🍰 5. Kegilaan 🍰
Malam, temans❤
Rasanya tuh kangen nulis ini. Alhamdulillah kesehatan saia membaik. Makasih doa teman² semua.🥰🥰
"Makhluk Tuhan paling kepo sedang apa?"
Tawaku meledak setelah membaca pesan Mas Candra. Seminggu terakhir, kami memang sering bertukar pesan di sela-sela kesibukan masing-masing. Pesan itu tidak kubalas. Nanti saja, karena aku masih ada satu pekerjaan lagi yang harus diselesaikan. Yang ini tidak ada hubungannya dengan kunjungan.
Akhir bulan memang selalu begini. Sibuk menyelesaikan laporan dan menyerahkannya ke manajer. Telat sedikit saja, bisa menghanguskan insentif. Sebenarnya tidak hangus begitu saja, tetapi pending jadi bulan depan. Tentu itu kabar buruk untuk kemakmuran dompetku, 'kan? Mungkin Mas Candra sudah menyelesaikan laporannya. Tak heran jika dia mengirimiku pesan lebih dulu.
Setelah sibuk selama satu jam, laporanku selesai dan aku mengirimkannya pada atasanku melalui e-mail. Kumatikan laptopku, berniat untuk membersihkan tubuh. Tiba-tiba aku ingat kalau belum membalas pesan Mas Candra. Segera kuraih ponselku dan mengetikkan pesan di sana. Tanpa sengaja aku melihat ada deretan nomor telepon ketika secara tak sengaja aku menekan profilnya.
"Baru selesai bikin laporan. Btw kok aku melihat nomor ponsel, ya?"
Kuletakkan kembali ponselku setelah mengirim pesan untuk Mas Candra. Aku mengambil handuk dari jemuran dan melangkah ke kamar mandi. Belum juga masuk kamar mandi, ponselku berbunyi. Pilihanku adalah berbalik dan kembali menghampiri ponselku. Pesan dari Mas Candra. Entah mengapa, aku selalu senang saat mengetahui kalau dia mengirim pesan. Meskipun tidak ada yang istimewa, ngobrol dengannya lewat chat terasa begitu menyenangkan. Aku jadi punya sesuatu yang ditunggu. Setiap malam, selepas jam sembilan, kami selalu melakukan obrolan kecil, ngalor ngidul tidak jelas, yang penting kami menyukainya.
Mas Candra mengatakan kalau aku adalah perempuan kepo yang gila. Gila dalam artian terlalu easy going dan tidak memikirkan segala sesuatu secara rumit. Memang, kalau kita bisa berpikir simpel, kenapa juga harus rumit dan membuat beban di pikiran. Menurutku, Mas Candra itu asyik, banyak sekali hal yang dikatakannya dan bisa membuatku tertawa.
Semua yang kutahu tentang Mas Candra beberapa waktu terakhir berbanding terbalik dengan dirinya di kenyataan. Jika bertemu Mas Candra tetap pendiam seperti kesanku sebelumnya, tetapi di chat ... jangan tanya. Mas Candra berubah menjadi pribadi yang lain. Kesannya seperti itu.
"Mandi sana! Baumu sampai sini. Mengganggu sekali. Kamu sudah boleh simpan nomor teleponku. Setting-nya sudah kuubah begitu. Ternyata kamu nggak rese."
Aku tahu kalau Mas Candra mulai memercayaiku. Memangnya apa yang dia pikir akan kulakukan saat aku tahu nomor teleponnya? Hmm ... mungkin dia sering menerima pesan tak mengenakkan. Aku tidak menyalahkan Mas Candra, kuanggap dia hanya terlalu berhati-hati dan merasa wajib menutup privasinya dari orang-orang yang tidak dia kehendaki untuk dekat.
"Ngeresein kamu apa untungnya, Mas? Kamu juga, mandi sana! Asap rokokmu sampai sini."
Biarkan saja Mas Candra tertawa. Kadang-kadang aku berpikir, mengapa kebanyakan pria begitu menikmati yang namanya rokok. Itu semacam ... membakar uang, kalau menurutku, sih. Papa dan kakekku begitu, juga om dan beberapa sepupuku. Aku tahu kalau beberapa orang menganggap itu keren, tetapi aku berpendapat lain. Kupikir banyak cara untuk keren selain dengan benda itu, 'kan?
Pikiranku memang mengatakan itu, tetapi dikembalikan lagi pada masing-masing orang. Bisa jadi rokok adalah salah satu cara untuk melepaskan beban. Ada juga yang tanpa rokok jadi lama berpikir. Bisa juga hanya karena kesenangan. Apa pun itu, aku tidak menghakimi mereka yang mempunyai kebiasaan merokok. Biarkan saja, itu uang mereka sendiri dan tidak merugikan aku.
Setelah mandi, aku mengoles tubuhku dengan lotion yang hampir habis. Aku sedang membersihkan kaleng lotion-ku ketika tiba-tiba pintu kamar terbuka. Rosa muncul dengan seringai lebar.
"Kalau habis, ya, habis aja, Va. Nggak usah terus dicolek-colek begitu."
Rosa melangkah masuk dan kembali menutup pintu. Dia mengambil wadah kosong dari tanganku dan melemparkannya ke tempat sampah di pojok kamar. Aku berdecak, Rosa benar-benar menggangguku dengan kelakuannya.
"B aja. Ayo jalan!"
Salah satu kebiasaan Rosa. Setelah membuat laporan, dia selalu muncul untuk mengajakku jalan. Tidak perlu rencana karena biasanya ada saja yang kami lakukan bersama.
"Ke mana?"
"Ke body shop. Beli body butter-mu yang habis itu."
"Nggak usah. Aku beli sendiri saja lain kali. Nonton saja, gimana?" Kutawarkan alternatif itu pada Rosa. Aku merasa tidak enak kalau ke body shop dan hanya membeli keperluanku. Lain halnya kalau Rosa juga perlu membeli sesuatu, aku dengan senang hati mengiyakan ajakannya.
Rosa berdecak. "Masih aja nggak enak." Dia melangkah ke lemari pakaianku dan mengambil midi dress batik selutut dan meletakkannya di kasur. "Pakai itu aja, Va. Biar kita samaan. Sayangnya kamu nggak punya yang lebih pendek, jadi nggak bisa bener-bener sama kek aku."
Aku tersenyum mendengar ucapan Rosa. Kebiasaannya adalah memilih baju untukku ketika mengajak keluar. Rosa ini temanku sejak kuliah, satu tingkat di atasku dan sempat mengatakan jangan terlalu serius kalau kuliah. Usia muda harusnya dipakai bersenang-senang juga. Jangan terlalu banyak berpikir tentang pelajaran atau akan muncul kerutan di wajah, begitu katanya.
Setelah lulus, kami sama-sama melamar pekerjaan. Aku diterima di perusahaanku sekarang, sementara Rosa sudah bekerja di perusahaannya sejak masih kuliah. Kami tidak pernah merasa bersaing. Berbeda perusahaan justru membuat kami menjadi lebih kompak. Kami bisa keluar kota bersama jika memungkinkan atau saling tukar info jika ada prospek baru.
***
Aku dan Rosa memilih beberapa produk perawatan kulit dan membayarnya di kasir. Setelahnya, kami memutuskan untuk nongkrong di Starbuck. Hanya kopi dan mini cake. Caramel macchiato untukku dan hazelnut latte untuk Rosa. Kami memilih tempat duduk di luar sambil menikmati udara sore yang sejuk. Rosa dan aku sependapat tentang ini, bahwa kesejukan udara lebih menarik daripada AC sedingin apa pun.
"Sampai targetmu, Va?" tanya Rosa sambil terus mengaduk minumannya.
"Jelas," sahutku sambil menepuk pelan bahu kiri dengan sombong yang kubuat-buat. "Lava. Jangan ragukan kemampuannya."
"Sombongnya." Rosa tertawa dan mengacak rambutku. "Aku selalu suka anak yang bersemangat."
"Aku bukan anakmu." Kurapikan kembali rambutku yang sedikit berantakan. Meski Rosa memintaku memanggilnya nama saja, dia lebih tua dua tahun. Dia banyak mengajariku tentang menjadi detailer. Aku sangat berterima kasih untuk itu. Sejak pertama kali menerima gaji, aku selalu mencapai target dengan baik. Mengagumkan? Tentu saja, kantorku tidak mungkin memberikan target tak masuk akal hanya karena marketing-nya handal di lapangan.
"Ngetawain apa kalian berdua?"
Mas Candra muncul tepat saat aku meneguk macchiatoku. Aku tak lekas menurunkan gelas dari bibir ketika melihatnya membawa cappuccino duduk di salah satu kursi. Kuletakkan gelasku dan menegakkan badan. Tanpa malu-malu, aku menjilati bibir dan menikmati sisa-sisa macchiato. Tak ada elegan-elegannya, biar saja. Aku tak merasa perlu untuk jaga image. Dalam berteman, aku selalu menekankan untuk menampilkan diriku apa adanya. Begitu saja. Tak ada yang perlu ditutup-tutupi. Setidaknya hal-hal umum yang wajar. Kalau masalah pribadi, tentu aku lebih selektif. Aku tidak sembarangan bercerita tentang hal-hal yang menyangkut perasaan atau kejadian dalam keluarga.
"Anak kecil ini, Ndra. Sombongnya ... ampun." Jelas Rosa mendramatisir ucapanya. Dia menjawab pertanyaan Mas Candra dengan kedua tangan terangkat ke atas lalu menangkup kepalanya sendiri. Tingkahnya benar-benar seperti ABG lebai yang sedang menertawakan kejulidan temannya.
"Anak kecil ini kenapa? Punya pacar?" Mas Candra meneguk cappuccinonya dan menyalakan rokok.
Nah, 'kan ... kalau Mas Candra memilih duduk di luar sepertiku dan Rosa, alasannya jelas bukan karena udara. Kupastikan kalau Mas Candra memiliki alasan supaya bisa menyulut rokoknya dengan bebas. Nongkrong dan kopi.
"Pacar?" Rosa tertawa dan memotong cake-nya. "Anak kecil ini menolak Pak Bagas. Tahu tidak? Pria semapan itu ditolak. Astaga."
Kadang-kadang aku heran. Rosa ini juga punya kebiasaan yang menurutku tidak biasa. Dia berbicara sambil mengunyah. Mengherankan sekali bisa berbicara begitu lancar tanpa tersedak.
"Pak Bagas dari Median Pharma?" Mas Candra mengangkat sebelah alisnya.
"Hmm," gumam Rosa. "Memang ada berapa Pak Bagas yang kita kenal. Manajer Median Pharma itu rajin sekali turun ke lapangan. Khawatir banget saat Indo Farma punya detailer model Lava."
Aku terkekeh mendengar kalimat Rosa yang jelas terlalu mengada-ada. "Ngasal," cetusku. "Mas Candra dari mana?"
"Dari rumah. Memang kalian saja yang suka nongkrong?"
Aku paham. Nongkrong merupakan kegiatan menyenangkan setelah sibuk dengan pekerjaan. Sebagian orang bahkan melakukannya hampir setiap hari. Ditambah dengan teman-teman seperjuangan, nongkrong menjadi sangat asyik. Apalagi diselingi percakapan lucu yang memancing banyak tawa. Jelas bisa meredakan kepenatan.
Tak jarang nongkrong dilakukan sampai cukup malam. Sebagian orang juga menikmati makan malam bersama dan pulang dalam keadaan kenyang. Hanya perlu membersihkan diri sebelum beristirahat.
"Kamu sendiri mau cari apa, Ndra?" Masih dengan mengaduk minumannya, Rosa mengalihkan tatapan pada Mas Candra.
"Tadinya mau beli dasi. Lihat kalian jadi mampir."
"Mantap. Uang dasi sudah keluar, ya belanja dasi."
"Tanggal piro, Sa, Rosa ...."
Rosa menertawakan ucapanku. Kali ini aku melihat Mas Candra juga tersenyum, sedikit lebih lebar dari yang kulihat di foto unggahan Rosa. Manis sekali. Jantungku mendadak berdebar lebih kencang. Ada apa? Aku merasakan sesuatu yang asing dan tiba-tiba menyusup di dada.
Cocok ngomongin uang dasi buat beli gincu🤭
Love, Rain❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top