🍰 9. Lebih Dekat 🍰
Sore, temans. Lava menyapamu lagi.
Hubunganku dengan Mas Candra memang terasa manis. Setiap bangun pagi, semangat kerjaku menjadi luar biasa. Meskipun jam kerja kami terkesan kapan saja dan semaunya, nyatanya itu tak menghalangi hubungan kami yang bagiku sangat menyenangkan.
Sebelum pergi berolahraga, aku mandi terlebih dulu. Selama menyiapkan diri, aku berbalas pesan dengan Mas Candra. Dia punya jadwal pagi, tetapi tak terlalu sibuk. Sebelum aku pergi, kukirimkan sebuah foto yang kuambil setelah penampilanku rapi. Kupikir-pikir pasti menyenangkan kalau sedikit menggodanya.
"Seger banget pagi-pagi. Aku suka lihat perempuan yang seger begitu."
Senyumku mengembang. Mas Candra selalu tahu cara membuatku senang. Kubalas pesan itu dengan mengatakan "nanti kalau capek jemput" dan langsung diiyakan olehnya. Dari sini saja sudah bisa membuatku tersenyum lagi. Entahlah, aku tidak tahu mengapa senyumku gampang sekali memgembang sejak kami menjadi dekat. Kekonyolan yang kusadari adalah bagaimana bisa jemput kalau dia saja sibuk, sedangkan aku membawa kendaraan sendiri.
Hal-hal seperti itu yang terkadang membuat semangatku naik. Tidak ada hubungannya memang, tetapi itulah yang terjadi. Mungkin terlihat aneh bagi orang lain, tetapi apa peduliku? Yang penting aku nyaman dan hariku berlalu dengan menyenangkan.
Waktu berlangsung seceria itu. Tidak ada kendala yang berhasil memusingkan kepalaku atau hanya sekadar untuk dipikirkan. Semuanya berlalu dengan baik, termasuk pekerjaanku dan kebiasaan nongkrong dengan Rosa ketika kami sudah beberapa hari tidak bertemu. Entahlah, kami sama-sama tidak merasa lega jika belum bertemu. Minimal sekali seminggu kami harus nongkrong hanya untuk ngopi atau makan mi instan. Mengobrolkan sesuatu yang kadang tak jelas arahnya. Membicarakan gosip terkini meski kami juga tidak terlalu dalam menguliknya.
Seperti kali ini, sore datang dengan matahari yang masih cerah meski sudah condong ke barat. Sinarnya tidak panas, tetapi masih silau kurasa. Sejuknya angin membuat segalanya baik-baik saja. Tidak panas, tidak juga dingin. Sebaliknya, aku merasa udara sore ini benar-benar sempurna.
"Va, dengar-dengar Rania mau pindah ke Indo Farma." Rosa memulai gosipnya.
"Nggak mungkin." Aku tersenyum dan merasa yakin dengan jawabanku. "Hal itu nggak akan terjadi kecuali ...."
"Kecuali apa?" Kebiasaan sekali Rosa ini. Kalau rasa ingin tahunya sudah bergejolak, dia pasti akan memotong pembicaraan tanpa merasa bersalah.
"Kecuali Pak Bagas keluar dari perusahaannya. Lagi pula di tempatku tak ada lowongan untuk detailer. Kecuali dia mau jadi sales OTC karena hanya di sana yang sedang ada lowongan kerja."
Rosa tertawa. Aku tidak tahu apa yang dia tertawakan. Kuingat lagi kalimat yang kuucapkan. Tidak ada yang lucu, justru semuanya kenyataan. Bukan fitnah atau pun gosip murahan yang tidak bertanggung jawab dan kudengar dari orang lain.
"Kamu apal banget sama kebiasaan Rania."
Tak ingin membahas Rania lebih lanjut, aku memilih untuk meminum milkshake yang menjadi teman ngobrol untuk menghabiskan sore. Meski Rania teman yang keras dan berbicara sekenanya serta cenderung tanpa dipikir lebih dulu, tetap saja ada rasa enggan di hatiku untuk menjelekkannya. Biarkan saja dia dan kemauannya, kalaupun ada pelajaran yang akan dia dapat dari kebiasaan buruknya, aku hanya berharap itu bukan dariku.
"Ngomong-ngomong, ke mana Mas Candra? Biasanya selalu ada kebetulan yang membuat kita bertemu dia." Mengganti topik sudah pasti lebih aman, selain untuk mengobati rasa ingin tahuku yang mulai memuncak mengingat dia yang belum membalas pesanku sejak tadi siang.
"Nggak tahu juga. Mungkin sibuk, tapi Candra memang nggak terbuka, sih, orangnya. Angin-anginan kalau kubilang."
Angin-anginan? Apakah maksudnya tergantung suasana hati? "Apa itu maksudnya?" Tak mengerti maksud Rosa, aku memutuskan untuk bertanya.
"Semau dia. Nggak bisa ditebak. Pokoknya dia itu suka nggak jelas deh."
"Teman sendiri dikatain," kelakarku yang disambut Rosa dengan cengiran. "Semoga saja Mas Candra tahu kalau punya teman yang suka ngatain di belakangnya."
"Candra tahu, dong, kalau aku julid. Dia nggak pernah tuh komentar yang aneh-aneh. Lagian kalau nggak cocok pasti udah menjauh dari aku. Nyatanya apa? Kami tetap berteman baik sampai sekarang."
Aku mengangguk. Rosa memang berteman lama dengan Mas Candra, itu aku sudah tahu. Meski begitu, aku tetap tidak bisa menanyakan apa pun dengan bebas. Aku tidak ingin ada seorang pun tahu mengenai kedekatanku dengan Mas Candra. Kupikir ini belum waktunya. Hubungan kami belum jauh hingga orang lain harus mengetahuinya. Sementara ini biarlah semuanya kurasakan sendiri.
***
Jam enam sore aku sampai di rumah. Nenek mengatakan kalau makan malam sudah siap di meja dan mempersilakanku supaya makan duluan. Beliau harus ke kamar karena Kakek sedang tidak enak badan. Aku mengikuti Nenek ke kamarnya dan melihat Kakek bersandar di kepala tempat tidur.
"Anak bau dilarang masuk." Kakek menggerakkan tangannya, mengusirku dari kamar. "Mandi sana, terus makan! Cuaca lagi ndak bersahabat, Nduk. Jaga kesehatanmu!"
"Iya, Kek. Nenek bilang, Kakek nggak enak badan. Makanya Lava ke sini mau lihat keadaan Kakek."
"Kakek ndak apa-apa. Hanya sedikit lelah saja."
"Benar nggak apa-apa? Kita ke dokter, yuk, Kek. Buat memastikan kesehatan Kakek."
"Kakek baik-baik saja. Sana mandi dan makan."
Jika Kakek mengatakan begitu, maka aku hanya bisa menurutinya. Kadang-kadang hal itu memang terjadi, maksudku ... Kakek begitu hanya ingin membuat Nenek beristirahat lebih banyak. Beliau tidak suka jika melihat si wanita tercinta yang sudah mendampinginya selama puluhan tahun itu terlalu lelah hanya karena mengurus rumah. Betapa manis cinta dan hidup mereka, itu selalu menjadi sebuah teladan bagiku.
Kutinggalkan kamar Kakek dan Nenek menuju kamarku sendiri. Kuletakkan tas di meja setelah mengeluarkan ponsel dan melemparnya ke tempat tidur. Aku membersihkan tubuh dengan cepat. Lebih tepatnya efisien, aku bukanlah perempuan yang menghabiskan banyak waktu hanya untuk mandi. Setelahnya, aku merawat kulit seperti biasa dan meraih ponsel begitu selesai. Jantungku berdetak sedikit lebih cepat ketika melihat pesan Mas Candra.
"Sudah sampai di rumah, 'kan? Hari ini aku sibuk dan merindukanmu."
Senyumku mengembang membaca pesan itu. Bukankah dia sangat manis? Beberapa kali Mas Candra memang sibuk dan mengatakan hal itu setelah malam tiba. Seperti hari ini contohnya, aku ingin dia memberitahuku tentang kesibukannya sebelum dia memulai aktivitasnya.
Aku lega mendapati bahwa Mas Candra baik-baik saja. Bagaimanapun, kedekatan kami membuatku merasa bahwa aku harus tahu kabarnya. Hariku terasa tidak lengkap jika dia belum memberiku kabar. Saat sedang ngobrol dan tiba-tiba Mas Candra kembali pada kesibukannya, jujur aku merasa tidak senang. Setidaknya dia bisa mengatakan kalau sibuk, jadi aku tidak menunggu dan berprasangka.
"Ya, aku sudah di rumah. Mas ... bisa nggak lain kali kalau mau kembali ke aktivitasnya bilang dulu sama aku. Jangan tiba-tiba off dan aku tetep nungguin sambil berpikir yang enggak-enggak."
Saat melihat statusnya yang langsung online, tentu aku merasa kalau dia sedang senggang. Pesan balasan masuk beberapa detik kemudian dan langsung membuatku tersenyum. Memang sebesar itu pengaruh Mas Candra untukku. Dia sanggup mengubah suasana hatiku menjadi lebih baik hanya dalam hitungan detik.
"Iya. Ntar dikabarin. Hari ini kamu nggak makan pedas, 'kan?"
Pertanyaan itu selalu dia tanyakan di setiap waktu senggang yang kami luangkan. Mas Candra memastikan kalau aku benar-benar tidak menyentuh cabai terlalu banyak. Tahu sendiri ... kesehatan selalu menjadi alasan Mas Candra untuk menghentikan kebiasaanku yang menurutnya tidak baik.
"Ya makan pedas, tapi sedikit."
Mas Candra langsung membalas pesanku dalam hitungan detik.
"Sedikitmu itu tiga sendok. Kalau nggak diawasi, kamu suka lupa itu sama nasihatku."
Aku tertawa setelah membaca pesan Mas Candra. Dia tahu sekali dengan kebiasaan-kebiasaanku. Aku tidak menyangka kalau dia yang terlihat pendiam ternyata begitu perhatian. Untuk kesekian kalinya aku merasa begitu tersanjung telah diperhatikan olehnya.
"Nggak sampai tiga sendok, Mas. Aku cuma kasih satu sendok penuh. Beneran."
Mas Candra memang tidak tahu apa yang sudah kulakukan, tetapi aku sudah mengatakan yang sebenarnya. Bagiku jujur adalah pondasi dari setiap hubungan. Meski tidak melihat apa yang kulakukan, aku tetap tak ingin sedikit pun berbohong kepada Mas Candra. Dia pantas untuk mendapatkan setiap kejujuran dariku.
"Satu sendok penuh, tapi sendok makan. Sama saja itu dengan tiga sendok, Lava. Malah lebih."
Cara Mas Candra memperhatikanku telah menyentuh hatiku yang paling dalam.
Mas Candra perhatiannya luar biasa, ya. Aku jadi baper🤭🤭
Komen keren temanz semua bikin aku semangat deeh. Lagi dong😁
Love, Rain❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top