🍰 4. Lebih Dekat 🍰

Malem, temans. Aku mengantar Lava ke ruang bacamu🤭

"Jadi, kerja obatnya kurang lebih seperti itu. Dokter-dokter sekalian pasti lebih paham dengan hal itu karena bersinggungan langsung dengan pasien. Semantara saya hanya mengerti dari product knowledge. Terima kasih banyak sudah memberi saya kesempatan untuk belajar langsung dari Anda semua."

"Saya oke, Mbak Lava." Dokter Made tersenyum lebar. "Kasih saya form order-nya. Biar lekas saya tanda tangani."

"Saya juga, Mbak Lava."

"Saya sekalian ...."

Senyumku mengembang. Presentasi kecil yang diadakan perusahaanku membuahkan hasil. Walaupun membutuhkan waktu serta tenaga untuk menyiapkannya, kurasa ini sebanding dengan hasilnya. Rasa bahagia benar-benar mengembang di hatiku. Selesai menyetujui formulir pemesanan, para dokter itu meninggalkan ruangan sementara aku memanggil supir kantor untuk membereskan semua peralatan yang sudah dipakai.

Pekerjaanku selesai. Aku pergi ke kantin rumah sakit karena perutku sudah meronta minta diisi. Hari ini sangat menyenangkan. Abaikan bagaimana repot dan susahnya aku menyesuaikan waktu luang orang penting itu, yang jelas hasilnya sepadan.

Berbicara tentang kantin di dalam rumah sakit, normalnya aku memilih untuk makan di luar. Tidak adanya teman membuatku memilih tempat makan terdekat dari pada harus jalan sendiri. Lagi pula, cuaca juga tidak mendukung. Malang di musim kemarau memang benar-benar membuatku harus ekstra menjaga kesehatan diri sendiri. Sakit kepala akan membuatku harus tidur semalaman karena sebisa mungkin tak ada obat yang masuk ke badanku.

Semangkuk mi pangsit disajikan mbak penjaga kantin yang dengan senyum lebar mempersilakanku. Aroma merica dan acar mentimun dan cabe langsung menggugah selera. Ku aduk sebentar makanan itu dan mulai menikmati setelah menuang kuah secukupnya.

"Halo, Sugar. Apa presentasimu selesai?"

Aku memutar mata menyembunyikan kejengkelan. Pak Bagus jelas bukan orang yang ingin kutemui hari ini. Suasana hatiku memang bagus, tetapi aku memang malas bertemu dengannya. Bagiku, Pak Bagas adalah potensi munculnya kata buruk dari Rania yang jelas ditujukan untukku.

Bagaimana aku berpikir begitu? Tentu saja begitu, Rania itu detailer andalan di perusahaannya dan wajar jika manajer sampai turun lapangan, jelas akan didampingi oleh marketing terbaiknya. Sejak kejadian Rania mengataiku sok cantik, aku jadi malas bertemu dengannya dan Pak Bagas jelas merupakan masalah untukku.

"Nama saya masih Lava, Pak." Sengaja kujawab sapaan Pak Bagas dengan tegas, berharap dia mengerti ketidaksukaanku.

"Tidak romantis kamu ini, Lava. Sama calon suami itu yang manis sedikit. Daripada kualat."

Aku tersedak mi yang sudah hampir kutelan. Makanan itu tiba-tiba saja masuk tenggorokan bersamaan dengan napasku. Aku batuk-batuk hebat sampai mengeluarkan air mata. Tak kuhiraukan Pak Bagas yang mengulurkan segelas air untukku. Memangnya dia tidak bisa melihat kalau aku masih belum bisa meredakan batuk-batuk akibat ulahnya? Dasar tidak peka, dia yang bikin aku tersedak, dengan sok polos pula matanya menatapku.

Begitu batukku mereda dan berhasil menyesap air minum, aku merasa lega seketika. "Pak Bagas mau bunuh saya?" protesku. Tak kupedulikan banyak mata yang aku tahu pasti sedang melihat ku tersedak. Biasa itu untuk warga enam dua, ada insiden bukannya menolong, mereka malah pilih melihat dan terkadang berkomentar yang aneh-aneh.

"Maaf, saya tidak bermaksud buat kamu tersedak begitu, Sugar."

Masih sugar. Aku ingat dengan baik kalau namaku adalah Lava Swasti Ratu. Pemberian papaku dan masih tetap begitu sampai sekarang. Seenaknya saja Pak Bagas menggantinya jadi sugar tanpa bubur merah. Lagi pula, siapa dia berani mengubah-ubah namaku?

"Lava, Pak. Lava Swasti Ratu. Dan belum berubah sejak Papa memberikan nama itu buat saya."

"Baiklah, Ratu. Akan kuingat nama lengkapmu."

Melanjutkan makan adalah pilihan yang kulakukan daripada menanggapi obrolan Pak Bagas yang tidak penting. Dia itu, 'kan, manajer, seharusnya mendampingi detailer-nya menghadap si pemilik tanda tangan untuk kenaikan omset dan bukannya duduk di sini dan mengganggu ketenangan orang lain.

Tak lama kemudian, Rania datang dan menatapku tidak suka. Aku mengedikkan bahu dan terus menikmati mi pangsitku yang rasanya sangat enak. Pak Bagas memberikan instruksi dan nama dua orang dokter yang bisa ditemui sekarang juga. Selera makanku menghilang. Perutku mendadak penuh meski mi masih separuh. Dua orang di depanku ini yang mendatangi mejaku dan kini terlihat seolah aku yang mendatangi meja mereka. Keputusan untuk menghindari udara panas berujung jengkel. Ditambah tatapan Rania yang tidak ada ramahnya sama sekali.

Dalam situasi seperti ini, jelas aku ingin pergi. Namun, hal itu tidak mungkin karena jelas tak sopan. Kuambil ponsel dari dalam tas dan mulai membuka salah satu media sosialku. Suasana hatiku yang memburuk langsung membaik seratus persen setelah melihat pemberitahuan. Mas Candra menerima pertemanan yang kukirim kemarin.

Tanpa banyak berpikir, langsung saja kusentuh nama akunnya. Seperti dugaanku, meski tak terlalu aktif sesekali Mas candra membagikan aktivitasnya di sana. Ada satu fotonya yang sedang melompat di atas ombak yang bergulung. Merasa suka, aku mengunduh foto itu. Bisa dilihat kapan pun aku mau.

"Mas Candra, makasih udah nerima pertemanan Lava."

Kukirim pesan itu untuk Mas Candra. Perasaan senangku ini memang aneh. Padahal, Mas Candra berbuat sesuatu yang bisa dia lakukan juga untuk siapa pun yang berada dalam posisiku. Biarlah, yang penting suasana hatiku membaik. Itu yang utama, mengingat orang di depanku ini masih asyik membahas pekerjaan.

"Kenapa senyum-senyum sendiri, Sugar?"

Aku memutar mata dengan rasa sebal. "Lava, Pak," peringatku sekali lagi pada Pak Bagas.

"Panggil mas, dong, kalau mau kupanggil Lava."

"Ngelunjak. Udah akuisisi meja orang, masih mengajukan syarat," omelku tanpa rasa takut.

Biarkan saja, orang seperti Pak Bagas memang harus diberi kritik secara terang-terangan. Kalau hanya kode-kode, pasti tak akan mengerti. Tipe-tipe atasan yang tidak bisa dibantah. Kelihatan sekali cara kerjanya dari sedikit percakapannya yang kudengar sebelum Rania pergi.

"Kamu ngatain saya?" Pak Bagas tak terima.

"Jelas. Siapa lagi yang bisa saya katain di sini?"

Pak Bagas terkekeh. Aku tak tahu apa yang membuatnya sampai seperti itu. Untuk tipe atasan yang begitu tegas pada Rania sesaat tadi, Pak Bagas adalah tipe pria menggelikan. Dia pasti juga menyebalkan dengan sikap posesif. Sudah kelihatan, belum apa-apa saja sudah memanggilku sugar. Aku bukannya tidak tahu apa maksudnya, hanya saja menghindar tentu lebih baik daripada menjadi kebiasaan. Sugar ... sok mesra, dekat saja enggak.

Sebenarnya, Pak Bagas itu bukanlah pria jelek. Dengan wajah bersih dan iris mata berwarna cokelat dipadu hidung mancung dan bibir penuh, mustahil jika ada yang mengatakan dia tak menarik. Rambutnya pun selalu rapi dengan pomade yang tercium dari aromanya saja aku tahu itu merk terkenal. Jadi, sudah pasti dia itu pria idaman wanita.

Apa yang salah denganku sampai tidak tertarik dengan pria seperti itu? Selain tampan, Pak Bagas juga mapan dengan posisi bagus di kantornya yang aku tahu pasti jabatannya masih bisa naik lagi. Tentu saja, semua pembawaan Pak Bagas itu masih kalah dengan pria yang memiliki tatapan tajam dengan mata sekelam malam. Berhidung mancung dan bibir tipis yang lebih sering terlihat mengatup daripada tersenyum. Kulitnya kecokelatan dengan badan yang cukup bagus dan membawa motor sport. Macho sekali, ingatanku langsung tertuju padanya. Si pelit senyum yang anehnya kupikirkan beberapa hari ini.

"Sama-sama. Senang berteman denganmu."

Kubaca pesan itu saat membuka ponsel karena pemberitahuannya yang kudengar. Norak. Hatiku seketika berbunga hanya karena Mas Candra membalas pesanku. Aneh, itu kan hanya balasan pesan biasa, tetapi responsku seolah itu pesan istimewa yang patut dibanggakan.

"Sugar, nggak baik cuek di depan calon suaminya. Ditanggapi gitu mumpung lagi ketemu. Nanti kalau saya sibuk, kamu kangen, loh."

Calon suami dari Hongkong. Dia lupa kalau aku mengatakan sedang tidak ingin menjalani hubungan dalam bentuk apa pun. "Lava, Pak." Heran, bebal sekali pria yang satu ini.

"Aku tahu namamu Lava. Aku hanya mau memanggilmu Sugar. Biar memberi kesan romantis dan tak ada satu pria pun yang akan mengklaim dirinya sebagai pacar kamu."

Tak ada satu pria pun yang akan mengklaim aku sebagai pacarnya? Entah mengapa, kalimat itu membuat kedongkolanku muncul kembali. Ketenangan yang sesaat lalu kudapatkan langsung menguap entah ke mana.

"Lava masih di sini?" Rania datang dan mengambil salah satu tempat duduk. Dia menyeruput es teh yang dipesan Pak Bagas sebelumnya.

"Tentu saja masih di sini. Ini 'kan mejaku?" sahutku. Aku mengatakan itu dengan jelas supaya Rania tahu bahwa atasannya yang datang dan bergabung denganku. Bukan sebaliknya seperti yang aku tahu pasti ada dalam pikirannya.

"Mungkin kamu memang sengaja berlama-lama." Seperti biasa, Rania selalu mencari celah untuk menemukan kesalahanku. Terutama jika itu menyangkut segala hal tentang Pak Bagas.

"Salahnya di mana, Rania?"

"Nggak salah, sih, Pak. Tapi—"

"Sudahlah," sela Pak Bagas, "kenapa harus diributkan? Saya yang memang mendatangi Lava, bukan sebaliknya. Habiskan minumanmu dan kembalilah bekerja! Kurasa ada dua kunjungan lagi yang harus kamu lakukan."

Bagus, ucapan Pak Bagas memang bermaksud baik, tetapi aku melihat sorot tajam di mata Rania yang mengarah padaku. Aku sampai heran sendiri. Sebenarnya mengapa Rania begitu antipati jika Pak Bagas dekat denganku? Mungkin dia suka dan sangat khawatir kalau pujaan hatinya akan tertarik padaku. Namun, bisakah dia sedikit rasional? Jika aku memang mau dengan atasannya itu, bukankah seharusnya aku memanfaatkan situasi ini? Tanya-tanya customer potensial, misalnya. Bisa saja, 'kan? Mengingat dia yang mau denganku. Jelas hal itu akan terlihat wajar jika kulakukan.

"Baik, Pak. Apakah dana entertain kita dikurangi?"

"Kamu tahulah, perusahaan maunya kita bekerja secara efisien dengan pengeluaran yang bisa ditekan seminimal mungkin. Atur saja, kamu bukan anak baru yang harus bertanya ini itu padaku."

Diam-diam aku menyetujui ucapan Pak Bagas. Perusahaan mana pun pasti menerapkan sistem serupa. Aku yang kata Rania masih tergolong baru saja mengerti akan hal itu. Sementara dia ... kelihatan sekali capernya.

"Saya mendadak lapar, mau pesan makan dulu. Kamu mau sesuatu, Sugar?"

"Bangga bisa didekatin Pak Bagas?" Seperti biasa, Rania selalu menanyakan sesuatu yang menurutku hanya akan dia lakukan di belakang bosnya.

"Terserah apa katamu." Kubereskan barang-barangku dan berdiri memundurkan kursi yang kududuki.

"Mau ke mana, Sugar? Aku baru pesan makan. Temani aku sebentar!" Pak Bagas terlihat tak rela.

Aku tersenyum, senyum yang sebenarnya tak ingin kuberikan. "Ada Rania. Saya masih harus pergi ke rumah sakit bersalin. Ada kunjungan yang baru saja disetujui. Saya permisi dulu, Pak." Berbohong sedikit tak masalah, bukan? Setahun sejak aku memulai bekerja di perusahaan farmasi, tak pernah sekali pun aku berpikir tentang berselisih dengan teman sesama profesi. Apalagi urusan pria. Enggak banget.

Kutarik napas lega saat sudah duduk di belakang kemudi. Bunyi ponselku terdengar dan aku meraih tas yang sudah kuletakkan di jok sampingku. Hanya untuk mengambil ponselku saja.

"Kalau kamu punya aplikasi telegram, chat aku di sana saja. @candradimuka."

Senyumku langsung mengembang. Lagi-lagi menghapus kedongkolan yang muncul karena kecemburuan orang. Tentu saja aku punya aplikasi itu. Mau tidak punya pun aku pasti akan mengunduhnya. Siapa yang bakal nolak kalau Mas Candra bilang begitu.

"Tes, Mas Candra. Aku sudah di sini, ya."

Kukirim pesan itu langsung untuk Mas Candra. Tak lama dia langsung terlihat online. Mungkin dia sedang senggang, makanya jadi cepat begitu.

"Oke. Aku lanjut kerja."

Pesan itu langsung terbaca olehku karena aku belum menutup aplikasi. Setidaknya dia sedang mengatakan kesibukannya. Aku mencoba untuk melihat profil Mas Candra. Tidak ada nomor teleponnya di sana. Aku tahu, dia berteman denganku, tetapi belum cukup memercayaiku. Aku tak kecewa, dia hanya perlu waktu untuk memilih siapa yang bisa dipercaya untuk lebih dekat dengannya.

Kuletakkan ponselku di dashboard.Kunyalakan mobil, lalu mengemudi keluar rumah sakit. Ponselku berbunyi lagi.Kulirik benda itu dan melihat nama Pak Bagas. Malas. Aku menginjak pedal gasdan belok kanan sesuai arahan sekuriti. Kuulurkan selembar uang yang diterimadengan senyum. Aku pun mengemudi dengan lancar di antara kendaraan yang berlalulalang.

Nah, sudah. Gitu banget kalau sukak yee🤭🤭

Btw temans, saia sedang tidak sehat. Update berikutnya mundur, yaa.

Love, Rain❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top