🍰 24. Terpukul 🍰

Malam, temans. Dobel up loh ini💃

Sejak kejadian Mas Candra marah, tidak ada keinginan di hatiku untuk bertemu dengannya. Lebih dari empat hari Rosa mengirimkan pesan supaya aku datang ke tempat biasa untuk makan siang bersama atau nongkrong seperti biasa. Dia bilang mumpung ada Mas Candra tanpa Sandra.

Aku menghindar, tentu saja. Meskipun aku adalah perempuan yang tidak terlalu memikirkan orang lain, tetapi efek ucapan Mas Candra masih terasa sakit. Mengingatnya saja bisa membuatku tiba-tiba merasa sedih. Bertemu dengannya, aku pasti bisa menangis dan itu wajib dihindarkan. Aku tidak ingin jadi mendadak manja hanya karena masalah sepele.

Masalah sepele. Kusebut begitu karena orang lain pasti berpikir begitu dan kenyataanya Mas Candra memang tak melakukan apa pun padaku. Jadi pasti terlihat berlebihan jika tahu bagaimana aku bereaksi. Entahlah, kemarahan Mas Candra kali ini sangat keterlaluan menurutku.

Ada sedikit rasa bersalah ketika saat aku menolak ajakan Rosa. Dia pasti berharap aku datang mengingat betapa seringnya kami melakukan kegiatan bersama. Aku pun tidak akan menjadi seperti sekarang jika bukan tanpanya. Mas Candra juga turut andil dalam keberhasilan karirku. Mereka berdua punya tempat istimewa di hatiku. Maka dari itu, aku sungguh tidak ingin memberikan penjelasan untuk apa pun.

Seminggu sebelum liburan, aku berpikir untuk mengirim pesan pada Mas Candra dan aku memang melakukannya. Balasan Mas Candra bukan hanya lambat, tetapi sangat lambat. Pagi kukirim pesan, dia tidak membalasnya siang, sore, atau malam. Mas Candra membalas keesokan harinya, itu pun singkat dan seperlunya.

Dari cara Mas Candra membalas pesanku saja aku sudah mengerti kalau dia menyempatkan waktu di sela kesibukannya. Aku berterima kasih sekali untuk itu. Sebisa mungkin aku membereskan masalah liburan itu tanpa bertanya. Kupikir Mas Candra pasti akan mengatakan padaku kalau ingin mengunjungi suatu tempat.

Aku tidak membuat jadwal jalan-jalan seperti yang biasa dilakukan oleh agen perjalanan. Apa yang kutulis hanyalah mengunjungi tempat-tempat tertentu sehingga saat Mas Candra mengatakan minatnya maka tidak akan berpengaruh pada apa yang sudah kubuat. Liburan ini bukan hanya untuk kesenanganku, Mas Candra pun harus mendapatkan keinginannya.

Aku sudah mulai melihat promo hotel dan kendaraan seandainya dibutuhkan. Tiket kereta api pun sudah aku pantau melalui aplikasi yang kumiliki. Semuanya oke, lengkap dengan rencana cadangan seandainya rencana utama mundur dilakukan.

Ini hari Kamis. Aku tidur nyenyak dan bangun dengan rasa segar. Tidurku enakk karena memang aku menelan sebutir obat yang membuatku merasa kantuk tak tertahankan. Bukannya kecanduan, aku hanya merasa perlu bantuan untuk tidur setelah berhari-hari mengalami gangguan tidur. Pukul enam lewat lima, lebih baik bergegas supaya aku bisa berangkat kerja lebih awal. Ada meeting rutin tengah bulan.

Pukul tujuh lewat lima belas aku sudah selesai absen dan digoda beberapa sales bagian lain yang mengatakan "tumben datang pagi" dan kutanggapi dengan senyum. Di kantor ini aku seperti memiliki keluarga kedua.

Masih banyak waktu untuk menunggu kedatangan Pak Nico. Temanku yang sudah datang pun asyik dengan ponselnya masing-masing. Kubuka chat room-ku dengan Mas Candra dan mulai mengirim pesan.

"Pagi, Masnya aku. Rencana perjalanan selesai aku buat dan sudah kukirim lewat e-mail Tolong kalau senggang dilihat, ya. Mungkin mau menambahkan sesuatu. Oh iya, pesanmu agak lambat kuterima. Kadang malah cuma dibaca aja. Mas Candra sehat, 'kan?"

Aku mengirimkan pesan yang lumayan panjang untuknya. Aku baru sadar kalau balasan chat Mas Candra memang super lambat. Seperti bukan dia, jadi sekalian saja kutanyakan. Aku khawatir kalau Mas Candra tidak sehat. Kadang-kadang dia tidak memberitahuku tentang kesehatannya dan mengatakan sakit ketika sudah sembuh.

"Pagi. Jadi aku mesti standby 24 jam? Ini baru melek juga langsung balas pesanmu. Maaf kalau aku nggak bisa pegang ponsel terus dan bikin kamu mengeluh soal chat."

Aku terpana membaca balasan pesan Mas Candra. Dia ini kenapa? Aku hanya merasa khawatir dan dia menerimanya dengan cara yang lain. Dalam hatiku, aku benar-benar tak ada niat untuk komplain tentang lambatnya dia membalas. Fokusku hanya pada kesehatannya. Itu saja.

"Nggak begitulah, Mas. Kalau kamu sehat ya syukur. Maaf ya kalau kelihatan seperti mengeluh."

Kukirim pesan itu dengan maksud menjelaskan tujuanku. Mas Candra yang langsung online membuat firasatku tidak enak. Naluri waspada seketika menguasai hatiku. Aku harus berpikir dengan kepala dingin.

"Nggak begitu? Tadi kamu mengeluh. Apa aku mesti standby nungguin chat kamu? Memangnya kamu selalu fast respons saat aku mengirim pesan?"

Astaga. Aku mengelus dada secara otomatis saat membaca pesan Mas Candra. Pak Nico yang tiba-tiba masuk membuatku meletakkan ponsel dan menanggapi sapaanya. Kubuka laporanku dan siap menyimak jalannya evaluasi Pak Nico.

"Ya sudah, Mas. Kalau pertanyaanku bikin kamu nggak nyaman, lain kali akan kusesuaikan. Maaf. Aku balik kerja dulu."

Kututup ponselku dan memperhatikan bahasan Pak Nico di ujung meja. Seperti biasa, beliau membahas tentang kinerja dan strategi penjualan. Khas marketing sekali. Ketika ponselku bergetar, aku langsung membukanya.

"Kamu lihat. Kubalas pesanmu jam berapa dan kamu balas jam berapa. Aku yang sudah naro ponsel di meja mesti balik lagi buat jawab. Kalau aku telat jawab kamu protes. Apa aku mesti ngalungin ponsel dan nyingkirin semua kegiatanku biar bisa cepet balas pesanmu? Aku nyerah. Aku nggak bisa. Maaf."

Aku mengusap air mata yang sudah menuruni pipi tepat ketika Pak Nico menatapku.

"Lava boleh ke kamar mandi."

Aku bersyukur dengan ucapan Pak Nico. Sebelum teman-teman melihatku, kubawa ponselku dan melesat keluar ruangan. Aku berlari secepat mungkin sebelum berpapasan dengan karyawan lain.

Di kamar mandi hanya ada petugas kebersihan yang membelakangi pintu. Aku menyukuri hal itu dan segera masuk ke salah satu bilik lalu duduk di atas kloset. Kubuka kembali ponselku dan membaca pesan Mas Candra.

"Aku capek diprotes melulu. Waktu itu kita sudah bahas ini."

Aku menjadi orang yang paling kecewa setelah membaca pesan itu. Air mataku menuruni pipiku turun semakin deras. Tanganku gemetar mengetik balasan pesan untuk Mas Candra. Hatiku terasa nyeri, napasku sesak, dan perlahan isakku keluar. Aku menangis sendirian, membayangkan betapa Mas Candra bisa begitu salah menilaiku.

"Maafin aku, ya. Janji nggak gitu lagi."

Tangis yang mati-matian aku tahan supaya tidak lepas akhirnya pecah setelah aku mengirimkan pesan untuk Mas Candra. Kendali diriku lepas dan sesenggukan di tempat ini. Aku perlu menangis supaya sesaknya berkurang. Aku mengelus dadaku yang rasanya begitu sakit.

Aku tidak terima ketika niat baikku ditanggapi dengan begitu kasar oleh Mas Candra. Sesaat tadi aku merasa seperti berbicara dengan orang asing. Meskipun marah, Mas Candra tidak pernah sekasar itu sebelumnya.

Dalam tangisku, tiba-tiba aku ingat. Dari awal aku berjuang sendirian. Dalam setiap pertengkaran kami, selalu aku yang mengalah. Bukan berarti aku tak pernah marah, tentu saja pernah. Saat aku marah, dia menyampaikan pembelaan dirinya. Saat aku tak terima, dia ganti marah dan mengatakan lelah di posisi yang selalu salah.

"Iya, aku memang selalu salah."

Aku mengingat kalimat itu dengan baik. Waktu itu aku hanya meminta konfirmasi dan dia menuduh aku menyalahkannya. Kepalaku mendadak penuh dan berdenyut. Aku merasa seperti mengasuh anak kecil yang ngambek saat kemauannya tidak dituruti maka membujuk adalah satu-satunya hal yang harus kulakukan.

Tangisku semakin menjadi ketika kilasan-kilasan pertengkaranku dengan Mas Candra silih berganti mampir di ingatanku. Luar biasa sekali pengaruh kalimat Mas Candra bagiku. Hatiku seperti tersayat, kemudian dia beri tetesan garam dan jeruk nipis. Sakitnya begitu menusuk hingga terasa begitu nyeri.

Di mana salahku sampai kamu jahat banget sama aku, Mas?

Wes. Aku kudu ngomong apa kalo kek gitu, Va? Siapa emosi?
😷😷

H-1 Close PO

Love, Rain❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top