3. Jati Siman dan Kisahnya
Angin berembus cukup kencang, dahan serta ranting menari bersamanya dan debu pun mengudara. Beberapa lembar kertas melayang-layang seturut arah angin membawa.
Ujung jarit dan kebaya yang membalut tubuh sintal seorang gadis berambut panjang dikepang dua, melambai-lambai tak luput dari terpaan sang bayu. Meski ayunan kakinya tidak lebar, tetapi pasti dan percaya diri.
Bibir merah merona mengukir senyum tipis saat matanya mengerling sesuatu yang dia pegang di tangan kanan---dibungkus kain putih motif kotak-kotak biru tua.
Bibirnya semakin lebar tertarik ke samping ketika rumah yang hendak dia tuju sudah terlihat. Meskipun sama-sama dibangun dari kayu papan dan anyaman bambu, tetapi rumah itu terlihat paling bagus dan seperti menjadi satu-satunya rumah yang berdiri kukuh.
Sepertinya, dua tiang penyangga teras terbuat dari balok kayu jati berukuran cukup besar yang jadi penyebab. Karena rumah lain yang ada di sekitar, kebanyakan hanya menggunakan bambu sehingga terkesan rapuh.
Di saat siang begini, biasanya rumah itu ramai karena ada beberapa pemuda pejuang yang sering datang untuk ikut makan. Mereka akan menggunakan kesempatan berkumpul, untuk membahas apa saja yang berkaitan dengan penjajah dan situasi Kota Bandung saat ini.
Kini, yang masih menjadi bahan obrolan panas adalah tentang ultimatum yang memerintahkan supaya Kota Bandung dikosongkan.
"Inggris belgedes! Seenaknya mengusir kita dari tanah kelahiran kita sendiri! Eaah!" Suara gebrakan meja menyertai kemarahan yang terlontar dari mulut seorang pemuda berambut keriting, bermata bulat---tanpa melebarkan mata pun bola mata sudah terlihat melotot.
Bersamanya ada dua pemuda lain, yang satu berambut gondrong dan berkumis sedang berdiri menyandar di tiang dengan tangan terlipat di dada. Wajahnya tanpa ekspresi cukup berarti, selain kesan angker alami karena kumis dan rambut rimbun.
Sedangkan pemuda satunya berwajah manis, rambut lurus belah tengah, memiliki tatapan sayu, dan kulit sangat putih bila dibandingkan kedua temannya yang kecoklatan. Kesan lembut dan penyabar bisa dirasakan saat dia berbicara,
"Daripada marah-marah tidak jelas, lebih baik kita pikirkan bagaimana cara memberi pelajaran pada orang-orang kulit putih yang sombong itu," bahkan saat nada marah membungkus kata-katanya, tetap saja terdengar halus dengan suara serak-serak basah.
Kedua teman menatap penuh arti. Si keriting yang berada di hadapannya---terpisah meja---mencondongkon diri dan berujar, "Kulitmu juga putih ... apa kau lupa, Jat?"
"Jauhkan wajahmu dariku, Run." Jati menolak wajah Bahrun.
"Setelah peristiwa perobekan bendera Walanda, situasi semakin menegang, mereka juga semakin sewenang-wenang." Si gondrong memisahkan diri dari tiang rumah yang telah menjadi tempat bersandar kira-kira selama lima belas menit lamanya, lalu bergabung dengan yang lain. "Kamu masih belum mau cerita, sebenarnya apa yang terjadi waktu itu?" Menatap Jati, berharap mendapatkan jawaban, tetapi sia-sia. Jati malah hanya menghela napas lalu menyandarkan punggungnya di sandaran kursi.
Seperti yang telah diperkirakan oleh para serdadu Belanda itu, Jati Siman adalah contoh nyata korban pelecehan yang tidak berani buka mulut. Bahkan karena merasa diri sudah tidak pantas untuk sang kekasih, Jati nekat memutuskan hubungan. Namun saat ditanya apa alasannya, dia malah bisu, membuat semuanya tetap menjadi misteri.
"Punten," suara lembut memberi salam, mengalihkan perhatian mereka---serempak menoleh ke arah pintu.
"Mangga," Singgih, si gondrong membalas.
Bahrun, si keriting tersenyum lebar. "Kamu masak apa, Ning?" tanyanya antusias.
"Aa-aa, makanan sudah siap!" Seorang gadis berambut pendek---potongan pria---muncul dari satu-satunya pintu yang ada di seberang ruangan membawa dua mangkuk lalu meletakkan di meja. Senyum lebar menciptakan lekukan curam di kedua pipinya.
Selalu keduluan, gadis yang tadi melangkah penuh semangat dengan wajah semringah, seketika mengeluh dalam hati saat melihat kemunculan gadis tersebut. Namun, tetap memaksakan senyum merekah. Meskipun tidak ada lesung pipi, senyumnya tidak kalah manis.
"Teh Yaning, ayo, masuk." Gadis ceria itu menghampiri. "Teteh, masak apa? Pasti enak. Iya, 'kan, Aa Jati?"
Jati yang sedari tadi berusaha untuk tidak memandang ke arah gadis berkepang dua itu, mau tidak mau menoleh dan tersenyum tipis sebagai tanda setuju.
Yaning adalah kekasih yang sudah Jati putuskan, tetapi karena Jati tidak pernah bisa memberikan alasan pasti akan keputusannya itu, Yaning tidak mau menerima. Bagi Yaning, Jati tetap kekasihnya. Sayang sekali, kehadiran si Enjum, gadis rambut pendek, yang selalu menempel pada Jati membuat situasi antara Jati dan Yaning makin canggung.
Saat duduk makan bersama seperti sekarang ini, Yaning hanya akan menjadi seperti pelengkap. Makan dalam diam, tidak seperti Enjum yang banyak mengoceh---sangat pintar menghidupkan suasana.
Setelah cukup lama hanya diam, akhirnya Yaning mendapat kesempatan membuka topik baru ketika yang lain telah kehabisan bahan obrolan, "Saudara kamu yang punya rumah ini belum ada kabarnya, Run?"
"Belum, Ning. Teman-temannya bilang, terakhir kali melihat Kang Restu saat dia diam-diam ikut aksi perobekan bendera Walanda di Gedung DENIS. Tapi, teman lain yang saat itu ada di tempat kejadian bilang, tidak melihat Kang Restu di sana."
"Mudah-mudahan Kang Restu berada di suatu tempat aman dalam keadaan baik-baik saja, Run," Singgih menimpali.
Bahrun hanya tersenyum tipis. Hatinya selalu dihinggapi gelisah walau tidak pernah ditunjukkan. Dia telah kehilangan ibu---satu-satunya keluarga yang masih tersisa---waktu Sungai Cikapundung meluap pada tanggal 25 November tahun lalu.
Bersama Jati dan Singgih yang juga sudah yatim piatu, dia mengungsi ke daerah selatan, ke rumah paman yang setahu dia hanya dihuni oleh anaknya, Restu. Paman beserta istri pamannya telah lama meninggal.
Namun, sesampai di sini ternyata rumah dalam keadaan kosong dan tidak terkunci. Rupanya sudah sejak lama rumah ini sering digunakan sebagai tempat berkumpul para pemuda pejuang, teman-teman Restu. Letaknya yang berada di dataran tinggi dan agak terpencil, menjadikan rumah ini cocok untuk dijadikan tempat berkumpul diam-diam.
Di antara mereka, satu-satunya yang masih memiliki keluarga lengkap hanyalah Yaning. Enjum juga sudah sebatang kara, rumahnya tidak terlalu jauh dari sini.
"Aa Jati ... ini, tambah lagi sayur daun singkongnya." Selalu seperti ini. Enjum tahu kalau Yaning dan Jati sebenarnya masih saling mencinta, tetapi tidak pernah sungkan menunjukkan perhatiannya pada Jati di hadapan Yaning.
"Sudah cukup, Enjum. Aa sudah kenyang."
"Ah! Atau ini saja, tumis labu punya Teh Yaning."
Di saat seperti ini, gantian Bahrun dan Singgih yang menjadi seperti tak kasatmata. Mata kedua gadis itu hanya melihat Jati sebagai satu-satunya makhluk tampan, padahal mereka berdua juga merasa tidak kalah tampan.
"Kamu tidak lihat isi piring Jati sudah penuh begitu?" Singgih yang paling irit bicara, akhirnya menegur Enjum yang seperti tidak mendengar penolakan jati.
Kasar, gadis itu tiba-tiba meletakkan sendok sayur berbahan kayu yang dipegangnya hingga terdengar suara berdenting saat beradu dengan bibir mangkuk. Empat yang lain menjengit dan menatap Enjum. Rasanya tidak percaya gadis ceria dan ramah bisa bertindak begitu kasar.
"Aku selalu berusaha memasak makanan ini sebaik mungkin supaya rasanya enak dan kalian suka. Tapi ...." Gadis itu bangkit. "Enjum pamit, punten."
"Eh, Enjum!" Jati segera berlari mengejarnya.
Yaning pun meletakkan sendok, menatap lesu pada makanan sederhana yang belum habis disantap. Dia baru menyadari kalau yang telah dimakan adalah masakannya, sedangkan masakan Enjum bisa dibilang masih utuh. Pantas saja bila Enjum kesal. Sekesal hati Yaning saat ini karena Jati mengejar gadis itu.
Singgih dan Bahrun saling bertukar pandang. Selera makan pun telah sirna. Mereka juga baru menyadari kalau ternyata lebih menyukai masakan Yaning. Karena biasanya ada beberapa pemuda lagi yang turut makan bersama mereka, apa yang ada di meja disantap. Tidak ada makanan tersisa, jadi tidak ketahuan mana yang enak dan mana yang tidak.
"Eaah! Ning, sebenarnya hubunganmu sama Jati bagaimana?"
"Daripada membicarakan hal itu, lebih baik kita pikirkan bagaimana sebaiknya kita ini? Mengungsi atau tidak?" Singgih selalu menjadi satu-satunya orang yang berpikiran realistis dan logis, lebih suka membicarakan sesuatu yang lebih berbobot dibandingkan sekadar urusan hati.
"Kalau harus memilih, aku mending tetap di sini!"
"Bukankah kita harus menunggu keputusan dari para petinggi, A?"
Seperti langkah membentur jalan buntu, obrolan itu pun tidak dilanjutkan. Ketiganya hanya diam, punggung menyatu dengan sandaran kursi, dan mata menatap kosong atas meja yang masih berantakan.
Sementara itu, Jati berhasil mengejar Enjum dan mengajaknya berteduh di bawah pohon mangga yang tumbuh di pinggir jalan belakang rumah.
Alih-alih memperlihatkan wajah sedih, gadis ini malah terkikik sambil menutup mulut. Parasnya memang ayu dengan senyum berlesung pipi, hidung mancung dan mungil, mata juga terkesan kecil. Semua yang ada pada diri Enjum terkesan mungil proposional sesuai dengan tubuh yang juga mungil. Namun, potongan rambut sungguh kontras dengan jarit dan kebaya yang dia kenakan.
"Kamu kenapa malah tertawa, Njum? Aku pikir tadi marah?"
Lekukan di kedua pipi Enjum semakin dalam saat senyumnya semakin lebar. "Karena Enjum senang, Aa Jati mengejar Enjum. Itu berarti, Aa perhatian sama Enjum." Dilihat dari tingkah laku, gadis ini sangat kekanakan sekali, padahal usianya sebaya dengan Yaning, delapan belas tahun.
Bahu Jati seketika jatuh. Malas rasanya membahas serta mempertegas hal yang itu-itu terus. "Enjum, dengar ... jangan salah paham. Kamu sudah aku anggap seperti adik---"
"Lalu, bagaimana dengan Teh Yaning?"
"Walaupun hubungan kami tidak berjalan baik, sampai kapan pun Yaning tetap akan jadi sahabatku."
"Aa Jati bohong. Enjum bisa lihat kalau Aa masih mencintai Teteh Yaning."
Jati menatap sendu. Sungguh tidak menyenangkan membahas tentang hal ini. Karena membuat ingatannya otomatis bernostalgia pada peristiwa pelecehan itu. Jati mengibaskan kepala untuk menepis bayangan saat dirinya dinistakan.
"Cinta atau tidak, yang jelas hubungan kami sebagai sepasang kekasih sudah berakhir. Sekarang kami hanya sahabat, tidak lebih. Oh, iya ... bukannya tadi kamu marah soal makanan?"
Enjum kembali terkikik, padahal tidak ada yang lucu dari perkataan Jati. Setelah itu, menatap dengan mata menyipit sambil berkata, "Enjum cemburu karena Aa terus-menerus mencuri pandang pada Teh Yaning. Harusnya Aa bisa menjaga perasaan Enjum. Aa kan tahu kalu Enjum suka sama Aa."
Sifat Enjum yang sangat blak-blakan sering membuat Jati merasa risi, juga tidak enak hati, bahkan terkadang sulit berkata-kata untuk menanggapi. Entah dibesarkan di dalam keluarga seperti apa, tindak-tanduk Enjum sungguh tidak mencerminkan gadis pribumi yang lugu. Dia dan Yaning laksana lawan kata, baik dari fisik maupun kepribadian.
Setelah obrolan cukup berbelit tentang isi hati Enjum, yang bagi Jati hanya membuang-buang napas dan waktu sia-sia itu berakhir, Jati bisa bernapas lega saat Enjum pergi.
________
Waktu terus berlalu, di saat malam menjelang, suasana menjadi gaduh dan sedikit menegangkan. Beberapa pemuda datang ke rumah dan menyampaikan dua instruksi berbeda yang berasal dari pusat dan dari Markas Besar Tentara di Yogyakarta.
Dari pusat memerintahkan supaya mereka menuruti permintaan sekutu, meninggalkan Kota Bandung, sedangkan dari Yogyakarta mengharuskan mereka mempertahankan setiap jengkal tanah tumpah darah.
"Sebagai warga Bandung, aku akan tetap mempertahankan tanah kelahiranku! Aku tetap bertahan!" Seorang pemuda dengan postur tubuh tinggi, lengan yang tidak tertutup karena dia hanya memakai kaus singlet tampak berotot, menggebrak meja hingga membuat yang lain terlonjak. "Seenaknya saja mereka itu!"
"Kau tidak lihat, beberapa warga sudah ada yang pergi mengungsi?" hidung pemuda ini mancung tapi sedikit bengkok, ucapan bernada sarkas yang terlontar dari mulutnya yang sempat mencibir, seperti hendak mengatai pemuda satunya tadi 'sok'.
"Aku setuju sama Kang Abdul! Aku akan bertahan!" Mata yang dalam keadaan normal saja sudah tampak melotot, kini terlihat seperti hendak lompat ke luar karena Bahrun menatap si hidung bengkok nanar.
Melihat lagak Bahrun, Jati segera menimpali, "Aku rasa, kita semua yang ada di sini juga akan lebih memilih tinggal dan terus berjuang sampai titik darah penghabisan, Run. Tapi, memilih untuk mengungsi juga bukan sesuatu yang buruk. Kita masih punya waktu, Kang Pariman. Lebih baik menunggu perkembangan, siapa tahu masih ada instruksi susulan."
"Aku setuju dengan Jati," pemuda yang memiliki tatapan setajam mata elang mengintai mangsa, angkat bicara tegas, sebelum pemuda lainnya menyambung obrolan yang berpotensi menimbulkan perdebatan sengit. "Kita tunggu instruksi selanjutnya."
"Kang Pariman, tidak perlu pasang wajah kesal begitu." Singgih yang lebih suka menyimak dan akan turut bicara di saat-saat yang menurutnya tepat, akhirnya mendapatkan kesempatan itu saat mendapati pemuda yang hidungnya bengkok tampak masam. Ada nada mengecam dalam suara Singgih.
"Adakalanya kita memang beda pendapat, tapi, ya, jangan sampai bersitegang dan musuhan. Sudah cukup banyak musuh yang harus kita lawan, janganlah sampai melawan sesama kawan juga," si mata elang bertutur bijak sambil mengetuk-ngetuk permukaan meja, mata menatap lekat Pariman yang terlihat salah tingkah.
"Aku kan hanya mengatakan apa yang aku lihat, tidak ada maksud apa-apa dan tentu saja aku akan tetap berjuang bersama kalian." Alih-alih mengucap maaf, Pariman malah tampak arogan. Namun, bagi yang lain, yang sudah sangat mengenal tabiatnya, hal itu adalah merupakan permintaan maaf tulus dari hati.
"Aku setuju denganmu, Man!"
Semua kepala serempak menoleh ke arah pintu utama untuk melihat siapa yang berucap barusan. Kecuali Singgih, lima pemuda yang lain menatap terperangah pada pemuda berwajah tampan, maskulin, setiap garis dan sudut di wajahnya terlihat tegas. Di sampingnya berdiri perempuan yang sudah cukup tua dan terlihat lemah.
"Kang Restu!" Bahrun beranjak dari duduk lalu berlari menghambur tanpa peduli kakinya sempat menyepak Singgih yang duduk di sebelahnya. "Syukurlah, Kang Restu baik-baik saja." Pelukannya begitu erat hingga pemuda yang dipeluk merasa sesak.
"Run, lepas dulu. Aku tidak bisa napas ini."
Nasib. Ketika Bahrun sudah hendak melepaskan pelukan, tiga pemuda lain justru datang dan menghimpit Bahrun sekalian. Mereka bersorak kegirangan seperti orang yang barusan memenangkan perang.
Ibu Sedah hanya berdiri memperhatikan dengan hati penuh haru. Senang rasanya melihat Restu yang selama dalam perjalanan terlihat murung dan tidak bersemangat, akhirnya tergelak bahagia dalam rangkulan tangan-tangan teman seperjuangannya.
Jati perlahan bangkit lalu melangkah menghampiri. Matanya terus menatap ke arah Restu yang hilang muncul di balik tubuh-tubuh yang menghimpitnya. Jati berhenti dikisaran jarak 2 meter.
Singgih menyusul dan berdiri di sampingnya. "Kamu mengenalnya?"
"Sepertinya."
Singgih menatap Jati, alisnya bertaut. Sebenarnya masih ingin bertanya, tetapi ketika melihat Bu Sedah, dia segera meninggalkan jati untuk menghampiri perempuan tersebut.
"Ibu, mari masuk. Sepertinya Ibu lelah habis perjalanan jauh."
"Punten, Nak. Hatur nuhun." Bu Sedah yang memang sudah sangat kelelahan segera melangkah dibimbing oleh Singgih yang memegangi lengannya.
Jati masih belum beranjak, matanya terus menatap ke arah Restu dan dalam hati berkali-kali mengucap syukur. Sungguh suatu kebetulan, Ternyata Restu adalah saudara sepupu Bahrun, si pemilik rumah ini.
"Eaah! Kalian ini apa-apaan? Minggir semua, beri ruang buat Kang Restu!" Bahrun berhasil mendorong yang lain menjauh. "Apa kalian tidak lihat wajahnya begitu lelah?"
"Sudah, Run, tidak apa-apa. Aku juga kangen sama mereka ...." kata terkahir Restu hanya terdengar bagai bisikan ketika matanya bertemu pandang dengan Jati. Hampir saja dia menyuarakan keterkejutannya, tetapi untung segera menyadari situasi. Akhirnya, hanya mengangguk kecil dan tersenyum tipis. Jati pun membalas dengan cara yang sama.
Bahrun yang menyadari arah tatapan Restu, segera menoleh. "Ah, iya! Sini, Kang." Menarik tangan Restu dan membawanya ke hadapan Jati. "Kenalan, Jat, ini Kang Restu dan Kang Restu, ini Jati."
Jati mengulurkan tangan dan Restu menyambutnya tanpa ragu. Mata saling menatap, mulut pun bersamaan berucap,
"Jati."
"Restu."
[0]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top