4. Berbagi Kisah
Restu menceritakan kisahnya sedikit menyimpang dari versi asli karena tidak ingin membuat Jati berada dalam situasi sulit. Restu hanya mengatakan bahwa dirinya ditangkap serdadu Belanda bahkan sebelum sempat bergabung dengan yang lain di Gedung DENIS. Karena, selagi dia masih menuju ke sana ternyata peristiwa perobekan sudah terjadi.
Setelah itu, Restu mengatakan yang sebenarnya, disekap di rumah kosong yang berada di perbukitan sebelah timur, dulu bekas rumah salah satu pedagang Belanda. Saat Jepang berkuasa, mereka memilih kembali ke negara asal.
Saat teman-temannya bertanya, bagaimana dia bisa dibebaskan, Restu hanya bilang kalau dirinya sedang beruntung. Tentu saja tidak ada yang percaya, tetapi tidak ada yang bertanya lebih lanjut dan malah menjadikan kisah keberuntungan Restu sebagai bahan lelucon dengan mengatakan, kompeni yang menawan Restu pasti sedang mabok atau otaknya mengalami korsleting.
__________
Malam telah larut. Abdul, Ahmad, dan Pariman telah berpamitan sejak dua jam yang lalu dan rumah ini pun kembali lengang. Restu berbaring gelisah di samping Bahrun yang sudah lelap. Dia enggan menutup mata karena wajah Louis lebih leluasa menyiksa bila matanya terpejam.
Restu tidak yakin dirinya adalah tipe penyuka sesama jenis, tetapi yakin seratus persen bahwa dirinya menyukai Louis. Hanya Louis. Karena serdadu Belanda itu adalah satu-satunya pria yang pernah menyentuh dan berhasil mengobrak-abrik pertahanannya.
Sungguh tidak pernah menyangka bila setelah berjauhan, perasan terhadap serdadu Belanda itu akan terasa begini dalam dan menyiksa. Selayaknya insan yang sedang dilanda kasmaran, Restu rasanya ingin selalu berada di dekat Louis.
Begitu mudahnya cengkeraman akar benci itu longgar ketika menyadari bahwa belum tentu ada kesempatan untuk bersua lagi.
Aaarrrhhhggg! Sepertinya aku sudah tidak waras!
Restu menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskan perlahan untuk melegakan rongga dada yang terasa menyempit. Sialnya lagi, dia yang selama beberapa bulan ini telah terbiasa tidur di atas kasur empuk, jadi merasa tidak nyaman dengan tempat tidur yang hanya berupa anyaman bambu dan beralas tikar ini.
Baru saja Restu hendak menutupkan sarung ke mukanya ketika terdengar suara pintu depan dibuka, dia bergegas turun dari tempat tidur dan keluar. Pintu depan tidak ditutup rapat. Dalam hati Restu bersyukur karena ada yang bisa dijadikan teman mengobrol.
Bibirnya seketika melengkung saat melihat sosok Jati sedang berdiri di pelataran sambil tengadah. Langit kelam terlihat semarak dihiasi bintik-bintik cahaya dan gumpalan-gumpalan awan putih. Silir angin terasa sejuk menyentuh wajah Restu.
"Tidak bisa tidur juga, Jat?"
Bahu Jati menjengit, serta-merta menoleh, dan wajahnya langsung semringah. Jati tidak bisa berhenti merasa bersyukur karena pemuda bernama Restu ini baik-baik saja dan bisa bertemu lagi dalam suasana yang lebih baik, seperti yang dulu pernah dia harapkan sebelum melangkah pergi meninggalkan rumah kosong tempat mereka dilecehkan.
"Kang Restu, kenapa juga belum tidur? Padahal kan tadi dari perjalanan jauh."
Di dalam keremangan malam hanya diterangi oleh lampu lentera gantung yang digantung pada paku yang ditancapkan di pilar teras, wajah keduanya terlihat semringah seperti tanpa beban.
Restu juga merasa lega dan senang bisa bertemu lagi dengan salah satu orang yang pernah senasib dan sepenanggungan---terkurung dan dinistakan di neraka berdinding reyot itu.
"Kepikiran seseorang." Ada nada enggan membungkus suara Restu. Setelah menjawab kembali menatap ke atas.
"Seseorang? Apakah saat, Kang Restu dibebaskan, di sana masih ada pemuda lain? Kang Restu, sedang mengkhawatirkan dia, begitu?"
Restu menoleh, tersenyum lebar penuh arti. "Kau mengatakannya dengan begitu yakin. Apakah itu yang terjadi? Kau memikirkan aku yang waktu itu tidak ikut dibebaskan?"
Jati mengangguk. "Mereka sangat kejam dan brutal ...." Meneguk ludah dengan maksud hendak membasahi tenggorokan, tetapi yang Jati rasakan justru, seperti menelan batu. Ternyata, mengenang kembali peristiwa itu sungguh jauh lebih menyiksa dibandingkan saat mengalaminya. "Aku rasa lebih baik tidak usah membicarakannya lagi."
Restu mendengkus, senyum getir tersungging jelek di sudut bibir kiri yang dimiringkan. "Tidak semua dari mereka kejam. Masih ingat pada serdadu yang aku ludahi mukanya?"
Tidak perlu berpikir untuk mengingat. Wajah keempat serdadu Belanda itu telah tersimpan otomatis dan permanen di ruang memori Jati, apalagi serdadu yang dimaksud Restu. Karena bila waktu itu Restu tidak mencegah, yang akan menjadi korban pertama serdadu tersebut adalah jati.
"Tentu saja." Ada nada getir dalam suara Jati. "Kang Restu, tidak bermaksud mengatakan kalau orang itu baik, 'kan?"
"Menyebut Louis jahat, sama sulitnya dengan mengatakan bahwa ternyata dia orang baik."
"Louis? Panggilan yang terdengar sangat akrab," saat mengucapkannya, ujung kanan bibir jadi tertarik ke atas.
"Penampilanmu cukup menipu. Terlihat polos, lemah, nyatanya intuisi tajam." Restu terkekeh sarkas.
Angin berembus cukup kencang memaksanya bersedekap. "Aku tidak menyalahkan bila kau beranggapan semua kompeni itu jahat karena itulah yang kau saksikan. Tapi," Restu menghela napas dalam-dalam dan mengembuskan kasar, "aku menyaksikan sisi lain Louis yang tidak pernah muncul ke permukaan karena mungkin takut diintimidasi oleh yang lain---"
"Memangnya kebaikan apa yang sudah dilakukan oleh Louis?" Jati menatap Restu yang masih tengadah. Dia bisa melihat ada guratan-guratan lara di sana. Jati juga bisa merasakan kalau batin Restu sedang gundah dari seringnya pemuda itu menghela napas berat.
"Hanya satu kebaikan kecil yang membuatku sadar dia masih mempunyai hati nurani. Dia bersedia menolong seorang perempuan yang sedang sekarat di pinggir jalan, memberinya tempat tinggal dan persediaan makan yang cukup."
Selanjutnya dia melanjutkan dalam hati. Walaupun dia melakukannya supaya bisa mengikatku, tetapi setidaknya masih ada banyak hal yang sudah dia lakukan untukku. Bahkan dia rela dicemooh rekan-rekannya dan dikata-katai sebagai budak pribumi.
"Ibu Sedah?"
Masih dalam posisi kepala tengadah Restu mengangguk. "Dia hanya brutal saat di hadapan teman-temannya karena tidak ingin mencoreng nama besar paman yang ternyata adalah salah satu orang penting ...."
Hening. Untuk sesaat keduanya terdiam---entah apa yang sedang berkecamuk di pikiran---hingga Restu kembali bicara,
"Bagaimana denganmu? Apa yang terjadi setelah peristiwa itu?"
Sebenarnya Jati sangat enggan membicarakan tentang hal ini, tetapi sebagian kecil hatinya merasa bersyukur karena akhirnya ada orang yang bisa diajak bertukar pikiran. Orang yang sudah tentu tidak akan menertawakan atau mencemooh karena sama-sama menjadi korban.
"Harga diri sebagai laki-laki hancur, aku merasa sangat kotor, merasa tidak pantas, hingga ...."
Restu menoleh karena Jati tidak segera melanjutkan. "Hingga apa?"
"Aku terpaksa memutuskan hubungan dengan gadis yang sangat aku cintai," suara Jati begitu lirih. Untung sunyi sehingga Restu tidak perlu memintanya untuk mengulang.
Restu bisa memahami perasaan Jati karena juga sempat merasa seperti itu. Namun, satu hal yang bisa dia pelajari dari peristiwa tersebut, tidak selamanya apa yang terlihat buruk dan dianggap tidak layak, benar-benar demikian.
Louis adalah contohnya ... dan mungkin sekarang dia sudah tergila-gila padanya, sampai-sampai dengan begitu mudah nama dan wajahnya muncul di ingatan. Restu sampai harus mengibaskan kepala untuk menepis.
"Seharusnya kau tidak gegabah. Kita juga berhak bahagia, Jat. Bila ada seseorang yang seharusnya mendengar pengakuanmu, maka kekasihmu adalah orang yang tepat. Bukankah dengan begitu kamu juga bisa melihat dan menilai seberapa tulus dia mencintaimu ...."
Mereka terus bercengkerama hingga tanpa sadar tengah malam telah jauh terlewati. Restu memberikan banyak nasihat, hingga beban batin Jati terangkat, rasanya lega sekali.
Tentang Yaning, Jati pun telah bertekad memutuskan satu hal. Lihat saja bagaimana akhirnya nanti.
"Semakin dingin, Kang. Sebaiknya kita masuk dan Jati ucapkan banyak-banyak hatur nuhun atas nasehatnya."
Restu menepuk pundak Jati. "Apa pun kenyataan yang akan kau hadapi, tetap semangat. Dan sepertinya kita memang butuh istirahat untuk menghadapi hari esok. Huru-hara ini entah kapan akan berakhir."
Keduanya beranjak, melangkah masuk ke dalam rumah dengan hati yang terasa lebih ringan. Namun, Restu masih tidak bisa membayangkan seandainya dia dan Louis benar-benar bertemu di medan perang. Sanggupkah dirinya menjadi warga negara yang baik? Bisakah dia membunuh pria yang dia cintai dan menjadi patriot sejati bagi negeri. Rasanya tidak. Mungkin dia akan lebih rela mati di tangan Louis jika serdadu Belanda itu tega melakukannya.
Alih-alih tidur, setelah kembali membaringkan diri, ingatan akan Louis justru semakin menghantui Restu. Sambil mendengarkan Louis bercerita dan berkeluh kesah tentang sang paman, mereka mengarungi saat-saat terakhir penuh kelembutan yang terasa sangat manis.
Kenangan itu seolah melambai, memanggil Restu untuk kembali pada Louis. Kembali dalam pelukannya dan bersama selamanya. Sungguh konyol.
Menjelang pagi, angin bertiup semakin kencang. Restu sempat terlelap sebentar sebelum akhirnya ayam jantan berkokok dan kembali membuat dia terjaga.
Restu meringkuk di dalam sarung dengan mata terbuka, rasa kantuk sudah meninggalkanya dan perlahan wajah Louis kembali menggoda.
Ugh! Sial! Restu menarik lutut semakin rapat ke dada ketika merasakan ular sawahnya perlahan menegang. Alih-alih menyentuh, dia justru menggunakan kedua tangan untuk menghimpit kepala yang tiba-tiba berdenyut. Aku sungguh ingin mengumpatmu, Louis!
Merasakan pergerakan Bahrun, Restu segera memejamkan mata dan merilekskan tubuh.
"Kang Restu, tidak salat subuh?"
" ... sih ngantuk."
Bahrun tidak berkata apa-apa lagi, segera beranjak dari sisi Restu untuk melaksanakan kewajiban.
Begitu Bahrun sudah keluar, Restu membuka mata, mengubah posisi jadi telentang, dan mengembuskan napas kasar.
Bayangan wajah Louis seperti menari-nari di permukaan atap, menggodanya dengan senyum tampan yang sangat jarang Louis tunjukkan. Salam perpisahan dari Louis sungguh sangat berkesan, Restu tidak yakin bisa melupakannya meski tahun demi tahun akan berganti.
[0]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top