🍰 11. Kecewa 🍰

Malam, temans. Kang Ghosting mengudara lagi, dong, gak pake bosan😅

Hari ini aku tidak sempat memikirkan tentang Mas Candra. Selain jadwalku yang lumayan padat, aku mendapat pesan kalau seorang customer memintaku untuk datang ke kotanya. Tidak jauh, hanya di Surabaya, tetapi cukup membuatku sedikit kelabakan. Hari ini, aku mempunyai enam janji yang cukup menyita waktu. Bukannya mengeluh, aku hanya sedikit mengatakan bahwa hari ini aku sibuk.

Tadi pagi aku mengirim pesan dan mendapati kalau pesanku sudah dibaca. Saat sedang dikejar jadwal begitu, aku tidak sempat berspekulasi apa pun tentang Mas Candra. Kupikir hal itu bisa menunggu sementara aku harus bertanggung jawab atas janji temu yang sudah kusetujui.

"Selamat pagi, Mas Candra. Hari ini aku punya janji temu dengan enam customer dan harus ke Surabaya setelahnya. Jangan lupa sarapan dan semoga harimu menyenangkan."

Itu saja yang kukirim untuk Mas Candra. Terserah pesan itu mau dijawab kapan, yang jelas aku menunjukkan bahwa aku belum mengubah kebiasaan baru sejak dekat dengannya. Setelah itu aku melakukan pekerjaan dengan sebagaimana mestinya.

Aku benar-benar tidak melihat ponsel lagi. Selesai satu janji, aku meluncur ke lokasi lain untuk memenuhi janjiku. Beruntung, enam janji selesai tepat setelah makan siang. tak ingin membuang waktu, aku segera mengemudikan mobilku menuju Surabaya. Masih sempat drive thru sebelum masuk jalan tol dan aku makan tanpa beban.

Kalau dilihat-lihat, apa yang kulakukan bukanlah hal yang baik untuk dicontoh. Makan sambil mengemudi tentu bisa sangat berbahaya jika tidak berhati-hati. Namun, aku memang tidak mengambil risiko tinggi. Aku menurunkan kecepatan mobilku sehingga aku bisa makan dengan aman sambil terus menempuh perjalanan. Kubuka sebotol air mineral saat mobilku berhenti di tol gate Pandaan.

Tepat pada pukul dua, aku sudah sampai di Surabaya dan siap dengan tugasku. Masih ada lima belas menit dan itu kugunakan untuk merapikan penampilan. Sebenarnya aku tidak perlu menambahkan bedak karena memang aku tidak menggunakan benda itu untuk mempercantik diriku. Hanya krim dokter yang kugunakan dan aku tak butuh apa-apa lagi selain lipstik. Untuk mata ... tak perlu kutambahkan maskara karena yang kugunakan sudah bertahan sampai aku mandi nanti.

Aku turun dari mobil dan melangkah menuju lobi rumah sakit. Ini adalah salah satu rumah sakit terbesar di Surabaya. Layanannya lengkap, jadi tidak heran kalau tempat ini selalu ramai. Untuk kasus-kasus tertentu, seluruh kota di daerah Jawa Timur merekomendasikan tempat ini untuk kasus yang sedang dihadapi oleh pasiennya. Tak ingin mengecewakan, aku setuju untuk datang ke tempat ini hanya untuk memenuhi kebutuhan obat-obatan meski jadwalku sedang padat. Sebisa mungkin aku tidak menunda jika berurusan dengan rumah sakit ini. Permintaannya tidak pernah sedikit dan sudah pasti menyumbang hampir empat puluh persen targetku.

"Mbak Lava ... makin cantik saja. Dengar-dengar mau nikah, ya?" Itu suara Meti, salah satu staf bagian pengadaan yang kenal baik denganku. Kuanggap baik karena dia sering mengantrekanku sehingga aku tidak menunggu terlalu lama untuk bertemu dengan Dokter Sentanu yang luar biasa baik dan murah hati. Untuk yang satu ini aku memang berlebihan, kuakui itu. Namun, aku tidak menemukan kalimat lain untuk menggambarkan orang yang membuatku memiliki prestasi baik di kantor.

"Dih, umur berapa mau nikah? Masih muda ini, Met. Mungkin kamu yang sudah ngebet mau nikah? Jangan lupa undangannya."

"Sukamu gitu memang, Mbak. Balikin omongan dan merusak suasana. Dasar betein!" Meti duduk dan cemberut seraya menekuri ponselnya.

Aku tertawa. Kejadiannya selalu begitu jika Meti sudah merasa kalah berbicara. "Kuadukan Dokter Sentanu kalau kerjamu main ponsel." Aku meneruskan langkah begitu Meti ngomel dengan suara pelan. Langkahku terhenti saat mengingat sesuatu. Aku membuka tas dan mengeluarkan keripik tempe. Kuletakkan benda itu di depan Meti. "Untukmu, rugi aku sudah bawa ke sini kalau sampai kubawa balik lagi ke Malang."

"Wah, Mbak Lava memang terbaik. Makasih, ya, Mbak." Senyum cerah Meti kembali muncul saat meraih makanan kesukaannya yang selalu kubawa dan berikan secara gratis. "Ngomong-ngomong, suasana hati Dokter Sentanu sedang buruk."

Kulanjutkan langkahku menuju ruangan Dokter Sentanu. Beliau adalah orang yang ramah, saudara dari pemilik rumah sakit, dan memiliki wewenang untuk menyetujui atau menolak logistik yang ditawarkan para ujung tombak perusahaan farmasi. Singkatnya, apa pun keperluan rumah sakit harus melewati Dokter Sentanu. Kalau beliau sibuk, ada asistennya yang sebenarnya sama-sama sulit untuk bekerja sama. Sulitnya memulai hubungan kerja itulah yang membuatku memprioritaskan keinginan Dokter Sentanu. Jangan sampai Pak Nico mengatakan aku tak becus bekerja karena banyak membatalkan janji.

Suara yang mempersilakanku masuk langsung terdengar setelah kuketuk pintunya. Pintu kubiarkan terbuka setelah aku memasuki ruangan. Dokter Sentanu mempersilakanku duduk sedangkan beliau mencari-cari sesuatu di antara tumpukan mapnya.

"Nah, Mbak Lava ...." Dokter Sentanu bangkit dari kursinya dan berjalan ke arahku yang duduk di sofa. "Berhubung saya sedang sibuk, berikan saya barang seperti biasanya. Oh iya, saya dengar ada produk baru yang kebetulan sudah saya baca proposalnya. Berikan itu juga. Kesepakatan masih seperti biasa, 'kan, Mbak?"

Dokter yang satu ini benar-benar to the point seperti yang selalu kusukai. Tidak ada drama tawar menawar diskon yang kadang membuat para detailer sakit kepala. Terhadap produk baru pun hanya cukup memberikan proposal dan aku hampir tidak pernah berdebat dengannya. Saat beliau bertanya tentang sebuah produk, aku juga menjelaskan seperlunya. Seperti prinsip yang selalu kuanut, dokter itu sudah tahu cara kerja obat terhadap pasiennya, jadi pasti menjadi kesalahan besar kalau aku sampai memintarinya.

"Masih, Dok. Kami juga akan mengirimkan pro—"

"Sudah," potong Dokter Sentanu. "Mbak Lava atur saja. Tambahkan sebanyak tiga puluh persen jumlah obat yang biasa saya beli."

"Tiga puluh persen, Dok?" Aku setengah tak memercayai keberuntunganku hari ini. Ketika detailer lain sibuk merayu untuk pengambilan lebih banyak, aku justru mendapatkan durian runtuh karena permintaan yang tak terduga.

"Kenapa? Kebanyakan? Apa saya tidak dipercaya lagi?"

"Bukan begitu, Dok." Aku tak ingin membuat customer potensialku merasa kecewa. "Akan saya kirim seperti permintaan Dokter."

Kukeluarkan tabletku dan mulai menginput permintaan Dokter Sentanu. Setelah membacakan seluruh pesanannya, Dokter Sentanu tersenyum lebar seraya membenarkan. Kuulurkan tabletku untuk mendapatkan tanda tangan beliau.

"Kalau begitu silakan Mbak Lava melanjutkan tugas. Terima kasih sudah menyempatkan mengunjungi saya di tengah jadwal Mbak Lava yang saya tahu tidak pernah senggang." Dokter Sentanu mengulurkan tangannya.

Kesannya memang seperti mengusir, tetapi aku merasa baik-baik saja dengan hal itu. Memang begitu pembawaan Dokter Sentanu. Kubalas uluran tangannya. "Terima kasih kembali, Dok. Senang bekerja sama dengan Anda." Aku keluar dari ruangan dengan langkah ringan. "Metiii ... ingatkan aku untuk mentraktirmu pada kunjungan berikutnya," teriakku ketika sudah berada di luar ruangan.

Meti langsung keluar dari mejanya dan tersenyum lebar. "Pasti orderan gede sampai traktir aku." Meti memberikan kotak bebek sinjay padaku. "Ini buatmu, Mbak. Asli dibeli dari resto setelah jembatan Suramadu. Nggak perlu ke sana buat ngantri. Tadi dibawakan oleh teman dari bangsal bedah."

"Wah, makasih, loh, Met." Kuterima makanan yang sudah lama kuinginkan, tetapi tak sempat membeli karena membayangkan antreannya yang bisa berjam-jam. "Pokoknya aku padamu. See you, Met."

"Hati-hati Mbak Lava."

Aku hanya melambai pada Meti sambil terus berjalan. Demi apa aku mendapatkan hasil yang begitu besar hari ini. Kupikir-pikir ini adalah berkat keikhlasanku karena tidak mengeluh menambah satu jadwal meskipun pekerjaanku sudah banyak.

Sesampainya di dalam mobil, aku duduk dan membongkar tasku. Kukeluarkan ponsel dan melihat grup chat kantorku yang sedang ramai. Aku melihat grup hanya ingin mengetahui informasi terbaru. Menanggapi seperlunya atau ikut bergurau ketika sedang senggang. Hanya seperti itu aktivitasku dengan aplikasi percakapan. Seringnya aku gunakan hanya untuk bekerja dan ngobrol dengan Mas Candra.

Ngomong-ngomong tentang Mas Candra, aku kembali membuka aplikasi yang biasa kami gunakan. Aku tersenyum menyadari kebodohanku. Benar-benar seperti anak kecil yang mudah diperdaya. Aku begitu percaya pada Mas Candra padahal kenyataan tak seperti yang kupikirkan. Tentu saja ini bukan sekadar pemikiran burukku, tetapi kenyataan yang baru saja kudapati memang begitu mengecewakan.

Tak ingin berlaut-larut memikirkan Mas Candra, aku segera mengemudi keluar dari rumah sakit dan langsung mengemudi menuju selatan. Kali ini aku berniat untuk masuk dari tol Sidoarjo. Aku berencana membeli siwalan untuk sepasang orang tua kesayanganku yang sedang menunggu di rumah. Biasanya buah itu banyak dijual di sepanjang rel kereta api daerah Gedangan. Tak mengapa aku terjebak kemacetan di daerah itu, asal Kakek dan Nenek bahagia, maka semuanya sebanding.

Aku mencari gerobak yang tidak ada antrean untuk mendapatkan siwalan. Saking sukanya pada buah itu, Kakek pernah meminta padaku secara khusus. Khusus dalam artian aku tidak sedang bekerja ke Surabaya, tetapi Kakek memintaku pergi hanya untuk membeli buah itu. Tak masalah, selama aku bisa memenuhi permintaan beliau aku bisa bahagia.

Ketika sampai di rumah, aku langsung masuk kamar dan membaringkan tubuh di tempat tidur. Kubiarkan kakek dan nenekku berpesta siwalan karena aku ingin segera mengecek ponselku. Kubuka aplikasi perpesanan dan ingin mengirimkan pesan untuk Mas Candra. Saat itulah aku merasa kecewa. Lagi-lagi pesanku sudah dibaca oleh Mas Candra, tetapi tak kudapatkan satu pesan pun sebagai balasannya. Kuurungkan niatku untuk kembali mengirim pesan kepada Mas Candra.

Aku kecewa berat.

Kecewa berat jelas terjadi kalau kita berharap terlalu banyak. Iyess, apa, iyess😁

Love, Rain❤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top