🍰 19. Bingung 🍰
Malam, temans. Hayuklah, cuz. Siapa yang mau di-ghosting😁😁
Beberapa waktu belakangan, aku merasa hariku sepi. Pekerjaanku berjalan seperti biasa dan tidak ada yang istimewa. Untunglah hanya ada satu jadwal keluar kota sehingga aku tidak bingung menyesuaikan fokus dan suasana hatiku yang tidak mendukung untuk melakukan hal berat. Rasanya malas sekali mau melakukan apa pun. Seperti kehilangan semangat.
Contohnya hari ini. Aku hanya memiliki satu jadwal kunjungan dan itu sudah kulakukan tadi pagi. Saat orang memulai aktivitas mereka pada pukul delapan, aku justru sudah pulang dan merebahkan tubuhku di ruang tengah. TV kubiarkan menyala seperti biasanya meski mata dan telingaku tak tertuju ke sana. Aku memang suka pemborosan seperti ini sampai Kakek atau Nenek datang dan mematikannya. Kadang-kadang saja mereka memindah saluran dan duduk menemaniku walaupun tanpa kata.
"Itu dia." Suara nenek membuat mataku yang semula terpejam membuka dan menoleh ke arah asal suara.
"Dih, ngapain, sih, ke sini?" Aku pura-pura sebal dengan kedatangan Rosa. "Lama-lama kamu mirip jelangkung, tahu nggak? Datang tak dijemput, pulang tak diantar."
"Sembarangan ngatain orang," omel Rosa seraya meletakkan tasnya di sofa. Diambilnya sebuah bantal lalu rebah di sebelahku. "Ke resto bakar-bakar, yuk, Va! Lama banget rasanya kita nggak ke sana."
Aku menarik bantalku dan memindahkannya ke atas wajah. Temanku yang satu ini benar-benar tidak tertolong ngawurnya. Mana ada resto bakar-bakar buka pada jam delapan pagi. Lagi pula aku sedang tidak ingin ke mana-mana. Aku kangen berat dengan Mas Candra. Saat seperti ini, aku hanya ingin mendengar suaranya.
Sejak dua hari yang lalu Mas Candra hanya membalas pesanku secara singkat. Bukan hanya singkat, tetapi super irit. Aku tahu kalau ada yang salah dengan dirinya, tetapi apa? Aku bahkan tidak punya keberanian untuk menanyakan penyebab sikapnya yang berubah. Tiba-tiba aku menyadari satu hal, bahwa hubunganku dengan Mas Candra ini seperti tarik ulur tidak jelas.
Rasanya tidak enak sekali saat Mas Candra menjawab segala sesuatu dengan seperlunya begitu. Dia juga tahu aku kerja ke Madiun, tetapi acuh saja. Biasanya dia selalu mengkonfirmasi jadwalku. Kalaupun jadwal kami berbeda, dia akan mencereweti aku agar tidur cepat supaya besok bisa bangun pagi. Jangan lupa mengabari kalau berangkat dan banyak pesan serupa yang intinya berisi banyak perhatian.
Sekarang tidak lagi. Apa yang bisa kupikirkan selain dia tidak mencintai aku sebesar aku mencintainya. Dia mungkin tersinggung karena aku yang sangat terlambat membalas pesannya. Namun, pernahkah dia berpikir dari sisi yang lain?
Pernahkah Mas Candra berpikir saat aku menulis pesan, artinya aku menunggu balasannya. Saat aku harap-harap cemas menunggu kabar, apakah dia tahu kekhawatiranku? Lalu, ketika dia tidak berkabar padahal biasanya kami pergi bersama, tahukah Mas Candra bagaimana perasaanku?
Sekarang, saat tahu bahwa dia jelas mengabaikanku, otomatis aku merasa kecewa. Itu wajar, bukan? Kemudian, apa yang terjadi? Dia kembali pada kesibukannya, 'kan? Rasanya aku ini benar-benar tak berarti.
Aku bingung menghadapi sisi Mas Candra yang ini. Sampai sekarang pun kami masih belum bertemu. Hubungan kami memang tidak seperti orang lain. Di saat orang lain merasa begitu bahagia di awal kebersamaan dan merayakannya dengan pergi ke berbagai tempat, tidak begitu dengan aku dan Mas Candra. Kami bertemu di antara gilanya jadwal kerja dan meluangkan waktu sebisanya. Bahkan kadang-kadang ada Rosa. Aku tak mengeluh karena memang beginilah irama pekerjaan kami.
Sebenarnya, aku hanya menginginkan sebuah komunikasi yang baik. Perhatian dua arah dengan saling mempertimbangkan perasaan satu sama lain. Terkadang aku tidak tahu bagaimana harus menghadapi Mas Candra. Sebentar dia baik, sebentar acuh. Sebentar membuka diri, tak lama kemudian menjauh. Entahlah, barangkali aku harus lebih membuka hati dan berusaha untuk lebih mengenalnya supaya hal-hal seperti ini tidak terjadi lagi.
"Mau dibuatin makan apa, Nduk?" Nenek menyadarkanku dari keterdiaman panjang memikirkan Mas Candra.
Aku menoleh dan mendapati Rosa sudah tertidur. "Sebentar, Nek. Lava tanya Rosa dulu." Kutepuk pelan lengan Rosa dan memanggilnya, "Sa ... dasar pelor, ketemu bantal langsung nyenyak."
Rosa bergerak sedikit. "Biarin aku tidur bentar napa, Va."
"Nenek nanya, tuh. Kamu mau dimasakin apa?"
"Nenek!" Wajah Rosa terlihat lucu ketika bangun secara tiba-tiba dan menatap nenek yang tersenyum lembut padanya. "Masak ... anu, Nek ...."
Nenek terkekeh melihat Rosa. Dia memang begitu kalau dibangunkan, responsnya tidak bisa cepat. Mulutnya akan menjawab setelah duduk beberapa saat.
"Anu apa?" tanya Nenek masih setia menatap Rosa.
"Itu, Nek. Tumis pakis." Rosa kembali berbaring setelah berhasil menjawab pertanyaan Nenek.
Aku tersenyum geli. Itu juga pasti jawaban yang dilontarkan ketika pikirannya berada antara sadar dan tidak. Rosa itu paling tidak doyan dengan sayur pakis. Jadi, tidak mungkin kalau dia meminta masakan itu, 'kan?
Nenek berlalu dan kembali beberapa saat kemudian. Dipegangnya kepala rosa dan mengusapkan tangan basah beliau ke wajah temanku. "Nenek!" teriak Rosa. "Rosa nggak sakit, masa mukanya diseka pas tidur."
"Biar ndak ngawur jawab. Kamu itu datang jam segini pasti belum makan dan seingat nenek, kamu ndak bisa telat makan. Siapa suruh enak-enakan tidur begitu?"
"Tapi, Rosa ngantuk, Nek!"
"Ya wes. Ke belakang sana! Makan dulu seadanya, baru kamu boleh tidur."
Aku tertawa melihat Rosa yang berjalan oleng mengikuti Nenek. Niat Nenek bertanya tentang menu pun musnah hanya dengan melihat Rosa. Aku tidak tahu bagaimana, yang jelas Nenek tahu orang itu belum makan atau belum. Mungkin naluri memperhatikan orang-orang terdekat. Kadang-kadang aku berpikir begitu.
***
"Mas, sampai kapan, sih, kamu diamin aku?"
Kukirimkan pesan itu untuk Mas Candra. Rasanya jenuh diam berlama-lama. Hariku dan dia sudah sama-sama sibuk. Jika tidak ada yang mengalah, hubungan kami bisa berakhir begitu saja. Aku belum menutup aplikasi perpesanan itu saat Mas Candra terlihat online dan membaca pesanku.
"Aku nggak diamin kamu."
Singkat sekali balasan pesannya. Aku jelas tahu kalau ada yang salah. Hanya saja apa? Pusing menerka-nerka, lebih baik aku tanyakan langsung ke orangnya.
"Mas Candra marah? Mas Candra udah lama diamin aku. Jangan marah dong, Mas."
Biarkan saja dia berpikir kalau aku ini agresif, cerewet, atau apa pun itu. Asal masalah ini selesai, aku tidak keberatan. Diam padahal terbiasa bertukar kabar, jelas bukan hal yang sehat untuk keseharianku. Pikiranku tidak mau beranjak dari segala hal tentang Mas Candra. Hatiku terus berteriak meminta rasa lega dan menyelesaikan hal yang kuanggap sebagai masalah.
"Jadi cuma kamu yang boleh marah dan diamin aku, sedangkan aku enggak?"
Kalaupun ada yang memukulku saat ini, sakitnya pasti tak akan sesakit ketika aku membaca pesan Mas Candra. Tidak ada teriakan dan ekspresi yang terlihat ketika dia mengatakan itu. Namun, efek dari kalimatnya sukses membuat napasku seolah tersumbat.
Aku tidak bisa seperti ini terus menerus. Bertengkar dengan Mas Candra sangat memengaruhi hariku. Mau aku akui atau tidak, nyatanya aku memang tidak bisa didiamkan terus menerus. Terlepas dari semua ini salah siapa, aku memang tidak sanggup melalui hari tanpa sapaannya. Mas Candra itu sudah seperti sebuah candu untukku. Jelas aku tak akan bisa bersemangat tanpanya. Mungkin aku harus mengalah kali ini.
"Baiklah, aku minta maaf. Janji nggak akan begitu lagi.
Aku mengirim pesan itu dan menunggu. Berharap bahwa Mas Candra akan melunak dan kembali berkompromi denganku. Aku lelah, Mas, kalau harus terus bertengkar denganmu.
Aku no komen😷😷
Suka, langsung ke sini👇
Love, Rain❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top