Cerita Keenam: Orang Yang Ingin Dilindungi
Selamat datang, Satria Torga!"
Dimas tersentak ketika tiba-tiba disapa dari belakang. Sedangkan ia yakin, sebelumnya tidak ada siapa-siapa di situ. Iapun berbalik dan menemukan seorang pemuda berjubah putih panjang, sudah berdiri di hadapannya dengan sebuah tombak di tangan.
"Kamu? Ananda!"
Tatapan Dimas menajam. Pertemuan dengan pemuda itu di tempat asing ini, agak di luar perkiraannya. Namun tidak terlalu mengagetkan juga.
"Dimas Akhsara. Satria Harimau Torga," Nanda berkata dengan nada dingin. "Jadi... Setelah Satria Azazel, ternyata sekarang kau yang datang?"
"Azazel?" ulang Dimas. "Jangan-jangan... kamu yang sudah melukai Reza?!"
"'Melukai'?" Nanda menyahut, lalu mendengus sinis. "Kupikir aku sudah menghabisinya. Hebat juga dia, masih bisa bertahan."
Dimas mengepalkan tangan. Masih berusaha menahan diri, meskipun cara bicara dan sikap Nanda cukup memantik emosinya.
"Nanda, jawab pertanyaanku," Dimas berkata. "Orang-orang yang 'hilang ditelan cahaya'... Apa itu juga ulahmu?"
"Ng?" Nanda mengerutkan kening. "Apa yang kaubicarakan?"
"Jangan pura-pura! Energi yang kurasakan dari cahaya itu, darimu, dan juga tempat ini... Semuanya sama!"
Nanda memejamkan matanya sejenak.
"Ternyata begitu," katanya sambil membuka mata kembali, beberapa saat kemudian. "Sepertinya aku agak berlebihan. Energiku jadi meluap dan terjadi 'kebocoran'... yang mempengaruhi dunia kalian juga. Yah... Apa boleh buat."
"Apa katamu?!" Ekspresi Dimas mulai menampakkan kemarahan. "Lalu bagaimana dengan orang-orang itu? Di mana mereka?"
"Entahlah," Nanda menyahut enteng, membuat Dimas semakin kesal. "Mungkin di suatu tempat di dalam sini. Oh ya... Kalau manusia biasa, mungkin tidak akan bisa bertahan lama di tempat ini."
"Apa?"
"Sudahlah, tidak usah banyak bicara," kata Nanda lagi. "Kalau kau mencari pertarungan, akan kulayani!"
Nanda memasang kuda-kuda, menyiagakan tombaknya dengan ujung mengarah ke Dimas.
"Kamu... sudah menyakiti orang-orang. Dan setelah apa yang kaulakukan pada Reza...," Dimas berkata sambil mempersiapkan changer dan Power Stone miliknya. "Benar-benar... tidak bisa kumaafkan!"
Nanda mendengus sinis. "Memangnya siapa yang butuh maaf darimu? Ayo, maju! Biar kuhancurkan kau sekalian!"
SET.
Dimas memasang keping Power Stone Oranye pada changer-nya, hingga darinya terdengar suara, "THUNDER!"
"Berubah!" Dimas berseru.Kemudian, sosoknya pun berubah menjadi ksatria dengan armor berwarna dominan kuning, bertema harimau, serta memiliki logo yang membentuk huruf "T" di dada kiri. "Satria Harimau! Torga!"
Tanpa membuang waktu, Dimas alias Torga langsung maju menyerang. Dengan cepat, ia melancarkan jurus-jurus tangan kosong dengan ilmu silat harimaunya. Pukulan, hantaman, tubrukan, cakaran, dan sapuan, silih berganti mengancam lawan. Namun, Nanda pun mempelajari gaya bertarung Torga dengan cepat, dan akhirnya lebih banyak menghindar. Atau menahan serangan-serangan Torga menggunakan gagang tombaknya. Sesekali juga mencoba balas menyerang. Meskipun agak sulit, dikarenakan kegesitan Torga.
"Sepertinya cara bertarungmu tidak cocok denganku," kata Nanda kemudian. Iapun melompat mundur beberapa langkah. "Kalau begitu, terima ini!"
Nanda mengarahkan telapak tangan kirinya lurus-lurus ke depan. Detik berikutnya, tombak-tombak cahaya keemasan bermunculan di sekitar Nanda, lalu melesat satu-persatu dengan cepat ke arah Torga. Puluhan jumlahnya.Sementara, Torga dengan lincah bergerak menghindar, berguling, dan bersalto, agar tidak terkena serangan Nanda. Namun tombak-tombak cahaya itu seakan tak ada habisnya.
"Atlas!" akhirnya Torga memanggil partner-nya yang berwujud harimau.Muncul dari kabut di belakang Nanda sambil mengaum, Atlas langsung menerkam pemuda itu. Nanda masih sempat menghindar, tapi konsentrasinya terpecah sehingga serangan terhadap Torga pun terhenti.
"Harimau Thunder Blitz!"
Sementara Nanda masih sibuk dengan Atlas, Torga menyerukan jurus berikutnya. Torga merendahkan tubuhnya, melepaskan energi petir dari kedua tangan melalui tanah, yang bergerak dengan cepat ke arah Nanda.
"Cih!" Nanda yang melihat itu, segera memukul Atlas menjauh menggunakan tombaknya. Kemudian, ia menolakkan pijakannya kuat-kuat ke atas, melompat setinggi mungkin sembari mengumpulkan energi di tangan kiri. Namun sebelum bola energi yang diinginkannya sempat terbentuk sempurna, apalagi dilontarkan, rupanya Torga sudah bergerak lagi.
"Atlas! Combine!"
Kali ini Torga memangil Atlas mendekat, lalu menggabungkannya di tangan kanan dalam wujud meriam tangan. Iapun mengumpulkan energi di situ, bersiap melepaskan serangan.
"Harimau Roaring Thunder!"
Energi ditembakkan dari meriam, bersamaan dengan Nanda yang juga melontarkan bola energi dari tangan kirinya. Keduanya bertabrakan, menimbulkan ledakan dahsyat. Ketika api dan sisa-sisa ledakan lenyap, sosok Nanda pun tidak tampak lagi.
"Hah?" Torga mengedarkan pandang ke sekelilingnya, masih dengan kewaspadaan penuh. Keberadaan Nanda tidak dilihat ataupun dirasakannya lagi. "Dia menghilang..."
* * *
* *
* * *
Reza terbangun di dalam kamarnya sendiri, dan langsung memejamkan matanya lagi rapat-rapat sambil merintih tertahan. Sebelumnya, ia memang mengatakan kepada Ray bahwa kepalanya sakit, dan itu sama sekali bukan kebohongan. Masih berdenyut-denyut nyeri hingga sekarang.
Sampai semenit berikutnya, Reza berusaha mengatur napasnya yang agak tersengal. Setelah lebih tenang, baru ia membuka mata kembali.
"Tadi... aku ketiduran berapa lama, ya?" gumamnya.
Reza mencoba bangkit dari tempat tidur. Meskipun tubuhnya masih terasa sakit dan lemas, pelan-pelan akhirnya ia bisa juga duduk di tepi ranjang itu.
"Aku... sudah ingat semuanya...," katanya kemudian. "Tidak bisa seperti ini... Aku harus pergi!"
* * *
Ray duduk santai di sofa ruang tengah. Ia tampak sedang berbicara dengan seseorang melalui ponselnya.
"Jadi, setelah nonton film, sekarang Rena mengajak Kak Randy dan Paman keliling mall? Yah... Selamat menikmati, deh!" Ray tertawa kecil, lalu diam sebentar, mendengarkan jawaban dari seberang sana. "Makan siang di luar? ... Oh... Di situ, ya... Iya sih, memang deket dari sini... Hm? Reza? Dia ada di rumah kok, tapi..."
Ucapan Ray terputus lagi sampai beberapa detik.
"Maaf, kayaknya kami nggak bisa ikut, Kak. Reza sakit..."
Sekali lagi, orang di seberang telepon itu memotong kata-kata Ray.
"Eh, jangan, jangan. Nggak apa-apa, kalian makan aja bertiga. Reza 'kan ada aku yang jagain... Iya... Ah, gampang itu mah. Nanti bungkusin aja makanannya buat kami berdua. ... ... Oke, Kak."
Panggilan telepon diputus. Ray menyimpan kembali ponselnya di saku celana.
"Kak Ray," suara panggilan yang tiba-tiba ini, mengejutkan Ray. Iapun menoleh dan melihat Reza sedang berjalan ke arahnya.
"Reza?" Ray bangkit dari sofa, lalu cepat-cepat menghampiri adiknya. "Hei, kenapa bangun? Badanmu sudah nggak apa-apa?"
"Aku baik-baik saja."
Meskipun Reza mengatakan itu, jelas Ray tidak percaya begitu saja. Apalagi ia masih menangkap rona kesakitan di wajah Reza. Iapun menyuruh Reza duduk.
"Tadi Kak Randy yang menelpon?" tanya Reza, yang diiyakan oleh Ray. "Kenapa Kak Ray nggak ikut aja?"
"Kamu 'kan lagi sakit," sahut Ray. "Masa' ditinggal sendirian di rumah?"
"Sudah kubilang, aku baik-baik saja..."
"Oh, ya?" Ray menyela, lalu saling tatap dengan Reza. "Terus... kamu mau ke mana, bawa jaket dan changer segala?"
Kali ini Reza terdiam. Tampak enggan untuk menjawab.
"Inilah yang bikin aku khawatir meninggalkanmu sendirian," kata Ray. "Kadang-kadang kamu itu suka memaksakan diri."
Reza menghindari tatapan Ray.
"Kak Ray, aku... harus menemuinya," akhirnya Reza berkata.
Ray diam sebentar, menatap adiknya penuh pengertian.
"Putri?"
Reza cukup terkejut, Ray langsung bertanya tanpa basa-basi seperti itu. Namun ia menjawab juga dengan sebuah anggukan.
"Kamu sampai terluka parah," kata Ray lagi. "Apa itu juga ada hubungannya dengan Putri?"
Reza tidak menjawab.
"Sudah kuduga," Ray berkata. "Reza, kamu tahu sesuatu yang aku dan Dimas tidak tahu, 'kan? Kurasa sudah saatnya kamu bicara sekarang."
Reza masih tidak menjawab.
"Kenapa kamu diam?" desak Ray. "Sampai selama ini?"
Ray melihat adiknya menarik napas dalam-dalam.
"Aku... bertarung dengan Nanda," akhirnya Reza berkata. "Bukan salahnya juga, sih... Aku yang memaksa ingin menemui Putri, padahal Nanda tidak mengizinkannya."
"Nanda," ulang Ray. "Jadi... kekuatan yang 'berbahaya' yang selama ini kita rasakan... sebenarnya berasal dari Nanda?"
"Bukan. Kalau itu, kurasa memang dari Putri," Reza menyahut. "Kak Ray, aku hanya... merasa... ingin melindunginya. Harus melindunginya. Siapa pun yang ingin menyakiti Putri, harus berhadapan denganku. Meskipun itu adalah Kak Ray."
Reza mengepalkan tangan. Ray pun bisa melihat gejolak emosi yang sangat kuat di mata sang adik.
"Ternyata begitu. Reza... Kenapa sih, kamu bisa sampai berpikir aku akan menyakiti Putri?" kata-kata Ray ini membuat Reza tersentak. "Kalau memang seperti itu, kita 'kan bisa cari jalan keluarnya sama-sama."
"... Maafkan aku."
"Sudahlah, nggak apa-apa. Yang penting sekarang aku tahu apa yang kamu pikirkan..."
"Tunggu sebentar, Kak," tiba-tiba Reza menyela ucapan Ray. "Masih ada yang belum kuceritakan..."
* * *
* *
* * *
"Nanda?!"
Putri masih duduk sendirian di sofa ruang tengah. Ia terlihat cemas. Barusan bayangan Nanda mendadak terlintas di benaknya, dibarengi kegelisahan tanpa alasan yang menyusup ke dalam hatinya. Biasanya, kalau ia merasa seperti ini, Nanda sedang mengalami sesuatu yang buruk.
"Nanda, kamu ada di mana?" gadis itu bergumam sendiri. "Aku harus menemukannya!"
Putri menegakkan tubuhnya, masih dalam posisi duduk. Digenggamnya Kristal Aeon pada kalungnya sambil memejamkan mata dan berkonsentrasi penuh. Kristal Aeon bersinar keemasan, lalu cahaya itu meluas, menyelimuti seluruh tubuh Putri. Gadis itu mengkonsentrasikan seluruh hati dan pikirannya hanya kepada Nanda. Hingga akhirnya ia melihat sesuatu.
"Dunia serba putih... ?" gumam Putri, masih dengan mata terpejam. "Jadi... Nanda ada di sana?"
Putri memperkuat konsentrasi, memusatkan seluruh kekuatannya untuk memasuki dunia itu. Akan tetapi, seperti ada sesuatu yang menghalanginya. Iapun tersentak dan membuka mata kembali, sementara semua cahaya pun menghilang.
"Apa ini... Penghalang?" kata Putri, sementara firasat buruknya semakin menjadi. "Nanda yang melakukannya... Kenapa?"
* * *
* *
* * *
Nanda duduk bersila di salah satu bagian dunia putih buatannya. Ia memejamkan mata, sementara tombak putihnya tergeletak tepat di samping kanannya.
"Kakak... Kumohon, jangan datang kemari," pemuda itu bicara sambil membuka mata.
Tadinya ia sedang melacak keberadaan orang-orang yang kata Torga terseret masuk ke dalam dunia putih itu. Lalu mengeluarkan mereka satu-persatu ke tempat semula. Ternyata cukup banyak juga yang jadi 'korban'. Dan Nanda belum menemukan semuanya ketika tiba-tiba ia merasakan ada seseorang yang ingin memaksa masuk ke tempat itu. Iapun langsung tahu bahwa itu adalah kakaknya sendiri. Untunglah, ia masih punya cukup kekuatan untuk menghalanginya.
"Untuk sementara, cukup seperti ini," kata Nanda. "Tapi waktu melawan Torga tadi, dalam sekejap aku merasa seperti akan kehilangan kendali atas kekuatanku... Ini bahaya! Sepertinya aku memang tidak bisa bertarung dalam kondisi begini."
Nanda diam sejenak.
"Baiklah," katanya kemudian. "Kalau begitu, cukup kubiarkan Torga terkurung di sini sampai kekuatanku tenang kembali. Setelah itu... baru akan kubereskan dia!"
* * *
* *
* * *
"Putri Aeon... Jadi ternyata seperti itu kisahnya," Ray berkomentar setelah mendengar keseluruhan cerita Reza. Tentang Putri alias Putri Aeon, sampai kejadian dengan Rexor. Juga tentang pertarungan Reza dengan Nanda.
"Tapi ada yang aneh," kata Ray lagi. Iapun menceritakan soal dokumen tentang Putri dan Ananda yang didapatkan oleh Dimas. "Bagaimana menurutmu, Reza? Apa mungkin Dimas mendapatkan informasi yang salah? Sepertinya jaringan informasinya itu bukan main-main."
"Entahlah, Kak Ray," sahut Reza. "Aku sendiri masih bingung. Kenapa aku bisa sampai lupa kejadian sepenting itu?"
"Putri sendiri seperti tidak ingat tentang jati dirinya. Atau dia cuma pura-pura? Tapi... menurutku tidak kelihatan seperti itu." Ray diam sejenak. "Oh iya, Reza... Motormu ada di mana?"
"Hah?" Reza agak terkejut ketika Ray tiba-tiba mengganti topik pembicaraan. "Mungkin masih tertinggal di kompleks perumahan itu, Kak. Atau mungkin di dunia serba putih itu... Entahlah... Waktu itu, sepertinya kekuatan Power Stone yang menyelamatkanku dan membawaku kemari. Aku sama sekali tidak sadar apa yang terjadi."
"Hmmm... Kalau begitu, aku akan cek ke sana," kata Ray sambil bangkit dari sofa.
"Kak Ray, aku ikut!"
"Nggak. Kamu tetap di sini."
"Tapi...! Masih ada hal yang tidak kupahami. Aku harus bertemu Putri!"
"Oke. Kalau begitu, berdirilah. Coba berubah wujud sekarang juga di depanku!"
Reza mengerutkan kening, tapi akhirnya diturutinya juga permintaan sang kakak.
"Beruba–Akh!?"
Sebelum proses perubahan wujud sempurna, tiba-tiba aliran energi dari Power Stone Hitam terganggu. Reza pun merintih tertahan dan refleks memegangi dada kirinya.
"Reza!" Ray berseru cemas. Lalu setengah memaksa Reza untuk duduk kembali. "Benar, 'kan? Kondisi tubuhmu dan Power Stone Hitam belum seratus persen pulih. Kalau ada apa-apa, kamu tidak mungkin bisa bertarung."
"Tapi... Kak Ray..."
"Pergi dengan kondisi seperti ini akan membahayakanmu," Ray menyela. "Paling tidak, istirahatlah sedikit lagi. Jangan khawatir. Kalau Putri adalah orang yang ingin kamu lindungi, maka aku juga akan melindunginya!"
* * *
Akhirnya, Ray berkendara sendirian menuju kediaman Putri. Begitu memasuki kompleks perumahan, ia langsung merasakan sesuatu yang tidak biasa. Pemuda itupun memperlambat laju motor merah kesayangannya. Tetap menuju rumah Putri dengan kewaspadaan penuh.
Sampai di tikungan terakhir, ia melihat cahaya misterius itu. Tiba-tiba muncul tanpa peringatan. Persis seperti yang diceritakan Reza.Ray berhasil menghentikan motornya sebelum terlalu dekat dengan cahaya itu. Ia melepas helm, lalu turun menghampiri cahaya itu dengan hati-hati. Hingga pada jarak dua langkah darinya, tiba-tiba Ray merasakan tubuhnya seperti terhisap. Kuat sekali. Sia-sia usaha Ray untuk melawan. Hanya dalam beberapa detik, iapun terhisap masuk ke dalamnya.
* * *
Ketika membuka mata setelah tenggelam dalam cahaya, Ray menemukan dirinya sudah berada di dalam dunia putih berkabut. Entah mengapa, Ray tidak bisa merasakan apa-apa. Dunia itu seperti dunia yang hampa. Kosong. Iapun melangkah maju, masih tetap waspada.
"Dek, kenapa?"
"Sakit, Kak... Sesak..."
Tiba-tiba Ray mendengar suara-suara samar. Seperti suara anak-anak. Tanpa membuang waktu, Ray mempercepat langkah menuju sumber suara itu. Iapun menemukan seorang anak laki-laki sedang berlutut di tanah. Dan di pelukannya ada anak perempuan yang lebih kecil, terlihat lemah.
"Kalian tidak apa-apa?" Ray berkata sambil menghampiri anak-anak itu, lalu ikut berlutut di dekat mereka.
"Kak... Tolong adik saya, Kak...," si anak laki-laki berkata, terlihat panik dan hampir menangis.
"Baiklah, kamu tenang dulu."
Ray mengeluarkan Power Stone Merah, lalu mendekatkannya ke anak perempuan itu. Ray berkonsentrasi, sementara Power Stone Merah bercahaya dan mengirimkan energi kepada anak itu. Tak begitu lama, kondisi anak itu sudah terlihat membaik.
"Kenapa kalian bisa ada di sini?" tanya Ray kemudian.
"Nggak tahu, Kak," si anak laki-laki menjawab. "Kami lagi main. Terus ada cahaya... Terus tau-tau kami ada di sini..."
"Sudah, jangan takut," sambil berkata begitu, Ray kembali mempersiapkan Power Stone Merah. "Kakak akan mengeluarkan kalian dari sini."
* * *
Nanda duduk diam bersila dengan mata terpejam. Ia terlihat sangat tenang, sebelum tiba-tiba tersentak dan membuka mata.
"Energi ini... Bima X? Dia sudah ada di sini?!" katanya. "Ini terlalu cepat!"
Nanda menarik napas dalam-dalam.
"Tidak. Aku tidak boleh terpancing," katanya lagi. "Sementara ini, biarkan saja dulu. Biar dia terkurung di tempat ini, sama seperti Torga. Aku harus cepat memulihkan diri!"
* * *
Ray sudah kembali menyusuri dunia berkabut tipis itu, setelah memulangkan anak-anak tadi ke dunia asal. Kenyataan bahwa ada orang lain di tempat ini cukup membuatnya cemas. Jangan-jangan masih ada orang-orang lain lagi yang juga 'terjebak' tanpa bisa keluar.Pemuda itu terus melangkah maju. Rasanya ia sudah jauh berjalan, tanpa menemukan ujung dan pangkal. Ini juga persis seperti yang diceritakan Reza.
TEP.
Tiba-tiba Ray menghentikan langkah.
"Nanda!" Ray berseru ke udara kosong. "Aku tahu kamu bisa mendengarku! Keluarlah! Aku ingin bicara!"
Ray menunggu, tapi tak ada reaksi apapun. Ia kembali melangkah maju, sampai entah berapa menit kemudian. Yang jelas, pemuda itu tiba-tiba merasakan bahaya yang sangat mengancam!
SET.
Ray cepat-cepat memasang Power Stone Merah ke changer-nya, sampai terdengar suara, "FLAME!"
"Berubah!" Ray berseru. Seketika, energi dari Power Stone Merah mengalir ke seluruh tubuhnya, mengubah sosoknya menjadi Satria Garuda Bima X Flame Mode.
"Garuda Shield!"
Bima X langsung membuat perisai energi dengan bentuk garuda, di depan tubuhnya. Ia memang sempat melihat, dari balik kabut ada cahaya samar berwarna kuning. Cahaya itu melesat tepat ke arahnya, menghantam Garuda Shield hingga hancur.
Bima X terdorong mundur selangkah, tapi serangan itupun gagal mencapainya. Meskipun begitu, ia masih merasakan 'bahaya'. Kali ini mendekat dengan kecepatan tinggi. Siapapun itu, dia langsung melancarkan pukulan-pukulan cepat, yang semuanya bisa ditahan oleh Bima X.
"Hah? Torga!" Bima X tersentak ketika akhirnya melihat siapa yang menyerangnya.
Pertarungan terhenti. Torga yang sekarang berdiri di hadapan Bima X, juga tak kalah terkejutnya.
"Bima?! Kok... kamu ada di sini?"
"Harusnya aku yang tanya," sahut Bima X. "Bukannya tadi kamu bilang mau pulang?"
"Aku berubah pikiran," Torga menyahut enteng. "Oh ya... Maaf, tadi aku menyerangmu. Kupikir Nanda... Aaargh! Entah kenapa naluriku jadi tumpul di tempat ini."
"Memangnya kamu tidak dengar suaraku?"
"Sama sekali tidak."
"Begitu, ya... Mungkin karena kabut ini. Aku merasa, ini bukan kabut biasa."
"Bisa jadi. Ngomong-ngomong... ini cuma perasaanku, atau kabutnya semakin tebal?"
Bima X dan Torga memandang berkeliling. Tanpa mereka sadari, kabut memang bertambah pekat. Jarak pandang mereka sudah berkurang sampai setengahnya.
"Hati-hati, Torga!" tiba-tiba Bima X berkata. "Ada yang datang!"
Bima X dan Torga berdiri dengan beradu punggung, sambil pasang kuda-kuda. Keduanya sudah bersiap-siap untuk menghadapi serangan mendadak. Namun, kemudian malah terdengar suara langkah kaki dari arah kanan Bima X atau dari kiri Torga. Mulanya samar, tapi semakin mendekat. Bersamaan dengan itu, kabut menipis. Sampai benar-benar hilang saat sang pemilik langkah kaki itu sudah berdiri di hadapan kedua Satria.
"Nanda!" Bima X dan Torga berkata hampir bersamaan, sambil memfokuskan perhatian kepada pemuda di hadapan mereka.
"Sepertinya dunia putih ini sudah tidak diperlukan lagi," kata Nanda. "Kalian berdua sudah ada di sini. Dan Azazel seharusnya sudah tidak bisa bergerak lagi. Kalau begitu... kita pindah ke tempat lain!"
Mendadak tempat itu dipenuhi cahaya terang keemasan. Bima X dan Torga kembali tenggelam dalam cahaya. Sekejap setelahnya, mereka benar-benar sudah berada di tempat yang berbeda. Sebuah tanah lapang berbukit. Tak jauh darinya ada barisan pepohonan lebat. Seperti hutan.
"Di mana ini?" Torga bertanya spontan.
"Ini adalah tempat di mana kakakku hampir kehilangan nyawa... gara-gara berusaha menyelamatkan Azazel!" Nanda menyahut penuh tekanan. "Kalau bukan karena Azazel, kakakku tidak akan menderita seperti sekarang..."
"Kenapa kamu menyalahkan semuanya pada Reza?" Bima X menyela. "Reza juga merasa terbebani dengan semua ini. Kau sudah bersikap tidak adil padanya!"
"Tidak adil, katamu?" Nanda mendengus, lalu tertawa. Sinis, tapi juga terbalut kepahitan. "Kalian pikir perlakuan kalian pada kami itu adil?!"
"Tunggu dulu!" kali ini Torga yang memotong pembicaraan. "Apa sih yang kalian bicarakan? Aku sama sekali tidak mengerti!"
Nanda mengepalkan tangan dengan rahang terkatup rapat. Pembicaraan ini telah membuat emosinya nyaris meletup ke permukaan. Namun ia masih menahan diri.
"Tidak mengerti, ya?" sahut Nanda. "Kalau begitu, akan kutunjukkan siapa kami sebenarnya!"
Nanda mengarahkan tatapan tajam menusuk kepada Bima X dan Torga. Seketika itu juga, keduanya merasakan sakit teramat tajam di kepala, seiring dengan kilasan-kilasan kejadian yang menyerbu masuk. Begitu banyak dan cepatnya, tapi entah bagaimana kedua Satria dapat memahami semuanya nyaris dalam sekejap.
"Ini... telepati?" Bima X berkata setelah semua itu berhenti.
"Jadi," Torga pun berujar, "kamu dan Putri...?"
"Biar kukatakan sejelas-jelasnya," sela Nanda. "Jika kekuatanku dan Kakak disatukan, maka itu akan setara, atau bahkan melebihi kekuatan semua Power Stone! Memang, itu bukanlah kekuatan yang berasal dari dunia ini. Karena itulah, dunia ini menolaknya. Dan Power Stone merasakannya sebagai 'ancaman'. Begitu, 'kan?"
"Apa–?"
"Padahal kami hanya ingin hidup dengan tenang," lagi-lagi Nanda memotong ucapan Torga. "Aku hanya ingin Kakak bahagia. Tapi, hanya karena kami datang dari planet lain, dunia ini menganggap kami 'musuh'. Dan kalian para Satria, memburu kami seperti penjahat!"
"Kami tidak pernah memburu siapapun!" tampik Bima X.
Nanda mendengus pelan, lalu berkata, "Oh, ya? Lalu kenapa kalian berusaha menyelidiki kakakku? Kenapa sekarang aku merasakan penolakan yang begitu tajam dari Power Stone kalian?!"
Kedua Satria tersentak. Kali ini tak bisa menjawab.
"Ini sudah cukup! Aku ada... hanya untuk mewujudkan harapan Kakak!"
Akhirnya Nanda melepaskan semua batasan yang selama ini menahannya. Ia membiarkan kekuatannya meluap, terwujud dalam aura keemasan yang menyelimuti seluruh tubuhnya. Yang terasa dari pemuda itu sekarang hanyalah 'ancaman'.
"Para Satria harus dimusnahkan!"
* * *
* *
* * *
Reza duduk bersandar di kursi teras. Tiba-tiba merasa gelisah tanpa alasan. Ia lalu beranjak ke halaman depan, kemudian berdiri diam di sana hanya pada jarak lima langkah dari batas beranda.
Pemuda itu memandang ke langit luas, dengan tatapan lurus. Tanpa keraguan, iapun menyerukan satu nama.
"Taranis!"
Biasanya, tak perlu waktu lama, Taranis pasti sudah muncul dan terbang ke genggaman tangannya. Namun kali ini, berapa lama pun ia menunggu, tidak ada yang datang.
Reza mengepalkan tangan, lalu berseru sekali lagi, "Taranis!"
Tetap tidak datang.
Reza tak bisa mencegah kenangannya yang kembali terbang ke kejadian itu. Ketika Taranis melindunginya dari Nanda.
Jangan-jangan Taranis benar-benar sudah hancur?
Pemikiran ini sempat terlintas di benak Reza, hingga ia nyaris mengutuk dirinya sendiri.
"Taranis..." Reza menggelengkan kepala, mencoba mengusir pemikiran itu. "Tidak. Ini tidak mungkin!"
"Reza!" tiba-tiba Reza mendengar suara lembut bergema memanggil namanya. Suara yang sangat dikenalnya.
Belum sempat pemuda itu bereaksi, tak jauh di hadapannya mendadak sang pemilik suara itu muncul entah dari mana, dalam selimut cahaya emas. Yaitu gadis yang sangat ingin ditemuinya hari ini.
"Putri!"
Bersambung...
Cerita Keenam -FIN-
Fanfic: Heidy S.C. 2015 ©
Fandom: Satria Garuda Bima X; RCTI, Ishimori Pro 2014-2015 ©
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top