🍰 13. Kembali 🍰

Syelamat malam temans, dari Kang Ghosting😁😁. Kumpul lah hayuuukkk! Bab baru sudah apdet💃💃

Aku merasa begitu merindukan Mas Candra. Ini sudah hari kesembilan sejak memutuskan untuk menenangkan diri dan menghindarinya. Rasanya memang tidak enak, mengingat diriku yang sudah terbiasa dengan segala perhatian manis dalam pesan-pesan singkat yang dia berikan.

Pagi ini aku ada di kantor. Waktu menunjukkan pukul enam lewat empat puluh. Masih terlalu pagi untuk datang, tetapi mengingat Pak Nico yang akan hadir, pilihanku jelas bijaksana. Sedang serius memeriksa laporan, aku merasakan getaran ponselku di tas.

"Pagi, Lava. Ke mana aja menghilang tanpa kabar?"

Rasanya tak percaya membaca pesan yang baru saja kuterima. Itu Mas candra. Dia tiba-tiba muncul tanpa rasa bersalah dan bertanya seolah-olah aku yang telah menghilang. Aneh sekali Mas Candra itu.

Setelah memperlakukan diriku yang seolah tidak penting, Mas Candra muncul dan menuduhku menghilang. Ini sebenarnya aku yang berlebihan atau dia yang semaunya? Setelah membuatku merasa tidak berarti, Mas Candra bahkan muncul tanpa rasa bersalah. Apa kabar beberapa waktu lalu nongkrong dengan Rosa dan tidak mengatakan kalau mereka bersama.

Aku tidak cemburu. Hanya saja tiba-tiba merasa tidak penting. Aku bukan prioritas bagi Mas Candra, padahal tak pernah menuntut banyak. Bukan tak pernah, aku bahkan hampir belum pernah komplain atas apa pun padanya. Di antara jadwal pekerjaan kami yang terkadang ugal-ugalan memakan waktu, salahkah jika aku ingin dia meluangkan sedikit waktu untukku? Beberapa detik hanya untuk membalas satu pesan singkat yang meskipun sekali sehari juga bagiku tak mengapa. Beratkah keinginanku?

Aku sudah berusaha untuk legowo. Kubiarkan Mas Candra dengan kesibukannya dan menata hatiku kembali. Aku berpikir mungkin aku terlalu menuntut baginya, jadi kembali pada kebiasaan sebelumnya sudah pasti hal terbaik yang bisa kulakukan.

Rindu pada kebiasaan kecil kami jelas hal yang lumrah. Namanya juga ada rasa, tetapi aku menepis semuanya. Meskipun terlihat seperti membohongi diri sendiri, aku tetap menganggap bahwa aku pasti akan terbiasa. Memang pada akhirnya perasaan mulai terbiasa itu kurasakan. Sekarang apa? Mas Candra muncul, demi Tuhan. Apa, sih, maunya?

Kuabaikan pesan Mas Candra dengan meletakkan ponsel dan kembali menekuni pekerjaanku. Rasanya seperti kehilangan fokus, pikiranku enggan kembali pada pekerjaan. Aku seperti merasa begitu tidak enak karena mengabaikan pesannya yang telah kubaca. Kalau dipikir-pikir, mengapa aku harus merasa begitu? Mas Candra saja bisa mengabaikanku berhari-hari, mestinya aku juga bisa melakukan hal yang sama.

Berpikir menjadi orang yang dihubungi saat hanya dibutuhkan itu rasanya tidak enak. Apalagi jika sayang sekali pada orang itu. Seperti berada di antara kepulan asap belerang yang panas, tetapi harus tetap bernapas. Kemudian, ketika aku sudah mulai terbiasa ... dia datang dengan membawa harapan yang kupikir telah sirna.

Enak sekali menjadi Mas candra. Dia bisa pergi kapan saja dan kembali datang ketika sudah tak ada tujuan lagi untuk dicari. Jangan berpikir kalau aku adalah rumah tempatnya untuk pulang. Tidak, aku bukan rumahnya. Rumah adalah tempat pulang dan melepas lelah serta berbagi canda supaya semua kesah hilang. Namun, yang terjadi padaku tidak begitu.

"Aku nggak menghilang. Hanya sedang sok sibuk biar ada tambahan beli lipstik."

Kukirimkam pesan itu untuk Mas Candra. Biarkan saja dia berpikir kalau aku sedikit menyebalkan, atau justru sangat menyebalkan juga tak apa-apa. Setidaknya aku sudah berusaha untuk sopan dengan membalas pesannya. Cukup dia saja yang menjadi orang tak sopan yang sudah mengabaikan pesanku tanpa membalasnya setelah berhari-hari dan muncul tanpa rasa bersalah.

Setelah mengirim pesan itu, aku melihat grup detailer. Mau seserius apa pun pekerjaan kami, yang namanya waktu luang tetap saja berisi candaan. Mau laki-laki atau perempuan sama saja. Ketika obrolan mulai menjurus pada hal dewasa, aku pun menutup chat room. Begitulah teman-teman yang sudah menikah. Sesekali obrolan mereka nyerempet-nyerempet ke hal yang berbau kedewasaan. Aku memilih untuk tidak ikut-ikut. Bukan sok alim, tetapi bagiku itu adalah hal pribadi.

Tepat pada pukul tujuh, Pak Nico muncul dan memulai meeting tanpa basa-basi. Beliau hanya menyampaikan beberapa hal penting dan segera keluar ruangan begitu selesai. Kuberereskan semua laporanku dan segera mengirimkannya pada Pak Nico lewat email.

***

Aku berada di Starbuck pada jam makan siang. Menatap Rosa yang siang itu wajahnya benar-benar tidak enak dilihat. Sejak kedatangan kami ke tempat ini, dia belum tersenyum sama sekali. Bibirnya tetap cemberut sementara matanya berkeliaran ke mana-mana.

"Sudah lama nggak nongki sama candra." Dari sekian banyak topik yang bisa kami bahas, kenapa Rosa justru memilih untuk membahas Mas Candra.

Kutatap lagi wajah Rosa. Aku jadi berpikir kenapa Mas Candra harus datang jika sibuk? Kubiarkan dia meraih gelasku dan memutar-mutarnya. Terlihat aneh, kenapa dia memutar gelasku padahal dia sendiri punya gelas. Begitulah dia kalau sedang merasa tidak enak hati. Kubiarkan saja, sebentar lagi Rosa pasti akan bercerita sebab dari kacaunya suasana hati.

"Mungkin sedang ada kerjaan." Meski sedang kecewa pada Mas Candra, aku tak ingin menjelekkannya. Terlebih di depan Rosa karena mereka berdua teman baik.

"Sibuk apa? Kita sama-sama tahu pekerjaan ini bagaimana. Yang ada pasti kencan si Candra itu."

Kencan. Satu kata itu membuat hatiku bertambah perih. Jadi dia menghilang selama ini karena kencan? Lalu dianggap apa aku ini? Dia yang mengatakan sayang padaku dan memperlakukanku seolah aku sangat berharga.

"Hei ...."

Aku menutupi keterkejutanku begitu Mas Candra duduk di salah satu kursi. Dia membawa espresso dan terlihat lelah. Hatiku bersorak bahagia meski dia tak menyapa secara khusus.

"Ke mana saja? Aku kirim pesan nggak dibales."

Aku tak perlu menanyakan pertanyaan itu karena Rosa sudah menanyakannya. Melalui Rosa, pertanyan itu terdengar wajar. Beda denganku yang mungkin bisa memicu rasa ingin tahu Rosa.

"Ada. Lelah aja." Mas Candra meletakkan tasnya di lantai. Melepas jaket dan menyampirkannya di sandaran kursi. "Chat-ku nggak kamu baca, Va."

Aku tersenyum kecil. Baru tadi, Mas, dan kamu sudah protes sama aku. Konyol, kan, dia? Bertanya begitu tanpa ingat kalau dia sudah melakukan hal yang sama padaku. Begitu itu orang kalau suka menyebalkan.

"Va?" Mas Candra menatap padaku dengan sebelah alis terangkat.

"Tahu, nih. Dari tadi si Lava rada malas ngomong."

Aku tak menyanggah ucapan Rosa. Biarkan saja Mas Candra tahu keluhan temannya mengenai aku. Sekalian saja kalau memang mau bertengkar, meski sebenarnya aku tak yakin.

"Aku belum lihat ponsel." Kubuka tasku dan mengeluarkan ponsel. Memang ada pesan dari Mas Candra.

"Kamu sesibuk apa sampai nggak muncul sama sekali?"

Aku melihat Mas Candra yang masih melihatku dengan satu alis terangkat. Memangnya dia menunggu jawabanku sampai harus menanyakannya secara langsung. Baiklah, aku menatap ponselku dan mengetikkan jawaban untuknya.

"Sibuk pakai banget. Mau bayar depenya kapal."

Kumasukkan ponselku dalam tas dan meraih gelas kopi. "Sudah aku balas, tuh, Mas."

Rosa tertawa. "Kalian berdua lucu," katanya setelah tawanya mereda.

"Konyol," ujar Mas Candra setelah meletakkan ponselnya di meja.

Begitulah, kami menghabiskan waktu sambil menghabiskan kopi. Tak ada obrolan penting antara aku dan Rosa. Mas Candra ... dia banyak mendengar seperti biasanya. Kali ini dia tidak merokok karena sejak awal kami memang duduk dalam ruangan. Sepertinya dia bisa menyesuaikan dan tidak berusaha untuk pindah ke luar.

"Aku pamit dulu, ya. Ada jadwal sejam lagi," pamitku seraya memakai jaket. Setelah mengancingkannya, kuambil tas yang berada di salah satu kursi. "Selamat nongki."

"Tunggu, Va." Rosa menahan lenganku saat aku akan beranjak. "Jadwalmu cuma satu, kan?"

Aku kembali duduk, tetapi tidak meletakkan tas. "Iya. Kenapa, sih? Kangen, ya? Aku terkekeh dengan pertanyaanku sendiri.

"Paling lama dua jam. Kalau kelar temui aku di bakso bakar, ya. Aku ada perlu."

"Oke," sahutku enteng. "Sekarang apa aku sudah boleh berangkat kerja?"

"Ya. Laris manis, Va."

"Thanks. Aku duluan, Mas Candra."

Tanpa menunggu jawaban Mas Candra, aku keluar meninggalkan kedai kopi. Aku memilih turun lewat eskalator daripada lift yang kulihat antreannya tidak sedikit. Sebentar saja aku sudah berdiri nyaman di tangga berjalan. Perlu empat kali pindah sampai akhirnya tiba di lantai dasar, tempatku memarkir mobil.

Aku sudah duduk nyaman di mobilku. Kuambil kaca dan melihat wajahku, mungkin ada yang perlu dirapikan. Tak ada masalah dengan dengan urusan wajah selain lipstik yang harus ditambahkan. Nanti saja kalau sudah sampai di apotek.

"Tunggu, Va!"

Aku urung menutup pintu mobil ketika mendengar suara Mas Candra. Belum sempat aku menoleh, dia sudah tiba di dekat mobilku. Sepertinya dia tergesa-gesa datang kemari. Entah apa yang sedang dia kejar.

"Kamu kenapa sih, Sayang? Biasanya ceria kok sekarang agak aneh?"

Jadi Mas Candra menyadari kalau sikapku tidak seperti biasa. Baguslah, aku tak perlu berpura-pura terlihat baik-baik saja di depannya.

"Aku buru-buru, Mas. Sampai jumpa, ya." Aku menutup pintu mobil, tetapi Mas Candra menghalangi.

"Jangan seperti ini, Va."

"Aku serius sedang ada pekerjaan, Mas." Setidaknya aku mengatakan yang sebenarnya pada Mas Candra. "Bisa aku berangkat sekarang?"

"Jangan marah lagi."

Aku tak tahu harus merespons bagaimana pada Mas Candra. "Iya." Hanya itu yang bisa kukatakan agar bisa segera berangkat bekerja. Benar saja, Mas Candra langsung menutup pintu mobilku setelah mendengar jawabanku.

"Kabari kalau sudah sampai di apotek tempat praktik doktermu!"

Hanya anggukan yang kuberikan untuk Mas Candra. Kunyalakan mobil dan mengemudi perlahan keluar dari area parkir. Jalanan tak seberapa macet kali ini, mungkin karena jam pulang kerja sudah berlalu satu jam yang lalu.

Jam lima lewat sepuluh aku memarkir mobil di depan apotek. Aku menempuh perjalanan selama tiga puluh menit. Kutambahkan lipstik dan sekali lagi meneliti penampilanku. Setelah yakin semuanya rapi, aku segera turun dan masuk untuk menyapa petugas jaga.

Tak ada yang penting. Aku hanya tinggal menunggu giliranku masuk karena dokternya sudah datang. Saat menunggu, aku merasa ponselku bergetar. Kukeluarkan benda itu dan membaca pesan yang masuk.

"Jangan lupa kabari kalau sudah sampai."

Aku bingung harus bagaimana. Ketika aku sudah mulai terbiasa tanpa Mas Candra, kenapa dia justru mendekat dan menawarkan kembali hari-hari manis yang pernah kami lewati? Aku jadi bimbang mesti menanggapi atau tidak.

Bodo amat, emang enak dicuekin?

Tuh, kan, balas dendam😁😁

Seperti kemarin, saia infoin barangkali ada yang sudah merasa pengin meluk Mas Candra dan Lava. Langsung merapat ke nomor di banner, yakk.

Love, Rain❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top