3. Bertemu Kembali.

Rindu adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Dibandingkan dengan kakak dan adiknya, hidup Rindu terbilang kurang beruntung. Kakaknya yang bernama Reno pernah mengenyam bangku kuliah meski harus berhenti di semester lima karena kendala biaya, lalu Aruna yang memiliki umur sembilan tahun lebih muda darinya jadi yang paling beruntung dari mereka karena merasakan masuk perguruan tinggi saat kondisi ekonomi keluarga sudah lumayan stabil.

Sementara Rindu, ia terpaksa hanya memiliki ijazah SMP karena ijazah SMA yang menjadi hadiah selama tiga tahun menimba ilmu harus tertahan di sekolah disebabkan tunggakan biaya SPP dan uang bangunan yang tak mampu dibayar. Lantas saat uang hasil jerih payahnya terkumpul, sekolah yang dulu jadi saksi masa remajanya mengalami kebakaran hebat. Akibatnya bukan cuma arsip tahunan dan berkas-berkas penting sekolah yang lenyap ditelan si jago merah, tapi beberapa ijazah murid yang mengalami hal serupa seperti Rindu pun ikut menjadi abu.

Sebenarnya semua itu bisa diurus dan Rindu bisa mendapatkan haknya lagi, tapi saat itu ia sudah sibuk dengan gelar barunya sebagai karyawan. Kendati demikian tak apa, Rindu tak pernah mengeluh pada orang tuanya. Ia sadar betul lahir dari keluarga yang tak memiliki harta melimpah.

"Assalamualaikum!"

"Walaikumsalam salam!"

Balasan yang tak kalah riang dari sapaan orang di balik pintu rumah berasal dari Lea. Bocah itu beranjak cepat membuka pintu dan mendapati wanita yang ia kenal sebagai sahabat ibunya berdiri di sana.

"Kak Naura?"

"Iya, Sayang. Buna kamu ada di rumah?"

"Ada," jawab Lea kembali ke ruang tengah setelah membuka pintu lebih lebar.

"Halo wanita pengangguran beranak satu."

Rindu mendengkus membalas sapaan kurang ajar Naura. Sambil membereskan kotak aksesoris milik anaknya, ia melirik barang bawaan Naura yang baru saja diberikan pada Lea.

"Makasih, Kak."

"Sama-sama, Cantik." Naura tersenyum saat satu bungkus snack sebesar bantal sofa dipeluk anak sahabatnya.

"Buna, Lea mau main sama Jui. Tapi bawa ini, boleh, ya?"

Rindu sudah menyimpan rapi peralatan milik Lea ke dalam kamar sebelum mengangguk pada anaknya, lalu membiarkan gadis kecil itu keluar dari rumah sambil sesekali melompat girang. Kini ia duduk menemani Naura yang baru meletakkan ponsel setelah diperiksa. Sudah satu Minggu Rindu PHK dan ini jadi pertemuan pertamanya dengan Naura. Meski memiliki jarak rumah kurang dari 50 meter, jika bukan di perusahaan mereka sangat jarang bertemu.

"Lu belum kerja lagi, Ndu?"

"Belum." Rindu mengambil camilan yang dibawa Naura. "Kenapa?"

Sebenarnya bukan tak mau kembali bekerja. Rindu hanya sedang menikmati peran seorang ibu yang selama ini jarang dimainkan. Seminggu ini ia mengisi kegiatan teratur dengan mengantar jemput Lea sekolah, bertanya pada gadis kecil itu ingin dibuatkan bekal apa, dan sesekali mengajak Lea datang ke tempat bermain atau taman kota.

Jika sedang menjadi karyawan, hanya hari Sabtu dan Minggu saja Rindu bisa bermain dengan anaknya. Di hari biasa ia harus ada di bus jemputan perusahaan saat jam baru menunjukkan angka lima pagi dan terkadang harus pulang malam karena terjebak kemacetan.

"Udah nggak niat kerja?"

"Bukan, sih. Tapi belum niat cari. Kenapa, lu ada loker?"

"Eh, ada Neng Naura!"

Dari arah dapur wanita dengan daster lengan panjang dipadu hijab kecil yang biasanya hanya melilit asal di kepala, berseru kaget saat memasuki ruang tengah.

"Iya, Bu." Naura bangun, mencium punggung tangan ibu dari sahabatnya.

"Neng Naura masih kerja di sana atau kena PHK juga?"

Rindu tahu ibunya pasti akan menanyakan hal itu.

"Alhamdulillah nggak, Bu. Tapi nggak tahu besok-besok. Soalnya perusahaan emang lagi nggak stabil."

Masih berdiri di dekat kusen pintu kamar Aruna, Sani berdecak pelan. "Sayang banget, ya, udah gede-gede malah bangkrut. Mana uang pesangon karyawan nggak dibayar semua. Masa Rindu yang kerja delapan tahun cuma dapet 20 juta. Padahal kalau denger orang-orang bisa ratusan juta. Iya, kan, Ra? Kamu mah, enak kerjanya di kantor. Pesangonnya pasti gede kalau di PHK." cerocosnya mengencangkan lilitan hijabnya di kepala.

Naura melirik sebentar ke arah Rindu yang memberi isyarat agar mengiyakan saja ucapan ibu rumah tangga itu.

"Sama aja, Bu. Perusahaan rugi besar pas covid. Saya pikir pesangon Rindu nggak dibayar sama sekali, loh," balas Nuara kembali menatap wanita tua itu.

"Oh, iya ya. Alhamdulillah sih, dibayar, cuma ya sedikit banget, Ra. Ibu mau renovasi beranda rumah tuh, biar diganti pilarnya. Terus mau benerin dapur juga. Dikasih uang 15 juta doang sama Rindu, ya udah ibu beliin motor bekas buat Aruna kuliah. Dia boros banget pulang pergi naik ojek."

Naura nyaris meringis mendengar rentetan keinginan Bu Sani yang mengandalkan uang Rindu untuk dikabulkan. Kembali melirik sahabatnya, ia berdeham saja melihat wanita itu malah santai mengupas kulit kacang.

"Ya udah, deh. Ibu tinggal dulu, Ra. Mau cari sayuran di warung."

Setelah wanita setengah abad itu pergi, Naura benar-benar menatap Rindu yang tak terusik sedikit pun dengan ucapan tadi. Ia menarik napas panjang sambil bersandar di sofa.

"Dapet 140, kan, Ndu?"

Rindu menoleh lalu mengangguk. "Cuma gue bilang 20 sama Ibu gue. Bapak gue saranin ditabung aja, takut ada keperluan mendadak sama jaga-jaga buat sekolah Lea nanti. Lu denger kan, tadi. Kalau gue kasih tahu yang sebenarnya, gue yakin tuh, duit nggak sampai satu bulan di tangan Ibu gue." Lalu mendesah pelan. "Ya ... gue tahu, sih, niat Ibu gue mau renovasi rumah. Cuma Bapak gue bilang rumah nggak darurat banget. Jadi sengaja nggak gue ambil semua di bank, takut kalau gue nganggur lama dan susah menuhin keperluan sekolah Lea."

Naura mengangguk paham. "Gue setuju saran Pakde Wawan," katanya mulai ikut memakan camilan di atas meja. "Oh, iya. Lu mau kerja lagi, nggak?"

"Ada loker, ya?"

"Ada. Cuma di toko, Mbak Lufi semalam chat gue nanyanin lu. Mungkin dia tahu dari tetangganya kalau lu di PHK. Katanya kalau mau lu besok ke tokonya aja, di dekat jalan Senopati yang namanya Bakeryhome."

Kening Rindu mengernyit. "Mbak Lufi kakak ipar lu? Emang dia punya toko roti?"

Naura mengangguk. "Punya. Tokonya gede banget sekarang, udah ada 15 karyawan. Tahun lalu sempet viral kue browniesnya gara-gara nggak sengaja masuk instastory Ariel Tattum. Lumayan endorse nggak sengaja, tapi sampai sekarang tokonya masih ramai. Emang bukan gara-gara viral aja, sih. Kuenya enak-enak. Apalagi brownies ori sama bolu pandan. Wah, nagih banget itu!"

Rindu meringis saat Naura malah heboh sendiri dan berakhir mempromosikan kue. "Jadi, kalau gue mau tinggal berangkat besok?"

Naura mengangguk kecil saat percakapan kembali ke topik awal. "Iya. Lu mau? Kalau mau gue chat Mbak Lufi nanti gue kirim nomornya ke lu."

"Oke. Besok gue berangkat ke tokonya."

Karena Rindu tahu, terlalu lama di rumah tak baik baginya.

***

Bangunan dua lantai yang berada di depan jalan Senopati itu memang tak terlalu besar. Lebarnya hanya sekitar tiga meter, tapi panjang ke belakang cukup untuk meletakkan tiga etalase panjang yang diisi roti-roti dan beberapa kue tradisional.

Lima puluh meter dari tempat itu terdapat simpang empat lampu merah yang setiap sisinya terdapat kantor-kantor kecil seperti kantor notaris dan beberapa gedung pegadaian. Memang tak heran jika toko roti itu ramai karena letaknya yang strategis dengan bangunan industri. Di depan toko, tepatnya di seberang jalan ada showroom motor dan mobil yang sepertinya belum lama buka. Rindu memang jarang melewati jalan itu, tapi setahunya dulu tempat itu hanya lahan kosong penuh ilalang.

"Aku kaget waktu Naura cerita Mbak Lufi sekarang buka toko roti. Aku tahunya Mbak masih jadi pengacara."

Wanita yang sedang diajak bicara oleh Rindu hanya tersenyum saja. "Bosen ah, ngurusin masalah orang. Mau ngacak-ngacak dapur aja sambil nyari recehan."

Recehan yang dimaksud Mbak Lufi jelas tak sama dengan recehan yang ada di kepala Rindu.

"Selama seminggu ini anggap aja masa training, Ndu. Kamu pelajari gimana cara kerja toko. Dari yang mudah-mudah aja kayak layanin pelanggan atau packing kalau ada pesenan."

Rindu mengangguk paham. Tangannya masih bekerja membungkus bolu pandan yang hari ini menjadi pesanan.

"Semoga betah, ya."

"Kalau betah udah pasti." Rindu membalas sungkan.

Tadi pagi Rindu tak menyangka disambut begitu baik oleh kakak ipar sahabatnya. Dengan sabar ditunjukan cara kerja para karyawan dalam toko sebelum dibawa ke ruangan untuk mengobrol basa basi.

"Mbak?" Seorang wanita yang datang sambil memegang ponsel menghampiri Rindu dan Lufi. "Mbak Dona minta 10 box donat lagi. Katanya yang tadi kurang."

"Oh, oke! Bilang bentar lagi sampai," balas Lufi santai. "Ndu, bisa anterin kue ke showroom mobil itu?"

"Oh, yang di seberang jalan ya, Mbak."

"Iya. Owner-nya lagi ultah. Tadi udah pesen 20 box donat sama fruit fair."

Setelah mengangguk paham dan memperhatikan beberapa karyawan memasukkan sepuluh donat dalam box, kini Rindu keluar dengan masing-masing lima box di tangannya. Menyeberang jalan hati-hati untuk sampai pada bangunan yang di depannya berjejer sekitar 20 motor baru.

"Permisi, Pak?"

Pria berseragam logo showroom menghampiri Rindu yang berdiri di depan gedung.

"Iya, ada yang bisa dibantu, Mbak?"

"Ini, Pak. Mau antar donat pesanan Mbak Dona."

"Oh, iya iya. Bisa langsung antar aja ke ruangan di lorong itu ...," kata pria tersebut sambil menunjuk lorong yang terlihat dari luar gedung. "Maaf ya, Mbak. Saya lagi makan siang soalnya."

"Oh, iya. Nggak apa-apa, Pak. Saya bisa antar sendiri."

Setelah ditunjukkan tempatnya secara jelas, Rindu yang hari ini memakai kemeja merah muda dipadu celana jin hitam ketat mulai mengetuk pelan pintu kaca di depannya. Suara berisik dari beberapa orang di dalam ruangan itu tertangkap telinganya sebelum seorang wanita yang sedang memegang ponsel dan sepotong kue muncul dari balik pintu.

"Mbak, saya mau antar donat dari Bakeryhome."

"Oh, pegawainya Mbak Lufi, ya?" Wanita itu mengangguk mengerti, lalu menggeser tubuh untuk memberi jalan pada Rindu. "Tolong langsung taro di atas meja, Mbak."

"Iya, Mbak."

Masuk ke ruangan ber-AC yang kira-kira diisi lebih dari 10 orang, Rindu letakkan dua susun box donat di atas meja panjang. Lantas saat satu tawa menggema di ruangan, kepalanya refleks mencari ke asal suara. Rindu melihat punggung pria tinggi yang sedang asyik bicara dengan seseorang dalam sambungan telepon. Pria itu berdiri tegak di jendela. Meski ragu, tapi suaranya membuat Rindu yakin kalau di sana adalah sosok pria yang sangat ia kenal.

"Naka, donatnya udah dateng, nih!"

Detik itu juga, kaki Rindu refleks bergerak mundur setelah berhasil meletakkan box donat. Pergerakan itu mungkin tak akan menarik perhatian siapa pun, tapi pria dengan kemeja abu-abu yang bangun dari single sofa terlihat terkejut melihatnya. Lantas tanpa mengalihkan tatapan, mulai beranjak untuk menepuk bahu lelaki yang baru saja menyudahi sambungan telepon.

"Kalau begitu saya permisi, Mbak." Suara Rindu terdengar ragu. Tangannya pun mulai bergerak gugup.

"Oh, iya. Makasih, ya."

Rindu tak ingin menjawab. Ia langsung memacu langkah cepat saat tatapannya kembali bertemu dengan sepasang manik gelap di sana. Berharap besar kalau tebakannya salah, pria itu bukan dia, hanya memiliki suara dan nama yang sama. Meskipun matanya mulai memanas saat usaha membohongi diri tak berhasil ia lakukan karena tatapan yang pria itu berikan masih sama.

Itu benar dia, Tanaka Nawasena pria yang menjadi ayah biologis Lea.

_______________

Lea cuma kepingin punya ayah tukang ojek yang pakai jaket ijo. Eh, ayahnya bukan kang ojek malah pemilik showroom 😭. Ini ibaratnya Lea minta beliin nasi bungkus, eh malah dibeliin tempat makannya beserta chef-chefnya.

Duh, kira-kira kenapa ya, hingga Rindu menjadi janda. Yuk, tetap ikuti kisah mereka.

Guys, di vote dan komen dung.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top