9. Anggota Baru
Riuh kicau burung serta deru angin mengusik seseorang yang masih berkelana di alam mimpi. Kelopak mata pria berikat kepala merah putih itu berkedut-kedut, jemari meremas lembut dan seketika meraba-raba liar kala merasa sesuatu yang disentuh bukanlah sesuatu seperti yang dia pikirkan---rumput, daun kering, atau ranting----melainkan kain.
Kelopak mata terbuka, iris cokelat gelap menatap nanar langit-langit kamar, serta-merta bangun dari baring, seperti didorong oleh benda pegas dari bawah punggung lalu duduk tegak. Menoleh ke sana-kemari mencoba mengenali tempatnya berada saat ini.
Ditilik dari kondisi dan beberapa barang yang ada di ruangan ini, bisa dipastikan pemiliknya pasti kaya Raya. Meja, kursi, tempat tidur, dan almari meski sudah kusam, tetapi masih terlihat mewah dengan ukiran-ukiran cantik dan rumit.
Ini di mana? Rumah siapa?
Kedua alis bertaut, cuping hidung kembang-kempis kala aroma segar rumput dan tumbuhan hutan menyapa penciuman. Peristiwa tadi malam pun akhirnya kembali mengusik ingatan.
"Apa orang kompeni itu yang membawaku kemari?" Dia bergegas turun dari pembaringan. Hanya dengan dua langkah lebar sudah sampai di jendela. Membukanya lebar-lebar dan saat itu juga sejuk udara pagi menyapu wajahnya.
Mata memejam, hidung menghidu sesaat lalu menarik napas dalam-dalam kemudian mengembuskan perlahan sembari membuka mata. Matahari sepertinya sudah cukup tinggi, tetapi suasana di sekitar rumah yang dikelilingi pohon-pohon besar masih redup, temaram.
Memandang lurus ke depan, bibirnya seketika tersenyum miring, melihat salah satu bukti kearoganan pemilik rumah ini yang sudah pasti kompeni. Sebuah sumur pompa yang tergolong benda mewah dan hanya mampu dibeli oleh mereka yang berlimpah harta. Siapa lagi kalau bukan salah satu dari kaum kulit putih itu?
Bahunya menjengit kala pintu kamar berderit. Satu bukti lagi kalau pemilik rumah ini adalah orang Belanda. Pintu, ya, pintu kamar. Karena pintu kamar penduduk pribumi umumnya hanya ditutup oleh kain.
"Ah! Rupanya sudah bangun."
Dahinya mengernyit saat mendengar suara yang menyapanya bukan aksen asing. Dia bergegas membalik badan, niat untuk balas menyapa sirna, mulutnya yang sudah terbuka seolah macet tak bisa dikatup, matanya membeliak lebar.
Restu terkekeh ringan sembari menghampiri. "Kita ketemu lagi."
Si ikal berikat kepala merah putih mengerjap beberapa kali, kepala sedikit mendongak karena Restu lebih tinggi. "I-ni bukan mimpi, 'kan? Ka-kamu ...." Pemuda ini kembali celangak-celinguk menyelisik sekitar. Ketika sesutau terpikirkan olehnya, mata menatap Restu lekat. "Apakah kamu ditawan di sini?" bertanya dengan suara sangat lirih.
Senyum Restu langsung berubah menjadi gelak. "Tentu saja tidak. Mana ada tawanan keluyuran bebas begini? Oh, iya, aku Restu."
Pemuda itu segera menyambut tangan Restu. "Aku Rasman."
"Ya, sudah. Nanti ngobrol lagi, sekarang sebaiknya kamu mandi. Di almari itu ada handuk, sarung, dan beberapa potong pakaian, kamu bisa pakai. Aku mau cabut singkong atau ubi di samping rumah, buat makan siang. Di meja depan ada bubur untuk kamu sarapan."
"Wah! Sudah seperti di rumah sendiri. Tapi, siapa yang sudah membawaku kemari? Seingatku, semalam aku bertemu dengan kompeni lalu---"
"Namanya Hubert, dia seorang serdadu sekaligus petugas medis. Sahabat seseorang---ah, kok, malah ngobrol. Dilanjut nanti saja, aku permisi dulu. Kamar mandi ada di sebelah kiri pintu belakang."
"Hatur nuhun, Restu."
Restu hanya membalas dengan senyum kemudian berlalu. Sebelum melaksanakan niatnya, mencabut singkong dan ubi, terlebih dulu dia menemui Louis. Di pojok kamar, berdiri gulungan tikar pandan yang semalam Restu gunakan sebagai alas tidur di lantai. Sebenarnya, Louis sudah melarang. Namun, dengan alasan kenyamanan bagi si pasien, Restu memaksa.
"Apa dia sudah bangun?"
"Sudah." Restu tertegun saat melihat bubur putih di atas meja masih utuh. "Tidak enak?" Sebenarnya hati terenyuh, tetapi mata menatap kesal. "Jangan manja. Di sini, kau tidak akan mendapatkan yang lebih enak dari itu. Aku mau ke kebun dulu---"
"Aku tidak bisa melakukannya sendiri."
Restu tertegun untuk yang kedua kali. Perkataan Louis baginya hanya bermakna satu kata, bodoh. Bagaimana bisa dia lupa kalau untuk beringsut saja Louis tidak mampu. Padahal, kira-kira lima belas menit lalu dia juga yang membantu Louis membersihkan badan.
Tanpa kata, Restu mengambil piring berisi bubur, duduk di tepi pembaringan, dan menyuapi Louis.
"Sudah, makan saja," Restu menghardik saat Louis hendak berbicara.
"Aku hanya ingin bilang terima kasih."
Sekali lagi, Restu merasa bodoh. Kenapa juga terus-terusan bersikap ketus dan galak pada orang yang sudah tidak berdaya. Lagi pula, bukankah dia jauh-jauh datang kemari karena ingin selalu ada di sisi Louis?
"Restu, maaf---"
"Aku bilang, makan saja. Tidak perlu lagi ada terima kasih dan maaf. Oke? Kalau tidak, kau akan selalu melihatku marah-marah."
"Ba---uph ...."
Restu menjejalkan sendok berisi bubur yang sedari tadi berhenti di depan mulut Louis.
"Kamu kasar sekali," sambil menguyah bubur yang tidak cukup halus, Louis mengoceh.
"Apa kau lupa kalau kau pernah jauh lebih kasar?"
"Masa itu sudah lewat, tidak perlu diungkit lagi!"
Restu tertawa sarkas. "Itu karena ... sekarang kau tidak bisa apa-apa." Suara 'krak' sendok beradu dengan gigi terdengar jelas, sejelas betapa kasarnya Restu menyuapi Louis.
"Gigiku bisah patah, Restu."
"Tidak masalah. Aku tidak keberatan memasak bubur untukmu setiap Hari. Hanya perlu dibuat lebih halus lagi."
Mereka terus adu mulut tanpa menyadari bila Rasman sudah berdiri di depan pintu yang lupa ditutup oleh Restu. Pemuda itu menatap nanar pada Louis. Dia tidak mungkin lupa pada paras serdadu Belanda itu meski sekarang di wajahnya banyak lebam. Rahang mengetat dan kedua tinju mengepal erat, dalam tiga ayunan langkah lebar dia sudah mencapai Restu dan merampas piring bubur di tangannya.
"Masyallah! Apa-apaan ini?"
"Kamu yang apa-apaan! Untuk apa merendahkan diri menyuapi manusia laknat ini? Aku masih ingat dengan jelas, dia ini---"
"Memang!" Restu bangkit lalu menepuk lengan kiri Rasman. "Dia memang pernah melakukan kesalahan, tetapi sudah menyesalinya---"
"Kamu percaya?" Rasman menatap jijik pada Louis. "Sekarang dia bisa bilang menyesal, tapi saat dia kembali menunjukkan taringnya, kamu yang akan menyesal!"
Malas banyak kata, Restu langsung menyingkap selimut yang menutup kaki Louis.
"Restu, apa yang kamu lakukan?!" Louis hendak mencegah, tetapi kalah cepat. Sekali tarik, tubuh bagian bawah yang hanya tertutup di bagian intim terekspos. Rasanya risi dan malu saat sepasang mata Rasman menatap syok. Jadi, begini rasanya ditelanjangi di hadapan orang lain. Peristiwa pelecehan itu samar-samar kembali terbayang dalam benaknya. "Restu, bisakah kamu menutupnya kembali?"
"Maaf." Setelah menyelimuti Louis, Restu kembali berhadapan dengan Rasman. "Dua luka tembak di paha akan membuatnya lumpuh sementara. Di bahu kiri juga ada dan seperti yang kamu lihat di wajah dan kaki, lebam-lebam bekas sabetan juga ada di badannya."
Rasman tersenyum miring. "Untuk apa kamu menunjukkan semua itu padaku? Bagiku, dia pantas mendapatkan lebih dari itu."
"Tau apa kau tentang yang pantas dan tidak, huh?" Restu mendelik, wajah berkulit cokelat itu mengeras.
"Restu, aku tidak apa-apa. Dia benar, aku pantas---"
"Diam!" Restu merampas piring bubur dari tangan Rasman lalu meletakkan di pangkuan Louis. "Makan sendiri, aku mau ke kebun cabut singkong."
Louis hanya bisa menatap punggung Restu yang pergi dengan bersungut-sungut sambil menarik tangan Rasman.
_________
Alih-alih mencabut singkong seperti yang dia bilang, sesampi di kebun samping kiri rumah, Restu malah hanya berdiri kaku. Sementara itu, Rasman malah tampak takjub pada kebun kecil yang ditumbuhi lumayan banyak sayuran, singkong, dan ubi, bahkan juga ada pohon pisang.
Di dekat dinding ada petak tanah dikelilingi pecahan genting, ditanami bunga-bunga berwarna ungu dan merah muda. Tidak terawat, tetapi tetap terlihat indah. Ternyata ada pagar kawat yang membatasi halaman dengan hutan.
"Wah! Kita orang pribumi bisa dibilang tidak punya lahan juga tidak punya cukup uang untuk membangun rumah, tapi para kompeni itu seenak dengkul membangun---eh," Rasman tertegun sejenak, "tapi kenapa membangun di hutan begini?"
"Louis sudah dibuang oleh kaumnya karena membangkang," alih-alih menanggapi pertanyaan Rasman, Restu justru membuka topik lain.
Rasman menyipitkan mata, memperhatikan Restu lebih teliti dari samping karena, sepertinya Restu tidak ingin bertatap muka.
"Maksudnya?"
Restu mengembuskan napas kasar sambil melangkah memasuki area kebun. "Dia dihajar dan ditembak kedua pahanya, juga bahu yang mungkin sasaran sebenarnya adalah dada." Menoleh ke sekitar, mencari pohon singkong yang hendak dicabut.
"Aku sudah lihat. Siapa yang melakukannya? Aku pikir dia ditembak saat di medan perang."
"Dia justru ditembak oleh komandannya karena menolak maju berperang. Louis ingin menyerah dan balik berpihak pada kita. Komandannya memerintahkan untuk melemparkan tubuh Louis ke jurang atau sungai, bahkan dicincang lalu diberikan pada anjing pun tidak keberatan. Tapi ...." Restu mencabut pohon singkong dengan sekuat tenaga. Dia melampampiaskan kegeraman hati pada pohon yang tidak tahu apa-apa. Setelah tercabut, langsung mematahkannya menjadi dua bagian. Mengambil yang ada umbi dan membuang begitu saja bagian daun lalu kembali ke samping Rasman, "... ternyata Louis memiliki banyak rekan yang loyal. Mereka menyembunyikan Louis di sini."
"Wah! Singkongnya besar-besar!"
Tadinya Restu berpikir seruan 'wah!' itu ditujukan untuk sikap tegas Louis. Hatinya merasa sedikit kecewa setelah mengetahui ternyata untuk singkong
"Kau dengar tidak aku ngomong apa?" ada nada sengak dalam suaranya.
Rasman menatap Restu, dahi yang kali ini tanpa ikat kepala mengernyit. "Dengar. Tapi, tidak peduli. Itu pilihan dia tidak ada hubungannya denganku. Dia mati pun perang ini masih akan terus berlanjut sampai entah kapan."
"Ya, tidak ada hubungannya denganmu. Bahkan bila kau mati lemas kehausan di hutan tanpa ada orang kompeni yang menolong pun ... ya, kau benar sekali." Restu berlalu begitu saja. Menggenggam erat-erat batang singkong, rahang mengeras membuat tampangnya garang.
Restu merasa sudah benar-benar gila. Dia biasa saja saat diri sendiri mengumpat dan berkata kasar pada Louis, tetapi melihat orang lain menyepelekan orang Belanda itu, hati rasanya tidak bisa terima.
Rasman hanya melongo. Dia tidak mengerti kenapa setiap ujaran Restu terdengar bagai sarkasme. Sikap Restu juga jadi kurang bersahabat setelah dia bertindak kasar pada Louis.
"Tsk, persetanlah. Aku gak peduli pada siapa itu Louis atau kompeni atau apa, yang penting aku bisa makan dan tidak kehausan," Rasman bergumam sambil melangkah tergesa menyusul Restu.
"Ternyata kamu lebih pemarah dari yang aku duga."
Rasman menghentikan langkah di depan kamar Louis, merapat ke dinding dan menguping.
"Sepertinya kita harus pergi dari sini."
Dahi Rasman mengernyit. Pergi? Baru saja dia merasa lega karena punya tempat tinggal dan persediaan makanan. Tidak rela rasanya kalau harus meninggalkan tempat ini begitu cepat.
"Kamu takut kalau Jansen akan kemari?"
Restu berdiri kaku di samping tempat tidur, menatap lekat Louis. "Aku hanya mengkhawatirkan nasib seseorang."
Bibir Louis berkedut mengukir senyum tipis. "Dengan kondisiku yang seperti ini, aku hanya akan menyusahkanmu."
Restu menyambut tangan Louis yang terulur, hati semakin risau kala merasakan genggaman lembut---khawatir bila suatau saat tidak bisa lagi merasakan tanggan-tangan itu menggenggam lembut tangannya.
Restu mengembuskan napas kasar. "Tsk, sudahlah. Berharap saja Hubert berhasil menyakinkan pamanmu. Aku ke dapur dulu. Beristirahatlah."
"Restu, terima kasih."
Bibir keduanya sama-sama tertarik kesamping, maksud hati hendak tersenyum saling menguatkan, tetapi bibir yang bergetar justru membuat senyum itu bagai palsu.
________
Rasman buru-buru pergi ke ruang bagian belakang yang merupakan dapur saat mendengar suara langkah. Celangak-celinguk sebentar sebelum akhirnya memilih membersihkan singkong dari tanah yang masih menempel. Ketika Restu muncul dia pura-pura tidak tahu, kebetulan juga posisinya membelakangi.
"Sarapan dulu. Kan sudah aku siapkan di meja depan. Hanya bubur putih dan garam."
Rasman menoleh, dahinya mengernyit dalam. "Sama dengan yang dimakan orang itu, bukan?"
"Namanya Louis. Ya, sama. Memangnya kenapa? Kau tidak mau makan makanan yang sama dengannya? Kalau begitu kau bisa buat sendiri. Ada singkong, ubi---"
"Bukan begitu," Rasman menyela Restu yang berbicara dengan nada kesal. "Aku hanya heran karena dia---maksudku Louis ... ternyata mau makan makanan seperti itu."
"Dia itu juga prajurit. Pasti pernah mengalami saat di mana makan apa saja yang bisa dimakan karena kepepet."
"Restu, em, orang yang sudah menolongku di mana? Aku mau bilang terima kasih."
"Dia kembali ke markas. Mungkin dia tidak baik-baik saja sekarang. Kita pun sepertinya tidak bisa berlama-lama di sini."
Rasman melempar sebuah singkong sedikit kasar lalu menghampiri Restu yang berdiri menyandar di kusen pintu. "Haruskah kita pergi?"
"Ya. Kalau masih ingin hidup." Restu masih betah bersikap tak acuh dan kata-kata yang terlontar pun selalu sarkas.
"Kang Restu! Kang, ini aku Bahrun!"
"Pelan-pelan, Run!"
"Eaah? Biar saja. Kau juga ikut manggil kalau perlu, Jat!"
Restu serta-merta berdiri tegak. Rasanya seperti mimpi, tetapi suara-suara ribut dari depan rumah itu nyata.
"Siapa?"
"Dasar bodoh!"
Restu bergegas ke depan tanpa menjawab pertanyaan Rasman. Pemuda itu terbengong sejenak lalu menunjuk diri sendiri. "Aku bodoh? Tsk, masa bodohlah---eh ...." Merasa konyol Rasman mengibaskan kepala beberapa kali, kemudian beranjak.
________
Begitu pintu terbuka, Restu langsung membeku. Demi Allah, rasanya ingin sekali dia mengumpat orang-orang berwajah kuyu nan lesu yang saat ini berdiri di hadapan.
"Kang Restu!" Bagai terbang, Bahrun menghambur ke Restu, memeluk dan mendekap erat-erat hingga Restu merasa sesak. Akan tetapi, kehadiran orang-orang ini jauh membuat dadanya terasa lebih sesak.
Bukan tidak senang, tetapi lebih karena khawatir. Barusan dia berpikir akan pergi dari tempat ini untuk menghindari masalah, tetapi mereka malah datang. MasyaAllah, rasanya Restu benar-benar ingin berteriak mengumpat. Karena dengan kehadiran mereka, akan lebih sulit melarikan diri bila tiba-tiba utusan atau malah Jansen sendiri datang kemari.
"Kang Restu kenapa hanya diam?" Bahrun melepaskan pelukan. "Tidak senang kami datang?" Matanya melotot dan wajah mengeras. Hati yang sempat senang seketika kesal.
Restu mengerjap, menelan ludah rasanya sakit di tenggorokan, menarik dan mengembuskan napas untuk menata hati. Matanya bertemu Jati, pemuda berkulit putih itu tersenyum, Restu ingin membalas, tetapi bibirnya terasa kaku. Begitu pula ketika melihat Bu Sedah, Restu tidak mampu membalas senyum ramah perempuan itu.
"Mereka si ...." Rasman tidak melanjutkan perkataan. Matanya nanar menatap Jati dan Tofiq. "MasyaAllah, kita bertemu lagi."
Mata Tofiq dan Jati juga membeliak. "Sepertinya kita memang ditakdirkan untuk bertemu," Jati bergumam lebih pada diri sendiri.
[0]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top