4. Kebencian Yang Nyata.

Setelah berhasil membawa diri kembali ke toko roti, Rindu langsung mengejar kamar mandi demi menstabilkan napas memburu dan detak jantung yang kian bertalu. Perasaan terkejut dan takut yang memaksanya berlari kecil sambil menyeberangi jalan raya, membuat organ tubuhnya yang satu itu nyaris melompat ke bawah.

Rindu pernah membayangkan waktu ini akan datang. Pertemuan yang pasti menciptakan efek luar biasa padanya hingga membuat seluruh sendi di tubuh terasa lemas tak berdaya. Merasa dirinya tak akan baik-baik saja setelah mengalami pertemuan tak terduga, Rindu meminta izin pada atasan barunya untuk pulang cepat.

Masa bodoh saja jika ia dianggap karyawan kurang ajar yang pulang jauh lebih awal di hari pertamanya bekerja. Sebab hal terpenting saat itu adalah cara Rindu menyembunyikan raut gugup dan terkejut yang pasti mengundang banyak pertanyaan dari orang-orang sekitar.

"Buna."

"Ya, Sayang?" Rindu menarik lebih tinggi kain berbulu yang menyelimuti tubuhnya dan Lea.

Sepasang ibu dan anak itu sudah ada dalam kamar. Bersiap tidur setelah puas menonton televisi bersama anggota keluarga yang lain. Rindu masih menyimpan momen pertemuan dengan mantan suaminya sendirian, tak berniat sedikit pun menceritakan kejadian tersebut pada keluarganya yang pasti akan heboh jika ia beri tahu.

"Bun, ayah Lea orangnya kayak gimana, sih?"

Pertanyaan yang menyinggung sosok itu memang akhir-akhir sering Rindu dengar. Namun, karena kejadian tadi siang pertanyaan dari bibir kecil putrinya ini membuat ia sedikit gugup dan tak nyaman.

"Baik," kata Rindu nyaris tak terdengar karena berbisik.

"Terus?"

Sambil menarik napas tak kentara, Rindu beringsut menyejajarkan wajah dengan iras anaknya. "Ayah kamu orang yang baik, lucu, juga perhatian. Tapi kadang suka marah-marah nggak jelas." Tanpa sadar Rindu tersenyum setelah berujar.

Mata bundar milik Lea mengerjap sebentar. "Tapi Lea kepingin ayah baru ajalah, Bun. Percuma baik kalau nggak pernah mau pulang ke rumah."

Balasan itu membuat Rindu meremas selimut di dada sebelum beralih menepuk-nepuk bokong Lea, lalu membawa putrinya ke dalam pelukan hangat.

"Jangan benci sama ayah, Le."

"Kenapa emangnya? Kalau baik sama perhatian kenapa ayah nggak pulang ke rumah, Bun?"

"Ayah masih sibuk, Sayang." Seulas senyum penuh keterpaksaan terpatri di wajah Rindu. "Sekarang Lea tidur, ya."

Merasakan Lea makin menelusup masuk kepelukan, Rindu terus menepuk-nepuk bokong sang anak yang menjadi kegiatan wajibnya sebelum tidur. Sambil menatap tembok kamar yang masih dalam bentuk plester semen tanpa berniat diberi cat, pikiran Rindu dipenuhi dengan banyak kemungkinan.

Bagaimana jika pertemuannya dengan Naka adalah awal masalah baru baginya juga anaknya?

***

"Tumben, Ndu, kerjanya nggak pakai seragam?"

Tangan Rindu masih memegang pintu pagar saat seorang pria bertanya. Setelah memastikan jeruji besi itu tertutup sempurna, barulah ia menoleh dan tersenyum melihat pria dengan seragam cokelat khas guru berhenti di sisi jalan untuk menyapa.

"Iya, Mas. Sekarang tempat kerjanya udah beda. Jadi nggak usah pakai seragam." Rindu sudah berdiri di samping pria yang masih duduk santai di atas motor gede. "Mas Agam mau berangkat ngajar?"

"Iya." Pria yang akrab dipanggil Agam itu mulai membuka helm, tersenyum saat matanya menatap tanpa halangan wajah wanita pemilik rambut sebahu tersebut. "Oh, yang kemarin kena PHK, ya? Sekarang kerja di mana, Ndu?"

"Toko roti yang ada di jalan Senopati."

"Oh, Bakeryhome."

"Iya, Mas."

"Mau saya antar ke sana?"

"Eh, nggak usah—"

"Eh, Pak Agam, ya?" Dari arah halaman, Bu Sani yang baru keluar dari dalam rumah sambil memegang sapu lidi memanggil antusias. "Mau berangkat ngajar, ya, Pak?" tanyanya setelah sampai di depan pintu pagar.

"Iya, Bu." Agam mengangguk sopan. "Lea udah berangkat belum, Bu?"

"Udah, tadi sama Pakdenya."

Senyum kelewat ramah itu terus dipamerkan Bu Sani saat menjawab pertanyaan pria yang menjabat sebagai guru di sekolah cucunya. Sejak dulu, ia begitu mengidamkan sosok Agam menjadi menantu. Meskipun bukan anak pengusaha kaya raya, tapi pria yang lima tahun lalu resmi menjadi guru PNS itu sudah sangat mapan. Memiliki rumah sendiri, sebidang tanah yang dibangun kontrakan lima pintu, juga punya satu mobil serta dua sepeda motor baru. Sikapnya juga sopan dan ramah, tak aneh para tetangga kerap membicarakan Agam yang entah apa alasannya masih memilih membujang di umur yang sudah memasuki kepala tiga.

"Kalian mau berangkat bareng, ya?" Bu Sani melihat secara bergantian ke arah Agam dan putrinya yang sedikit meringis.

"Nggak. Aku udah pesen ojol." Kebetulan yang menguntungkan, tepat saat ucapan Rindu selesai pria berjaket hijau berhenti tak jauh dari tempatnya berdiri. "Nah, itu ojolnya. Bu aku berangkat." Lalu menoleh pada pria yang masih memasang senyum saat menatapnya. "Saya duluan, Mas."

"Iya, hati-hati, Ndu."

Rindu hanya mengangguk saja. Tanpa berniat menoleh lagi setelah berhasil menduduki jok motor milik tukang ojek online, ia menarik napas lega karena terlepas dari obrolan sang ibu yang pasti akan membuatnya malu sekaligus jengkel.

***

"Maaf, ya, kemarin pulang cepet."

Kalimat itu Rindu tunjukan pada para pegawai toko yang ada dalam dapur. Beberapa orang merespons baik dan ada pula yang terlihat mencebik sinis. Namun, Rindu tak masalah ia maklumi saja. Mereka hanya belum saling mengenal.

Sebenarnya sejak semalam Rindu begitu sibuk mempertimbangkan pilihan untuk kembali lagi ke toko atau tidak. Rindu yakin tempat kerjanya yang baru pasti punya peluang besar mempertemukannya kembali dengan sang mantan suami. Namun, jika berhenti begitu saja ia merasa tak enak hati pada Mbak Lufi yang begitu ramah dan baik padanya, juga pada Naura yang sudah mempromosikan dirinya di depan pemilik toko tersebut. Jadi, pilihannya adalah kembali melanjutkan dan berharap kejadian kemarin tak terulang.

"Oh, iya. Emangnya kamu udah punya anak, ya?" Salah seorang dari wanita yang ada di sana bertanya pelan pada Rindu.

"Udah. Perempuan, umurnya delapan tahun." Rindu menjawab percaya diri. Ia tak pernah malu dengan statusnya saat ini.

"Eh, gue kira belum nikah." Wanita lain yang sedang mengaduk adonan brownies ikut menimbrung.

Rindu tersenyum tipis saja. Sudah tak heran dengan tanggapan seperti itu, mungkin karena memiliki badan yang kecil orang-orang selalu menganggapnya demikian.

"Ndu?"

Rindu menoleh ke arah pintu dapur. "Iya, Mbak," jawabnya sambil menghampiri Mbak Lufi.

"Ikut ke ruangan Mbak bentar, yuk!"

Mengabaikan tatapan penuh rasa penasaran dari orang-orang di sana, Rindu mengikuti sang pemilik tempat masuk ke ruangan yang hanya berisi meja persegi dilengkapi dua kursi kayu saling berhadapan.

"Duduk senyamannya, Ndu." Lufi duduk lebih dulu, lalu melihat karyawan barunya melakukan hal serupa dengan raut wajah yang tampak gugup. "Tenang, Ndu. Mbak panggil kamu bukan mau bahas kenapa kamu kemarin kepingin pulang cepat. Sebenernya penasaran sih, kenapa kamu tiba-tiba kayak orang buru-buru pas pulang anterin pesenan."

Rindu tak menjawab, ia hanya meringis saja sambil bergumam minta maaf.

"Nggak apa-apa. Oh, iya, Ndu ... Mbak sebenarnya mau tanya," ujar Lufi mulai serius. "Kamu kenal sama owner showroom yang di depan toko?" Melihat perubahan raut wajah wanita di depannya, Lufi sudah bisa menebak jawabannya.

"Kemarin sore Pak Naka dateng ke sini. Dia tanya-tanya tentang kamu."

"Terus Mbak bilang apa?" Rindu menanggapinya penasaran sekaligus cemas.

"Ya ... Mbak jawab apa adanya. Kalau kamu karyawan baru di sini."

"Dia nanya apa aja, Mbak?"

"Minta alamat rumah kamu, tapi nggak Mbak kasih. Itu hal pribadi kamu, sedangkan Mbak nggak tahu hubungan kamu sama dia apa."

Tangan Rindu yang bertumpu di atas pangkuan mulai meremat celana bahan berwarna kopi susu yang  dikenakan.

"Sebenarnya tadi Mbak nggak kaget kalau kamu nggak balik lagi ke sini. Kalau boleh tahu, dia siapa?" Karena Lufi jelas heran saat Naka datang ke tokonya bukan untuk membeli kue, tapi menanyakan keberadaan Rindu dengan raut penuh harap. "Pak Naka itu siapa kamu?"

Terjadi jeda sebentar dan hal itu digunakan Lufi untuk memperhatikan raut wajah karyawannya yang makin tak nyaman.

"Dia mantan suami aku, Mbak."

Rindu sudah bisa menebak kalau respons ibu dua anak di hadapannya ini pasti ternganga tak percaya.

***

"Mbak nggak tahu masalah kalian apa, hubungan kalian bagaimana. Tapi ini cuma saran, sebaiknya temuin dia. Kayaknya ada masalah yang belum bener-bener selesai di antara kalian. Kalau ngerasa kurang nyaman ketemu berdua, kamu bisa minta temenin Reno, Ndu."

Hingga jam kerja selesai, nasihat yang keluar dari mulut atasannya terus berdenging nyaring di telinga Rindu. Selama melakukan pekerjaan, ia selalu terkejut jika ada pelanggan yang masuk. Takut jika yang muncul dari pintu kaca itu pria yang kemarin mencarinya. Namun, jika dipikir-pikir hal seperti ini malah merepotkan diri sendiri. Harusnya ia pasrahkan saja jika Naka tiba-tiba ada di depannya.

Mungkin besok atau lusa jika sudah siap karena untuk sekarang Rindu benar-benar tak siap.

Namun ternyata, waktu pertemuannya terjadi begitu cepat.

Melebarkan mata mendapati pria tinggi yang bersandar santai di depan kap mobil sambil memainkan ponsel, Rindu yang memilih pulang paling akhir tiba-tiba berhenti melangkah. Ia meremas tali tas yang menggantung di bahunya dengan perasaan gugup dan sedikit ... mungkin takut.

Sementara itu, merasakan seseorang yang berhenti berjalan tak jauh darinya, Naka menoleh sambil memasukkan ponsel ke saku celana. Untuk beberapa detik setelahnya tatapan mereka terkunci dengan pendar yang begitu berbeda sebelum Rindu mulai mengayunkan tungkainya.

"Kamu ...."

"Aku mau tahu kamu tinggal di mana."

Rindu tak heran jika Naka bahkan tak berniat basa-basi. Suara berat yang sudah sangat lama tak ia dengar membuat remasan pada tali tasnya makin erat. Tubuhnya terasa lemas mendengar kalimat Naka yang begitu dingin dan sinis.

"Aku mau ketemu anak aku." Naka menambahi masih dengan nada yang sama.

"Ka—"

"Jangan pakai alesan kalau kamu di sini ngontrak dan tinggal sendiri. Aku udah tahu kamu sama keluarga kamu tinggal di sini."

Jika sudah seperti ini, Rindu tak bisa beralasan lagi. "Tapi aku udah pesen ojol, mungkin bentar lagi dateng," balasnya berharap terdengar tenang meskipun tak yakin.

Setelah ucapan itu usai, decihan sinis meluncur mulus dari bibir Naka. Bisa Rindu lihat pendar kebencian di sepasang manik gelap yang pernah jadi favoritnya, begitu nyata di sana. Melihat Naka yang tidak ingin bergerak mendekat untuk bicara padanya, membuat Rindu menjatuhkan tatapan pada kerikil jalanan yang ada di bawah. Berusaha menyembunyikan senyum miris dan raut bersalah.

"Aku cuma mau tahu kamu tinggal di mana? Nggak punya niat sama sekali mau anter kamu pulang," tandas Naka sambil berjalan menuju kursi kemudi dan meninggalkan Rindu yang mematung di tempatnya berdiri.

Setelah melihat Naka duduk dalam mobil, Rindu memilih berjalan sedikit untuk menjauh dari roda empat tersebut. Menunggu dengan hati yang  pedih sambil sesekali memainkan ponsel hanya untuk mencari kesibukan. Syukurlah, tak sampai belasan menit seorang pria sepuh yang memakai jaket hijau dan motor matic menghampirinya. Bertanya basa-basi sebelum menyodorkan helm untuknya.

Tanpa menoleh untuk memeriksa Naka mengikuti atau tidak, Rindu menaiki motor itu sambil bergumam dalam hati kalau mulai hari ini pasti akan ada hal besar yang terjadi dalam hidupnya. Dan Rindu harap ia dan Lea akan baik-baik saja.

_______________

Duuuhh, ngapa sih, Maseh. Baru ketemu udah sewot banget. Mana ngeselin pula, itu mobil kamu diisi Ama kuyang ya? Bukannya sekalian ajak Rindu malah duduk sendirian wkwkw.

Yuk yuk, tetap menjadi penonton dongeng mereka. See u yaaa....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top