🍰 16. Galau 🍰
Siang, temans. Aku update in Lava dan Kang Ghosting, ney. Biar hari Minggumu makin rame😁
Aku duduk lelah di sofa ruang tamu rumah Rosa. Seminggu ini benar-benar gila. Jadwal kerjaku sangat padat dan membuatku harus loncat kesana-kemari tanpa peduli dengan yang namanya lelah. Peduli pun tetap percuma. Setelah istirahat sepanjang malam, aku harus bangun pagi sekali dan memulai hari.
"Minum ini, Va!" Rosa meletakkan segelas minuman yang masih meletup-letup karena butiran tablet yang belum mencair semua.
"Iya, tunggu sebentar," kataku yang langsung membuat Rosa tertawa.
"Kadang-kadang aku kek bego gitu, ya, Va. Sudah tahu tablet evervescent-nya belum cair semua, main mempersilakan aja."
"Kamu sendiri yang bilang bego, loh, ya. Aku cuma ngomong sebentar."
Berteman dengan Rosa terbukti sangat menyenangkan. Di saat lelah begini, dia menyuguhkan minuman yang sudah pasti mendongkrak daya tahan tubuh. Disajikan dingin dan sudah tentu membuatku bersemangat meneguknya.
Aku mengembuskan napas panjang usai menandaskan minuman yang dibuat Rosa. Setelah meletakkan gelas kosong di meja, aku memutar mataku mencari keberadaan mamanya Rosa yang belum menyambutku. Biasanya beliau langsung muncul hanya dengan mendengar suaraku saja.
"Mamamu ke mana, sih, Sa?"
"Ada. Lagi bikin rendang. Gosong kalau ke sini nemuin kamu."
Aku meletakkan tas lalu melangkah menuju dapur. Rumah Rosa memang sudah seperti rumah kedua bagiku. Kadang-kadang aku juga menginap. Mamanya baik sekali, suka memasak dan sesekali aku menjualnya secara online. Bukan untuk bisnis, hanya sesekali beliau ingin masak sementara di rumah sudah ada makanan.
"Tante," panggilku ketika sudah memasuki dapur. Kulihat Tante Mila sedang mengaduk masakan di atas kompor. "Masak apa, sih, Tante? Baunya harum banget ini." Jelas basa-basi, Rosa sudah mengatakan kegiatan mamanya, tetapi aku tetap saja bertanya.
Aku sudah berdiri di samping Tante Mila dan menggantikannya mengaduk rendang. Mesti diaduk terus karena sudah mau matang, begitu kata Tante Mila. Lagi pula, kalau sudah hampir matang itu rawan gosong. Iya sajalah, nurut dengan yang pintar masak.
Tak lama kemudian, Tante Mila mendekat kembali dan mematikan kompor. Dia memintaku duduk di meja makan. Nasi sudah siap di sana bersama dengan buah potong. Rendang dihidangkan bersamaan dengan sayur selada air yang sudah direbus dan sambal mentah.
"Enak," komentarku melihat makanan yang sangat menggugah selera itu. "Sayurnya pas lagi."
"Sengaja masak begitu." Tante Mila duduk di salah satu kursi sambil meletakkan setoples kerupuk di meja. "Awalnya mau bikin ala-ala padang begitu. Tapi waktu Rosa bilang kamu mau ke sini, jadinya beli selada air saja dan sambal mentah. Kamu, 'kan, suka yang begitu."
Aku meringis tak ada malu-malunya. "Jadi nggak enak sama tante."
"Halah, biasa saja. Rosa kalau ke rumahmu juga pasti dimasakin yang enak-enak sama nenekmu." Tante Mila menyendok rendang dan meletakkannya di piring. "Ayo cepat dimakan. Mumpung masih hangat ini."
Aku menikmati makan siangku di rumah Rosa. Rendang buatan Tante Mila memang juara. Apalagi dilengkapi sayuran kesukaanku, aku sukses makan banyak tanpa rasa sungkan. Hari ini aku menikmati makan siang yang memuaskan.
"Temanmu kok nggak pernah datang lagi kenapa, Ros?" tanya Tante Mila seraya membereskan piring-piring kotor di meja. Aku membantunya dengan memindahkan makanan tersisa ke meja dapur dan menutupnya dengan tudung saji.
"La ini Lava, 'kan, sudah kemari, Ma?" Rosa menjawab lembut setelah menandaskan air mineralnya dan berjalan membawa piring kotor ke bak cuci.
"Maksud Mama yang lakik itu, loh, Ros."
"Ya teman Rosa yang lakik, 'kan, banyak, Ma. Rata-rata main ke sini juga."
"Yang agak pendiam itu loh, Ros."
"Candra?"
"Nah, iya. Candra. Ke mana dia? Belakangan kok jarang main ke sini?"
Jadi Mas Candra terbilang sering main ke sini. Aku tidak tahu hal itu dan sejak kedekatan kami pun Mas Candra juga tidak pernah membahas kegiatannya secara keseluruhan. Paling-paling hanya segala hal yang berhubungan dengan pekerjaan dan sedikit aktivitasnya ketika di rumah. Seringnya, Mas Candra mengatakan tentang pergi makan atau sedang asyik menonton YouTube.
"Mama kek nggak tahu aja sama adatnya Candra. Palingan juga lagi kencan."
Kalaupun ada petir yang menggelegar secara tiba-tiba, jelas aku tak akan seterkejut ini. Mas Candra kencan. Itu artinya dia punya ... bukankah aku ada di sini? Tidak mungkin kalau dia keluar. Ada-ada saja Rosa ini. Untunglah aku bisa menutupi rasa terkejutku sehingga Tante Mila atau pun Rosa tidak sampai curiga.
"Candra kencan?" Tante Mila tertawa sambil menjewer telinga Rosa. "Ngomong yang enggak-enggak. Walaupun kencan, dia pasti bawa perempuannya ke sini. Kamu, 'kan, tahu kalau Candra itu sudah seperti saudaramu."
Rosa berdecak. "Setiap temanku selalu Mama anggap sebagai anak. Itung aja ada berapa anak Mama sekarang."
"Nggak usah cemburu gitu." Tante Mila menyentil bibir Rosa yang sedikit cemberut. "Temanmu yang ke sini cuma ada tiga. Candra, Lava, sama siapa itu yang bankir?" Tante Mila mengerutkan kening, jelas mengingat sebuah nama yang sepertinya beliau ingat, tetapi juga lupa.
"Evan, Ma. Si bankir itu namanya Evan."
"Ya ampun, gimana Mama bisa lupa sama anak ganteng itu. Sudah berapa malam minggu dia nggak ke sini, ya, Ros?"
Aku melirik Rosa yang seketika menjadi salah tingkah. Dia memiliki hubungan dengan pria yang katanya bankir itu dan tidak mengatakan apa-apa padaku. Teman macam apa dia? Namun, tiba-tiba aku mengingat sesuatu. Bukankah aku juga tidak mengatakan padanya tentang kedekatanku dengan Mas Candra? Jadi, mengapa aku harus protes ketika dia tidak mengatakan apa-apa tentang si bankir? Oke, aku dan Rosa ... anggap saja seri, satu sama. Perkara selesai. Meskipun teman baik, pada prinsipnya tetap saja ada privasi yang harus dijaga.
"Mama betein." Rosa bangkit dan menarik tanganku supaya mengikutinya. "Ayo, Va, kita ke depan saja. Ada yang mau aku gosipin sama kamu."
"Eh, Va, kalau anak Tante itu lagi curhatin pacarnya, kasih tahu, ya. Nanti ada rendang spesial buatmu," celoteh Tante Mila dan aku masih sempat melihat kedipan matanya tepat sebelum Rosa menarik tanganku meninggalkan meja makan.
Aku mengikuti Rosa ke dalam. Kali ini dia mengajakku ke kamarnya. Berkali-kali masuk ke kamar ini, berkali-kali pula aku merasa sedikit sebal. Di sana-sini berwarna merah muda sehingga terkesan seperti memasuki rumah permen. Kadang-kadang aku menggerutu kesal, bagaimana ada orang yang begitu mania dengan satu warna sampai tidak ada jeda untuk warna lain.
"Jadi, aku sedang dekat sama Evan." Rosa mulai bercerita saat aku sudah berbaring di tempat tidurnya dan dia sendiri duduk di kursi meja rias menghadapku. "Dia kerja di bank seperti yang mama bilang. Sebenarnya dia serius."
Kudengarkan cerita Rosa dengan saksama sampai aku mendengar kata "tapi" yang rasanya akan dia ucapkan. Kubiarkan saja, aku bisa menjadi pendengar yang baik dengan hanya diam dan memperhatikan. Belum waktunya memberi komentar dan kupikir memang cerita Rosa belum selesai.
"Tapi masih ada setahun lagi sebelum dia diangkat menjadi pegawai tetap."
Sepertinya aku mulai menangkap arah pembicaraan Rosa. Walaupun begitu, kubiarkan dia terus melanjutkan ceritanya, mungkin dia ada keluhan lain yang ingin disampaikannya padaku.
"Sambil menunggu status kepegawaian itu, dia nggak mau berkomitmen sama aku. Dia pikir mungkin aku bisa menemukan pria yang lebih baik dan mau melamarku tanpa harus menunggu. Ah, kesal." Rosa turun ke karpet dan membaringkan tubuhnya di sana. "Nelangsa nggak sih jadi aku? Sama-sama suka tapi dia milih nggak bersama. Mumet."
Rosa mengatakan pusing dengan hubungan yang seperti itu, padahal bagiku hal itu terlihat baik-baik saja dan tidak masalah. Mungkin karena bukan aku yang menjalani makanya pikiranku begitu. Coba kalau aku yang berada di posisi itu, bisa jadi aku juga sama galaunya dengan Rosa. Namun, sebagai sesama perempuan, tentu aku bisa menilai bahwa sebenarnya Rosa masih lebih baik. Pria yang dia suka masih memberinya kebebasan yang ....
"Va!" jerit Rosa. "Aku ngomong sama kamu dan kamunya malah enak-enakan ngelamun. Dasar!" Bangun dari tidurnya, Rosa bangkit dan memukulku dengan bantal.
Aku tertawa dan membiarkan Rosa memukuliku sambil terus mengomel tanpa henti. Dia berbaring lelah di sebelahku sambil memeluk bantalnya di dada. "Aku suka dia," cetusnya, "apa saranmu?"
Ditanya tentang saran justru membuatku merasa tidak enak. Aku sendiri merasa kalau cintaku juga tak sempurna. Bagaimana bisa memberikan saran sementara aku tak bisa mengatasi hatiku sendiri. Susah memang kalau segala sesuatu selalu kukembalikan pada diri sendiri. Jatuhnya aku justru tidak bisa berbuat apa-apa karena merasa diri ini belum bagus.
"Ikuti kata hatimu saja." Akhirnya hanya itu yang bisa kukatakan untuk temanku. Lebih bijaksana menurutku, mengingat bahwa masalah pria dan hati ... tak bisa menuruti saran orang lain.
"Kok gitu, sih, Va?" protes Rosa. Sejujurnya aku justru tidak paham mengapa dia protes. Bukankah pikiranku benar kalau masalah hati lebih baik diatasi sendiri. Takutnya kalau aku berpendapat dan di kemudian hari ada buruknya, aku malah disalahkan. Lebih baik menjadi bijak dengan memberi saran sekadarnya. Bagaimanapun, hati tahu kapan dan apa yang harus dilakukan.
"Aku nggak tahu perasaanmu ke mas-mas bankir itu. Rasa dan tanggapanmu pada keputusan yang sudah dia buat ... kamu yang lebih tahu. Kamu pasti paham maksudku, lah, Sa."
"Repot minta pendapat sama jomlo akut." Rosa membelakangiku, masih mendekap bantalnya. Kali ini tangannya meraih ponsel dan mulai memainkan benda itu. "Nanti kamu pasti tahu rasanya galau mikirin cowok yang kamu cinta, tapi dia menunda status."
Nggak usah nanti, Sa. Sekarang pun aku tahu rasanya galau karena pria. Aku mengusap mataku yang tiba-tiba saja sudah basah. Kuubah posisiku miring ke kanan, kini membelakangi Rosa dan memikirkan apa yang tidak pernah kuceritakan kepada temanku ini.
Galaw karena pria. Kalimatmu, Va🤣🤣
Yang pengin pelukin, langsung cek no hp di banner, yakk
Love, Rain❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top