Cerita Keempat: Cahaya Dan Kegelapan
"Jagalah kristal itu, sampai kau bisa menyerahkannya pada orang yang tepat..."
"Kami mohon..."
"Larilah! Putri!"
* * *
* *
* * *
Putih.
Cahaya putih.
Semuanya serba putih.
Aku seperti ada di antara mimpi dan kenyataan.
Antara ada dan tiada.
Duniaku sudah hancur.
'Tempatku' sudah tak ada lagi di manapun.
Aku sudah tidak peduli lagi.
Semua sudah tidak ada artinya.
Hampa.
Kosong.
* * *
* *
* * *
Jalanan kecil beraspal, masih basah bekas terguyur hujan semalam. Tanah luas ditumbuhi pepohonan tinggi di sepanjang sisi kanan dan kirinya. Pagi yang damai, hangat oleh sinar matahari yang lembut. Sepi. Hanya ada satu kendaraan yang melaju sendirian.
Pemuda itu -Reza- berkendara dengan kecepatan sedang. Penampilannya serba hitam, mulai dari motor, helm, tas ransel, sampai jaketnya yang juga mempunyai aksen garis-garis keemasan di beberapa tempat. Kecuali celana jins-nya yang biru seperti biasa, dan sepatunya yang berwarna coklat. Dan di jalanan kecil ini, laju motornya berkurang, sampai akhirnya berhenti.
Reza melepas helm, memperlihatkan wajahnya yang tampan, dengan tatapan mata yang tajam. Ia sedikit merapikan rambut hitam pendeknya, lalu mulai memperhatikan suasana sekitar. Benar-benar sepi, seolah tak ada satu makhluk pun di tempat itu selain dirinya. Kemudian Reza memandang changer miliknya, berupa gauntlet berwarna hitam dan emas, yang sejak tadi sudah siap terpasang di tangan kanannya. Pemuda itu mendekatkan changer-nya ke dada, lalu memejamkan mata. Berkonsentrasi. Power Stone Hitam yang terpasang di tengah-tengah changer, pelan-pelan bereaksi, memancarkan sinar keemasan yang berkedip-kedip beberapa saat. Setelah sinar itu hilang, barulah Reza membuka matanya kembali.
"Benar... Reaksinya dari sekitar sini," katanya pada diri sendiri. "Apa itu... Power Stone? Tapi... rasanya ada yang berbeda..."
Reza terdiam sejenak. Lalu, memutuskan untuk menyelidiki lebih lanjut.
* * *
* *
* * *
Langit sangat biru dan bersih, tanpa awan sepotong pun. Bahkan tak ada burung atau makhluk bersayap lain yang melintasinya. Begitu damainya, sampai tiba-tiba di langit yang sepi itu muncul sesuatu yang seperti retakan.
Ya, retakan bercahaya emas. Kecil, lalu meluas. Kemudian retakan-retakan itu mulai berjatuhan, menciptakan semacam lubang di langit. Dan di baliknya, seperti ada dunia lain yang hampa. Tidak terlihat apa-apa selain spektrum warna pekat dengan kombinasi yang aneh.
Dari dimensi hampa itu, sesuatu tiba-tiba mendesak masuk. Berupa bola cahaya keemasan yang cukup besar, dengan radius hampir satu meter. Bola itu bergerak cepat, masuk ke dunia ini. Sementara retakan-retakan di langit menutup kembali setelahnya. Sama cepat dengan terbentuknya, lubang di langit itupun tertutup lagi, seperti tak pernah ada apa-apa di sana.
Sementara, bola cahaya melayang turun ke bumi, sampai menyentuh tanah suatu jalan setapak. Dikelilingi pepohonan lebat, dan berbatasan dengan sungai beraliran deras di satu sisinya. Kemudian sinar keemasan itu memudar, dan bola cahaya pun pelan-pelan kehilangan bentuknya. Pudar, sampai benar-benar hilang.
Dan yang tersisa dari bola cahaya itu adalah sosok berwujud manusia. Diselimuti sinar emas, yang juga semakin pudar. Saat cahaya itu hilang, yang tertinggal di sana ialah sosok seorang gadis. Sama seperti gadis manusia pada umumnya.
Kedua mata gadis itu terpejam. Ia tidak terlalu tinggi atau pendek. Kulitnya putih. Wajahnya manis. Memiliki rambut lurus sebahu yang berwarna hitam kemerahan. Ia memakai hiasan rambut di sisi kanan kepalanya, berbentuk seperti rangkaian bunga kecil-kecil warna putih, sepertinya terbuat dari kain. Sama seperti hiasan rambut itu, pakaiannya pun serba putih. Model pakaian yang sangat asing, semacam gaun lengan panjang yang bahannya terlihat sangat halus, dengan bagian rok yang pendek di atas lutut. Pakaian itu berpadu sempurna dengan sepatu boot putih yang dihiasi detil-detil berwarna emas. Juga dengan aksesori berupa ikat pinggang indah yang juga berwarna emas.
Namun dibanding semua itu, yang paling menarik perhatian justru kalung berliontin, dengan hiasan kristal bening di tengah-tengahnya. Sisa-sisa cahaya emas terakhir berasal dari kristal itu. Masih sangat terang, dan baru hilang perlahan-lahan setelah sang gadis membuka matanya.
Dengan bola matanya yang hitam jernih, gadis itu memandang berkeliling. Tatapannya terlihat antusias.
"Pohon. Banyak pohon," tiba-tiba gadis itu berucap dengan suaranya yang lembut, lalu beralih melihat ke sisi kanannya. "Sungai. Jernih. Deras."
Kemudian gadis itu menatap langit dan berkata, "Langit. Biru."
Lalu ia memejamkan mata sejenak, sambil menarik napas dalam-dalam.
"Udara. Bersih. Segar," setelah berkata begitu, ia membuka mata lagi sembari tersenyum. "Bumi."
* * *
* *
* * *
Reza berjalan di antara pohon-pohon tinggi, sesekali harus menembus sesemakan. Sejauh ini, ia masih belum menemukan apa-apa.
Dalam beberapa menit, Reza memasuki area di mana pepohonan makin rapat. Dan di tempat itulah, tiba-tiba ia melihat prajurit VUDO, Kranion! Reza spontan bersembunyi di balik pohon terdekat. Mengamati lebih jauh, ternyata ada sepasukan Kranion. Mereka tampak bergerak tak tentu arah, seperti sedang mencari sesuatu.
Pada saat itulah, tiba-tiba Power Stone Hitam kembali bercahaya. Reza pun kembali bergerak, sambil tetap menyembunyikan diri dari pandangan para Kranion. Mengikuti nalurinya, dan dengan bantuan Power Stone Hitam, Reza dituntun ke arah yang belum dirambah VUDO.
Pencarian Reza berakhir di sebuah jalan setapak yang berbatasan langsung dengan sungai. Dan di situ, ia langsung disambut pemandangan yang sangat mengejutkan. Ada seorang gadis cantik berpakaian serba putih, sedang berdiri menghadap ke arah sungai, sambil mengulurkan tangan kanan lurus-lurus ke depan. Tak jauh di hadapannya, tampak seorang pria tua, dalam keadaan pingsan. Yang aneh adalah, tubuh pria itu melayang di dalam bola cahaya tipis keemasan, hanya beberapa jengkal di atas permukaan sungai. Reza segera menyadari, cahaya yang sama juga terpancar dari telapak tangan gadis berbaju putih tadi.
"Hei! Apa yang kaulakukan?" Reza berseru, sambil bergerak mendekat. "Lepaskan orang itu!"
Gadis itu spontan menoleh. Saat melihat Reza, ia tersentak.
"Kegelapan!" kata gadis itu tiba-tiba. Ia langsung mengarahkan tangan kirinya yang bebas kepada Reza. Gelombang energi keemasan yang sangat kuat, segera menghempas ke arah Reza, asalnya dari gadis itu. Reza tak sempat menghindar. Serangan mendadak itu menghantamnya, sehingga ia terlempar cukup jauh sampai menabrak sebatang pohon besar, dan akhirnya tersungkur ke tanah.
Sementara, gadis misterius itu menggerakkan bola cahaya berisi pria tua tadi, sampai bergeser dari sungai ke daratan. Ia lalu melenyapkan bola cahaya, dan dengan kekuatannya, perlahan-lahan dibaringkannya pria tua itu ke tanah.
Reza masih berusaha bangkit kembali, ketika tubuh si gadis misterius tiba-tiba diselimuti cahaya keemasan, lalu sosoknya pun lenyap dari pandangan. Reza segera mendekati si pria tua, tepat pada saat pria itu mulai tersadar kembali.
"Kakek tidak apa-apa?" tanya Reza sambil membantu pria itu bangkit kembali.
"Oh... Sungai... Tadi Kakek hampir tenggelam di sungai...," sahut pria tua itu. "Kamu yang menolong Kakek? Terima kasih, Nak."
Reza tersentak pelan. "'Menolong'...?"
"Nak? Ada apa?" pria tua itu bertanya, karena Reza tiba-tiba terdiam.
"Ah, tidak. Tidak apa-apa," sahut Reza. "Rumah Kakek di mana? Biar kuantar pulang."
"Tidak usah, Nak. Kakek bisa sendiri."
* * *
Si gadis misterius berbaju putih itu muncul kembali di bagian lain hutan. Masih dikelilingi pohon-pohon lebat, tapi jauh dari sungai. Gadis itu berdiri diam lama. Ekspresinya yang tadi cerah, kini berubah mendung.
"Kenapa?" katanya. "Di tempat indah ini juga ada... kegelapan."
"Kujara!"
Di tengah kegelisahannya, si gadis dikejutkan seruan itu. Tiba-tiba saja dilihatnya sudah ada beberapa makhluk berwujud seperti manusia. Warna tubuh mereka dominan coklat tua, dan bermotif garis-garis merah tak beraturan, serta memiliki bagian mulut mirip tengkorak. Mereka juga membawa senjata berupa tongkat. Mulanya hanya ada tiga, lalu mereka memanggil teman-temannya.
"Prajurit VUDO," kata si gadis, spontan. "Kranion!"
Para Kranion mengepung gadis itu, dengan tongkat siaga di tangan. Namun sang gadis misterius itu, hanya menghela napas pelan, lalu menghilang lagi dalam selimut cahaya emas.
* * *
Reza sudah kembali pada niatnya semula, menyelidiki sumber energi misterius yang mirip Power Stone. Harus sedikit sembunyi-sembunyi, karena beberapa kali ia nyaris berpapasan dengan para Kranion. Selain itu, ia juga masih memikirkan gadis berbaju putih yang tadi ditemuinya. Kekuatan yang dimiliki gadis itu sedikit banyak membuatnya was-was. Namun saat ini ia lebih mengkhawatirkan keberadaan VUDO, yang sepertinya sedang menjelajah seluruh bagian hutan.
"Sebenarnya apa yang mereka cari?" Reza menyuarakan pertanyaan yang sejak tadi terus memenuhi benaknya. Ia sendiri kini tengah berada di tempat yang menurutnya aman. Masih di tengah-tengah hutan itu juga, tapi cukup jauh dari para Kranion.
"Jangan-jangan," kata Reza lagi, "sama dengan yang sedang kucari?"
Tiba-tiba Reza merasakan sebentuk energi asing sedang bergerak mendekat. Bersamaan dengan Power Stone Hitam yang mengeluarkan cahaya emas berkedip-kedip.
"Reaksi ini?!"
Reza segera bersiaga. Detik berikutnya, bola cahaya keemasan yang bersinar lembut, dengan radius hampir satu meter, mendadak muncul hanya beberapa langkah di hadapannya. Ketika cahaya itu hilang, yang tampak di sana adalah sosok gadis misterius berbaju putih itu!
Mendadak sudah berdiri berhadap-hadapan, Reza dan gadis itu sama-sama kaget. Gadis itu bahkan langsung mengarahkan telapak tangan kanannya lurus-lurus ke arah Reza, dengan sikap tubuh siaga penuh.
"Tunggu!" Reza -teringat gelombang energi luar biasa yang menghantamnya beberapa saat lalu- cepat-cepat berseru. "Kenapa kamu menyerangku?"
Gadis itu sepertinya batal melepaskan serangan. Namun ia masih sangat waspada, sambil menatap tajam ke arah Reza.
"Kegelapan...," katanya kemudian. "Aku benci kegelapan!"
"Apa...?"
Reza terdiam. Ia memandang sejenak Power Stone Hitam pada changer di tangan kanannya yang masih berkedip-kedip, lalu kembali menatap ke depan. Saat itulah, ia baru sadar bahwa gadis itu gemetaran.
"Kamu... jangan-jangan... takut padaku?" kata Reza sembari melangkah maju.
"Jangan mendekat!" seruan ini menghentikan langkah Reza.
"Baiklah... Aku tidak akan mendekat," Reza berkata pelan-pelan, sambil tetap berdiri di tempatnya. "Tenanglah dulu."
Butuh beberapa detik sampai gadis itu lebih tenang. Iapun akhirnya menurunkan tangan kanannya. Namun matanya tetap menatap Reza penuh curiga.
"Tolong dengarkan aku," kata Reza lagi. "Kekuatan yang kaumiliki itu, mungkin akan menarik perhatian orang-orang jahat. Pokoknya... kita harus segera pergi. Di sini berbahaya–!"
"Kujara!"
Baru saja Reza selesai bicara, Kranion muncul di tempat itu. Mulanya cuma satu, lalu sepasukan Kranion datang. Jumlahnya belasan.
"Kujara! Kujara! Kujara!!" para Kranion itu berseru, sambil mengepung Reza dan gadis itu, dengan tongkat siap di tangan.
"Kranion!" Reza berseru sambil mempersiapkan diri untuk pertarungan. "Taranis!"
Memenuhi panggilan Reza, muncul dari langit dibarengi suara pekikan khasnya, pedang garuda hitam, Taranis. Ia langsung terbang ke arah para Kranion dan menyerang mereka, sekaligus membukakan jalan bagi Reza. Tak mau buang waktu, Reza meraih pergelangan tangan si gadis berbaju putih.
"Ayo!" katanya sambil menarik gadis itu pergi.
Terlalu kaget untuk bereaksi apapun, gadis itu menurut saja. Ia mengikuti langkah Reza menjauhi para Kranion. Terus berlari, hingga keluar dari kepungan pepohonan, dan tiba di sebuah tanah lapang. Langkah mereka terhenti di tengah-tengahnya, karena gadis itu tiba-tiba berontak, lalu menyentak tangannya sampai terlepas dari Reza.
"Lepaskan!" katanya. "Aku bisa melindungi diriku sendiri!"
Reza diam sejenak.
"Maafkan aku," katanya kemudian. "Yang penting sekarang kita harus menjauh dari tempat ini..."
"Kalian tidak akan ke mana-mana!"
Sebuah suara berat mendadak terdengar di tempat itu. Hampir bersamaan, seseorang muncul tiba-tiba tak jauh dari Reza. Ia memakai semacam jubah panjang warna hitam yang menutupi nyaris seluruh tubuhnya, serta bertudung. Hanya memperlihatkan sedikit tangan dan bagian wajah yang berbentuk seperti kepala dinosaurus. Tak lama setelah kemunculannya, sepasukan Kranion juga ikut muncul di belakangnya.
"Rexor!?" seru Reza.
Sosok berjubah hitam itu, Rexor, menyahut tenang, "Satria Azazel. Kalau kau masih sayang nyawamu, sebaiknya jangan ikut campur. Urusanku adalah dengan gadis itu!"
"Tidak akan kubiarkan!"
Reza menempatkan diri di depan gadis itu, merentangkan lengan kiri ke samping dengan sikap melindungi.
Rexor tertawa. "Ha ha ha ha... Kau pikir kekuatanmu sepadan denganku?"
"Sepadan atau tidak, tugasku sebagai Satria adalah... melindungi orang-orang dari makhluk seperti kalian!" Reza berseru tanpa ragu. "Berubah!"
Diiringi cahaya emas dan suara, "DARK!" dari changer di tangan kanannya, sosok Reza diselimuti cahaya keemasan berkombinasi dengan warna hitam. Dan tak jauh darinya, gadis berbaju putih itu memandangnya sambil terpaku. Sampai ketika Reza sudah berubah wujud ke sosoknya yang lain. Yang terlindungi full body armor berwarna dominan hitam, dengan sedikit aksen berwarna merah di bagian badan, sedikit emas di pergelangan tangan, kaki, serta helmet-nya, ditambah hiasan kecil di kepala yang berbentuk seperti kepala burung. Tak lupa, logo yang membentuk seperti huruf "A" di dada kiri. Pahlawan yang bertempur menggunakan kekuatan kegelapan.
"Mikhail," tiba-tiba gadis itu berkata, masih sambil menatap sosok perubahan wujud Reza lekat-lekat. Dan tentu saja, Reza tersentak kaget, mendengar lagi nama yang sudah lama tak pernah dipakainya, diucapkan oleh orang yang sama sekali tidak dikenalnya.
"Reza Bramasakti. Satria Garuda Azazel," gadis itu berkata lagi. "Pelindung bumi."
"Hm?" Rexor masih diam di tempatnya. Namun tampaknya ia jadi sangat tertarik dengan tingkah laku gadis itu. Dan sekarang gadis itu malah beralih menatapnya.
"Rexor," sang gadis misterius berkata. "Death Phantoms. Panglima Kerajaan VUDO. Orang jahat!"
"Jahat, katamu? Ha ha ha ha...," Rexor malah tertawa kecil. "Jadi begitu? Kemampuan pemahaman sekejap hanya dengan sekali melihat. Itukah kekuatanmu? Sungguh mengagumkan!"
"Apa yang kalian inginkan dari gadis ini?" Reza alias Azazel pun bertanya.
"Sudah jelas, bukan? Aku menginginkan kekuatannya," sahut Rexor. Kemudian ia menatap lurus ke arah gadis itu dan berkata, "Sungguh, aku tidak ingin bersikap kasar. Mohon ikutlah denganku, wahai sang pemilik kekuatan cahaya terbesar di alam semesta, Putri Aeon."
"Putri Aeon?" Azazel berkata sambil memandang sejenak ke arah sang gadis berbaju putih.
"Aku tidak mau," gadis yang dipanggil 'Putri Aeon' itu menyahut lugas. "Kata-katamu manis, tapi kau punya maksud buruk. Tidak ada yang bisa menipuku."
"Oh... Benar juga," Rexor masih tampak sangat tenang. "Apa boleh buat, sepertinya memang harus dengan cara kekerasan... Kranion!"
Dengan aba-aba dari Rexor, para Kranion maju menyerang. Tepat pada saat itu juga, Taranis terbang keluar dari arah hutan, dan langsung berputar-putar menebas beberapa Kranion hingga hancur.
"Taranis!" Azazel memanggil pedang itu ke tangannya. Iapun berlari mendatangi para Kranion yang masih tersisa, menebas mereka satu-persatu. Dalam waktu singkat, belasan Kranion sudah hancur tanpa sisa.
"Taranis Black Thunder!" sambil menyerukan nama jurusnya, Azazel melepaskan energi petir dari Taranis, langsung ke arah Rexor. Panglima VUDO itu hanya merespon dengan melepaskan energi merah dari tangan kanannya, dalam satu gerakan ringan. Dua kekuatan bertabrakan, lalu terjadi ledakan, dan keduanya lenyap.
Rexor melihat Azazel tetap bergerak mendekatinya. Iapun memutuskan untuk berubah ke wujud Great Monster. Wujud yang sangat mengerikan, monster berbasis Tyranosaurus Rex, dengan warna tubuh dominan merah. Sosok yang mampu menggetarkan hati siapapun yang melihatnya, tak terkecuali Azazel. Namun ia mengabaikan hal itu dan terus maju, hingga cukup dekat dengan Rexor, sampai pada jarak untuk bisa menebaskan pedangnya.
TRAKK!
Di luar dugaan Azazel, Rexor menahan tebasan Taranis hanya dengan lengan kirinya. Begitu saja! Dan tanpa bergerak selangkah pun dari posisi semula.
"Lemah!" hanya satu kata sinis ini yang terucap dari Rexor. Iapun ambil ancang-ancang, dan langsung bersiap melancarkan pukulan keras dengan tangannya yang masih bebas!
* * *
Sejak pecahnya pertarungan antara Azazel dengan para Kranion, lalu dilanjutkan dengan Rexor, sang Putri Aeon terus berdiri mengamati dari jarak yang aman.
"Rexor... sangat kuat," gadis itu berkomentar ketika semua serangan Azazel dimentahkan oleh Rexor.
Dari jauh, dilihatnya Rexor baru saja membuat Taranis terlepas dari tangan Azazel, lalu terlempar jauh. Merekapun melanjutkan pertarungan dengan tangan kosong, saling bertukar pukulan. Sang Putri melihat, Rexor-lah yang lebih unggul.
SET.
Pelan-pelan, Putri Aeon mengulurkan tangan kanan, dengan telapaknya terarah lurus kepada Rexor. Ia mengukur kekuatan Rexor, kekuatan Azazel, dan kekuatannya sendiri. Ia tahu, jika sekarang melepaskan serangan dengan energi yang cukup besar, maka Rexor pasti bisa dikalahkan...
"Hah?" mendadak sang Putri terkesiap. Ia menarik tangannya kembali, dan memandangnya sejenak. Setelah itu ia mengarahkannya sekali lagi kepada Rexor. Sama seperti sebelumnya, tidak terjadi apa-apa.
"Kekuatanku... tidak mau keluar," kata Putri Aeon sambil menarik tangannya lagi. "Kenapa...?"
* * *
Azazel tengah melepaskan pukulan-pukulan beruntun kepada Rexor, dari jarak yang sangat dekat. Taranis telah terlepas dari tangannya. Dan serangannya tampak tidak berpengaruh banyak terhadap Rexor. Lawannya itu bahkan lebih banyak bertahan, dan sejauh ini hanya terdorong mundur sedikit.
"Hiyaaah!" Dengan mengumpulkan energi di tangan kanan, kali ini Azazel mengerahkan satu pukulan yang jauh lebih kuat.
Rexor merasakan hal itu. Ia pun mengumpulkan energi merah di tangan kanannya, lalu menangkap pukulan Azazel yang terarah padanya. Azazel yang terkejut, spontan menarik tangannya, sementara kedua energi tadi telah padam. Namun Rexor tidak melepaskan cengkeramannya.
"Apa kau sudah selesai?" Rexor berkata, masih terdengar tenang. "Sekarang giliranku!"
Mendadak Rexor melepaskan cengkeramannya. Ditambah satu dorongan kuat, yang membuat Azazel terpaksa mundur dua-tiga langkah. Sementara Rexor mengejar dengan serangan berupa pukulan-pukulan cepat. Azazel tidak bisa menghindar, apalagi menyerang balik. Sampai akhirnya, Rexor melepaskan pukulan penghabisan dari arah bawah, uppercut yang dilapisi energi merah!
Azazel terlempar beberapa meter ke belakang, lalu terhempas ke tanah. Namun, meski harus menahan sakit, ia segera bangkit kembali.
"Taranis!" sekali lagi, Azazel memanggil sang partner ke tangannya, dan langsung mempersiapkan serangan berikutnya. "Black Thunder!"
Petir hitam dilepaskan ke arah Rexor. Sangat cepat, hingga tak sempat dihindari. Namun Rexor masih tenang-tenang saja, seolah serangan itu tak berarti baginya. Azazel cukup terkejut, tapi daripada itu, ia lebih memikirkan hal lain. Entah apakah hanya perasaannya, ia merasakan tenaganya melemah saat melepaskan Black Thunder tadi.
"Dark Shoot!" Azazel menyambung dengan serangan berikutnya. Tembakan bola energi dari tangan kiri. Kali ini, ia merasakan lebih jelas, tenaganya memang berkurang! Ia masih melepaskan Dark Shoot beberapa kali lagi. Tiap lontaran energi itu melemah dan terus melemah. Bahkan pada akhirnya, ia gagal mengeluarkan Dark Shoot sama sekali!
"Kenapa ini?!" Azazel tersentak.
Sementara itu, Rexor berjalan mendekat setelah serangan Azazel terhenti. Ia telah menerima baik Black Thunder maupun Dark Shoot begitu saja, tanpa berniat menghindar sedikit pun. Dengan beda kekuatan yang cukup besar, ia bisa menahan semua serangan itu, tanpa menimbulkan kerusakan berarti pada tubuhnya. Namun ia juga merasakan 'keanehan' yang baru saja terjadi pada Azazel, dan itu cukup membuatnya tertarik.
"Ada apa, Satria Azazel?" kata Rexor, masih sambil mendekat. "Apa kau sudah tidak sanggup bertarung lagi?"
Kegamangan kembali menyergap hati Azazel. Namun akhirnya ia mengeratkan genggaman pada gagang Taranis, lalu bersiap untuk serangan berikutnya.
"Taranis Slug–Hah?!"
Jurus Azazel terhenti, karena tiba-tiba ada yang mencengkeram pergelangan tangan kanannya dari samping. Ternyata sang Putri Aeon, yang entah sejak kapan sudah berada di sisinya. Sebelum Azazel sempat bereaksi apapun, cahaya emas memancar dari tubuh gadis itu, lalu dengan cepat menyelimuti mereka berdua. Detik berikutnya, sosok Azazel dan sang Putri sudah lenyap dari pandangan.
"Teleportasi?" kata Rexor yang mau tidak mau kaget juga dengan kejadian tiba-tiba itu. "Melarikan diri, ya... Heh heh heh... Percuma saja. Aku pasti akan segera menemukan kalian!"
* * *
Putri Aeon muncul kembali bersama Azazel di antara pepohonan lebat. Azazel melepaskan Taranis, yang lalu terbang menghilang ke langit. Ia sendiri langsung jatuh berlutut, dan berubah kembali ke wujud manusianya. Tampak kesakitan sambil memegangi dadanya dengan tangan kanan.
"Ini bagian hutan yang jauh dari tanah lapang tadi," sang Putri menjelaskan tanpa diminta. "Kamu tidak bisa menang melawan Rexor... Makanya kupindahkan kita kemari."
Putri Aeon ikut berlutut di dekat Reza, lalu berkata, "Kamu terluka."
Gadis itu mengarahkan telapak tangan kanan ke dada Reza, tanpa menyentuhnya. Cahaya lembut keemasan bersinar dari sana. Kecil saja, dan terasa hangat.
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Reza.
Tidak dijawab. Namun Reza merasakan sakitnya pelan-pelan berkurang, sampai akhirnya hilang sama sekali. Sang Putri pun menarik tangannya kembali.
"Kamu... menyembuhkanku?" kata Reza, masih agak terkejut. "Terima kasih."
Putri Aeon diam sambil menatap Reza. Ada sesuatu tengah bergejolak di sana. Kemudian ia bangkit, dan berdiri membelakangi Reza.
"Kenapa... Kenapa kamu menolongku?" gadis itu bertanya. "Kenapa melindungiku, sampai mengorbankan dirimu sendiri? Padahal kita baru bertemu. Padahal aku sudah menyerangmu."
"Tidak perlu alasan untuk menolong orang," jawab Reza. "Seperti kamu menolong kakek itu ketika hampir tenggelam di sungai."
Putri Aeon terdiam sejenak. Gejolak itu masih menyala di matanya, tapi tatapannya sedikit melembut.
"Kamu orang baik."
Setelah berkata begitu, sang Putri menghampiri pohon terdekat, lalu bersandar santai ke sana.
"Planet ini memang aneh, ya?" katanya lagi. "Beda sekali dengan tempat asalku."
Reza tak sepenuhnya mengerti ucapan gadis itu. Namun, akhirnya ia melontarkan satu pertanyaan yang mengusiknya sejak awal, "Memangnya, dari mana asalmu?"
"Tempat yang sangat jauh," gadis itu menjawab juga. "Tapi tempat itu sekarang sudah tidak ada lagi. Planetku... Rumahku... Duniaku... sudah dihancurkan oleh kegelapan..."
Reza tersentak. Ia menatap gadis itu, dan bisa melihat dengan jelas kepedihan di matanya.
"Jadi karena itukah... kamu membenci kegelapan?" tanya Reza hati-hati.
"Tempat asalku adalah dunia yang berlimpah dengan kekuatan cahaya," gadis itu tampaknya akan memulai cerita yang sangat panjang. "Dan aku adalah penjaga kekuatan cahaya terbesar yang ada di sana. Kristal Aeon."
Gadis itu menunjukkan kristal bening yang dijadikan liontin kalungnya, kepada Reza.
"Mungkin hampir seperti Power Stone yang ada di dunia ini," lanjut sang Putri. "Sejak kecil, aku diberitahu bahwa kegelapan adalah musuhku. Sumber kejahatan, yang bisa menghancurkan dunia kami kapan saja. Dan memang itulah yang terjadi."
Gadis itu menerawang jauh. Matanya berkaca-kaca.
"Jadi... semua orang melindungiku, dan memintaku melindungi kristal ini, agar jangan sampai jatuh ke tangan musuh kami," Putri Aeon masih menyambung ceritanya. "Lalu aku terus berpindah-pindah, dari satu dunia ke dunia yang lain."
"Berpindah-pindah...," ulang Reza. "Sudah berapa lama seperti itu?"
"Entahlah... Rasanya sudah lama sekali."
"Dan orang-orang di duniamu? Apa ada kemungkinan mereka masih..."
"Tidak," Putri Aeon memotong kata-kata Reza. "Waktu meninggalkan planetku, bisa kurasakan dengan jelas... energi kehidupan mereka satu-persatu telah padam. Semuanya. Tidak ada lagi yang tersisa. Hanya tinggal... aku sendiri."
Reza terdiam, tidak yakin harus menanggapi bagaimana.
"Tapi... itu cerita lama," Putri Aeon berkata lagi. Nada suram sudah terangkat dari suaranya. "Masa lalu yang sudah kutinggalkan–"
Ucapan sang Putri mendadak terputus. Iapun menegakkan tubuhnya dan tampak lebih waspada.
"Ada apa?"
"... Rexor!" gadis itu menyahut. "Dia mendekat ke sini. Ayo! Kita harus pergi!"
* * *
Hanya dalam hitungan detik, Reza sudah dibawa berpindah lagi. Masih di dalam hutan juga, tapi kali ini di dekat sungai. Begitu menginjakkan kaki di sana, Putri Aeon tampak menarik napas panjang sambil memejamkan mata, sementara tangan kanannya menggenggam kristal pada kalungnya.
"Kamu baik-baik saja?" Reza bertanya, tak urung cemas.
"Hanya sedikit lelah," jawab gadis itu sambil membuka mata. Tepat di arah pandangnya, kebetulan ada sebongkah batu sungai yang besar. Iapun mendekati batu itu dan langsung duduk di sana. "Kurasa, hari ini aku terlalu banyak memakai kekuatanku."
Tatapan Reza menajam.
"Kamu bermaksud terus main kejar-kejaran seperti ini? Sama seperti kamu menghindari musuhmu selama ini dengan berpindah-pindah dunia?" tanya Reza tiba-tiba.
"Apa boleh buat, 'kan?" sahut gadis itu. "Meski punya kekuatan ini, tapi aku bukan tipe petarung sepertimu."
"Kalau begitu, serahkan saja pertarungannya padaku–," sampai di situ, Reza memutus ucapannya sendiri. "Benar juga. Saat ini, kekuatanku..."
"Tidak bisa digunakan," sang Putri menyela. "Ini baru dugaanku, tapi... sepertinya hal itu terjadi karena kekuatan kita berdekatan, dan menjadi tidak stabil. Entah bagaimana denganmu, tapi ini baru pertama kalinya Kristal Aeon berada sedekat ini dengan kekuatan yang bertolak-belakang dengannya."
"Begitu, ya... Cahaya dan kegelapan," sahut Reza. "Tapi, daripada 'bertolak-belakang', bukankah lebih tepat disebut 'berpasangan'?"
"Eh?"
"Seperti siang dan malam. Saling melengkapi. Maksudku... Kenapa cahaya disebut 'cahaya'? Bukankah itu karena ada kegelapan? Tidak akan ada cahaya tanpa kegelapan. Begitu juga sebaliknya. Iya, 'kan?"
Mata sang Putri membulat.
"Aku... tidak pernah memikirkannya seperti itu...," katanya. "Iya, ya... Benar juga."
Reza tersenyum tipis. Dan Putri Aeon membalasnya dengan senyuman yang paling tulus.
* * *
* *
* * *
Untuk yang ketiga kalinya, Putri Aeon berteleport bersama Reza. Tempat terakhir yang mereka tuju adalah tanah lapang yang menjadi lokasi pertarungan Azazel dan Rexor sebelumnya.
"Kamu yakin akan melakukan ini?" tanya sang Putri. "Memang, kurasa ketidakstabilan kekuatan kita hanya sementara. Tapi... sangat berbahaya bertarung dengan kondisi begitu, 'kan?"
"Aku tahu. Tapi kalau tidak diselesaikan sekarang, mereka akan terus mengejarmu!"
"Tapi... dengan kondisi ini, aku hanya bisa memakai kekuatanku untuk teleportasi. Kalau ada apa-apa, aku tidak yakin bisa membantumu..."
"Tidak apa-apa," Reza memotong kata-kata gadis itu. "Power Stone pasti akan menjawab perasaanku. Perasaan yang ingin melindungimu!"
Putri Aeon tersentak. Wajahnya sempat memerah.
"Oh ya, aku belum tahu namamu," tiba-tiba Reza berkata. "'Putri Aeon' itu hanya gelar, 'kan? Siapa namamu yang sebenarnya?"
"Nama itu sudah kubuang sejak aku menerima tugas sebagai 'Putri Aeon'."
"Kalau begitu, aku akan memanggilmu... 'Putri'... Apa boleh?"
"Kedengarannya bagus. Boleh saja."
"Baiklah... Putri." Reza tampak mulai mempersiapkan diri untuk pertarungan. "Mereka datang!"
Tak lama kemudian, Rexor dalam sosoknya yang berjubah hitam, muncul di hadapan Reza dan Putri. Bersama sepasukan Kranion.
"Ho... Kalian sudah tidak mau melarikan diri lagi?" tanya Rexor. "Tampaknya kekuatanmu belum pulih. Lalu bagaimana kau akan melawanku, Satria Azazel?"
"Taranis!"
Menjawab tantangan Rexor, Reza memanggil pedangnya ke tangan. Rexor pun memerintahkan Kranion untuk menyerang. Tanpa berubah wujud, Reza menebas para Kranion satu-persatu hingga musnah tanpa sisa. Kemudian, ia langsung berlari ke arah Rexor, dan menebaskan Taranis kepadanya!
GREP!
Rexor berubah ke wujud Great Monster, lalu mencengkeram pergelangan tangan Reza yang menggenggam Taranis.
"Bertarung dalam wujud manusia? Apa kau sudah gila? Huh!"
Dalam satu gerakan ringan, Rexor membanting Reza hingga terkapar di tanah. Ia masih mengejar dengan menghantamkan kakinya ke tubuh Reza, tapi pemuda itu cepat-cepat berguling menghindar ke samping.
Reza bangkit kembali sambil menatap Rexor dengan tajam. Iapun mengepalkan tangannya yang masih menggenggam Taranis. Pemuda itu menarik napas dalam-dalam, lalu melepaskan pedangnya, yang langsung terbang menjauh. Setelah itu, ia mendekatkan changer ke dada, berkonsentrasi penuh. Tak lama, Power Stone Hitam bereaksi, memancarkan cahaya emas yang berkedip-kedip beberapa kali.
"Berubah!" Reza pun berseru, dan seketika itu juga, kekuatan dari Power Stone Hitam menyelimutinya, mengubah wujudnya menjadi sosok ksatria pengguna kekuatan kegelapan. "Satria Garuda! Azazel!"
Setelah Azazel menyerukan namanya sendiri, Taranis kembali terbang mendekat. Berputar mengelilingi Azazel sekali, lalu kembali ke genggaman tangannya.
"Taranis Black Thunder!"
Petir dari Taranis dilepaskan, tapi jurus itu –seperti yang sudah-sudah– dipatahkan Rexor dengan sekali kibas.
"Taranis Slugger!"
Azazel melepas serangan berikutnya, melemparkan Taranis yang kemudian terbang berputar-putar menyerang Rexor. Azazel sendiri segera berlari mendekati Rexor. Ketika Rexor memukul Taranis hingga terpental tepat ke arahnya, Azazel segera menangkapnya. Taranis kembali ke tangan pemiliknya, yang langsung menyerang Rexor dengan tebasan bertubi-tubi. Namun serangan inipun tampaknya tidak terlalu berpengaruh pada Rexor.
"Ternyata memang cuma segini kekuatanmu?" kata Rexor. "Sayang sekali!"
Rexor melepaskan pukulan keras yang langsung memukul mundur Azazel. Benar-benar hanya mengandalkan kekuatan fisiknya yang sangat besar itu, pukulan demi pukulan dari Rexor, menghantam sasarannya dengan keras dan telak. Dan ditutup dengan pukulan uppercut andalan Rexor. Azazel terlempar ke belakang hingga terhempas ke tanah. Ia segera berusaha bangkit, tapi efek serangan-serangan tadi memberikan rasa sakit yang memaksanya kembali jatuh berlutut.
"Azazel!" mendadak terdengar seruan cemas sang Putri Aeon.
Azazel tersentak. Iapun menoleh sejenak ke arah yang berlawanan dengan Rexor. Di belakangnya, ada gadis itu. Seseorang yang saat ini harus dilindunginya!
"Aku berjanji, Putri," kata Azazel. "Aku... pasti akan melindungimu!"
"Buang-buang waktu!" kata Rexor. Kali ini ia memposisikan kedua lengannya secara vertikal dan paralel di depan dada. Iapun mulai mengumpulkan energi merah yang cukup besar, tampaknya mempersiapkan jurus yang kuat. "Tyranno Bomber!"
Bola energi merah dilepaskan ke arah Azazel, yang masih belum mampu bangkit kembali. Ledakan dahsyat terjadi, hingga sosok Azazel sempat tertutup api ledakan. Ketika semua itu hilang, yang terlihat adalah Azazel yang roboh ke tanah, lalu berubah kembali ke wujudnya semula.
"Masih bisa bertahan rupanya. Hebat juga!" komentar Rexor, sementara dilihatnya Reza masih bergerak dan berusaha bangkit, meski itu lebih sia-sia daripada sebelumnya. "Tapi... kalau kuserang sekali lagi dalam wujud manusia seperti itu, riwayatmu akan berakhir... Satria Azazel!"
Rexor kembali bersiap melepaskan jurusnya. Reza kini di ujung tanduk, masih belum mampu bangkit kembali.
"Tyranno Bomber!"
Serangan itu dilesatkan kepada Reza dalam detik-detik yang terasa lambat. Reza sudah nyaris pasrah, karena memang tidak ada lagi yang bisa dilakukannya. Mau menghindar sekarang pun percuma.
Sudah terlambat.
"HENTIKAAAAAN!!!" mendadak seruan ini terdengar. Suara Putri Aeon, yang penuh kesedihan, kecemasan, kemarahan. Semua emosi bercampur aduk. Berbarengan dengan gelombang energi luar biasa yang menyapu segalanya. Cahaya keemasan yang berasal dari gadis itu, meluas dalam sekejap. Menelan segalanya.
* * *
Reza membuka mata, dan menemukan dirinya terbaring di tempat yang serba putih. Agak berkabut. Masih menahan sakit di seluruh tubuhnya, ia bangkit berdiri, lalu melihat berkeliling. Tak ada siapapun selain dirinya sendiri.
"Di mana ini?" tanya Reza. Sementara jarak pandangnya terbatas karena kabut.
"Dunia kecil yang tidak sengaja kuciptakan," tiba-tiba Reza mendengar suara Putri Aeon dari arah belakang. Ia langsung berbalik dan melihat gadis itu sudah berdiri beberapa langkah di hadapannya. "Sepertinya begitu."
"Putri!" kata Reza. "Apa semua ini?"
"Di sini, waktuku dan waktumu terhenti. Tapi... tempat ini cuma perlindungan sementara," Putri menjawab. "Reza. Maukah kamu menerima kekuatan Kristal Aeon?"
"Hah? A-Apa?"
"Saat ini, aku sendiri tidak bisa mengendalikan kekuatannya." Putri menatap Reza lekat-lekat. "Apa kamu tidak mengerti? Rexor sudah melepaskan serangannya. Kalau dibiarkan seperti ini, kamu akan terbunuh!"
Reza tersentak. "Benar juga. Kalau seperti itu, aku tidak bisa menepati janji untuk melindungimu..."
"Bukan begitu!" Putri berseru menyela. Tatapan matanya sempat dikuasai emosi, tapi kemudian mereda. Iapun melanjutkan dengan merendahkan suaranya, "Bukan begitu... Kenapa? Kenapa malah memikirkan aku? Sekarang ini nyawamu yang dalam bahaya!"
Reza dan Putri saling menatap dalam diam.
"Aku baru tahu... kalau kegelapan juga bisa terasa 'hangat'...," tiba-tiba Putri berkata. "Ternyata kekuatan kegelapan bisa digunakan seperti itu. Untuk berjuang. Untuk melindungi. Bukan untuk menghancurkan."
"Putri..."
Gadis itu melepaskan Kristal Aeon dari liontin kalungnya. Ia mengulurkan tangan kanan ke arah Reza, sementara benda itu bersinar keemasan di telapaknya.
"Kamu benar. Aku sudah lelah berlari. Dan akhirnya sudah aku temukan, Kristal Aeon ini bisa kupercayakan pada siapa," kata Putri. "Ambillah. Kalahkan Rexor dengan kekuatan ini."
"Lalu setelah itu?" Reza masih belum mengambil tindakan. "Apa yang akan terjadi padamu?"
"Aku adalah penjaga," sahut Putri. "Kalau Kristal Aeon sudah berada di tangan yang tepat, berarti peranku sudah selesai."
"Maksudmu...?"
"Aku akan lenyap."
Lagi-lagi ucapan Putri membuat Reza tersentak.
"Apa... katamu?"
"Kristal Aeon akan sepenuhnya jadi milikmu. Dan keberadaanku tidak lagi diperlukan." Reza tercengang mendengar betapa mudahnya Putri bisa mengatakan hal seperti itu. "Aku ini Putri Aeon. Aku tahu semuanya. Bukankah kamu ingin menjadi lebih kuat? Untuk membantu seseorang yang sangat penting dalam hidupmu. Untuk melindungi semua yang kaucintai. Bukankah itu yang kamu inginkan...?"
"Jangan bercanda!" Reza cepat-cepat memotong. "Kalau demi itu harus mengorbankan orang lain... Kekuatan seperti itu... aku tidak butuh!"
Putri tersenyum lembut.
"Kamu memang orang baik," katanya. "Kalau kamu yang memiliki Kristal Aeon, aku bisa tenang."
Kristal Aeon melayang perlahan dari telapak tangan Putri. Kemudian tanpa peringatan, benda itu melesat ke arah Reza, lalu berhenti beberapa sentimeter di depan dada kirinya. Kristal tersebut mendadak bercahaya sangat terang. Putri mengarahkan telapak tangan kanannya lurus-lurus ke arah yang sama, sementara Reza entah kenapa tak bisa bergerak.
"Apa yang... kamu lakukan...?" Reza bertanya.
"Aku ingin Kristal Aeon menjadi milikmu," sahut Putri. "Dan tidak ada yang bisa mencegahnya."
"Putri! Kumohon, hentikan!"
"Kamu sendiri yang bilang, 'kan? Cahaya dan kegelapan adalah pasangan," Putri mengabaikan protes Reza. "Kalau kamu, pasti bisa menguasai keduanya dengan baik. Aku percaya."
"Hentikan semua ini!" Reza masih tidak bisa bergerak, meski sekeras apapun ia berusaha melepaskan diri. "Jangan semudah itu mengorbankan nyawamu sendiri... kalau bukan demi sesuatu yang sangat berharga!"
"Lihat siapa yang bicara. Kamu sendiri hampir mengorbankan hidupmu demi gadis asing yang baru saja kautemui," sambil bicara begitu, Putri tertawa kecil. "Lagipula, aku hanya sendirian. Kalau aku lenyap, memangnya siapa yang akan sedih?"
"Aku!" jawaban Reza yang tanpa pikir panjang ini, seketika membungkam Putri. "Aku pasti akan sedih!"
Putri masih terdiam sampai beberapa detik. Matanya berkaca-kaca menatap Reza.
"Terima kasih," akhirnya Putri mengucapkan ini. Senyum lembut menghiasi bibirnya. "Selamat tinggal... Reza."
Cahaya emas dari Kristal Aeon menguat. Reza merasakan kekuatan yang mengalir dalam kehangatan, memasuki tubuhnya. Kemudian, Power Stone Hitam ikut memancarkan cahayanya. Kedua cahaya itupun menguat, meluas. Sampai memenuhi setiap inchi tempat itu.
* * *
Rexor tersentak ketika sebentuk bola cahaya emas tiba-tiba muncul menghalangi Tyranno Bomber yang nyaris mengenai sasarannya. Serangan itu hilang begitu saja, lenyap dalam cahaya emas. Detik berikutnya, bola cahaya itu menjelma menjadi sosok sang Putri Aeon.
"Putri!" Reza berseru ketika gadis itu mendadak roboh. Ia jatuh tepat di pelukan Reza. Tak sadarkan diri. "Putri! Sadarlah! Putri!"
Tidak ada respon dari Putri. Reaksi malah datang dari Reza sendiri. Dada kirinya terasa hangat, dan cahaya emas memancar dari sana. Reza refleks menempatkan tangan kanannya di situ. Untuk alasan yang berbeda, dadanya terasa sesak.
Sementara, Rexor menyaksikan semua itu dengan penuh tanya.
"Mustahil! Kenapa?" katanya. "Kekuatan itu... Kristal Aeon? Kenapa bisa ada padamu!?"
Reza sepenuhnya mengabaikan Rexor. Dan pada akhirnya. Pemuda itu tak bisa lagi menahan perasaannya.
"Aaaaaaargh–!"
Reza berteriak lepas ke arah langit. Cahaya Kristal Aeon di dadanya semakin terang. Kemudian Power Stone Hitam ikut bereaksi. Seiring detik berganti, tiba-tiba saja Reza berubah wujud ke sosok Azazel. Sementara, cahaya emas dari Kristal Aeon menyelimuti seluruh tubuhnya.
Lalu semuanya berhenti. Azazel tertunduk menatap Putri. Tubuh gadis itu memancarkan cahaya emas yang sangat lembut. Dan sosoknya perlahan memudar. Azazel mengepalkan tangannya. Iapun mengalihkan pandangannya ke depan. Masih ada Rexor di sana.
"Akan kupenuhi keinginan Putri," katanya. "Aku akan mengalahkanmu!"
Azazel mengarahkan telapak tangan kanannya kepada Rexor. Kemudian ia mengumpulkan energi di sana, seperti ketika ia ingin melepaskan Dark Shoot. Namun kali ini energi yang dialirkan jauh lebih besar, baik dari Power Stone Hitam, maupun dari Kristal Aeon. Bola energi terbentuk dengan cepat, berkali-kali lipat daripada ukuran Dark Shoot. Bercahaya keemasan yang lebih terang daripada bola cahaya Dark Shoot, dan di permukaannya tampak kilatan-kilatan energi hitam yang membuatnya terasa sangat mengancam.
"A-Apa itu...?" Rexor pun tanpa sadar mundur selangkah. Kekuatan Azazel yang terasa olehnya, sangat besar dan menekan, sama sekali tidak ditahan-tahan.
Sebelum Rexor sempat bereaksi lebih jauh, bola energi itu sudah dilepaskan. Melesat begitu cepatnya, dan berakhir dalam ledakan cahaya dahsyat yang nyaris membutakan.
Azazel masih memeluk Putri. Setelah cahaya ledakan itu hilang, sosok Rexor sudah tidak tampak lagi. Entah ia sudah hancur atau melarikan diri. Azazel tidak peduli akan hal itu. Yang ada di matanya sekarang hanya sosok Putri yang semakin pudar dalam pelukannya.
"Putri... Tolong jangan pergi seperti ini...," Azazel berkata dengan suara bergetar. Dalam selimut cahaya emas, sosoknya pun berubah kembali ke wujud manusia.
Reza memejamkan mata rapat-rapat dengan hati pedih. Sisa-sisa ledakan cahaya telah berubah menjadi butir-butir cahaya kecil yang turun seperti salju, lalu lenyap ketika menyentuh tanah atau benda-benda lain. Seolah mengiringi kesedihan yang memenuhi tempat itu.
Kemudian sesuatu terjadi. Reza membuka mata kembali ketika merasakan reaksi dari Kristal Aeon. Benda itu tiba-tiba keluar dari dalam tubuh Reza, lalu melayang tenang di atas tubuh Putri. Kristal itu mengeluarkan cahaya emas yang berkedip-kedip. Begitu pula Power Stone Hitam. Keduanya seirama. Sementara cahaya pudar yang memancar dari Putri kembali menguat. Terus menguat, hingga memenuhi tempat itu dengan cahayanya.
* * *
Reza menemukan dirinya kembali berada di dunia putih berkabut tipis itu. Lagi-lagi hanya ada dia sendiri.
"Reza," tiba-tiba suara lembut ini terdengar, membuat dada Reza berdesir. Pemuda itu cepat-cepat berbalik. Benar saja, sang pemilik suara itu berdiri di sana sambil tersenyum lembut.
"Putri!" Reza pun berkata. "Kamu baik-baik saja?"
"Hm-mm," Putri mengangguk. "Dasar! Ternyata sampai akhir, kamu tetap kamu tetap menolak kekuatan Kristal Aeon, ya... Tapi berkat itu, sekarang aku masih di sini."
"Syukurlah!" Reza tersenyum tipis, terlihat sangat lega. "Putri... Kamu sendiri pasti punya keinginan, 'kan? Kenapa tidak kamu gunakan kekuatanmu untuk mewujudkan keinginan itu?"
"Keinginanku...," kata Putri. "Kalau boleh, aku ingin tinggal di dunia yang sama denganmu, sebagai gadis biasa."
"Eh? Apa?" Reza bertanya karena Putri mengucapkan kalimat terakhirnya terlalu pelan.
Putri tersenyum simpul.
"Rahasia," katanya kemudian. "Baiklah! Kurasa sudah saatnya kita berpisah."
Reza melihat tubuh Putri kembali diselimuti cahaya lembut keemasan. Saat itu juga, Reza baru benar-benar memperhatikan bahwa Kristal Aeon sudah kembali ke liontin Putri.
"Apa kita akan bertemu lagi?" tanya Reza.
"Mungkin."
"Kalau begitu, sampai jumpa lagi. Jaga dirimu."
"Kamu juga. Terima kasih untuk semuanya. Reza."
Sinar terang memancar dari Kristal Aeon. Cahaya itu menguat, membesar, meluas dengan cepat. Lalu menenggelamkan segalanya dalam lautan cahaya.
* * *
* *
* * *
Reza berdiri di tengah-tengah tanah lapang. Tak jauh di hadapannya terlihat barisan pepohonan lebat. Hutan kecil. Pemuda itu mengerutkan kening, tidak ingat sejak kapan dan kenapa ia ada di situ. Sendirian.
"Oh, ya...," katanya kemudian. "Tadi 'kan aku sedang menyelidiki energi yang mirip Power Stone. Lalu... Lalu..."
Reza heran sendiri. Ingatannya terasa sangat samar. Ia juga merasa telah melupakan sesuatu yang penting, tapi tidak tahu apa itu.
Akhirnya Reza menghela napas dan menggelengkan kepala. Iapun meninggalkan tempat itu setelah memastikan tidak ada tanda keberadaan Power Stone di sana. Sementara, di hatinya ada perasaan aneh yang tidak bisa dia ingat penyebabnya. Namun terasa hangat.
Cerita Keempat -FIN-
Fanfic: Heidy S.C. 2015 ©
Fandom: Satria Garuda Bima X; RCTI, Ishimori Pro 2014-2015 ©
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top