7. Perkenalan.
"Jadi, lu udah ketemu Falea?"
Sambil menatap toko kue dari balik jendela kaca, Naka mengangguk samar. Baru sepuluh menit lalu ia melihat Rindu turun dari ojek online sebelum masuk ke bangunan yang ada di seberang jalan showroom-nya.
"Terus?"
"Apanya yang terus?"
Pria dengan kemeja biru itu berdecak malas. Ia memilih membuka brosur dari dealer motor dan mobil yang tergeletak di atas meja. Tak lagi memedulikan pria tinggi yang masih berdiri di depan jendela kaca hingga menghalangi sinar matahari pagi masuk ke ruangan 3x4 meter tersebut.
"Daf?"
Tak ada jawaban.
"Dafi."
Merasa tak akan ada respons apa pun, Naka menoleh pada pria yang akrab dipanggil Dafi. Ia mendengkus kecil melihat sahabatnya seolah tak mendengar panggilan itu. Padahal Dafi pasti mendengarnya dengan jelas.
"Ngomong aja, gue males nyahut. Kuping gue nggak budeg, kok."
Pemilik nama lengkap Dafian Nugroho itu membalas setengah hati. Pria yang bekerja di bagian marketing support tersebut menjadi orang pertama yang menyadari keberadaan Rindu beberapa waktu lalu. Sebenarnya saat Rindu mulai memasuki ruang meeting, Dafi sudah mengernyit sambil mengamati. Ia memang mengenal sosok wanita mungil yang dinikahi sahabatnya sembilan tahun lalu, tapi saat melihat Rindu setelah bertahun-tahun tak bertemu, Dafi tentu saja tak langsung mempercayai tebakannya.
Namun, karena tak banyak perubahan dalam diri Rindu, Dafi dengan mudah mengenalinya. Senyum ramah wanita itu masih sama serta manik karamel yang jarang dimiliki orang Indonesia membuat Dafi yakin kalau itu wanita yang Naka cari selama ini.
"Gue sebenernya kepingin ajak Lea ke showroom. Menurut lu gimana?"
Meletakkan brosur yang dikirim dealer cabang, Dafi kini menatap Naka yang sudah menempati kursi kerja di balik meja persegi.
"Udah akrab banget, nih, ya, ceritanya? Udah berapa kali ketemu, Pak?" ledek Dafi sambil membersit geli. "Sekarang gue tanya, emang Lea udah nyaman kalau berdua sama lu?"
Dengan berat hati Naka menggeleng kecil.
"Udah berapa kali ketemu emangnya?"
"Baru tiga kali. Nanti sore sebelum Rindu balik kerja, gue mau ketemu Lea lagi."
Dafi manggut-manggut. "Menurut gue sih, ya, mendingan lu akrabin diri aja dulu. Walaupun lu ayahnya, gue yakin anak lu nggak langsung nyaman. Ibaratnya lu orang baru, Ka."
Hati Naka mencelos mendengar status orang baru yang disematkan Dafi padanya.
"Justru itu ...," balas Naka sambil mengembuskan napas kasar. "Lea kayaknya masih takut kalau gue ajak ngobrol. Kemarin pas gue dateng bawa mainan, Lea malah duduk deket pakde-nya daripada duduk deket gue. Mungkin kalau gue ajak ke sini, Lea bisa lebih deket sama gue. Gue dari pertama kali ketemu kepingin banget meluk, tapi khawatir Lea malah jadi takut."
Di balik sikap yang sering meledek dan menyindir atasannya, Dafi tersenyum tulus merasakan sifat Naka yang terkenal keras kepala bisa berubah menjadi lembut jika sedang membicarakan gadis kecil pria itu.
"Ya udah, pelan-pelan aja, Ka. Sekarang kan, udah tahu anak lu di mana." Dafi memberi jeda sebentar. "Terus lu sama Rindu, gimana?"
Kening Naka mengernyit tak suka. "Apanya yang gimana?"
"Nggak ada yang berubah, nih? Jadi kalian sebatas mantanan aja, gitu?"
Helaan napas panjang dilakukan Naka sebelum bersandar pada kursi putarnya. "Fokus gue cuma sama Lea. Nggak peduli sama siapa pun."
Dafi mencebik tipis. "Oh, iya. Lu udah kasih tahu ini ke keluarga lu?"
Naka menggeleng dengan posisi yang tak berubah.
"Saran gue, sih, Ka. Mending lu keep sendiri dulu pertemuan lu sama Lea. Jangan kasih tahu anggota keluarga lu dulu."
"Gue juga nggak niat kasih tahu, sih. Malah gue udah sebulan belum ngabarin mereka."
Kekehan geli yang mengudara berasal dari Dafi. Pria itu sudah berdiri sambil meregangkan otot lengan dan punggungnya.
"Kenapa? Nyokap lu masih jodohin lu sama model itu, ya?"
Sambil berdecak malas, Naka mengangguk menjawab pertanyaan tersebut.
"Ya udah, gas aja lah. Lu bilang kalau udah ketemu Lea baru bisa fokus cari pasangan. Si model itu cakep, loh, gue lihat-lihat. Baik juga kayaknya."
"Gue baru berapa hari ketemu anak gue, Bangsat! Mana sempat mikirin itu."
Kekehan geli Dafi kini berganti gelak tawa. "Oh, gue pikir masih betah ngeduda," sindirnya telak sambil berjalan ke arah pintu. "Atau jangan-jangan nggak mau cari pasangan karena ada niatan deketin mantan."
"Dih, kayak nggak ada lagi perempuan balikan sama mantan!" balas Naka tak berperasaan.
Catat! Naka tak sudi kembali pada masa lalu.
***
"Rindu!"
Wanita itu refleks menoleh ke asal suara yang memanggil. Sambil membenarkan tali tas di bahu, ia tersenyum lalu berjalan santai menghampiri pria yang menjadi guru anaknya di sekolah sedang ada di depan toko.
"Mau pulang?" tanya Agam saat wanita itu sampai di hadapannya.
"Iya, Mas." Rindu mengernyit saat Agam tanpa basa-basi menyodorkan helm padanya.
"Ayo bareng! Saya habis antar Indri ke rumah temennya. Kebetulan lewat sini pulangnya."
"Eh, nggak apa-apa, nih, Mas?" Sambil meraih helm yang diberikan pria itu, Rindu kembali tersenyum. Kali ini terlihat sungkan. "Jadi, Mas Agam nunggu saya keluar toko?"
Senyum tipis Agam berubah jadi senyum malu-malu. "Saya udah sekitar lima belas menit, sih, di sini. Setahu saya toko ini kalau Senin tutupnya jam lima. Jadi, kebetulan saya lewat di jam segitu."
"Kok, tahu toko tutup jam segitu kalau hari Senin?"
"Mbak Lufi kan, pernah jadi senior saya di kampus, Ndu. Saya lumayan kenal deket sama beliau."
"Oh ...." Tanpa banyak berbasa-basi lagi, Rindu langsung memakai helm dan naik ke motor matic Agam yang setahunya sering dipakai adik pria itu untuk kuliah. "Untung saya belum pesen ojol, Mas."
Karena niatnya, Rindu ingin berlama-lama di depan toko. Menatap bangunan dua lantai di seberang jalan dan berharap pada sebuah kebetulan ia bisa melihat Naka tanpa sengaja. Tak apa jika hanya ia yang menangkap keberadaan pria itu.
"Biasanya udah pesen ojol, ya?"
"Iya, biasanya udah pesen pas mau keluar toko."
"Takdir kayaknya, Ndu."
Rindu hanya tersenyum saja menanggapi ucapan pria itu. Tak berniat memperpanjang obrolan, ia memilih menikmati perjalanan sambil sesekali melihat keadaan lalu lintas yang padat merayap di jalan raya yang menuju rumahnya. Sesampainya di depan pagar rumah, Rindu nyaris berujar terima kasih sebelum mengernyit melihat Agam ikut turun dan mengambil plastik putih yang menggantung di depan jok motor.
"Saya mau ketemu Lea. Boleh, kan?"
"Eh, boleh, Mas." Rindu sebenarnya sedikit terkejut, tapi ia memilih mengangguk saja. "Kalau mau motornya masukin aja ke halaman."
"Nggak usah, di sini aja. Cuma sebentar soalnya, mau kasih ini doang sama Lea." Agam mengangkat plastik putih dengan merk minimarket.
"Eh, makasih banyak, Mas. Makasih buat tebengannya sama itu ...," balas Rindu sambil melirik sesuatu di tangan Agam.
Sambil berbincang-bincang tentang kegiatan dan sikap Lea di sekolah, mereka berdua terus berjalan memasuki halaman rumah. Memilih posisi berdampingan sebelum mendengar pekikan suara anak kecil yang sangat Rindu hafal siapa pemiliknya.
"Eh, ada Pak Agam?"
Suara Lea yang terdengar begitu girang berganti terkejut melihat wali kelasnya datang bersama sang ibu. Lantas keterkejutan Lea menular pada Rindu yang melihat pria dengan kemeja biru keluar dari dalam rumah, menatapnya dengan sorot malas seperti biasa sambil melipat tangan di depan dada.
"Pak Agam yang anterin Buna pulang, ya?"
Pria yang baru saja ditanyai mengangguk sambil tersenyum saat salah satu muridnya bertanya, lalu mencium punggung tangannya. Sopan.
"Iya, tadi Bapak nggak sengaja ketemu Buna kamu di jalan." Agam menyodorkan barang bawaannya. "Camilan buat kamu, Le."
"Wah!" Sambil mengambil bungkusan yang diberikan, Lea berseru antusias.
"Bilang apa, Le?"
Lea mengalihkan atensi dari beberapa batang cokelat dan jajanan lain dalam plastik putih itu pada sang ibu, lalu menyengir tipis sebelum kembali menatap gurunya.
"Makasih, Pak Agam."
"Sama-sama," balas Agam sambil menepuk puncak kepala Lea pelan.
Pemandangan yang begitu indah, kan?
Sepasang anak dan ibu dan pria dewasa yang rasanya pantas dipanggil ayah. Namun, satu-satunya orang yang tak menikmati keadaan manis dan harmonis itu adalah Naka. Pria tersebut masih berdiri di ambang pintu rumah sebelum merasakan tepukan pelan di bahu dari pria tua yang sepertinya bersiap untuk pergi ke mushola. Mengikuti langkah mantan ayah mertuanya, Naka ikut bergabung ke tengah orang-orang yang masih ada di pelataran rumah.
"Gam?"
"Pak Wawan?" sapa Agam ramah, lalu mengernyit melihat seorang pria yang tak ia kenali mengikuti si tuan rumah.
"Ayo masuk dulu, langitnya udah mulai gelap. Kalau kata nenek saya pamali mau Magrib ada di pelataran rumah."
"Oh, nggak usah, Pak, terima kasih. Saya cuma sebentar mampirnya, cuma mau ketemu Lea."
Selama dua pria itu berbincang santai, Rindu justru mengalihkan tatapan ke arah Naka yang baru saja melirik dirinya sebelum kembali menatap sinis pada Agam yang kebetulan berdiri di sampingnya.
"Oh, iya ... Mas Agam, kenalin ini Naka."
Agam menoleh sebentar pada Rindu sebelum memberi atensi pada pria yang ternyata sudah menyodorkan tangan dengan sikap dan aura pongah terang-terangan. Keningnya mengernyit saat mulai menerka-nerka, siapa pria ini sebenarnya?
Bergerak santai, Agam jabat itu sambil tersenyum formal. "Saya Agam, wali kelas Lea."
"Gue Naka, ayahnya Lea."
_____________________
Emang Naka bawaanya songong, Gam. Gapapa lah, abaikan saja. Mending kamu fokus deketin Rindu soalnya Naka mah cuma mau deketin Lea ... wkwkwkwk.
Guysss komen yang banyak biar aku semangat 💙😂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top