🍰 2. Terpesonakah? 🍰

Malam, temans. Kuantarkan bab 2 padamu. Tuh, 'kan, aku enggak lama update-nya💃💃

"Untuk hari ini order dilanjutkan setelah jam makan siang, ya. Semoga teman-teman detailer tetap sabar seperti biasanya."

Nah, siapa bilang jadi detailer enak? Kalau keadaannya sudah begini, mau apa? Dikira menunggu itu menyenangkan? pengumuman tadi itu disampaikan oleh Mbak Lala, bagian pengadaan di salah satu rumah sakit terbesar kota ini.

"Nyesel aku ke sini. Tahu gitu, 'kan, mendingan aku tadi ke RSB Vila Bunda. Jelas dapat tanda tangan."

"Getun (menyesal), Va?" tanya Rosa, salah satu teman detailer yang bisa dikatakan lumayan akrab denganku. Beberapa kali kami pergi keluar kota bersama dan berhasil menambah omset meski tak besar.

"Nemen (sangat)."

"Mau nyesel juga pecuma. Posisi kita butuh mereka."

Aku menoleh pada pria yang baru saja berbicara. Rupanya dia, beberapa kali sempat antre bersama, hanya saja aku tak pernah menyapanya. Selain karena sibuk dengan ponselnya, Mas itu juga sepertinya enggan bicara dengan siapa pun. Mungkin siang ini adalah pengecualian, karena dia menyahuti pembicaraanku dengan Rosa.

"Iya, sih." Aku menyetujui ucapannya. "Tapi masa gak menghargai kita yang sudah menunggu berjam-jam?"

"Sudah, Va. Oh, iya ... kenalan dulu, itu namanya Mas Candra. Kerjanya di kompetitor perusahaanmu , tapi kuharap kita semua berteman saja."

Oh, namanya Candra. Kurasa dari beberapa kali kami bertemu, baru sekali ini aku mendengar dia menanggapi pembicaraan. Biasanya, Mas Candra hanya duduk sambil memainkan ponsel hingga gilirannya masuk dan langsung pergi begitu saja setelah selesai. Tidak pernah menyapa secara berlebihan. Paling-paling "halo" atau "sudah lama" yang jelas dimaksudkan sebagai basa-basi. Selesai dengan urusannya pun Mas Candra hanya mengatakan "yuk, duluan" dan berlalu tanpa menoleh lagi.

"Va, kok bengong," tegur Rosa menanggapi keterdiamanku.

"Halo, Mas Candra. Aku Lava." Kuperkenalkan diriku setelah aku menyapanya. Reaksinya hanya berupa kedua alis terangkat, lalu kembali menekuri ponsel. Sepertinya benda itu merupakan jimat yang terus-menerus dilihat karena alih-alih berbicara dengan sesama teman, Mas Candra justru memilih mengusap benda itu berkali-kali. Mungkin akan terus begitu sampai gilirannya tiba.

"Va, keluar, yuk!" ajak Rosa. "Bagian pengadaan ini kalau istirahat suka lebih dari yang seharusnya. Daripada jamuran di sini."

"Boleh." Aku menyetujui usul Rosa karena memang tak ada yang bisa kami lakukan selain menunggu. Saat aku dan Rosa bangkit, Mas Candra mengikuti kami.

Begitu keluar dari lingkungan rumah sakit. Aku merasa sedikit menyesal. Panas terik yang menyambut langkah kami benar-benar sanggup membakar emosi. Untunglah depot yang dituju hanya berada di seberang rumah sakit. Jauh sedikit saja, aku lebih memilih untuk menunggu bagian pengadaan dengan perut lapar yang bagiku terasa lebih menyenangkan. Bukan untuk gaya, tetapi aku pasti akan sakit kepala jika kepanasan terlalu lama.

Membaca menu yang tertulis di papan yang menempel pada dinding, aku memilih soto bebek sebagai menu makan siangku. Bayangan kuah panas, pedas, dan asam dari jeruk nipis benar-benar membuat perutku meronta. Abaikan Rosa yang memesan gado-gado dan salad buah, menu yang biasanya juga selalu kupilih. Namun, siang ini adalah pengecualian.

Begitu pesanan kami diantarkan, aku hanya melihat segelas kopi untuk Mas Candra. Saat menikmati makan sian, aku hanya melihat Mas Candra mengeluarkan sebatang rokok dan menyulutnya. Dia bersandar sambil memainkan ponselnya. Kadang-kadang aku heran, mengapa kebanyakan pria lebih memilih sebatang rokok, kopi, dan menatap ponsel di jam makan. Mau kubilang belum lapar, jelas tidak mungkin karena nyatanya ini adalah jam makan.

"Katanya lapar." Rosa menyenggol lenganku. "Malah bengong. Keburu dingin, tuh. Nggak enak nanti."

Kugaruk kepalaku yang tidak gatal. Bisa-bisanya aku mengamati Mas Candra yang bahkan berbicara pun enggan. Aku mengaduk mangkukku dan mencicipi sedikit kuahnya. Kurang pedas dan aku menambahkan cabe serta jeruk nipis lagi ke dalamnya. Benar-benar nikmat, itu yang kurasakan ketika aku menikmati makan siang tanpa berbicara lagi.

***

Kubuka mataku ketika waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Kuregangkan tubuh sebentar dan kembali memeluk guling lalu memejamkan mata. Aku masih punya waktu lima belas menit untuk bermalas-malasan sebelum bangun dan berangkat bekerja. Heran tidak aku melakukan pekerjaan semalam ini? Memang beginilah pekerjaanku. Tidak melulu pagi atau siang hari. Jangan bermimpi punya jam kerja rutin dari pagi hingga sore jika menjadi detailer sepertiku.

Dua kali sebulan aku pasti pergi keluar kota dan jam kerjanya pun sama. Tidak ada patokan dari jam berapa sampai jam berapa. Yang jelas aku harus menemui para dokter yang tentu saja jadwalnya disesuaikan dengan waktu senggang mereka. Apakah di rumah mereka? Jangan bermimpi Esmeralda, tak akan ada yang membayangkan bakal dapat susu hangat atau pisang goreng dari Nyonya Dokter ketika bekerja.

Sebagian besar dari kami akan menemui dokter di rumah sakit atau di tempat praktik. Waktunya? Bisa pagi sekali, siang, atau bahkan hampir tengah malam ketika pasien terakhir meninggalkan kamar praktik. Apakah negosiasinya gampang? Jangan harap. Meskipun itu tengah malam dan dalam kondisi lelah sekali pun, otak mereka tetap waspada dengan yang namanya sales.

"Lava, kerja opo ora, kok ndak bangun-bangun ini?" Suara kakek diikuti oleh sebuah tarikan pada selimut membuatku membuka mata lalu duduk sambil menatap wajah teduh pria berusia senja yang kini berdiri di ujung tempat tidurku.

"Kerja, Kek. Tapi, masih ada waktu." Kurebahkan kembali tubuhku ke kasur. Nyaman dan hangat. Sebuah tempat yang tak pernah gagal memberikan rasa senang meski ini bukan rumah orang tuaku.

"Bangun! Ndak ada alasan. Nenekmu sudah membuat nasi goreng seafood kesukaanmu. Makanlah sebelum berangkat kerja." Mendengar suara tegas Kakek, jelas beliau tak ingin aku membantahnya. Terlebih lagi, Kakek sudah melangkah keluar dari kamar dan mau tak mau, aku pun melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.

Makan malam dengan nasi goreng seafood buatan Nenek terbukti mendongkrak semangat kerjaku. Aku mengemudikan mobil membelah jalanan kota yang sudah mulai lengang dan sampai di Apotek Sehat, tempat praktik Dokter Rahmad, dalam waktu lima belas menit. Waktu yang lumayan singkat mengingat di jam normal aku memerlukan waktu lebih dari setengah jam jika berangkat dari rumah.

Mati! Aku melirik jam tanganku begitu duduk di kursi paling belakang antrean Dokter Rahmad. Masih ada tujuh pasien yang artinya ... aku akan menghadap dokter terkenal itu paling cepat dalam dua jam. Lama? Memang. Dokter yang satu ini selalu memerlukan waktu lama jika memeriksa pasiennya. Meskipun taripnya mahal, tetap saja antreannya mengular. Namun, semua itu sebanding dengan keramahan, ketelatenan, dan ketelitiannya yang patut diacungi jempol.

Kukeluarkan ponsel dan mulai berbalas chat dengan teman-temanku. Sesekali aku membalas obrolan grup detailer keren yang berisi para detailer kota ini. Beberapa dari mereka ada yang sedang menunggu sepertiku yang tentu saja diejek oleh teman lain yang sedang rebahan dengan anak atau pasangan masing-masing di depan televisi.

"Va."

Sebuah suara yang kukenal menyapa runguku disusul sosoknya yang duduk di sebelahku. "Mas." Hanya kata itu yang kuucapkan sebagai balasan dari sapaannya. Bukan aku sombong, sih, tetapi ketika aku asyik berbalas pesan maka sekelilingku jadi tidak menarik.

"Sudah lama?" Mas Candra kembali bertanya.

"Sekitar ...." kulirik jam tanganku sebentar. "Dua puluh menitan." Aku langsung menabahkan hati begitu menyadari bahwa pasien dokter Rahmad belum berkurang. Itu artinya, pasien yang ada di dalam belum keluar sejak aku duduk. Astaga, apa, sih, yang mereka obrolkan sampai begitu lama. Lagi pula, pasiennya kok betah. Apa tidak pusing atau lemas?

"Biasa aja mukanya. Demi omset."

"Hmm." Kubenarkan kalimat Mas Candra. Aku seperti ini pun juga tak jauh-jauh dari yang dikatakannya. Omset dan insentif besar. Bukannya tidak bersyukur dengan gaji yang sudah diikuti oleh deretan tunjangan yang cukup lumayan, tetapi insentif jelas bisa membuat dompetku bersorak.

Sebentar saja, aku sudah kembali asyik menekuri ponsel. Ada ajakan piknik bersama di group chat detailer. Banyak sekali yang menimpali. Sebentar saja sudah ada dua puluh dua orang yang masuk daftar peserta. Banyak yang antusias ternyata. Sayangnya aku tidak bisa datang. Akan ada acara arisan RT di rumah dan tak mungkin bagiku membiarkan nenek masak sendirian. Bisa repot sendiri kalau beliau kelelahan dan jatuh sakit.

"Ikut?"

Aku langsung menoleh pada Mas Candra. "Maksudnya?" bukannya pura-pura tidak mengerti, tetapi aku memang tak tahu ke mana arah pembicaraannya.

"Piknik. Kamu ada di grup detailer, 'kan?"

Rupanya Mas Candra juga ada di grup itu. Sebelumnya, aku tidak tahu hal itu. Tak perlu heran, tentu saja tidak tahu. Aku tak punya nomor ponsel Mas Candra dan tidak pernah bertanya. Boro-boro bertanya, ngobrol saja baru kali ini.

"Ada."

"Jadi?"

"Nggak bisa ikut. Ada acara di rumah."

Mas Candra hanya mengangguk dan kembali serius dengan ponselnya. Melihatnya begitu, aku juga kembali sibuk dengan ponselku. Meski dia diam, nyatanya berada di dekatnya terasa begitu menyenangkan. Apa? Menyenangkan? Dari mana datangnya pikiran itu sampai-sampai melintas di kepalaku yang super cantik ini? Menggelikan.

Emang gitu prosesnya sukak?
Yuk, ah, komenin. Bagi² pengalaman jatuh cinta🤭

Love, Rain❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top