1. Awal Kisah Mereka

Jepang menyerah tanpa syarat. Inggris datang ke Indonesia dengan maksud untuk membebaskan para tentara Belanda yang menjadi tawanan Jepang. Namun, pada kenyataannya kehadiran mereka, kembali mendatangkan masalah bagi kedaulatan negeri.

Mereka memosisikan diri sebagai penguasa dan banyak melakukan intervensi terhadap kepentingan rakyat Indonesia.

Proklamasi Kemerdekaan yang telah dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus pun tak ubahnya sebuah kontradiksi. Indonesia belum merdeka sepenuhnya, masih ada Inggris dan Belanda yang merongrong kedamaian negeri ini. Perjuangan untuk mencapai kemerdekaan yang sesungguhnya masih panjang.

Pasukan Inggris dipimpin oleh Brigade MacDonald tiba di Bandung pada tanggal 12 Oktober. Sejak semula hubungan mereka dan pemerintah RI sudah tegang, diperparah dengan terjadinya perselisihan antara pasukan sekutu dan TKR di Magelang, Jawa Tengah, hingga terjadinya perang Ambarawa pada 20 Oktober.

Sekutu menuntut agar semua senjata api yang ada di tangan penduduk, kecuali TKR dan polisi, diserahkan kepada mereka.

Orang-orang Belanda yang baru dibebaskan dari kamp tawanan pun mulai melakukan tindakan-tindakan yang mengganggu keamanan, apalagi Inggris kembali mempersenjatai mereka.

Dengan adanya peristiwa perobekan warna biru pada bendera Belanda di Gedung DENIS, mereka pun meradang. Beberapa serdadu Belanda, bertindak arogan dan barbar---menangkap lima pemuda Bandung. Menyekap mereka di sebuah rumah kosong pinggiran kota yang biasa dijadikan markas---tempat bersenang-senang---para serdadu muda Belanda tersebut.

"Lepaskan dia!" seorang pemuda berteriak lantang ketika menyaksikan pemuda berkulit terlalu putih untuk ukuran penduduk pribumi---terlihat begitu ringkih dan lemah---didorong hingga tersungkur dan hendak dilucuti celananya.

Empat serdadu Belanda serempak menoleh padanya. Salah satu menghampiri dengan langkah sedikit sempoyongan, dagu terangkat, dan ujung bibir miring. Sangat menyebalkan.

Garis rahang tegas dan hidung mancung membuat wajah pemuda Bandung ini terlihat maskulin dan menawan. Serdadu Belanda yang kini berdiri di hadapannya menatap lekat penuh hasrat.

"Sepertinya ... kamu terlihat jauh lebih menantang. Aku berubah pikiran, kamu akan menjadi yang pertama." Mata menyipit, bibir tersenyum miring, kemudian tergelak-gelak bagai tidak waras.

"Dasar walanda laknat menjijikkan!" tanpa disangka-sangka, pemuda berkulit putih yang terlihat lemah itu meraung. Mata menatap nanar, wajah memerah, gigi bergemeretak seperti sedang menghancurkan tulang, garis rahang tidak setegas pemuda yang satunya tadi, tetapi tidak mengurangi kesan garang dan berani.

Teriakan pemuda itu rupanya turut menyulut keberanian yang lain. "Pengecut! Lepaskan ikatan kami dan kita bertarung secara jantan, walanda bedebah!" Pemuda yang memiliki tahi lalat di atas bibir sebelah kiri ini pun menyalak garang.

Seketika itu juga lutut menjejak bumi kala salah seorang serdadu mengayunkan kaki untuk memukul bahu kiri lalu menekannya.

"Besar mulut!"

Tubuh pemuda bertahi lalat itu seketika tersungkur, tengkurap di tanah saat si serdadu menendang punggungnya sekuat tenaga.

"Manusia-manusia laknat, kelakuan juga bejat!" Tidak kalah garang, tetapi tubuh pemuda berambut ikal dengan ikat kepala merah putih ini, seketika juga ambruk mencium lantai tanah, ditendang oleh serdadu yang berada di dekatnya.

"Tutup mulut, dasar manusia rendahan!"

"Hei! Mulut ...." Si serdadu yang jalannya agak sempoyongan, mendelik pada rekan yang barusan berkoar.

"Tsk, oke." Rekannya membuang muka tak acuh.

"Walanda bangsat! Angkat kaki kalian dari negri kami! Enyah dari tanah tumpah darah kami!" teriakan berapi-api pemuda berkacamata ini seketika padam saat ujung sepatu salah satu serdadu menyumpal mulutnya.

Aksi itu disambut oleh rekan-rekannya, kecuali si serdadu sempoyongan dengan name tag Louis van Koen. Serdadu ini hanya melihat saja saat rekan-rekannya bertindak brutal, menghajar keempat pemuda Bandung tanpa ampun.

"Kenapa hanya melihat?! Hentikan mereka!"

Satu tinju bersarang di ulu hati pemuda berwajah maskulin, memaksanya mendekap perut dan merosot ke tanah.

Cara Louis menatap pemuda yang sedang meringkuk, meringis menahan sakit itu tampak berbeda dari serdadu lain yang jelas-jelas penuh penghinaan.

Iris hazel-nya tampak berbinar walau kata yang terlontar dari mulut cukup kasar, "Kamu pikir kamu siapa, huh?" Louis berjongkok lalu mengangkat dagu pemuda itu. Senyum miring menghiasi wajahnya yang ditumbuhi bulu-bulu kasar di bagian rahang dan dagu.

"Bajingan," pemuda itu mendesis, gigi terkatup rapat, rahang pun mengeras.

Setelah tubuh-tubuh para pemuda itu meringkuk tak berdaya---merintih dan menggeliat kecil---seorang serdadu mulai melakukan aksinya pada si pemuda berkulit putih.

"Jauhkan tangan kotormu dariku!" suara garannya tidak lantang, tarikan napas berat, rasa nyeri pada tulang rusuk membuat dadanya sakit luar biasa.

Serdadu itu mengangkat dagu si pemuda sangat kasar. Bibir kemerahan yang terlihat basah menggoda, membangkitkan gairahnya. Amarah yang meluap seketika terkikis oleh libido yang meningkat. Alih-alih mengamuk, dia mencium pemuda itu bagai gila.

"Bajingan! Hentikan, lepaskan dia---ugh!" Satu tendangan keras menghentikan teriakan si pemuda maskulin. Lutut serta-merta tertekuk hingga menyentuh dada. Mata terpejam erat dan gigi saling merapat. Rasanya bagai sengatan arus listrik menjalar ke seluruh tubuh hingga kepala berdenyut dan telinga berdenging. "Bangsat," dia mengumpat sangat lirih.

Empat pemuda lain yang dalam kondisi sama-sama tidak berdaya, menjengit ngeri. Tatapan jijik dan marah terpaku pada Louis yang tangannya mulai nakal, menggerayangi leher dan dada si pemuda maskulin. Namun, gerakan terhenti kala pemuda itu meludahi wajahnya.

"Walanda gelo, menjijikkan!" (Gelo = gila)

Louis berkata kasar menggunakan bahasa Belanda yang tidak mereka pahami, sembari tanpa ampun melayangkan empat tamparan berturut-turut di pipi pemuda itu. Louis kalap, tanpa ampun dan malu melakukan aksi bejatnya di hadapan mereka semua.

Di bawah todongan senjata tiga serdadu lain, korban pun tidak berkutik.

Pemuda berkulit putih memejamkan mata rapat-rapat, tak sanggup menyaksikan adegan asusila itu, tetapi seorang serdadu menodongkan senjata di pelipis dan memerintahkan untuk membuka mata.

Mereka melecehkan para pemuda di hadapan para serdadu lain dan memaksa para pemuda itu saling menyaksikan saat yang lain dilecehkan.

Meski pada akhirnya dari mereka tidak ada yang luput dari perbuatan bejat para serdadu, tetapi yang tetap ditahan hanya pemuda maskulin. Serdadu Belanda yang telah diludahinya tidak ingin berbagi pemuda itu dengan serdadu lain, pun tidak berniat menyentuh pemuda lain.

Satu per satu mereka dilepaskan. Para serdadu tahu pasti bahwa menjadi korban pelecehan seksual bagi pria adalah aib yang lebih besar dibandingkan bila korbannya adalah perempuan. Jadi, tanpa diancam pun kemungkinan untuk buka mulut sangat kecil.

Pemuda-pemuda itu pasti memiliki kekasih atau mungkin malah sudah beristri. Apa jadinya bila mengetahui bahwa pria-pria yang mereka cintai telah menjadi korban pelecehan seksual. Bisa jadi, kredibilitas sebagai kaum adam diragukan. Bagaimana bisa melindungi pasangannya bila tidak bisa melindungi diri sendiri.

Entah akan ada berapa banyak korban lagi, yang jelas tak ada satu pun yang berani bersuara. Karena tentunya mereka tidak ingin harga diri sebagai laki-laki hancur, serta dipandang rendah.

Dengan kepala tertunduk lesu, langkah lunglai para korban pelecehan seksual itu perlahan meninggalkan bangunan kosong yang barusan menjadi neraka bagi mereka.

Satu sama lain tidak saling mengenal nama, tetapi wajah-wajah lesu penuh lara yang barusan bersama-sama menanggung derita, tidak akan begitu saja mudah untuk dilupakan. Mereka berpisah jalan tanpa salam perpisahan, juga tanpa lambaian tangan.

Pemuda berkulit putih berhenti sejenak, menatap sendu dinding-dinding reyot neraka yang barusan menjadi tempatnya didera. Dalam hati berharap satu-satunya pemuda yang masih tertinggal di sana akan segera dibebaskan juga.

Semoga kita bisa bertemu kembali dalam situasi yang lebih baik. Namaku Jati ... Jati Siman.

[0]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top