🍰 6. Kesempatan 🍰

Malam, temans. Ada yang nungguin Lava nggak siiyy buat teman malam Minggu🥰

Aku keluar dari mobil dan berlari menuju kantorku. Sialan! Kurang dua menit lagi dan aku masih harus mengantre untuk absen. Di sana ada banyak sales OTC yang menunggu giliran absen.

"Mas-mas, amit (permisi), aku absen dulu boleh, ya?" tanyaku begitu tiba di dekat antrean.

"Widih, anak kecil, manajermu wes teko (sudah datang). Telat umak (kamu)."

Aku berdecak menanggapi pertanyaan Mas Dani. Selalu saja menganggapku anak kecil. Dia mundur dan mempersilakanku absen terlebih dulu. Hanya menempatkan mata dan ... selesai. Lava sudah datang tepat pada pukul 06.59.

"Tak traktir ngopi habis ini, Mas Dan. Enteni yo!" Aku berlari menuju tangga dan naik ke lantai dua. Beruntung pintu pertama sebelah kiri adalah ruanganku. Aku langsung masuk, duduk dengan napas yang sedikit memburu.

Di ujung meja—Pak Nico—managerku melirik jam di pergelangan tangannya. Aku sudah ketar-ketir, khawatir kalau dia mengamuk. Semua tahu kalau Pak Nico adalah pria disiplin yang jarang memberikan kompromi. Kesalahan sekecil apa pun, pasti beoiau tegur dengan senang hati.

"Tepat pukul tujuh. Duduk, Va!"

Aku mengelus dada dan menarik napas lega. Ini semua berkat kebaikan hati Mas Dani dan aku berniat mentraktirnya sarapan juga. Luput dari amukan Pak Nico merupakan anugerah. Meski tidak terlambat seperti yang beliau katakan, Pak Nico akan tetap marah jika karyawannya datang belakangan.

"Selamat pagi." Pak Nico langsung memulai rapat. Orang ini benar-benar efisien dan tak pernah berbasa-basi. "Hari ini saya tidak marah meski datang lebih dulu daripada Lava. Mengingat kamu telah menyelamatkan target kita yang hampir saja dikejar oleh Median Pharma."

Pak Nico langsung membuka tabel dan kami semua memperhatikan dengan saksama. Dia berkata benar. Meskipun Indo Farma masih unggul, kami tetap tidak boleh lengah.

"Jika pencapaian kita masih sama dengan bulan lalu, secara statistik kita sudah kalah oleh Median. Saya tidak tahu bagaimana cara Lava bekerja, tapi kalian semua harus menirunya."

"Siap, Pak." Temanku menyatakan kesanggupannya. Aku memang anak baru, tetapi aku juga tidak pernah menyimpan cara kerjaku. Bagiku, pencapaianku adalah pencapaian kami semua.

"Untuk masing-masing area, tolong diperluas jangkauan kunjungannya. Nanti saya berikan kontak rumah sakit dan dokter yang mungkin bisa kalian prospek. Dengan nama besar perusahaan kita, mestinya kalian tidak akan mengalami banyak kesulitan."

Lagu lama. Iyalah tanpa banyak kesulitan, secara siapa yang tidak tahu Indo Farma. Yang jadi masalah adalah bagaimana bisa menurunkan puluhan bahkan ratusan ampul dalam sekali persetujuan. Selalu di situ, 'kan, masalahnya?

"Lava ... kamu dalam masalah besar."

Dahiku mengernyit menatap Pak Nico. "Maksud Bapak apa?" Tentu saja aku bertanya begitu. Aku merasa tidak membuat masalah apa-apa. Bagaimana bisa kalimat itu tercetus olehnya?

"Saya tidak tahu bagaimana kamu bisa mendapatkan order secara ugal-ugalan begitu. Yang jelas hal itu mengakibatkan over produk sehingga pada kunjunganmu berikutnya, mereka tak akan melakukan pengambilan. Apa solusimu?"

"Kunjungan mundur satu bulan, Pak. Akan saya kerjakan link baru yang akan Bapak berikan."

"Atau kalian rolling saja?"

"Tidak, Pak!" Aku tidak mengerti mengapa teman-temanku begitu kompak menolak perputaran area.

"Saya tidak masalah, Pak."

Perbedaan jawaban itu tentu membuat Pak Nico heran. Beliau duduk dan menatap wajah kami satu per satu. Wajah itu jelas menyiratkan rasa ingin tahu. Hanya saja bibirnya tetap mengatup rapat.

"Seluruh customer Lava tidak mau di-cover oleh detailer yang lain, Pak.

"Benar, Pak.

"Baiklah. Kalau begitu kalian semua oper wilayah kecuali Lava. Lava kamu akan mendapat area tambahan baru. Target saya naikkan sepuluh persen dan insentif dihitung sesuai pencapaian kalian. Meeting selesai, selamat pagi."

Pak Nico mengeluarkan map dan memberikannya padaku. Kubuka benda itu dan berisi deretan nama rumah sakit. Mulai dari yang besar sampai kecil berikut para dokter dan nomor telepon mereka. Aku membaca beberapa nama dan tersenyum sendiri. Pekerjaan ini tak akan sulit, aku harus percaya diri.

Aku melesat keluar kantor dan menuju warung kopi. Ada banyak sales OTC yang duduk sambil ngopi. Mas Dani juga ada di sana. Dia melambaikan tangan saat melihatku dan aku langsung menuju padanya.

"Selamat, 'kan, dari manajermu yang super on time itu?"

"Berkat Mas Dani. Pesen sarapan, Mas! Tak traktir sekalian."

"Gak usah. Kamu saja yang tak traktir." Aku bersungguh-sungguh mengatakan itu, tetapi Mas Dani tetaplah Mas Dani. Pria yang tak mau mengambil uang wanita. Walaupun dia berteriak minta ditraktir kopi, saat sudah duduk di warung juga pasti dia yang bayar.

***

Aku masuk gerbang rumah setelah melihat motor Rosa terparkir di pinggir jalan. Sembrono sekali dia. Akhir-akhir ini rawan pencurian kendaraan bermotor dan dia dengan santainya memarkir motornya di depan rumahku. Lagi pula, kenapa dia datang ke rumah padahal ini masih jam dua. Seingatku dia memiliki jadwal hari ini, dan tidak mungkin ngajak berangkat bersama karena dia tahu kalau aku harus keluar kota besok.

"Sa, sudah lama?" sapaku ketika sudah masuk rumah.

"Kamu itu dari mana saja, Nduk? Temanmu ini sudah tadi menunggu. Kamunya malah ndak muncul-muncul."

Khas orang tua sekali. Teman menunggu lama dikira aku yang kelayapan ke mana-mana. Begitulah kalau orang tua tidak memahami pekerjaan cucunya. Mana tahu beliau kalau aku dan Rosa itu berbeda perusahaan. Untuk nenekku tersayang itu, setiap ada teman datang artinya aku harus berada di rumah.

"Setengah jam." Rosa menjawab.

"Dari kantor, Nek." Aku memilih untuk menanggapi nenekku terlebih dulu.

"Ya sudah. Nenek mau istirahat dulu. Baik-baik kalian berdua."

Nenek melangkah ke kamarnya. Meski usianya sudah tak lagi muda, nenekku selalu menjalani hari dengan penuh semangat. Sejak papa menitipkanku di sini karena pindah tugas, nenek menerimaku dengan senang hati. Beliau mengatakan sangat bersyukur karena ada aku yang akan meramaikan hari tuanya. Sebenarnya mulai tahun depan akan ada sepupuku yang juga akan tinggal di sini bersamaku. Dia bilang kuliah di Malang itu menyenangkan.

"Ngapain ke sini, Sa? Bukannya kamu sudah tahu jadwalku?"

Hal pertama yang kutanyakan pada Rosa tentu saja alasan kedatangannya. Dia tahu jadwalku dan tentu ada alasan mengapa rela menungguku. Biasanya, Rosa adalah perempuan malas menunggu kecuali ada hal penting yang harus dibicarakannya.

"Keluar, yuk! Aku suntuk."

Suntuk? Ini di luar kebiasaan Rosa. Dia adalah perempuan paling ceria di antara teman-temanku yang lain dan kata-katanya sungguh memancing rasa ingin tahu yang besar.

Tanpa banyak bicara, aku bangkit dan berjalan keluar. Kubiarkan Rosa menuju motornya sementara aku menutup pintu. Aku masuk ke dalam mobil dan mengemudikannya di belakang motor Rosa. Seperti biasa, Rosa akan pulang dan mengembalikan motornya lalu ikut mobilku. Rumah kami berjarak lima belas menit saja. Tidak terlalu jauh, tetapi masih satu kompleks perumahan.

Setelah Rosa masuk mobil, aku mengemudikannya pelan-pelan menuju jalan utama dan bergabung dengan kendaraan lainnya dan menuju pusat kota. Cuaca sedang mendung, aku mematikan AC dan membuka jendela. Aku suka semilir angin yang masuk melalui jendela. Menerbangkan anak rambutku yang tidak ikut terjalin dalam ikatan ekor kuda di belakang kepala. Leherku merasakan kesejukan angin ini dan aku merasa senang.

Di lampu merah, aku menatap ke atas. Masih enam puluh detik lagi sebelum berubah menjadi hijau. Beberapa motor maju dan parkir di depan mobilku. Selalu begitu, tidak pernah ada ketertiban jika berada dalam antrean lampu merah. Aku menoleh ke samping tepat ketika sebuah motor sport berwarna biru dongker berhenti.

"Ke mana?" Suara itu masih terdengar jelas menyapa runguku meskipun tertutup helm-nya.

Astaga. Suaranya terdengar begitu seksi. Dia memiliki suara yang memang benar-benar bagus atau aku yang terlalu larut dalam kesenangan karena disapa olehnya? Tak bisa terus menerus berada dalam rasa senang, aku harus segera menjawab pertanyaannya.

"Belum tahu. Ini masih sambil mikir."

Mas Candra terlihat mengangguk. "Bakso bakar depan. Kutunggu di sana." Lampu berubah menjadi hijau begitu Mas Candra mengakhiri kalimatnya. Dia menarik gas dan motornya melesat lebih dulu. Aku bertanya pada Rosa, apakah dia setuju untuk datang ke bakso bakar sesuai ucapan Mas Candra atau dia ingin ke tempat lain saja. Rosa menyetujui dan aku mulai mengemudi ke depot bakso yang dimaksud Mas Candra.

Saat aku dan Rosa datang, Mas Candra sudah duduk di salah satu meja. Bisa untuk empat orang di dekat jendela. Aku sudah bisa menebak kalau Mas Candra akan memilih tempat duduk di situ. Tujuannya jelas supaya dia bisa membakar rokoknya selama kami terlibat dalam obrolan. Lebih tepatnya aku dan Rosa yang ngobrol sementara dia hanya sesekali menimpali.

Pesanan datang. Seporsi bakso ditambah bakso bakar untukku dan Rosa. Sementara Mas Candra hanya memesan bakso bakar. Dia hanya melahap satu baksonya lalu menyalakan rokok. Tepat seperti dugaanku, dari semua hal yang bisa dilakukan, Mas Candra selalu memilih untuk merokok. Aku menarik nampan berisi saus dan sambal. Sama sekali tak menyentuh saus karena aku lebih tertarik dengan sambal. Aku mencicipi baksoku setelah menambahkan dua sendok sambal. Kurang pedas, aku bermaksud menambahkan sambal lagi, tetapi Mas Candra menjauhkan benda itu.

"Cukup! Tidak pakai banyak sambal."

Aku melongo melihat Mas Candra meletakkan nampan kecil itu di meja sebelah dan masih kosong. "Ini masih kurang pedas." Tentu saja aku mengatakan yang sebenarnya. Menurutku, rasa baksoku sekarang itu cocok dinikmati untuk anak TK yang baru saja belajar makan pedas.

"Dua sendok sambal itu sudah lebih dari cukup."

"Ini makanan pedas untuk anak kecil, Mas." Aku masih mencoba melakukan negosiasi, siapa tahu dia luluh dan aku bisa menambahkan sambal. Satu sendok lagi tidak masalah.

Tanpa kuduga, Mas Candra mengambil kuah baksoku dan mencicipinya. Setelahnya, dia meletakkan kembali sendoknya dan menatapku dengan satu alis terangkat.

"Ya biarin, sih, Ndra, kalau dia ngerasa kurang pedas. Nggak enak tahu kalau makan nggak sesuai selera."

"Jadi teman itu yang peka sedikit." Mas Candra menatap Rosa. "Kalau yang dilakukan teman itu membahayakan kesehatan, ya ingatkan. Kecuali kalau kau ingin temanku sakit."

Rosa mengangguk. "Benar juga. Ya sudah, nggak usah nambah, Va." Gagal dapat sekutu. Kalau begini caranya, bisa-bisa aku tak akan punya selera untuk makan bersama mereka lagi.

Tahu kalau tak akan bisa menambah sambal lagi, aku memilih menikmati makanku pelan-pelan. Rosa bercerita kalau targetnya hanya tujuh puluh persen. Aku tak bisa mengatakan apa-apa untuk mengomentari hal itu, tetapi aku dan dia punya jadwal yang kurang lebih sama. Rosa harus keluar kota besok dan tujuannya adalah ke Madiun.

"Maaf, tapi kali ini aku nggak ke sana." Kuberitahukan kalau Pak Nico memberi jadwal baru untukku. "Aku ke Probolinggo besok."

"Probolinggo?" Mas Candra mengulang tujuan kerjaku besok.

"Iya,"

"Pergi lusa, bisa?"

"Bisa, sih. Tinggal tukar jadwal dengan yang minggu depan. Memangnya kenapa, Mas?"

"Kalau kamu bisa pergi lusa, kita bisa barengan. Nanti kujemput di rumahmu. Kasih alamatmu. Atau shareloc saja pas aku mau jalan ke rumahmu."

Aku tak memercayai pendengaranku. Mas Candra mengajakku berangkat kerja bersama. Mimpi apa aku semalam sampai bisa mendapat kesempatan menyenangkan ini. Jangan bayangkan bagaimana bakal naik motornya, bayangkan saja bisa sesekali meluk Mas Candra.

Oke, pikiranku sedang tidak waras.

Ada, ya, nggak waras tapi ngaku😁😁

Love, Rain❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top