9. Memori Yang Sama.
"Dia tuh, mirip aku banget, Ndu. Lihat, deh!"
Sambil melipat beberapa baju yang baru saja diangkat dari jemuran, Rindu mendengkus kecil menanggapi celotehan Naka yang sedang menggendong bayi mereka. Pria itu berdiri di dekat jendela kamar agar lebih jelas menilik wajah bayi itu dan menyombongkan kemiripan yang entah di mana letak kemiripannya.
"Masih bayi kan, wajahnya masih terus berubah. Lagian apa sih, yang kamu miripin? Kayaknya wajah Lea nggak mirip siapa-siapa, deh."
Kali ini Naka yang mendengkus kecil mendengar sahutan istrinya. Ia masih memandangi bayi berusia dua bulan itu yang memiliki lebar wajah lebih kecil dari telapak tangannya, lalu tersenyum mengamati bibir semerah ceri yang sedikit terbuka dan dua kelopak mata yang hanya setengah tertutup saat sedang tidur.
"Kamu nggak percaya, ya. Kalau anak cewek itu rata-rata mirip ayahnya." Naka mendekatkan ujung hidungnya, menggesek pelan di atas pipi merah sang anak sebelum menjauh dan kembali menatap bayi dalam bedongan berwarna biru. "Tapi kalau punya anak cowok pun kayaknya bakal mirip aku juga, sih. Soalnya kamu kan, bucin banget sama aku."
Rindu refleks berdecih mendengar hal tersebut, sedangkan Naka yang masih berdiri sambil menimang Lea hanya terkekeh saja. Pria itu malah mengulangi aksinya menggesekkan ujung hidung di atas kulit lembut Lea sambil menggertakan gigi geraham menahan perasaan gemas sendirian.
"Awas ya, kalau kelepasan gigit Lea!"
Naka menyengir sambil menoleh pada Rindu yang sudah selesai memasukkan pakaian bayi ke keranjang khusus. Pria itu berjalan ke arah kasur, meletakkan bayi yang tertidur di tangannya dengan hati-hati sebelum menarik Rindu yang pastinya terkejut sekaligus protes.
"Ya udah sih, gigit Buna-nya aja. Lebih kerasa, kan!"
"Awas aja kalau berani ... awh! Naka sakit tau!"
Jika bayangan masa lalu yang mampir di kepala Naka adalah perpisahan mereka, maka berbeda dengan Rindu yang selalu membayangkan hal-hal romantis sebelum kejadian pilu itu tercipta. Ia tersenyum saat tatapannya terus tertuju pada bocah yang hari ini menguncir dua rambutnya dan mengenakan overall sebatas lutut berwarna merah muda.
Naka benar.
Entah pria itu hanya menebak atau memang bisa melihat kemiripan di wajah Lea yang saat itu baru berusia dua bulan, tapi ucapan Naka memang menjadi nyata karena Lea benar-benar mewarisi raut wajah yang sama. Bahkan sikap Lea yang begitu ceria dan cerewet bukan berasal dari Rindu yang lebih suka diam dan tersenyum.
Mungkin Tuhan sedang menghukum dirinya agar terus mengingat Naka yang ia tinggalkan begitu saja setiap kali memandangi wajah anaknya.
"Le?"
"Hmmm."
"Habis makan es krim kita pulang, ya?"
Gadis kecil itu mengangguk riang. Mereka berdua sedang duduk di bangku taman pinggir jalan yang lokasinya dekat dengan pasar tradisional. Biasanya jika libur bekerja Rindu selalu mengajak Lea ke pasar, menemaninya membeli kebutuhan dapur sebelum berhenti di kedai bubur ayam untuk sarapan bersama. Setelah itu, jika semua list belanjaan sudah terpenuhi mereka akan pulang atau berhenti ke tempat jajan keinginan Lea.
Hari ini Lea ingin berhenti di kedai es krim pinggir jalan yang sedang ramai di mana-mana, lalu memilih bangku taman yang suasananya begitu teduh karena dikelilingi pohon-pohon rimbun pinggir jalan.
Sambil memperhatikan Lea menghabiskan es krim yang tersisa setengah lagi, Rindu menoleh ke arah mobil yang membunyikan klakson tak jauh dari tempat mereka. Tak lama seseorang di dalam roda empat itu menurunkan kaca mobil, lalu tersenyum ke arah mereka.
"Pak Agam!" Lea yang lebih dulu bersuara sambil berdiri melihat pria yang saat ini keluar dari kereta besi.
Rindu ikut bangun dari kursi taman, berjalan membawa sekantong belanjaan bersama Lea yang menghampiri guru laki-laki itu.
"Habis dari pasar, ya?" tanya Agam basa-basi saat anak dan ibu itu sampai di samping mobilnya.
"Iya. Mas Agam dari mana?"
"Habis pulang dari rumah ibu, semalam nginap di sana." Agam menatap dua wanita beda usia itu secara bergantian. "Mau pulang, kan? Bareng aja, yuk."
"Ayo!" sahut Lea riang setelah memberikan bekas es krim pada ibunya, lalu berjalan menuju pintu penumpang.
"Ayo, Ndu. Duduk di depan aja."
"Eh ... oh, iya. Bentar Mas, saya buang sampah es krim dulu."
Agam mengangguk saja masih dengan senyum ramah yang biasa ia tampilkan di mana pun berada.
***
"Tapi ke sana tuh, masih banyak pemukiman kan, Pak?"
"Iya. Lebih padat malah, Ka. Terus kalau ikuti jalan ini nanti kamu bakal muncul sebelum pertigaan lampu merah."
"Jadi, sebenarnya mobil bisa masuk ya, ke sini?"
"Bisa. Kalau nggak bisa, angkot Bapak keluar lewat mana setiap hari." Wawan tertawa kecil. "Cuma kalau Rindu emang biasa pulang pergi naik ojol, jadi dia milih jalan gang di depan toko itu. Lebih deket juga sebenarnya."
"Oh." Naka mengangguk paham. "Ibu sama Aruna ke mana? Kayaknya belum lihat dari tadi."
"Ibu sama Aruna lagi ke tukang jahit baju. Nggak tahu mau ngapain ke sana."
Saat ini Naka dan mantan ayah mertuanya sedang mengobrol santai di bawah pohon mangga yang memang di sediakan alas duduk dari bambu. Sudah setengah jam Naka berada di rumah yang akhir-akhir ini selalu ia datangi. Kali ini ia sengaja datang di pagi hari karena ingin mengajak Lea yang sedang libur sekolah untuk berkunjung ke tempatnya bekerja.
Namun, gadis kecil yang jadi alasannya ada di sana sedang tak ada di rumah. Kata pria tua di sampingnya ini, Rindu terbiasa mengajak Lea ke pasar jika kebetulan sedang libur bekerja.
"Nah, itu Lea sama Rindu udah pulang."
Tatapan Naka langsung mengarah pada ibu dan anak yang berjalan berdampingan. Lantas tanpa perintah senyum di wajahnya terbit melihat dua orang di sana begitu asyik mengobrol hingga sesekali pekikan girang putrinya terdengar di telinga.
"Loh, Ayah!"
Gadis kecil yang tadi menceritakan hal lucu pada Rindu kembali memekik melihat sang ayah berdiri di depan rumahnya. Lea berlari kecil setelah melewati pintu pagar dan masuk kepelukan pria yang sudah berjongkok sambil membuka lebar kedua tangannya. Saat sampai Lea terkikik merasakan kecupan bertubi-tubi di pipi dan lehernya.
"Dari mana?" tanya Naka setelah puas menciumi wajah anaknya.
"Dari pasar sama Buna."
"Pantes bau pasar." Naka pura-pura membersit karena bau.
Lea menyengir menanggapi ucapan sang ayah sebelum mencium lengannya sendiri. "Ayah udah lama di sini?"
"Udah lama banget, liat tuh, Pakde kepalanya sampe ubanan."
"Pakde kan, emang udah banyak ubannya, Yah!"
Dua pria dewasa di sana terkekeh mendengar balasan Lea. Sementara itu, Rindu yang baru sampai ke hadapan mereka hanya tersenyum saja melihat kedekatan anak dengan mantan suaminya. Ia sudah menduga, tak butuh waktu lama bagi Lea untuk dekat dengan Naka. Dua orang itu memiliki sifat yang sama.
Sama-sama pintar beradaptasi dengan lingkungan ataupun orang baru.
"Tumben Ndu, ojeknya nggak sampai sini? Turun di depan gang?" Wawan bertanya pada putrinya yang menatap cucu dan mantan menantunya dengan senyum tipis.
"Lea sama Buna ikut Pak Agam, tadi ketemu pas mau pulang dari pasar." Bocah dalam gendongan kembali berceloteh hingga membuat Naka kontan mengernyit penasaran.
"Iya. Tadi Mas Agam mau langsung ke steam mobil jadi aku sama Lea mending turun di depan gang aja, daripada nanti Mas Agam puter balik lagi," jelas Rindu lalu menoleh pada Naka yang baru saja menatapnya sebelum kembali fokus pada Lea. "Kamu udah lama, Ka?"
"Lumayan," balas Naka sambil mengangguk tipis. "Hari ini aku mau ajak Lea."
"Ke mana?" Rindu menanggapi bahkan saat ucapan Naka belum benar-benar selesai.
"Ke showroom."
Rindu terdiam sebentar lalu melirik ayahnya yang mengangguk tipis.
"Lea mau kan, ikut ayah ke showroom?"
"Showroom itu apa, Yah?"
"Tempat ayah kerja. Kemarin ayah buat ruang bermain di sana."
"Oh, ya?!"
Naka mengangguk antusias saat gadis yang masih dalam gendongannya bertanya riang.
"Mau! Lea mau ikut!"
***
Meskipun Rindu terlihat enggan atau mungkin khawatir, akhirnya Naka bisa membawa Lea ke tempatnya bekerja. Sebenarnya hari ini showroom sedang tutup, hanya ada satpam yang tadi sempat terkejut melihatnya membawa anak kecil, Dafi dan beberapa orang dalam tim marketing support yang sedang membicarakan pameran mobil untuk Minggu depan.
Sambil memperhatikan Lea di seluncuran tangga yang bawahnya terdapat bola-bola kecil warna-warni, pikiran Naka justru dijejali dengan kedekatan mantan istrinya dan pria yang berstatus wali kelas Lea. Kebetulan yang sedikit mengganggu, ia tak sengaja tahu kalau pria itu ternyata tinggal tak jauh dari kediaman anaknya.
"Ayah! Ayah tahu nggak komedi putar yang tempat duduknya ada kuda, kelinci, kura-kura."
"Iya, ayah tahu. Kenapa?"
Kembali fokus pada gadis kecil yang membuatnya mengubah setengah dari fungsi ruang kerjanya, Naka tersenyum saat rambut Lea terlihat berantakan karena sejak tadi tak mau diam.
"Lea mau punya itu!"
"Kalau itu harus punya lahan yang luas, Sayang. Minggu besok aja kita ke time zone, biasanya ada komedi puter kayak gitu."
"Besok?" Mata bulat Lea melebar sempurna.
"Bukan besok, tapi nunggu Lea libur sekolah lagi. Mau, kan?"
Lea mengangguk antusias. "Buna boleh ikut, nggak?"
Naka tak lekas menjawab. Ia beranjak dari kursi kerjanya untuk menghampiri Lea yang masih duduk di bawah seluncuran. Merapikan rambut panjang yang lebat itu sambil menatap lamat-lamat wajah cantik sang anak. Putrinya begitu cantik dan manis.
"Lea kepingin sama Buna juga, ya?"
Lea mengangguk lagi.
"Boleh, kalau Buna mau ikut."
"Yess! Buna pasti mau kalau Lea yang ajak!"
Memilih duduk di antara bola mainan yang berserakan, Naka berdeham sebelum memulai pertanyaan yang jawabannya membuat ia sedikit penasaran. Hanya sedikit menurutnya.
"Lea?"
"Ya."
"Buna sama guru kamu itu pacaran, ya?"
"Pacaran?" Kening gadis kecil itu mengernyit kebingungan.
Melihat hal tersebut membuat Naka meringis kecil. Apa Lea tak mengerti dengan kata yang baru saja ia ucapkan?
"Maksud ayah, Buna suka sama guru kamu, ya. Atau mungkin guru kamu yang suka sama Buna?"
"Pak Agam, ya?" tanya Lea lalu berjalan menaiki tangga plastik untuk sampai di atas seluncuran.
"Iya, itu namanya," jawab Naka merasa malas menyebutkan nama pria itu.
"Lea nggak tahu, nanti Lea tanyain ke Buna."
Senyum Naka terbit karena merasa bangga dengan putrinya. "Bagus, tapi nanyanya jangan bawa-bawa nama ayah, ya."
"Kenapa?"
"Nggak apa-apa. Lea kalau mau tanya, tanya aja. Bisa, kan?"
Gadis itu mengangguk patuh meskipun terlihat bingung. Lantas ekspresi santainya berubah terkejut saat pintu ruangan terbuka tanpa diketuk lebih dulu.
"Halo anak dan ayah!" Dafi berseru sambil menyengir lebar melihat pelototan sahabatnya.
"Ketuk dulu apa susahnya, sih."
"Sorry, gue lupa ada yang lagi quality time!" Dafi memilih duduk di dekat Naka bersama benda warna-warni seukuran bola kasti. "Halo, Lea. Kenalin ini Om Dafi yang baik hati tapi sering di-bully sama ayah kamu."
"Enak aja! Malah lu ya, yang suka ngebully! Jangan jelekin image gue di depan anak gue, ya!" desis Naka tak terima.
Dafi terkikik geli sebelum memberi atensi pada gadis kecil yang kembali asyik bermain.
"Oh, ya. Gimana rencana pamerannya?"
"Udah deal. Paling gue cuma bawa Brio sama trail dua. Kemarin kata Dona tempatnya nggak terlalu luas, kita dapat space yang cukup buat satu mobil sama dua motor. Belum lagi naro alat-alat nanti."
"Jadi, cuma satu mobil aja?"
Dafi mengangguk. "Bisa sih, bawa dua. Cuma nanti nggak seru. Gue sama Dona rencana adain game sama minta lima SPG buat ramein."
"Oh."
Naka manggut-manggut sambil meletakkan kedua tangan di belakang bokong untuk menahan bobot tubuhnya. Lalu kembali memperhatikan Lea yang kali ini mulai menempelkan stiker-stiker di lorong menuju seluncuran.
"Bener-bener fotokopian lu banget, Ka," celetuk Dafi dengan posisi yang mengikuti Naka. "Cuma liat dari mata aja kalian udah mirip banget."
Naka tersenyum mendengar ungkapan sahabatnya yang tahu, bagaimana jatuh bangun ia berusaha menemukan anak semata wayangnya.
"Dia tuh, mirip aku banget, Ndu. Lihat, deh!"
"Masih bayi kan, wajahnya masih terus berubah. Lagian apa sih, yang kamu miripin? Kayaknya wajah Lea nggak mirip siapa-siapa, deh."
Tanpa Naka sangka obrolan bertahun-tahun silam saat ia merasa begitu bahagia meski tinggal di kontrakan, kembali terlintas di kepala setelah mendengar Dafi menyamakan wajahnya dengan Lea.
"Tapi ya, gue kalau jadi Rindu agak rugi, sih. Sembilan bulan hamil masa yang keluar mirip Bapak semua, sih. Nggak adil banget, kan?" Dafi terkekeh mendengar decak pelan Naka yang masih menatap bocah dalam ruangan itu. "Lea udah takut nggak dikasih warisan kayaknya, makanya muka dia dibikin mirip banget sama lu."
"Terserahlah lu mau ngomong apa."
"Harusnya kalau cewek mirip nyokapnya, ya. Kalau cowok baru tuh, mirip bokap. Adil, kan, ya kalau begitu?"
"Emang kenapa, sih? Ini membuktikan, muka gue walaupun versi cewek tetep cakep. Tuh, buktinya," seru Naka sombong sambil menunjuk keberadaan Lea dengan dagunya.
"Ya, deh. Males debat gue kalau lu udah songong."
"Lu tahu nggak, Daf, sebahagia apa orang tua yang wajah anaknya mirip sama mereka."
"Mana gue tahu, punya anak juga belum."
"Bahagia banget, rasanya kayak berhasil menciptakan manusia mirip kita versi mini." Naka menoleh sebentar pada Dafi yang terlihat mencebik tak percaya. "Makanya nikah, jangan bisa ngeledek doang! Rasain gimana punya anak yang wajahnya mirip sama lu. Ya, berdoa aja sih, asal jangan mulutnya yang mirip sama lu."
"Kenapa sama mulut gue?"
"Berisik!"
"Dih, mulut lemes gue berguna banget sama jabatan gue. Mana maju nih, showroom kalau bukan karena gue."
Naka tertawa puas karena berhasil meledek sahabatnya. "Iya, deh. Si paling lemes."
"Bukan begitu juga bangs ... ups, ada bocah!" Dafi menyengir melihat Naka refleks mendelik padanya.
"Awas aja pulang dari sini anak gue bisa ngomong kasar. Udah pasti lu yang gue salahin!"
Dafi masih menyengir, sama sekali terlihat tak takut dengan ancaman itu. "Paling lu yang dimarahin Rindu pas pulang. Eh, maksud gue pas nganter Lea pulang. Kan, kalian anak ayah beda rumah." Lalu bangun dari posisinya sambil meregangkan otot lengan. "Katanya keluarga kok, tinggalnya beda rumah. Itu keluarga apa saus bakso yang bungkusnya dipisah?" pungkasnya sambil tertawa lepas.
________
Hahahaha Dafi ente bisa aja ya bikin emosi. Udah tahu punya bos pundungan. Wkwkw
Oh ya, makasih yang masih ikutin kisah mereka. Nanti kita ikuti Ayah Buna dan Lea yang jalan-jalan ke time zone yuhuuuu
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top