6. Mengungsi

Perintah susulan itu akhirnya benar-benar datang. Sekitar pukul 8 malam, Ahmad datang memberitahukan bahwa mereka semua harus mengungsi ke luar Bandung.

Di sela-sela hiruk-pikuk persiapan mengsungsi, Jati mengajak Yaning berbicara. Karena setelah ini, belum tentu mereka akan bisa segera bertemu atau justru tidak akan pernah bertemu lagi. Jati, Bahrun, dan Singgih harus tinggal untuk melaksanakan perintah pembumihangusan.

Yaning bergeming, menatap Jati yang menunduk, bahu pemuda itu jatuh, dan tangan menggantung lemas. Ya, Jati telah menceritakan semuanya dan bila sekarang Yaning berpikir untuk mundur alih-alih bertahan seperti hari-hari kemarin, Jati tidak akan sakit hati. Toh, sejak semula dia sudah berniat mengakhiri hubungan. Akan tetapi, ditatap sedemikian rupa dengan wajah syok, Jati jadi merasa begitu hina.

"Ning kecewa sama, Aa."

Jati memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam, jemarinya mengepal erat, setelah mengembuskan napas perlahan, mengangkat kepala. Menatap Yaning teduh dan bibir tersenyum maklum.

"Maaf, Ning. Aku mengerti kalau---"

"Memangnya, Aa, tahu apa yang membuat Ning kecewa?"

Jati mengerjap, dengan mulut yang masih sedikit terbuka wajah tampannya tampak bodoh. Jati bisa merasakan nada dingin dalam suara Yaning.

"Apa lagi kalau bukan---"

"Ning kecewa karena ternyata, Aa Jati tidak percaya sama Ning!" Gadis ayu dengan hidung mungil ini matanya mulai berkaca-kaca.

"Itu tidak benar, Ning. Tentu saja aku percaya sama kamu." Jati memegang kedua lengan ramping berbalut kain selendang berwarna marun.

Jemari Yaning mengusap sudut-sudut mata yang mulai basah. "Kalau percaya sama Ning ... Aa, pasti akan menceritakan yang sebenarnya, bukan malah memutuskan hubungan tanpa alasan."

Air mata Yaning akhirnya tumpah. Berapa kali pun Jati mengusapnya, tetap tidak mampu membuat pipi lembut Yaning kering. "Aku malu, Ning ...."

"Seharusnya tidak perlu merasa seperti itu. Selama ini, Aa, menyimpan dan menanggung semuanya sendirian, padahal ada Ning yang bisa jadi teman bicara. Bukankah, ditanggung bersama beban akan terasa lebih ringan?"

"Ning ...."

Jati tidak tahu harus ngomong apa. Wajah ayu dengan tatapan dan ucapan tulus ini telah mengoyak kesadarannya. Yaning benar. Jati tidak harus menyimpan semua sendirian. Apa guna sahabat kalau bukan sebagai teman untuk berbagi cerita dan berkeluh-kesah. Sebagai kekasih Yaning bisa menjadi teman dalam suka dan duka. Bodohnya Jati karena telah berpikir picik yang berakibat pada sang kekasih merasa tidak dipercaya, juga kurang dianggap.

Yaning tersenyum lembut dan perlahan mengikis jarak hingga kepalanya kini menyatu dengan dada Jati. "Apa pun yang terjadi, Ning akan selalu ada untuk Aa."

"Hatur nuhun, Ning."

"Eaah, gelo! Sekarang bukan waktunya pacaran, woe!" baru saja Jati hendak melingkarkan kedua lengan ke punggung  Yaning, si Bahrun berteriak mengagetkan. Alih-alih kesal, Jati dan Yaning malah tampak malu-malu.

Akibat ulah mengganggu sejoli yang sedang berkasih-mesra, Bahrun harus menerima pukulan di kepala dari Singgih.

"Urus urusanmu sendiri. Bawa ini." Singgih menjejalkan bungkusan kain berisi pakaian ke pelukan Bahrun.

"Kenapa aku? Trus, kamu melenggang tidak bawa apa-apa, gitu?"

"Ngomong-ngomong, si Enjum ke mana, yak?" Alih-alih menanggapi ujaran masygul Bahrun, Singgih malah bertanya tentang hal lain.

Bahrun mengernyitkan dahi, Jati dan Yaning saling menatap. Benar juga. Sejak kemarin malam Enjum tidak kelihatan, padahal biasanya dia tidak pernah absen datang dan memasak untuk mereka. Bagaimana mungkin mereka baru menyadari ketidakhadiran gadis itu sekarang?

"Eaah! Ke mana dia? Apa tidak sebaiknya kita mendatangi rumahnya?"

"Waduh! Kenapa masih di sini?" teguran itu mengagetkan mereka dan seketika ingat pada situasi yang sedang mereka hadapi.

Ketiga pemuda pejuang yang kemarin malam datang, menghampiri dengan tergesa seperti preman hendak menyerang.

"Restu belum kembali juga?" Si mata elang, Ahmad, yang tadi menegur kembali bersuara.

"Biarkan saja dia. Gelo! Sudah bukan anak kecil lagi!" Bahrun melangkah pergi meninggalkan yang lain dengan bersungut-sungut. Bahrun merasa sebagai satu-satunya keluarga yang tersisa, telah diabaikan dan tidak tahu apa-apa.

"Woe, Run! Ibu Sedah jangan ditinggal!" Singgih berteriak mengingatkan. Bahrun langsung memutar badan kembali ke rumah tanpa mengatakan apa pun.

"Dia kenapa?" Melihat tingkah Bahrun yang tampak aneh, Abdul mengernyitkan dahi.

"Abaikan saja." Jati menghampiri sambil menggandeng Yaning. "Dia hanya merasa kecewa karena Kang Restu mengabaikannya. Oh, iya, Kang,  kami akan mengantarkan mereka ke perbatasan, setelah itu kembali untuk---"

"Sebaiknya jangan kembali! Kita tidak tahu apa yang sedang direncanakan sekutu. Kalian bertiga mendampingi para pengungsi saja, bawa mereka melalui jalur aman. Kami akan menyusul setelah menyelesaikan tugas." Pariman, si hidung bengkok berbicara sambil berkacak pinggang. Lagaknya sok penting. "Warga dari dearah lain sudah banyak yang berangkat, kalian lihat saja di sebelah sana itu ...."

Mereka serempak menoleh ke arah yang ditunjuk Pariman. Asap tebal mengangkasa di beberapa bagian. Sebenarnya yang harus dibakar adalah bangunan-bangunan sarana penting yang berpotensi besar akan dipergunakan oleh sekutu, tetapi para warga yang panik dan mungkin juga salah menangkap perintah, akhirnya turut membakar rumahnya sebelum berangkat mengungsi.

"Apakah rumah Kang Restu juga akan kita bakar?" Jati menatap sendu pada bangunan yang selama tiga bulan terakhir ini telah menjadi tempatnya berteduh.

Bahrun muncul bersama Bu Sedah. "Tidak perlu dibakar, nanti juga akan terbakar sendiri terkena percikan api dari rumah lain," nada suara Bahrun masih sengak. Sepertinya dia benar-benar merasa kecewa pada kakak sepupunya.

Tidak ada yang menanggapi perkataan Bahrun. Mereka melangkah dalam diam. Singgih mengambil alih Bu Sedah dan Bahrun segera melangkah lebar-lebar meninggalkan yang lain sambil sesekali membetulkan letak buntalan kain yang merosot dari bahu. Dari belakang terlihat tangan Bahrun beberapa kali bergerak ke arah wajah, seperti menyingkirkan sesuatu yang ada di sana.

Bahrun menangis, dia sedih memikirkan nasib Restu. Semua orang mengungsi keluar dari Bandung, tatapi Restu justru masuk ke wilayah sekutu bermarkas. Dalam hati dia merasa lebih baik tidak pernah bertemu lagi dengan kakak sepupunya itu, daripada setelah bertemu malah ditinggal lagi dan membuatnya kepikiran setengah mati.

"Aa Jati, bagaimana dengan Enjum?"

"Aku rasa dia sudah tau apa yang harus dilakukan. Lagi pula, sepertinya kita adalah rombongan terakhir yang berangkat. Orang tuamu sudah mengungsi, 'kan?"

"Iya. Bersama Aa dan teteh."

"Jat, sebaiknya kamu susul si Bahrun. Biar Yaning bersamaku dan Bu Sedah."

Jati sempat ragu, tetapi segera bergegas begitu Yaning menyetujui usulan Singgih.

Parman, Abdul, dan Ahmad menatap kepergian mereka dengan wajah-wajah muram. Setelah teman-teman itu jauh, mereka harus menjalankan perintah untuk melakukan pembumihangusan. Ada perasaan tidak rela saat menatap rumah Restu yang merupakan tempat mereka berkumpul ini bila pada akhirnya terbakar.

Mereka meninggalkan tempat itu dengan langkah pasti, tanpa sekali pun menoleh kembali.

______

Asap hitam mengepul tinggi ke angkasa. Lautan si jago merah menjadi pemandangan yang sangat mengerikan, sekaligus memilukan dan menyayat hati.

Setelah menyaksikan Bandung membara dari bukit sebelah timur ini, Restu kembali melangkah secepat dan semampu kakinya yang sudah lelah.

Mudah-mudahan kalian semua selamat. Maafkan aku, Run. Semoga masih ada kesempatan untuk bertemu.

Restu telah melakukan perjalanan hampir selama dua puluh jam, dengan mengambil lintasan teraman yang bisa dia lalui dengan berjalan kaki.

Jalan sedikit menanjak ini menjadi lintasan terakhir menuju rumah tempat Restu dan Bu Sedah dulu tinggal. Sedikit lagi, tetapi rasanya lutut sudah tidak mau diajak kompromi. Restu berkali-kali menghentikan langkah hanya untuk mengisi paru-paru dengan udara baru.

Kedua kakinya sungguh-sungguh sudah lelah, raganya ingin rebah, tetapi otaknya terus memerintah supaya terus melangkah. Dalam kondisi yang begini teruk, tiba-tiba sebuah pertanyaan membuatnya ingin memaki diri.

Apa yang dia lakukan di sini? Bahkan saat dia masih tinggal di rumah itu, Louis tidak selalu datang untuk menemuinya, apalagi sekarang setelah dia tidak di sana. Apa mungkin Louis ada di sana? Lalu, sebenarnya apa yang membuatnya tiba-tiba nekat kembali? Demi Tuhan, Restu baru menyadari betapa bodoh dirinya yang rela menempuh perjalanan sejauh ini hanya untuk sesuatu yang tidak pasti.

Kendatipun hati mulai bimbang, kaki lelahnya terus memaksa melangkah. Louis, ya, satu-satunya alasan Restu berada di sini adalah pria Belanda itu. Jiwanya terpanggil untuk kembali. Akan tetapi, bagaimana jika ternyata yang bersangkutan tidak ada di rumah itu?

Louis! Aku kembali untukmu. Restu bertekad akan menunggu di sini apa pun yang terjadi, bahkan bila ternyata Louis tidak ada atau tidak pernah datang sekalipun.

Restu tidak bisa lagi mengontrol gerak tubuh, otak memerintah tetapi raga yang sudah sangat lelah tak mampu meresponnya. Ingin hati menggapai pintu, tetapi yang terjadi justru tangan menangkap udara kosong dan tubuh pun limbung, mengayun ke depan, menghantam pintu sangat keras kemudian ambruk ke bumi.

Suara apa itu?

Sssttt ....

Periksa!

Iya, aku tahu!

Restu mendengarnya. Suara-suara mengucap bahasa yang tidak Restu pahami, tetapi sangat familier.

Louis. Kau ada di sini. Hanya itu yang mampu dia pikirkan dengan hati penuh sykur, sebelum akhirnya kepala terkulai. Restu berdiam diri dan merilekskan tubuh, dia ingin istirahat sejenak, menunggu kepala yang terasa berdenyut-denyut reda.

Dari dalam rumah, sepasang mata mengintip lewat celah di jendela. Di situasi seperti sekarang ini, di mana gencatan senjata jauh lebih sering terjadi. Bahkan bom pun telah dijatuhkan di beberapa bagian wilayah. Bisa saja yang ada di luar itu adalah Pemuda Pejuang Bandung, atau malah orang-orang suruhan Jansen yang memata-matai keberadaan Louis.

Di luar memang gelap, tetapi tidak cukup pekat hingga tak bisa ditembus penglihatan. Akan tetapi, tubuh Restu yang terkapar dalam posisi tengkurap tepat di depan pintu, tentu saja tidak bisa dilihat oleh orang tersebut. Dia sudah berpikir suara benturan tadi hanyalah dahan kering jatuh menimpa atap, tidak berniat membuka pintu untuk memeriksa.

Suara hentakan lembut pada lantai, tertangkap oleh pendengaran Restu. "Louis?" suaranya sangat lirih, tetapi terdengar cukup jelas di kesunyian tempat ini.

Pria di dalam yang sudah hendak beranjak pergi, terpaku di tempat dan menelengkan kepala. Dahinya mengernyit karena berpikir telah salah dengar, menggeleng kecil dan hentak kembali melangkah, tetapi ....

"Louis!" Sekarang suara ketukan disertai panggilan, terdengar jelas.

Pria itu bergegas kembali, tetapi tangan yang sudah hendak membuka pintu terhenti. Itu jelas-jelas suara pribumi, jadi dugaan bahwa kemungkinan Jansen mengutus mata-mata bisa dicoret. Lalu, siapa? Pribumi mana lagi yang mengenal Louis, bahkan berani memanggil namanya begitu akrab? Selain ... Ya Tuhan!

"Restu. Apa itu kamu?"

"Louis. Di mana Louis."

Pria itu segera membuka pintu dan serta-merta mundur saat mendapati tubuh Restu terbaring tak bergerak.

"Hubert! Siapa itu? Kamu tidak dalam masalah, 'kan?!"

Meskipun menggunakan bahasa yang tidak dipahami, tetapi Restu mengenali suara itu. "Louis."

"Semua oke, Louis! Aku segera kembali!" Pria berambut cokelat gelap bernama Hubert itu segera berjongkok. "Apa kamu bisa bangun?" Dia menyentuh bahu Restu, tetapi yang bersangkutan tidak merespons. "Hei! Halo!"

"Hubert! Kamu bicara dengan siapa?"

"Aku segera kembali, nanti kamu bisa melihatnya sendiri!" Hubert segera mengangkat tubuh Restu yang ternyata tidak sadarkan diri. "Kalian berdua benar-benar pasangan yang menyusahkan," sembari melangkah, menggerutu.

Untuk ukuran pribumi, postur tubuh Restu tergolong tinggi dan besar, tetapi dibandingkan dengan Louis atau orang yang sedang membopongnya, dia terlihat mungil.

Untung saja tadi Hubert tidak menutup pintu kamar Louis sehingga sekarang saat masuk dengan membawa beban di kedua tangan, dia tidak mengalami kesulitan, seperti saat menutup pintu depan barusan.

"Siapa itu?" Cahaya lentera yang tidak seberapa terang, membuat Louis tidak bisa langsung mengenali Restu.

"Kamu lihat saja sendiri." Hubert membanringkan tubuh Restu di samping Louis.

"Ya, Tuhan. Restu!"

[0]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top