihat Reza. Yang membuatnya cemas, mereka berdua tampaknya terlibat perkelahian!

Kejadian-kejadian berikutnya melintas silih-berganti di kepala Putri. Begitu cepat, tapi ia bisa memahami semuanya. Ia tahu, yang dilihatnya kali ini bukan mimpi. Tapi juga bukan ingatannya.

"Nanda!" Putri berseru spontan.

Di benaknya, ia baru saja melihat akhir pertarungan Nanda dan Reza. Nanda yang menang, dan berhasil mengurung Reza di dalam bola energi raksasa berwarna keemasan.

Gadis itu sangat cemas, karena ia tahu apa yang akan dilakukan Nanda berikutnya. Bola energi itu akan diledakkan bersama isinya!

"Nanda, jangan!" Putri berteriak.

Bersamaan dengan itu, kristal di kalungnya, memancarkan cahaya emas yang meluas dengan cepat.


*     *     *


"REZA!"

Putri terbangun di kamarnya sendiri. Cukup lama, ia duduk terpekur, sambil menenangkan napasnya yang masih cepat. Kecemasannya tidak hilang, malah semakin menjadi.

"Hah?! Nanda!"

Tiba-tiba Putri tersentak, lalu cepat-cepat turun dari tempat tidur. Iapun keluar dari kamar, lalu mencari Nanda ke seluruh penjuru rumah kecil mereka. Pemuda itu tak ada di mana pun.

Putri mengakhiri pencariannya di ruang depan. Ia menghempaskan tubuhnya ke sofa, dan duduk bersandar di sana. Rasanya sedikit lemas. Ia ingat, terakhir kali sebelum tertidur, dirinya memang sedang demam. Tapi panasnya sudah turun sekarang, dan tubuhnya juga sudah terasa lebih ringan. Daripada itu, ia lebih mencemaskan soal Nanda dan Reza.

"Kenapa Nanda tidak menjawab panggilanku?" ia berbicara pada dirinya sendiri. "Reza..."


*      *      *

*     *

*     *     *


Bola cahaya berwarna emas mendadak muncul di halaman rumah keluarga Iskandar. Radiusnya cukup besar, sekitar satu meter. Cahayanya terang, tapi meredup dengan cepat, sampai akhirnya hilang sama sekali. Dan yang tampak di situ sekarang adalah sosok Reza.

Pemuda itu langsung roboh, jatuh terduduk dengan kedua tangan menyangga ke tanah. Tampak beberapa bekas luka pada wajah dan di sudut bibirnya. Ia juga terlihat lemah dan kesakitan, dengan napas tersengal. Sementara, Power Stone Hitam pada changer-nya bercahaya, berkedip-kedip dengan cepat. Reza mengepalkan tangan kanannya yang gemetar. Lalu memukulkannya ke tanah satu kali, seperti ingin menguatkan tekad. Iapun bangkit berdiri, meski dengan susah-payah.

"Argh-!" Reza merintih tertahan, sambil menekankan tangan kanan ke dadanya yang terasa nyeri dan sesak. Sementara, ia bisa merasakan kesadarannya mulai terenggut di tengah kepungan rasa sakit.

Berusaha mengabaikan semua itu, Reza melangkah maju. Mendekati rumah, meski dengan langkah terseok. Pandangannya sudah semakin kabur. Namun ia bertahan dengan memikirkan satu orang.

"... Kak Ray..."


*     *     *


Ray duduk sendirian di sofa ruang tengah sambil menonton siaran berita di TV. Bersyukur, hari ini tidak ada berita tentang kekacauan atau hal-hal tidak wajar, yang bisa jadi disebabkan oleh VUDO. Tak lama, Dimas muncul dari bagian dalam rumah, lalu ikut duduk di sofa bersama Ray.

"Dimas, tadi ada telepon masuk," Ray berkata sambil menyerahkan smartphone yang tadi dititipkan oleh Dimas padanya. "Tidak kuangkat, sih... Tapi sepertinya dari Ricca."

"Ricca?" kata Dimas sambil menerima ponselnya. Ia memeriksa daftar panggilan masuk dan menemukan nama asistennya, Ricca, di situ. "Benar, dari Ricca. Ada apa, ya?"

"Telepon balik saja," sahut Ray sembari mengambil remote, lalu mematikan TV. "Siapa tahu penting."

Sesuai saran Ray, Dimas segera menghubungi Ricca.

"Hallo, Ricca?" Dimas bicara di telpon. "Maaf, tadi aku sedang ke toilet. Ada apa?"

Dimas diam sebentar, mendengarkan jawaban Ricca.

"Oh... Kirim saja ke email-ku... Oke. Terima kasih, ya."

Dimas memutus panggilan, lalu ganti membuka email. Hanya ada satu email masuk di inbox. Dari Ricca. Dan hanya berisi satu lampiran berupa file PDF. Dimas segera mengunduh lampiran itu dan langsung membukanya.

"Dimas, ada apa?" Ray bertanya ketika melihat Dimas seperti sedang membaca sesuatu dengan serius di layar ponselnya.

"Lihat ini, Ray!" sahut Dimas sambil menyerahkan ponsel itu kepada Ray.

"Ini..." Ray memeriksa file yang tadi dibuka oleh Dimas. Mau tak mau ia terkejut. "Foto dan data diri... Putri... Dan adiknya? Dimas, ini... ?"

"Aku minta Ricca untuk menyelidiki mereka sedikit. Cepat juga, ha ha ha...," Dimas tertawa ringan, seolah itu hal yang biasa.

"Tapi ini... bukan sesuatu yang... ilegal... 'kan?" Ray bertanya ragu.

"Tenang saja," Dimas menyahut kalem. "Ini sama seperti waktu kami mengumpulkan informasi tentang kamu dan Reza dulu. Tidak ada yang melanggar hukum, kok!"

"Hah?"

"Yah... Pokoknya, seperti yang terlihat di dokumen itu," Dimas mengabaikan kekagetan Ray. "Putri dan adiknya yatim piatu. Mereka ditinggalkan di depan pintu panti asuhan waktu kecil, dan sejak itu dibesarkan di sana. Orangtua mereka tidak diketahui identitas maupun keberadaannya, karena saat ditinggalkan, mereka berdua masih terlalu kecil untuk ditanyai. Yang mereka tahu cuma nama mereka sendiri. Putri, dan Ananda... atau yang biasa dipanggil 'Nanda'."

"Berarti... identitas mereka tidak jelas, ya?" komentar Ray, sambil mengembalikan ponsel Dimas.

"Ya. Termasuk tanggal lahir, dan tempat asal mereka. Semuanya tidak diketahui..."

Pembicaraan Ray dan Dimas terputus di sini. Karena pada saat itu, tiba-tiba Ray merasakan sesuatu yang sangat tidak menyenangkan. Iapun mengambil Power Stone Merah dari saku celananya, dan mendapati benda itu bercahaya, berkedip-kedip dengan cepat.

"Kenapa Power Stone-ku tidak bereaksi?" Dimas yang baru saja mengeluarkan Power Stone Oranye miliknya, berkata heran. "Aneh."

Sementara, Ray terlihat gelisah. Baru saja, sebuah debaran menyakitkan melintas di dadanya. Dan perasaannya semakin resah.

"Ray, ada apa?" tanya Dimas ketika melihat reaksi Ray juga tidak seperti biasanya.

"Reza..."

Tiba-tiba Ray bangkit berdiri, lalu bergegas keluar rumah. Dimas pun mengikutinya. Betapa terkejutnya mereka ketika tiba di teras, dan melihat Reza sedang berjalan perlahan, tertatih, mendekati pintu rumah, dalam keadaan terluka. Sepertinya parah.

"Reza!" Ray berseru, dan langsung berlari menghampiri adiknya.

Reza sendiri tampaknya sudah berada dalam kondisi antara sadar dan tidak, tapi ia bereaksi terhadap panggilan Ray. Sempat saling tatap sedetik, Reza akhirnya roboh. Tepat di pelukan sang kakak.

"Reza!" Ray bersimpuh di tanah, sambil mengguncangkan tubuh Reza yang pingsan di pelukannya. "Reza, bangun! Sadarlah!"

Dimas pun ikut berlutut di dekat kedua bersaudara itu dan berseru, "Reza, bertahanlah!"

Butuh beberapa saat sampai Reza tersadar kembali. Ia terlihat lemah dan kesakitan. Ketika akhirnya membuka mata, yang dilihatnya adalah wajah Ray yang sarat kecemasan.

"Kakak...," Reza berkata dengan suara lemah, nyaris berbisik. "Maafkan... aku..."

Setelah mengatakan itu, Reza kembali tak sadarkan diri.

"Reza...?" Ray masih berusaha menyadarkan adiknya, tapi sama sekali tidak ada respon. "REZA!!"


*     *     *

*     *

*     *     *


Nanda berdiri diam di tengah-tengah dunia putih berkabut itu. Kedua matanya terpejam. Dan kedua tangannya menggenggam tombak yang diposisikan vertikal dengan bagian pangkal bertumpu pada tanah.

"Nanda...!"Sebuah suara yang menggemakan namanya, memenuhi tempat itu, membuat Nanda sontak membuka mata. Tentu saja, ia sangat mengenal suara lembut itu. Suara kakaknya, Putri.

"Kakak... Ukh-!?"Tiba-tiba Nanda merintih tertahan, lalu jatuh berlutut, dengan tetap berpegangan pada tombaknya. Kilatan-kilatan energi berwarna emas, terlihat di beberapa bagian tubuhnya. Di langit tempat itu pun tampak beberapa kali cahaya kilat.

"Setelah orang itu, cepat atau lambat, yang lain juga akan datang. Aku harus mempertahankan tempat ini, tapi... tidak kusangka sampai seberat ini," Nanda bicara pada dirinya sendiri. "Gara-gara pertarungan dengan Azazel... aku jadi terbawa suasana dan terlalu memforsir tenagaku. Sial! Kekuatanku jadi meluap begini... Sulit dikendalikan... Sialan kau, Azazel!"

Sampai lewat semenit, Nanda belum juga bisa sepenuhnya menenangkan diri. Letupan-letupan energi yang berlebih itu masih sesekali muncul ke permukaan dalam wujud kilatan-kilatan energi berwarna emas. Namun langit sudah lebih tenang.

"Tidak bisa! Kalau keluar seperti ini, aku hanya akan menarik perhatian musuh-musuh Kakak... Itu sama saja membahayakan Kakak!" Nanda mengeratkan genggaman pada tombaknya. "Maaf Kak, aku tidak bisa datang. Aku harus tetap di sini. Aku harus... melindungimu!"


*     *     *

*     *

*     *     *


Reza sudah dibawa ke kamarnya sendiri. Ia kini terbaring di ranjang. Luka-luka luarnya sudah dirawat, tapi ia masih belum sadarkan diri. Tentu saja, Ray sudah melepaskan jaket hitam Reza, yang tadinya menutupi kaos lengan pendek berwarna abu-abu yang biasa dia kenakan. Dan changer-nya juga. Benda itu sekarang tergeletak di atas meja, di dekat ranjang.

Beberapa menit sebelumnya, melalui Power Stone, Ray merasakan keadaan Reza semakin melemah. Kondisi Power Stone Hitam juga aneh, sangat tidak stabil. Karena itulah, Ray berusaha menolong adiknya, dengan menggunakan kekuatan ketiga Power Stone miliknya: Merah, Biru, dan Hijau. Ia tetap melakukan itu, sampai merasakan Power Stone Hitam sudah lebih tenang. Namun sampai saat itu pun, Reza masih belum siuman.

"Ray, bagaimana Reza?" Dimas bertanya pelan. Ia berdiri di salah satu sisi ranjang. Sementara Ray duduk di kursi, yang diletakkan di sisi ranjang yang lain. Menanggapi pertanyaan Dimas tadi, Ray menggeleng.

"Belum ada perubahan," kata Ray kemudian. Sejak tadi, ia terus menggenggam tangan Reza, sementara raut wajahnya dipenuhi kecemasan.

Dimas menghela napas pelan. Iapun menghampiri Ray, lalu menepuk bahunya.

"Tenanglah, Ray," katanya. "Reza itu kuat. Dia pasti akan bertahan."

Baru saja Dimas bicara begitu, tiba-tiba ada reaksi dari Reza. Pemuda itu mendadak tampak gelisah, meski kedua matanya masih terpejam rapat. Bukan cuma gelisah, tapi juga seperti kesakitan.

"Reza?!" Ray dan Dimas berseru hampir bersamaan. Mereka mencoba membangunkan Reza, tapi tidak berhasil. Pemuda itu malah terlihat semakin gelisah. Semakin kesakitan.

Ray mencoba untuk tetap tenang, meski hatinya mau tak mau dicengkeram kekalutan. Saat ini Reza menderita di depan matanya, tapi ia nyaris tidak bisa berbuat apa-apa. Sekelumit rasa takut pun menyelinap ke dalam hati Ray, menyisipkan rasa sakit yang tajam bagai tersayat sembilu. Hanya sekejap, tapi seakan sanggup meruntuhkan ketegarannya.

Tidak!

Ray berteriak di dalam pikirannya sendiri, menentang ketakutannya.

Aku tidak mau kehilangan Reza! Tidak lagi!

"Ray!" seruan Dimas ini menyentak Ray, seolah mengembalikannya ke alam nyata. "Power Stone kita!"

Ray baru memperhatikan bahwa Power Stone bereaksi. Berkedip-kedip, memancarkan cahayanya masing-masing: merah, biru, hijau, dan oranye. Ray refleks menoleh ke arah meja, dan melihat Power Stone Hitam juga tengah berkedip-kedip dalam irama yang sama. Iapun mengambil changer itu, lalu memasangkannya ke tangan kanan Reza.

"Power Stone Merah, Biru, dan Hijau. Sekali lagi... Tolong pinjamkan kekuatan kalian pada Power Stone Hitam. Pada Reza. Aku mohon... selamatkan adikku!"

Ray mendekatkan ketiga Power Stone miliknya ke Power Stone Hitam, lalu mulai berkonsentrasi. Dimas yang melihat itu pun akhirnya mengikuti apa yang dilakukan oleh Ray. Hanya perlu beberapa detik, pola pancaran cahaya pada kelima Power Stone, berubah. Bukan lagi berkedip-kedip, melainkan berupa gelombang cahaya. Seperti riak yang muncul saat sebuah batu kecil dijatuhkan ke permukaan air yang tenang. Pola itu terus berulang. Sampai Ray dan Dimas merasakan Power Stone Hitam sudah kembali stabil.

Ray dan Dimas menarik Power Stone mereka kembali. Sementara, Power Stone Hitam masih memancarkan cahaya emas dan hitam. Cahaya yang sama kini juga menyelimuti tubuh Reza. Pemuda itu pun sudah lebih tenang, meskipun napasnya masih agak sesak. Kemudian, semua cahaya memudar, pelan-pelan menghilang. Dan Reza pun membuka matanya.

"Reza!" Ray berseru spontan, sekali lagi menggenggam tangan sang adik. Ia pun merasakan Reza balas menggenggam tangannya. Meskipun hanya genggaman lemah, tapi itu sudah cukup membuatnya lega.

"Kak Ray...," Reza berkata lirih, sementara napasnya masih agak tersengal. "Dimas..."

Reza mencoba bangkit, tapi usaha itu hanya menimbulkan rasa sakit yang memaksanya terbaring kembali sambil merintih tertahan.

"Jangan bangun dulu. Tubuhmu masih lemah," kata Ray, mau tak mau merasa cemas. "Bagaimana keadaanmu? Apa yang kamu rasakan?"

Reza memejamkan mata sejenak, sambil menarik napas dalam-dalam. Masih kelihatan seperti menahan sakit. Meskipun begitu, ia menjawab, "Aku tidak apa-apa."

"Benar begitu?" sahut Ray, yang dijawab Reza dengan anggukan pelan. "Syukurlah. Tapi... Reza... Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa kamu bisa terluka sampai seperti ini?"

"Ini pasti ulah VUDO!" Dimas langsung menyambung. Namun Reza menggelengkan kepalanya, membuat Ray dan Dimas saling pandang sejenak.

"Bukan VUDO?" tanya Ray lagi. "Lalu... Kamu bertarung dengan siapa?"

Reza tersentak pelan, sebelum akhirnya mengalihkan pandangan. Tidak mau menatap siapapun. Juga tidak mau menjawab.

"Sudah seperti ini, kamu masih mau diam?" tiba-tiba Dimas berkata, tampak sangat tidak sabar. "Reza! Kenapa, sih? Sampai kapan kamu mau menyembunyikannya dari kami?"

"Dimas," Ray menegur. Namun tampaknya Dimas tidak akan menahan diri lagi.

"Tidak bisa, Ray! Ini sudah keterlaluan-!"

"Kak Ray," kali ini Reza yang menyela ucapan Dimas. "Kepalaku sakit."

Ray menatap Reza. Adiknya itu masih menghindari bertatapan dengannya maupun Dimas.

"Ya sudah kalau begitu, istirahatlah," akhirnya Ray berkata. "Kami akan keluar. Kalau perlu sesuatu, panggil saja aku."


*     *     *

*     *

*     *     *


Dimas sudah duduk di kursi penumpang, dalam mobil yang dikendarai oleh supir pribadinya, Sugi. Kendaraan itu melaju tenang di jalanan yang tidak terlalu ramai.

"Aaah! Ini menyebalkan! Aku tidak sabar lagi!" tiba-tiba Dimas berkata, lalu menghempaskan tubuhnya ke sandaran kursi sambil bersungut-sungut. "Nggak Reza, nggak Ray, mereka berdua sama saja!"

Dimas teringat lagi percakapan terakhirnya dengan Ray, sebelum dirinya meninggalkan rumah keluarga Iskandar.

"Ray, kamu yakin mau membiarkannya seperti ini?"

"Tolong beri Reza waktu sedikit lagi."

"Tapi 'kan, Ray-!"

"Aku mohon, Dimas. Jangan memaksanya. Jangan sekarang."

"Baiklah... Kalau kamu bilang begitu... Tapi, aku khawatir. Kalau dibiarkan terlalu lama, takutnya nanti semua telanjur di luar kendali kita!"

"Tenang saja. Nanti aku akan bicara lagi dengan Reza."

...

...

...

Yah. Akhirnya Dimas memang 'mengalah' dan sudah setuju untuk menunggu. Tapi...

"Ck!" Dimas berdecak kesal. Kemudian ia menghela napas, masih bersandar ke kursi. Tatapan matanya berubah, agak menerawang. "Tapi... Ray dan Reza itu... seperti bisa saling memahami tanpa perlu kata-kata, ya? Enaknya punya saudara... Aku jadi iri..."

Tanpa disadari Dimas, Sugi tersenyum tipis di balik kemudi. Sejak tadi pria muda itu terus memperhatikan tingkah-laku majikannya melalui kaca spion dalam.

"Sugi, putar balik!" mendadak Dimas memberikan perintah ini. "Ternyata memang... Kalau seperti ini, aku tidak bisa tenang. Kita ke rumah Putri. Sekarang!"

"Baik, Master."


*     *     *


Tidak sampai setengah jam, Dimas sudah memasuki kompleks perumahan tempat Putri tinggal. Mobil berjalan pelan-pelan. Baru belasan meter, Sugi sudah mengerem secara mendadak.

"Ada apa, sih?" tanya Dimas, setengah memprotes karena kaget.

Tak perlu jawaban, karena Dimas sudah melihat sendiri ada sesuatu yang aneh di depan mobil. Ada cahaya keemasan yang tidak jelas dari mana sumbernya, dan meluas dengan cepat. Sebelum Dimas sempat berkomentar, cahaya itu sudah hilang.

"Itu... apa?" sementara Dimas masih terheran-heran, mendadak Power Stone Oranye memancarkan cahaya berkedip-kedip. "Sudah kuduga, ini tidak bisa dibiarkan! Sugi, kamu tunggu di sini!"

"Baik. Hati-hati, Master."

Dimas bergegas keluar mobil, dengan membawa Power Stone Oranye dan changer miliknya. Rumah Putri masih agak jauh kalau ditempuh dengan berjalan kaki.

"Tunggu dulu... Reaksi ini kok sepertinya bukan dari arah rumah Putri, ya?" Dimas berkata sembari berjalan mengikuti reaksi Power Stone. "Dari sana...?"

Terasa seperti ada 'bahaya' dari arah timur. Namun kemudian reaksi itu menghilang dan muncul rekasi yang sama dari arah sebaliknya.

"Eh, bukan. Dari sana!"

Akhirnya Dimas tetap mengikuti reaksi itu, melewati sebuah gang, lalu keluar di jalanan yang agak lebar. Masih di dalam kompleks perumahan juga. Di situlah, tiba-tiba terdengar suara tangisan. Dimas melihat tiga orang anak usia SD menangis di pinggir jalan. Di dekat mereka ada sebuah bola sepak. Iapun menghampiri anak-anak itu.

"Kalian kenapa menangis?" tanya Dimas.

"Teman kami hilang, Kak!" salah satu anak menjawab sambil terisak.

"Hah? Hilang gimana?"

"Kami lagi main bola, terus ada cahaya. Dua teman kami yang ada di dekat cahaya itu... tau-tau ilang, Kak!"

"Apa...?" Dimas terdiam sejenak, teringat cahaya keemasan yang beberapa saat lalu muncul di depan mobilnya. "Sudah, jangan nangis lagi. Kakak akan bantu cari teman-teman kalian."

"Beneran, Kak?"

"Iya. Kalian tetap di sini... Atau tunggu saja di rumah."

"Iya, Kak."


*     *     *


KLANG.

Tombak putih itu terjatuh. Nanda terduduk di dekatnya sambil memegangi kepala dengan kedua tangannya. Pemuda itu menunduk dengan mata terpejam rapat, tampak kesakitan.

"Sial! Tidak bisa... lagi...!" Nanda berkata dengan suara tertahan. "Tidak! Aku harus... menahannya-Hah?!"

Nanda terdiam tiba-tiba. Perlahan ia mengangkat wajah. Tatapannya sedikit menerawang.

"Ada yang mendekat," katanya. "Kekuatan ini... Satria?!"

Raut wajah Nanda berubah kesal. Iapun meraih tombaknya, lalu bangkit kembali. Masih tampak menahan sakit.

"Bima X? Atau... Torga?"

Nanda mencoba berkonsentrasi. Pelan-pelan, ia berhasil menenangkan dirinya kembali. Pemuda itupun melihat kilasan-kilasan, tentang pria muda berkacamata yang membawa Power Stone Oranye. Berada tak jauh darinya, kekuatan yang bereaksi dengan kekuatannya sendiri.

"Satria Torga, ya...," Nanda berkata dengan tatapan mata menajam. "Bagus. Datang saja kalian semua. Akan kuselesaikan... satu-persatu!"


*     *     *


Dimas masih mengikuti reaksi dari Power Stone miliknya, terus berpindah tempat. Sejauh ini selalu terlambat. Bahkan 1-2 kali, ia mendapatkan cerita yang sama seperti sebelumnya. Sepertinya selain anak-anak itu, masih ada orang-orang lain yang juga 'hilang ditelan cahaya'.

"Sial!"Dimas mengepalkan tangannya. Di lokasi berikutnya, ia sempat melihat cahaya keemasan itu sebelum hilang lagi. Ia hanya berharap kali ini tidak ada orang yang menjadi korban dan tersedot masuk ke dalamnya.

Masih ada reaksi dari Power Stone Oranye. Dimas bisa merasakan suatu kekuatan, kali ini sangat dekat, tapi tidak tahu di mana. Dan sejauh yang dilihatnya, memang sudah tidak ada apa-apa lagi di tempat itu. Sampai kemudian bola cahaya kecil keemasan tiba-tiba muncul di hadapannya. Berbeda dengan sebelumnya, kekuatan dalam cahaya kecil itu terasa stabil dan sangat terkendali. Seolah sengaja dimunculkan untuk 'mengundang' Dimas.

Tak ada pilihan lain, Dimas mendekati bola cahaya itu, lalu menyentuhnya. Seketika itu juga, cahayanya membesar, menguat, memaksa Dimas menutup mata. Iapun merasakan seperti ada kekuatan besar menelan dirinya!

Hanya beberapa detik, perasaan tertekan itu hilang. Dimas membuka mata kembali, dan menemukan dirinya sudah berada di sebuah dunia serba putih yang berkabut tipis. Hampir mirip Limbo, tapi rasanya berbeda.

"Selamat datang, Satria Torga."

Tiba-tiba Dimas mendengar suara menyapanya dari arah belakang. Padahal ia yakin, tadinya tak ada siapa-siapa di sana. Iapun berbalik, dan melihat seorang pemuda berpakaian serba hitam dibalik jubah panjang berwarna putih, serta membawa sebuah tombak. Ia tidak terlalu kaget ketika mengenali sosok pemuda itu.

"Kamu?" kata Dimas, bersiaga demi merasakan aura pertarungan yang entah sejak kapan sudah memenuhi tempat itu. "Ananda!"


Bersambung...


Cerita Kelima -FIN-

Fanfic: Heidy S.C. 2015 ©

Fandom: Satria Garuda Bima X; RCTI, Ishimori Pro. 2014-2015 ©


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top