🍰 22. Krisis 🍰
Malem, temans. Triple update dong. Hahaii💃💃
Btw, siapa yang udah baca tapi belom follow saia? Ngambek niyy, gak kasih apdet banyak😝
"Sepanjang minggu ini aku sibuk. Kamu jangan telat makan dan hindari yang terlalu pedas."
Itu adalah pesan yang dikirimkan Mas Candra pada hari Senin setelah piknik dan ini sudah lebih dari sepuluh hari sejak hari itu. Tidak ada lagi pesan yang dikirimkan Mas Candra padaku dan aku hanya mengirim pesan empat hari lalu hanya untuk menanyakan kabarnya. Sekalian mengingatkan supaya dia tidak terlambat makan. Bagi orang lain, pesanku mungkin terlihat biasa saja dan terkesan basa-basi, tetapi hanya itu yang bisa kulakukan untuk memperhatikan Mas Candra.
Tidak ada yang bisa kulakukan karena mengirimkan banyak pesan untuk Mas Candra jelas tidak berguna. Dia tidak suka dengan hal itu dan aku menghormatinya. Jangan tanyakan perasaanku karena hatiku tetap terasa nyeri. Ibarat orang sakit, aku memiliki gejalanya dan memutuskan tidak pernah pergi ke dokter. Kubiarkan hatiku dengan perasaan tidak lega dengan ganjalan yang semakin hari terasa makin besar.
Aku berjalan keluar dari kantorku. Sudah jam dua lebih dan aku ingin sesuatu yang menyegarkan. Menyegarkan mulut dan tenggorokan ... juga otakku. Mungkin ke starbuck ... rasanya sudah lama sekali tidak ngopi. Perlu waktu sekitar tiga puluh menit di jam seperti sekarang dan itu tidak masalah bagiku.
Sesampainya di parkiran sebuah pusat perbelanjaan, aku tertegun melihat Mas Candra yang sedang berdiri di parkiran. Dia menatap mobil yang mulai mundur dan kebetulan ada di samping mobilku. Aku melirik pengemudi kendaraan berwarna kuning itu adalah perempuan yang tempo hari dikatakan teman-teman sebagai pacar Mas Candra.
Melihat kejadian ini, pesan yang mengatakan sibuk pun otomatis berlarian di benakku. Sibuk memperhatikan perempuan yang ... siapa namanya? Aku bahkan tidak pernah ingat untuk menanyakan siapa perempuan itu. Kuraih ransel setelah pintu mobil terbuka. Tanpa ragu aku melangkah ke arah pintu masuk pusat perbelanjaan.
"Mau ke starbuck?" Aku tahu pertanyaan Mas Candra hanyalah basa-basi. Dia tahu pasti kalau tujuanku ke pusat perbelanjaan hanya untuk ngopi. Apalagi di jam-jam yang normalnya orang masih bekerja.
"Iya," jawabku singkat.
Sesampainya di tempat tujuan, aku hanya memesan macchiato seperti biasanya. Tanpa camilan yang akan membuatku di tempat ini lebih lama. Mas Candra memesan espresso dan membayar pesananku juga. Aku tidak menolak dan lebih memilih untuk mencari tempat duduk.
Kali ini aku memilih meja pinggir, dekat jendela. Selain tidak akan dilewati orang-orang, aku juga bisa melihat kesibukan di luar sana. Mas Candra duduk di depanku sebelum menyeruput kopinya pelan-pelan. Kuamati wajah yang selalu berhasil membuatku tenang itu. Semuanya masih sama seperti yang kuingat. Simpatik dan menawan.
"Dia bukan siapa-siapa," kata Mas Candra tiba-tiba. Aku tidak tahu mengapa dia mengatakan itu sementara aku tidak menanyakan apa pun padanya.
"Siapa yang bukan siapa-siapa?"
"Sandra."
"Memang orangnya yang mana?"
"Yang tadi itu."
"Oh." Hanya itu yang bisa kukatakan. Aku tidak punya pertanyaan yang bisa kugunakan untuk mengetahui banyak hal. Tidak ada lagi yang ingin aku tahu. Aku merasa cukup dengan semua kabar yang pernah kudengar. Kalau Mas Candra mengatakan dia bukan siapa-siapa, ya terserah saja. Bagiku tidak akan mungkin ada asap tanpa api. Sesederhana itu saja pemikiranku.
"Gitu aja?"
Aku tidak mengerti dengan maksud Mas Candra. Ketika aku memberinya banyak pertanyaan, dia menegaskan seolah tak ada siapa pun yang berarti. Sekarang ketika aku menerima jawabannya, dia seolah tidak percaya pada penerimaanku.
"Kamu nggak pengin nanya sesuatu, Va?"
Kuteguk macchiatoku pelan-pelan. Rasanya enak sekali. Manisnya pas sehingga rasa pahit dari kopi masih bisa kurasakan. Ketika Mas Candra memberiku kesempatan untuk bertanya, aku justru merasa tak ingin bertanya. Entahlah ... kurasa hatiku ini tidak memiliki tombol yang bisa digunakan untuk mematikan rasa sakitnya.
"Nggak ada."
"Kok nggak ada? Yakin?"
Aku harus menanyakan apa dalam kondisi seperti ini? Aku sedang tidak ingin mendengarkan penjelasan apa pun, tetapi kalau Mas Candra mau bercerita maka aku akan memaksakan diri untuk mendengar. Dibuat mudah saja seperti biasanya.
"Iya."
"Baiklah. Yang jelas dia bukan siapa-siapa yang patut kamu khawatirkan."
Selalu saja kalimat itu. Aku memang tidak khawatir dan tidak perlu mengkhawatirkan apa-apa. Aku tetap berpegang pada satu hal, bahwa akur dengan Mas Candra adalah hal terbaik. Sudah, begitu saja.
"Mau liburan bersama?"
Aku menatap Mas Candra dari keasyikanku menggoyang gelas kopi. Kucari-cari kesungguhan di sana, siapa tahu dia hanya sedang berusaha mengalihkan perhatianku saja. Namun, sesuatu yang tidak bagus melintas di pikiranku. Jangan-jangan Mas Candra akan mengajak perempuan itu. Buat apa aku menyetujui liburan yang dia tawarkan kalau akhirnya akan menyakiti diriku? Daripada aku menelan kekecewaan, lebih baik aku menolaknya saja.
"Enggak."
Mas Candra seperti terkejut mendengar jawabanku. Mungkin dia tidak menyangka kalau aku bisa menolak sesuatu yang dia tawarkan. Sebenarnya bukan maksudku untuk menolak, hanya saja aku sedang berusaha menyelamatkan hatiku. Tidak mungkin, 'kan, kami liburan bersama kalau hanya untuk menyaksikan kedekatan Mas Candra dengan perempuan lain.
"Berdua saja. Ayolah, Va! Tiga minggu dari sekarang kita berangkat."
Ada kesungguhan yang kali ini kulihat di mata Mas Candra. Aku masih perlu sebuah jawaban untuk menghilangkan keraguanku. Bahwa Mas Candra memang benar memikirkan aku.
"Kenapa Mas Candra nawarin itu ke aku?"
"Karena aku terlalu sibuk selama ini. Kupikir aku bisa meluangkan waktu untukmu ketika jadwalku sudah bisa disela."
Itu kan waktu senggangmu yang mungkin sudah sisa dan tak mampu kamu habiskan dengannya, Mas. Pikiran itu tiba-tiba muncul di kepalaku. Belakangan, pikiran negatif tentang Mas Candra memang sering muncul. Aku sedang berada dalam posisi krisis kepercayaan.
"Kamu bisa merencanakan liburan berdua. Di mana mesti menginap, ke mana saja tujuan kita. Atur saja, aku akan mengabulkannya."
Ucapan Mas Candra terasa begitu menggiurkan. Aku jadi berpikir, perempuan mana yang akan menolak jika ditawarkan hal yang begitu menarik. Aku mulai goyah dan memikirkan seluruh ucapannya.
"Tapi-"
"Jangan terlalu banyak berpikir, Va," sela Mas Candra. "Pikiranmu itu bisa membunuhmu saking berbahayanya."
Aku tidak tahu persis apa maksud Mas Candra. Yang kutangkap adalah dia menekankan supaya kami pergi liburan berdua. Tidak perlu berpikir tentang hal yang tak menyenangkan. Aku juga paham kalau dia adalah orang yang malas mengungkit hal yang sudah lalu. Ada baiknya kalau aku pun tidak terlalu banyak berpikir tentang hal yang belum pasti sama dengan yang kupikirkan. Bagaimanapun, apa yang terlihat belum tentu sama dengan yang terjadi, bukan?
"Baiklah," kataku akhirnya. "Aku mau."
"Good," ujar Mas Candra seraya menatapku lembut."
Aku pun tenggelam dalam tatap mata Mas Candra yang kali ini hanya tertuju padaku.
Va, lava, pembaca itu udah ngamuk. Kamu kok malah masih percaya kadal😝😝
H-2 Close PO 👇
Love, Rain❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top