🍰 26. Pulang 🍰
Malam, temans😍
Gada Kang Ghosting di bab ini. Tapi ... baca aja, deh🤩
Aku menjinjing ransel turun dari mobil di depan stasiun. Setelahnya, aku minta Kekek, Nenek dan Iqbal segera kembali ke rumah. Tak lupa aku berpesan pada sepupuku itu untuk mengemudi dengan hati-hati dan menjaga orangtua kesayanganku dengan ekstra. Bukannya tidak mau mereka mengantarku, aku hanya tak ingin sedih berlarut-larut.
Setelah mencetak tiket, aku duduk di depan gerai roti ternama di area ruang tunggu eksekutif. Aku hanya berminat meneguk cokelat panas yang kupesan, sementara rotinya tetap kubiarkan dalam kemasan. Banyak sekali calon penumpang berdatangan. Ada yang langsung masuk setelah mencetak tiket, ada juga yang duduk sepertiku.
"Ngajak janjian kok di stasiun, sih, Va. Aku heran, berbulan-bulan susah diajak ketemu ... sekalinya ketemu di tempat yang ramainya kek gini. Nyebelin!"
Menemuiku dengan omelan panjang pendek, sudah bisa dipastikan kalau itu Rosa. Aku merindukannya akhir-akhir ini. Kami memang tidak bertemu sekitar dua minggu. Sejak Mas Candra menyakiti hatiku. Mas Candra ... mengingat namanya saja membuat air mataku muncul. Yang kanan bahkan sudah jatuh ke pipi.
Aku mengusap cepat air mataku diiringi tatapan Rosa yang terlihat bertanya. "Masih dua minggu, Sa. Nggak usah lebai, aku jadi terharu ini." Aku senang saat Rosa mengambil rotiku dan menggigitnya.
"Hmm ... enak banget."
Aku hanya tersenyum melihat Rosa mengunyah rotinya dengan mata terpejam. Aku tidak protes saat dia mengambil minumanku dan meneguknya hingga lebih dari separuh. Aku suka dia yang tidak cerewet dengan makanan.
Aku mengambil ponsel dari tas yang melilit di pinggang. Dari Iqbal yang mengatakan kalau mereka sudah sampai rumah. Aku tersenyum dan membalas supaya Iqbal jangan terlalu lama nongkrong selepas kuliah. Dia lucu sekali saat mengirimkan foto dirinya dengan pose menyatukan ujung ibu jari dan telunjuk.
"Ngapain senyum-senyum sambil ngelihatin ponsel? Pacaran online? Va ... nggak usah pacaran yang begitu-begitu. Berhubungan kok cuma lewat chat? Sebelum memutuskan sesuatu, ingat saja pesanku. Yang dibalas itu chat-mu, bukan perasaanmu. Jadi nggak usah kebaperan.
Air mataku bergulir menuruni pipi tanpa bisa dicegah. Seandainya kamu tahu kalau aku sudah kebaperan seperti perkataanmu. Tentu kalimat itu hanya bisa kuucapkan dalam hati. Bagaimana aku menanggapi sikap Mas Candra yang kini terlihat biasa saja setelah aku menyadari kesalahan, justru membuat mataku makin basah.
"Eh, Va ... kok nangis? Aku menyinggungmu?" Rosa tampak khawatir. Dia mencabut beberapa helai tisu lalu menepukkannya lembut ke pipiku.
Aku menggeleng. "Terharu sama perhatianmu yang seolah kita saudara." Itu benar, saking dekatnya aku dengan Rosa, kadang aku berpikir kalau kami adalah saudara.
"Tunggu sebentar. Aku beli ayam goreng dulu. Lapar. Rotimu cuman bisa ganjel yang nggak tahan lama."
Rosa bangkit dan menuju gerai ayam goreng. Aku mengedarkan pandanganku ke area parkir. Terlalu mepet dengan pagar ruang tunggu stasiun dan sedikit menggunakan jalan. Angkutan umum berhenti sedikit ke tengah jalan hingga pejalan kaki sedikit terganggu dengan keramaian itu. Dengan semua keruwetan itu, aku tetap menyukainya. Kotaku tercinta, tempatku lahir dan dibesarkan.
"Ayo makan dulu!" Rosa meletakkan dua bungkus nasi dan beberapa potong ayam dalam kantong kertas.
"Aku nggak lapar," tolakku. "Lagian cokelatku masih ada."
Rosa berdecak. "Nggak usah sok diet. Kamu kelihatan kurus sejak terakhir kali kita piknik." Kebiasaan mengunyah sambil ngomong itu tak pernah berubah.
Aku tidak tahu Rosa berkata benar atau hanya sekadar omelan untuk membuatku makan. Yang jelas aku menarik tisu dan mengambil sepotong ayam. Aku menguliti seluruh tepung yang menempel sebelum memakan ayamnya pelan-pelan.
"Tepung dan kulit itu enak." Rosa memakan tepung-tepung yang aku letakkan di atas tisu.
"Enak, 'kan, katamu. Aku tetep nggak suka."
"Heran. Nggak kamu, nggak Candra. Gak doyan banget sama tepung dan kulit. Tapi aku jadi seneng sih kalau makan bareng kalian. Aku bisa dapat ekstra kulit dan tepung. Mana gurih dan renyah banget."
"Kalau begitu anggap saja aku menyenangkanmu, Sa."
"Woh ... ya wajib. Mengingat kamu sudah betein aku lama. Hibernasi nggak kelar-kelar. Si Candra itu juga sibuk nggak ketulungan. Dia rolling area, jadi daerah Malang Selatan. Makanya jadi nggak bisa nongki lagi. Terakhir kali ketemu dia itu kira-kira tiga hari setelah piknik. Mukanya kek capek."
Mendengar nama Mas Candra disebut-sebut hanya membuat lukaku kembali menganga. Pedihnya terasa seperti sayatan luka baru yang entah kapan sembuhnya. Sudah lihat sendiri, 'kan, betapa tidak pentingnya aku. Dia pindah area tanpa memberitahuku.
Ups, aku lupa. Buat apa dia memberitahuku? Aku ini hanya selingan yang akan dia hubungi ketika perlu. Setelah kejadian hari itu, sebenarnya Mas Candra mengirim pesan dua kali, tetapi aku menjawab seperlunya. Benar-benar seperlunya dan memberikan kesan kalau aku sedang dikejar target.
Pilihanku terbukti benar. Dia memang tidak ada itikad baik denganku. Jadi, tak salah saat aku memilih untuk menjauh. Rosa mengambil ayam goreng ketiga. Kubiarkan dia menikmati makanannya, sedangkan aku kehilangan selera. Bayangan melalui hari tanpa keribetannya, sedikit banyak membuatku merasa sedih juga. Bahkan belum terbayangkan, akankah aku menemukan teman sebaik dia nantinya.
"Sa, aku mau pulang."
"Ngapain pulang? Masih terlalu pagi. Lagian kamu nggak ada jadwal lagi hari ini." Rosa masih asyik mengunyah ayam gorengnya.
"Ke rumah orang tuaku."
"Berapa lama?" Rosa masih mengunyah, tetapi matanya sudah menatapku.
"Seterusnya."
"Apa?" Kunyahan Rosa memelan, tangannya menurunkan ayam goreng yang semula ada di depan mulut dan diletakkan begitu saja di meja. "Kamu pasti bercanda. Gimana kerjaanmu?"
Aku mengingat hari saat menyadari betapa aku telah mempermalukan diriku sendiri. Aku sudah menangisi pria yang tak pernah ada hati padaku. Karenanya aku menemui Pak Nico di Surabaya untuk menyerahkan surat pengunduran diriku secara langsung.
Aku tidak bercerita apa-apa pada Pak Nico, tetapi atasan bijak itu menyetujui pengunduranku pada akhir bulan. Mengingat cara kerjaku, beliau mengatakan aku boleh bergabung kapan pun aku ingin. Hanya perlu mengirim pesan dan aku akan mendapatkan pekerjaan kembali. Aku tidak tahu itu serius atau tidak, yang jelas aku merasa sangat berterima kasih.
"Aku sudah resign per akhir bulan kemarin."
"Nggak mungkin," cetus Rosa. "Aku tahu pekerjaan ini adalah impianmu. Pencapaianmu di sana nggak main-main. Aku tahu kamu adalah marketing handal."
"Sehandal apa pun orang dalam pekerjaan, akan ada masanya dia harus berhenti karena prioritas yang berubah."
"Nggak! Kamu pasti lagi becandain aku, 'kan, Va?"
Aku melirik jam di pergelangan tanganku. Tujuh lebih dua puluh dan aku harus segera masuk. Aku bangkit, memegang tangan Rosa ... rasanya sesak. Sebenarnya aku tak ingin meninggalkannya seperti ini.
"Keretaku berangkat dalam lima belas menit." Sambil berkata begitu, aku mengangkat ranselku ke punggung. Aku melangkah pelan-pelan dan berhenti tepat di depan pintu masuk.
"Kamu pasti lagi bohongin aku, Va."
"Enggak." Aku menggeleng dan menunjukan tiket yang kusimpan di tas.
"Kamu bohong. Aku tunggu di luar. Ayo kita cari Candra! Aku pengin nonton bertiga. Dia pasti sudah pulang, kita bisa ke kantornya." Rosa nyerocos sambil berjalan menuju pintu keluar.
Aku tetap berdiri di tempatku. Kubiarkan Rosa lebih ceweret dari biasanya hanya karena tidak percaya dengan penuturanku. Nama Mas Candra yang dia ucapkan pun tak menghentikan tekadku untuk pergi. Aku lelah mengejar cintanya, capek tidak dianggap, dan jenuh menitikkan air mata karena emosinya yang meledak-ledak.
Rosa berbalik dan menghambur ke arahku. Kami berpelukan erat seperti akan berpisah selamanya.
"Bodoh!" Rosa menamparku lembut. "Bilang aku kalau ada masalah dan aku akan menyelesaikannya untukmu. Jika aku tak mampu, ada Candra yang pasti bisa membuat segalanya baik-baik saja."
Candra, Candra, Candra. Mendengar namanya saja hatiku kembali nyeri. Sungguh, dia telah menorehkan luka yang begitu dalam untukku. Meski semua adalah kesalahanku, tetap saja ... luka dari perbuatannya masih meninggalkan nestapa.
"Berjanjilah untuk merahasiakan ke mana aku pergi pada orang lain!" pintaku. Aku benar-benar tidak ingin siapapun tahu. "Aku pamit padamu karena memercayaimu."
"Tapi ...." Rosa mengusap air matanya yang juga sudah membasahi pipi. "Baiklah, tak akan kukatakan pada siapa pun, kamu bisa percaya aku."
"Makasih." Kami berpelukan sekali lagi sebelum aku melangkah melewati pintu. Aku berhenti dan berbalik menatap Rosa sekali lagi. Dia masih berdiri di tempat yang sama, menyeka air matanya berkali-kali
Tak kuat melihat itu, aku pun kembali melanjutkan langkah. Membiarkan air mataku menganak sungai dan mengaburkan pandangan.
Saat kereta api mulai bergerak meninggalkan Stasiun Kota Baru, aku melihat keluar jendela. Mematri semua yang ada di sana supaya terus ada dalam ingatanku. Malangku ... kota tercinta yang telah memberiku banyak kenangan dan sudah mengajarkan arti hidup. Yang meskipun pahit, tetapi tetap merupakan pelajaran berharga. Aku mengeluarkan ponsel dan melihat pesan masuk.
"Keretamu baru berangkat beberapa menit yang lalu. Aku masih di depan stasiun dan sudah kangen sama ributmu."
Aku memilih untuk tidak membalas pesan Rosa. Aku tidak mau menangis lagi, tetapi air mata ini sudah meleleh tanpa kompromi. Kumasukkan lagi ponsel ke tas, lalu melihat keluar jendela. Pepohonan di pinggir rel sudah tidak terlihat dengan jelas. Dalam mataku semuanya hanya menyerupai bayangan hitam yang bergerak sangat cepat. Selamat tinggal kotaku tercinta.
Tamat
Gimana, gimana? Sudah, to? Dia nggak mikir lagee😁
Btw, makasih yang sudah ikutan PO. Tunggu bukunya di rumah, yaa. Kukasih spoiler besok deh. Biar makin chaiank sama akoohh🤭🤭
Btw, sapa sih yang belum follow aku? Dah aku tamatin nih ceritanya. Jan jahat, yakk🤣✌
Love, Rain❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top