🍰 23. Terulang 🍰

Siang, temans. Kang Ghosting siap bikin emosi😅

Merencanakan liburan dengan Mas Candra terasa begitu menyenangkan. Aku membayangkan untuk mengunjungi beberapa tempat. Mas Candra mengatakan terserah aku saja mau ke mana. Dia hanya berpesan disesuaikan waktunya, mengingat kami hanya akan di sana selama akhir pekan.

Aku mengambil ponsel dan mulai membaca catatanku lagi. Kami berangkat pada hari Sabtu setelah pulang kerja. Dengan kereta api eksekutif, perjalanan akan menjadi relatif singkat sehingga kami bisa bermalam minggu di Malioboro.

Membayangkan betapa ramainya tempat itu di malam minggu saja sudah membuatku merasa bahagia. Kami akan melihat beberapa pengamen yang unjuk keterampilan di sepanjang jalan itu. Lalu makan malam bersama di angkringan ... tak perlu restoran karena aku dan Mas Candra sama-sama orang yang simpel dan lebih mengutamakan kenyamanan.

Melanjutkan menikmati suasana setelah makan malam pun terasa bagus. Setelah itu, mungkin kami akan menikmati segelas kopi di kafe dekat Stasiun Tugu. Untuk yang ini ... bisa dilakukan, bisa juga tidak. Lihat suasana hati Mas Candra saja. Dia ingin duduk di situ atau justru ngopi lesehan di alun-alun sambil menikmati keramaian.

Aku mengulum senyum ketika membaca rencana berikutnya. Pagi pertama di Jogjakarta. Kami akan sarapan di hotel, kupikir ini pilihan bagus daripada mencari sarapan di luar. Jelas ribet dan bisa jadi memakan banyak waktu karena kami tidak tahu ke mana harus mencari menu yang cocok di luasnya Jogjakarta.

Menjelang siang, kami akan jalan-jalan saja. Mungkin membeli Lumpia Samijaya ... bagiku belum ke Jogja kalau tak mencicipi jajanan yang satu itu. Meskipun bukan oleh-oleh, tetapi keberadaannya di Malioboro seperti sudah menjadi ciri khas dan memang wajib mampir.

"Nggak usah mulai gila, deh, Va! Senyum-senyum nggak jelas."

Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal setelah menutup aplikasi yang baru saja kugunakan untuk mencatat rencana perjalananku dengan Mas Candra. Aku tak ingin mengatakan apa-apa pada Rosa. Gila saja, dia pasti akan menertawakan aku atau mewawancarai aku seperti wartawan.

"Belajar gila. Anggap aja gitu," jawabku dengan senyum ramah yang kubuat-buat.

"Eh, Va ... kemarin kamu ke mana, sih? Mestinya jadwalmu bukan keluar kota, 'kan, ya? Tapi kenapa nggak nongki sama aku, sih?"

Aku melirik Rosa yang sedang memulas kuteks di kuku jari telunjuknya. "Nggak keluar kota, tapi terjebak macet." Aku memang tidak datang saat Rosa mengajak untuk makan siang bersama. Selain panas, kemarin adalah hari yang berat. Aku harus bolak-balik ke dua lokasi hanya karena tidak bertemu dengan bagian pengadaan dua rumah sakit.

"Oh, kukira kenapa. Ada Candra kemarin itu."

"Terus ...."

"Ya nggak ada terusannya, Va. Kangen nongki bertiga sama kamu dan Candra."

Mendengar nama Mas Candra disebut-sebut, tidak ada rasa penyesalan karena kemarin tidak bisa makan siang bersama. Aku cukup puas dengan ajakan Mas Candra untuk melewatkan liburan bersama. Memang hanya akhir pekan, tetapi bagiku cukup untuk menawarkan rasa sakit hati karena semua hal yang sudah terjadi kemarin. Kalau aku beruntung, mungkin aku bisa sedikit bertanya tentang banyak hal.

"Ya nanti pasti ada waktunya, Sa. Kita tahulah jadwal sedang padat-padatnya." Bukan hanya Rosa, sebenarnya aku pun juga kangen menghabiskan waktu bertiga. Berdua dengan Mas Candra terasa lebih menyenangkan untukku, tetapi tak mungkin mengatakannya pada Rosa untuk saat ini.

"Candra sama Sandra kemarin."

Aku sempat berhenti meneguk minuman yang saat ini tengah kupegang. Untung saja aku tidak tersedak. Kehilangan minat pada minuman yang biasanya kusuka, aku meletakkan gelas yang kupegang.

"Sandra itu yang mana, sih?" Jelas ini adalah pertanyaanku paling bodoh di dunia. Aku tahu Sandra dari Mas Candra dan masih menanyakannya pada Rosa. Beginilah tingkahku ketika hampir tidak bisa memikirkan apa pun.

"Hadeh." Rosa meletakkan botol kuteks lalu menepuk dahinya dengan telapak tangan kiri. "Yang kemarin sama Candra pas kita ke Pulau Sempu."

Mengingat Pulau Sempu, perasaan tidak enak kembali merajai hatiku. Apalagi mengingat perempuan yang disayangi Mas Candra. Bagaimana mereka bisa pergi bersama sedangkan Mas Candra tidak mengatakan apa-apa padaku, membuat rasa cemburuku kembali muncul. Bohong kalau aku masih tetap berpegang pada kalimat Mas Candra yang mengatakan kalau Sandra bukanlah orang yang perlu kukhawatirkan. Kenyataannya, Mas Candra masih terus bersama dengannya ... menyebalkan!

"Aku pulang dulu, Sa. Pamitin sama Tante Mila." Kutenteng tasku dan melangkah keluar pagar."

"Eh, Va. Kok buru-buru, sih? Ini rencana ke Batu gimana?"

"Lain kali, deh." Aku masuk ke mobil dan segera mengemudi pulang.

***

Aku masuk kamar setelah makan malam dan tidak menyapa Iqbal yang sedang bermain ponsel sambil rebahan di kursi ruang tamu. Aku membuka tasku dan meletakkannya kembali di kursi setelah mengambil ponsel. Kubuka aplikasi yang biasa kugunakan untuk bertukar pesan dengan Mas Candra.

"Mas, kamu ada pengin ke pantai apa enggak? Atau mau ke mana? Biar sekalian aku sesuaikan jadwalnya."

Itu pesan yang kukirimkan untuk Mas Candra tadi pagi. Dia sudah membacanya dan mengatakan "nanti" sebagai balasan. Aku melihat jam di tembok kamar. Pukul sepuluh lewat, mestinya Mas Candra sudah membalas pesanku.

"Mas, belum senggang, ya?"

Kali ini, pesan itu langsung dibaca oleh Mas Candra.

"Maumu, apa, sih, Va? Sudah kubilang, 'kan, kalau buat saja seperti maumu. Kamu kalau sedang nggak enak hati jangan cari gara-gara begini, deh. Capek ngadepin kamu yang begitu."

Aku bertanya baik-baik dan balasan yang kudapat benar-benar tidak mengenakkan. Jadi seperti itukah dia padaku? Dia berpikir untuk membalasku hanya karena aku yang sedang tidak enak hati. Mungkin aku memang kekanakan karena tidak memahami ucapannya untuk menentukan semua destinasi wisata kami, tetapi dia tak seharusnya seperti itu, 'kan?

Hubungan apa yang sedang kujalin ini? Aku mengusap pipiku yang tanpa kusadari sudah basah. Bahkan air mataku sudah meleleh di sana. Aku bodoh menangisi ini. Apa yang perlu kutangisi jika semua ini memang kesalahanku?

Sebenarnya aku tak mau membuat masalah apa pun dengan Mas Candra. Kalimatnya yang mengatakan "nanti" itulah yang membuatku menunggu dan akhirnya bertanya. Namun, "nanti" yang dikatakan Mas Candra itu tak pernah terjadi, atau aku yang salah mengartikan kata nanti sehingga dia menjadi tidak enak hati. Rasanya seperti menunggu sebuah kepastian yang kita tidak pernah tahu kapan datangnya. Bisa saja aku yang terlalu banyak ide, sementara Mas Candra tak butuh semua itu.

Apa yang kualami hari ini membuatku merasa tidak berharga. Aku seperti tidak diinginkan oleh Mas Candra. Dengan liburan yang dimintanya itu, dia seolah menerbangkanku sampai bintang saking bahagianya. Kemudian apa? Aku terhempas saat menyadari hanya aku yang bahagia di sini. Mas Candra biasa saja, bahkan cenderung tidak peduli.

Kutarik napas panjang, rasanya masih begitu sesak ketika menyadari bahwa aku bukanlah apa apa. Tak mengapa, dia memang lebih dari sibuk karena sudah bekerja di bidang ini lebih lama dariku. Sekarang aku mulai melihat batasanku. Kupikir aku dekat, tetapi nyatanya tak terlalu dekat. Ibarat seorang tamu, aku tetap berdiri di luar pagar rumahnya. Dia tak pernah mempersilakanku masuk untuk menerimaku dan bercakap cakap. Tak hanya bercakap, ditengok pun tidak.

Hatiku sakit sekali. Rasa ini perih tak terperi.

Gak bisa mikir aku. Ada, ya, cinta yang sampe begitu

H-1 Close PO

Love, Rain❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top