28. Sah Lagi! (END)

Yesssss kita berhasil nemenin JanDud ini TAMAT di season pertama. Woaaaaah, makasih banyak semuanya....

Dan selamat membaca 💙

___________________

"Tarik napas dulu nggak, sih? Begah banget gue liatnya."

Celetukan Dafi yang sudah kesekian kali tak sedikit pun digubris Naka. Pria itu masih betah menatap pantulan diri pada cermin tinggi di dekat sofa. Saat ini mereka sedang ada di apartemen Naka. Semalam Dafi menginap di sana, memenuhi kemauan Naka yang hari ini melangsungkan pernikahannya.

Sambil menggulung manset kemeja hingga dua lipatan, Dafi yang kembali memberi atensi pada Naka hanya mendengkus saja. Pria dengan kemeja putih bersih, rambut tertata rapi, serta cengiran bodoh yang sedikit bikin ngeri, sepertinya tak akan mengurungkan niat keluar dari apartemen meski badai dan angin ribut terjadi di luar. Masih menatap dengan sorot geli, Dafi merasakan sedikit rasa haru karena menjadi salah satu saksi perjalanan kisah asmara Naka yang lumayan rumit.

"Daf, gue hari ini mau nikah! Beneran masih kayak mimpi!"

Kembali mengeluarkan dengkusan malas, Dafi yang pagi ini hanya sarapan kopi mulai jengah dengan sikap sahabatnya. "Catet, nikah lagi!"

"Ya nggak masalah. Nikahnya sama perempuan yang sama, kok."

"Ck, udah ayo! Nikah jam berapa emangnya?"

Sambil menjauh dari kaca yang mungkin saja bosan melihat Naka, pria itu melirik jam tangannya sebelum menjawab, "Kata Rindu jam sebelas. Penghulunya ada nikahin di KUA dulu."

"Eh, bujug buset! Nikah jam sebelas, lu bangunin gue dari jam empat subuh! Bajigur basi dasar lo, Ka! Lo yang mau nikah gue yang anemia!"

Naka menyengir singkat. "Nggak apa-apa lah. Bentar lagi ini, kita jam sepuluh baru berangkat."

"Bentar lagi apaan?! Ini masih jam tujuh, kampret!" Dengkusan Dafi kembali mengisi apartemen itu. "Gue kira buru-buru karena jadwal nikahnya pagi buta! Tahu gitu gue cari sarapan dulu tadi."

"Ya udah sana cari sarapan. Gue juga laper, Daf." Sambil meraih ponsel untuk mengabari Rindu, Naka kembali membuat Dafi jengkel. "Gue bubur ayam aja, Daf. Ngeri kalau makan yang berat-berat. Takut pas ijab malah mules."

"Emang bener-bener nyusahin lo jadi temen, Ka. Dari dulu sampe sekarang nggak berubah."

Suasana hati Naka bak taman bunga tulip di Belanda. Jadi, ia abaikan saja gerutuan sahabatnya. Toh, apa yang disindir Dafi memang tak sepenuhnya salah. Naka sadar pria tinggi berkulit tan itu memang cukup penting dalam hidupnya. Jika tak ada Dafi saat ia terperosok dalam kesedihan berlarut setelah ditinggalkan Rindu, mungkin sekarang Naka sudah jadi pecandu.

"Daf?"

Dafi sudah sampai di depan pintu saat Naka memanggil. Ia menoleh dengan raut wajah malas yang terang-terangan. "Apalagi? Mau pesen obat diapet juga biar nggak mules pas ijab?"

Kali ini Naka yang mendengkus. Meskipun tak ada kekesalan di dalamnya. "Nggak. Gue udah nikah dua kali dan lo selalu bantuin. Padahal lo sendiri belum nikah sama sekali—"

"Mau ngebully gue gara-gara belum dapet jodoh?"

"Nggak lah, bego! Sensi banget lo dari tadi kayak emak-emak ditagih utang. Heran!" Naka bangun dari sofa sambil mengantongi ponselnya. "Gue mau bilang, kalau rezeki gue kayak sekarang. Nanti pas lo nikah biar gue yang tanggung WO—"

"Sama bayarin gedungnya, ya?" potong Dafi sambil menyengir.

"Emang nggak tau diri!" Naka berdecak pelan. "Iya, selama lo pilih venue under lima juta gue usahain WO plus gedungnya. Makanya doain aja rezeki gue lancar sama showroom rame terus."

"Cih, mana ada gedung nikahan lima juta."

"Ya udah nggak usah digedung. Di kebon kosong aja."

"Bajingan!" balas Dafi sambil membuka pintu dan berlalu meninggalkan Naka yang tertawa puas.

Pria itu kembali duduk di sofa. Menarik napas panjang demi menenangkan debar ribut dalam dada. Naka tak menyangka rasanya masih saja sama saat pernikahan pertama. Jika saja Dafi bisa mendengar degub jantungnya, Naka yakin pria itu makin puas mengejeknya.

Dalam senyum gelinya, Naka tiba-tiba saja berpikir apa Rindu juga merasakan hal ini? Hal gila yang membuat ia nyaris tak bisa tidur semalaman. Mengajak Dafi menginap pun sebenarnya adalah alasan Naka agar pria itu mau menemani kegundahan sekaligus kegirangan dalam hati. Namun, Dafi malah tertidur saat jam menunjukkan angka sembilan malam.

Baru saja ingin mengirim pesan lagi pada Rindu, ponsel dalam genggaman Naka menerima panggilan dari sang ayah. Naka tentu tak membuang banyak waktu untuk mengangkat sambungan tersebut.

"Halo, Pi?"

"Iya. Papi mau tanya, pernikahannya bener jam sebelas?"

"Iya, Pi. Rindu mau akadnya di rumah dan dapat jadwal jam segitu. Papi masih di rumah?"

"Iya, papi sama Nana lagi siap-siap. Adik kamu besok kayaknya baru sampai ke Indo. Tadi udah kabarin jadi terpaksa nggak bisa ikut."

Senyum Naka melebar sempurna. "Nggak apa-apa, Pi. Makasih udah mau dateng."

"Papi cuma bisa dateng sama Nana, Ka. Mami kamu dari semalam nginep di rumah adiknya—"

"Nggak apa-apa, Pi. Naka ngerti."

Meskipun berujar demikian, hati Naka yang sejak tadi meluapkan kebahagian sedikit perih mendengar sang ibu masih bertahan dengan sikap keras kepalanya.

"Ya udah, ini Papi sama Nana juga Steve mau berangkat. Kamu lagi di mana?"

"Apartemen, Pi. Naka sama Dafi nunggunya di apartemen."

"Oke, Papi ke sana, ya."

"Hmmm. Hati-hati, ya Pi."

"Iya."

Usai menutup panggilan, tatapan Naka tertuju pada layar ponsel yang perlahan menggelap dalam genggaman. Lantas perasaan bahagia yang begitu penuh sejak tadi sedikit berganti dengan kesedihan mengingat ibunya masih tak sudi memberi restu.

Seraya menarik napas lagi, Naka yang hendak mengantongi ponsel kembali memberi atensi pada benda itu. Lalu membaca pesan singkat yang dikirim Rindu serta satu pesan suara yang berisi suara sang putri.

Rindu Lea.
Kalau mau ke sini hati-hati, ya.

Rindu Lea.
(Voice note) Ayah, Lea hari ini pakai kebaya terus didandani Mbak Una pakai merah-merah di pipi. Lea cantik banget loh!

Dan perasaan Naka kian bergejolak mendengar suara bahagia sang anak serta sebaris kalimat perhatian dari calon istrinya. Hingga perasaan yang tumpang tindih itu membuat matanya berkaca-kaca, meloloskan cairan bening di sudut mata yang buru-buru ia hapus cepat.

Naka tahu air mata itu bukan hanya tentang haru dan perasaan bahagia, tapi juga ungkapan kesedihan karena salah satu orang penting di hidupnya tak bisa hadir lagi dalam hari bahagianya.

***

Sejujurnya Rindu takut dengan karma.

Rindu takut jika nanti Naka yang akan pergi meninggalkannya, sebab ia yakin hukum alam pasti tetap berjalan. Namun, melihat ketulusan di mata Naka yang serupa saat pertama kali mengajaknya menikah, Rindu merasa ada hal yang mendorongnya untuk berani mengambil jalan ini.

Naka bukan pria jahat. Ia yakin itu. Meskipun sikapnya sedikit menyebalkan, pria itu memiliki hati yang lembut dan tulus. Ia harap apa yang saat ini diyakini memang benar. Naka masih mencintainya sama seperti dulu begitu pun dirinya. Mereka masih saling mencintai.

Sambil menghela napas panjang, Rindu yang sejak tadi duduk di kursi dalam kamar kembali melirik diri pada pantulan cermin rias yang ada di hadapan. Tak ada siger mewah di kepala, make up pengantin dengan bulu mata indah, pun pewarna pipi dan bibir yang begitu merona. Namun, hasil tangan lentik Aruna yang merias wajahnya dengan sentuhan tema flawless membuat beberapa para tetangga yang sempat melihatnya di dalam rumah berhasil melontarkan pujian indah.

"Oalah, Ndu. Udah kayak anak gadis kamu."

"Nah, ini nih kalau jarang make up. Pasti pangling pas jadi pengantin."

"Eh, ayu tenan, Ndu."

"Wah, kayak belum punya anak Ndu. Beneran kayak anak gadis baru nikah kamu loh."

Rindu tak menjawab. Ia hanya tersenyum kecil sebelum memilih masuk ke kamar dan mengurung diri agar tak membuat detak jantungnya kian bertingkah mendengar pujian-pujian tersebut.

Rindu memang sengaja ingin melaksanakan akad di rumah. Meskipun sebenarnya sedikit ragu Naka akan memperotes usulannya. Syukurlah pria itu tak banyak berkomentar dan menyerahkan semua keputusan ke tangannya.

"Aku maunya sih, di gedung Ndu. Yang pertama kita cuma di KUA, sekarang aku udah mampu bayar gedung kalau kamu mau. Tapi kalau kamu kepingin di rumah ya udah nggak apa-apa. Aku di mana aja oke lah yang penting sah."

Benar, Naka mungkin sudah mampu membayar gedung dan jasa WO. Hanya saja pernikahan sekarang pun membuat Rindu kadang seperti menarik napas panjang saat tubuhnya dililit korset yang kencang. Bukan merasa ragu, hanya saja mendengar ibunya Naka masih tak memberi restu Rindu pikir untuk saat ini cukup di sahkan saja. Ia tak ingin ada pesta besar-besaran yang menguras saldo rekening Naka hingga dalam. Rindu hanya ingin didoakan oleh orang-orang terdekat seperti kerabat dan para tetangga yang sejak pagi sudah berbondong-bondong datang untuk membantu persiapan makanan meskipun Naka bilang ada katering yang nanti akan diantar ke rumahnya.

Tak apa-apa. Rindu memang sengaja membiarkan para tetangga membantu di dapur, mencicipi makanan yang ada di sana agar mereka ikut tertular kebahagiaan yang ada.

"Buna!"

Rindu langsung menoleh, mendapati putri kecilnya yang hari ini memakai kebaya berwarna pink dengan riasan cantik mulai masuk ke kamar.

"Eh, cantik banget, Sayang." Rindu menepuk pahanya. "Udah selesai?"

"Udah. Kata Mbak Una segini udah paling cantik." Sambil menyengir lebar, Lea menumpu tangan di atas paha ibunya. "Buna juga cantik banget. Buna kenapa sehari-hari nggak kayak gini aja?"

Rindu sedikit meringis. "Buna nggak bisa make up."

"Nggak apa-apa, nanti belajar sama Mbak Una."

"Nggak, ah. Nggak biasa nanti malu."

Gadis kecil di hadapan Rindu berakhir mengangguk pendek. Lea kembali memperhatikan wajah sang ibu sebelum tersenyum tipis. "Jadi habis hari ini nanti Ayah tinggalnya di sini, kan?"

"Ayah maunya di apartemen. Kamar yang ada di lantai atas itu, Le."

"Oh, di sana."

"Kenapa? Lea nggak suka?" Sambil mengusap rambut Lea yang sudah tertata begitu rapi, Rindu memperhatikan raut anaknya yang berubah sedikit murung. "Lea mau tetep di sini, ya? Kalau di sini kasihan Ayah tempat kerjanya jauh."

Bukan cuma itu, kamar yang tiap malam dipakai mereka untuk tidur sepertinya terasa sempit jika ditambah personel. Lagi pula dua hari lalu Naka sudah mengusulkan, selama mencari rumah yang cocok untuk mereka, ia ingin tinggal di apartemen dan Rindu pun menyetujuinya.

"Suka sih, Bun. Cuma nanti kalau Lea pulang sekolah sendirian doang. Mainnya juga bingung, di sana nggak ada anak kecil."

"Nanti setiap pulang sekolah, kamu tetep pulang ke sini, Le. Dijemput Nenek. Malamnya baru Buna jemput sama Ayah."

"Oh, begitu. Kalau gitu Lea setuju!"

Rindu tersenyum kecil. Sebenarnya banyak permintaan Naka yang tak ia setujui, selain meminta Lea pindah sekolah ke tempat yang dekat dengan showroom, beberapa hari lalu Naka juga meminta ia berhenti bekerja. Katanya fokus saja mengantar jemput Lea sekolah dan mengurus apartemen mereka. Namun, Rindu tak ingin buru-buru memutuskan hal itu. Ia ingin memikirkannya dulu.

***

Ada dua mobil hitam yang tiba dan salah satunya adalah milik Naka. Kendaraan-kendaraan itu menepi di sisi jalan rumah Rindu yang terpasang tenda sederhana. Dari mobil yang datang lebih dulu, Naka dan Dafi keluar bersama-sama. Pria itu memakai kemeja putih dipadu celana bahan hitam. Kopiah berhias ukiran warna emas ada di tangannya. Lalu dari mobil paling belakang ada tiga orang berstatus keluarga Naka yang bisa menyaksikan hari bahagianya.

Disambut dengan senyum lebar dan binar bahagia, lima orang itu duduk di kursi-kursi plastik dalam tenda. Meski hanya tenda sederhana, tapi Naka sudah mempersiapkan tempat ijab yang cukup indah seperti pelaminan kecil. Memang Naka yang memesan segala persiapan akad di rumah Rindu. Bahkan membuat calon mertuanya sempat terkejut karena alih-alih sederhana, hajatan itu terbilang mewah baginya sebab mendatangkan beberapa gerobak jajanan kaki lima yang bisa dipesan sepuasnya.

"Penghulunya lagi di jalan. Udah mau sampai katanya." Wawan berujar setelah berbasa-basi.

"Iya, kita tunggu pokoknya, Pak Wawan. Ya, kan, Ka?" Bagas setengah bergurau saat menoleh pada putranya. "Bisa sabar, kan?"

"Papi apaan deh." Sambil tertawa kikuk, Naka berdeham samar.

"Tarik napas, Ka. Nanti kalau ditahan jadinya malah kentut. Malu, kan?" bisik Dafi sebelum terkikik geli.

Naka ingin sekali berdecih. Ia sudah memiliki anak, usianya pun sudah memasuki kepala tiga, tapi kenapa sejak tadi ayahnya dan kakaknya seperti menganggap ia layaknya remaja yang hendak melamar sang pujaan. Apalagi Dafi yang memang sejak kemarin-kemarin tak berhenti menggoda dengan ejekan menyebalkan.

Tertawa kecil menanggapi ucapan calon besannya, Wawan yang memberi atensi pada calon pengantin mulai tersenyum kecil. "Bapak harap ini pernikahan kamu sama Rindu yang terakhir, Ka."

"Amin."

Bukan hanya Naka yang menjawab doa itu dengan perasaan tulus, orang-orang yang duduk di sekitarnya pun berseru demikian.

Nska menginginkan itu, berharap pada takdir yang ada di depan tak akan lagi menyentuh rumah tangganya dengan masalah yang menimbulkan perpisahan. Naka harap tak ada lagi jeda waktu yang menyiksa karena merendam rindu dalam lubang kegelapan yang pekat. Sudah cukup yang kemarin nyaris membuat ia gila hingga kehilangan arah.

Kembali bercakap-cakap, seorang wanita dengan kebaya yang membungkus tubuh rampingnya menghampiri dengan raut wajah sungkan. Tak lama suara Lea terdengar memanggil Naka hingga mencuri seluruh perhatian orang-orang di sana.

"Mama Nana?"

"Iya, Sayang. Sini duduk deket Mama." Nana menepuk kursi kosong di sisinya, menyuruh gadis kecil itu duduk di sampingnya. "Cantik banget, siapa yang dandanin?"

"Mbak Una, tuh orangnya!" kata Lea santai sambil menunjuk wanita tinggi yang datang bersamanya.

Aruna tersenyum kikuk sebelum berjongkok untuk membisikkan sesuatu di telinga sang ayah.

"Oh, iya." Wawan mengangguk pendek. "Penghulunya tadi chat dikit lagi sampai."

Mereka yang di sana kembali mengangguk samar kecuali Dafi yang menatap kepergian Aruna dengan tatapan terpesona.

"Ka, itu Aruna yang ... astaga! Ipar lo itu, Ka? Gila cakep banget gedenya!" bisik Dafi setelah menepuk paha Naka. "Lo kok nggak bilang punya adek ipar cakep?"

"Ngapain? Gue takut dia kenal sama lo. Jangan diganggu, Daf. Baru semester empat."

"Bangsat!"

Naka terkekeh saja sebelum memusatkan atensi pada sang putri yang sudah asyik mengobrol dengan kakaknya. Hingga suasana itu berubah saat pria berkemeja hitam dan kopiah warna senada datang bersama dua orang di belakangnya. Itu penghulunya. Ia tersenyum memasuki tenda, menyapa, menyalami para tetua di sana, hingga membuat detak jantung Naka kian menggila di balik dada.

Sambil berdeham, pria yang kiranya sudah memasuki usia senja itu menghampiri tuan rumah dan menyalami mereka yang ada di meja. Termasuk Naka yang berharap tangannya tak licin karena banyak berkeringat.

***

"Bisa dimulai acaranya?"

"Bisa, Pak."

"Alhamdulillah. Kalau gitu kita mulai aja, ya."

Bergerak menggosok kacamata dengan lap khusus, pengulu itu mulai duduk di hadapan dua kursi yang sudah dihias rapi. Membuat Naka kembali menarik napas dalam-dalam agar merasa tenang dengan keadaan yang sama persis seperti sembilan tahun lalu.

"Mempelai wanita nggak sekalian duduk di sini?"

"Ke sini, Pak. Bentar, lagi dipanggil." Wawan menyahut sopan sambil melirik ke arah pintu rumah. "Nah, itu anak saya."

Naka tak ingin menoleh. Ia tak mau menunjukkan wajah bodohnya melihat Rindu yang berjalan menghampiri meski rasa penasaran menggedor-gedor hati sambil berkomplot dengan ledekan pada diri sendiri.

Tahan, Ka. Ntar malem sepuasnya lo liatin!

"Tarik napas, Ka." Dafi kembali berbisik di telinga Naka.

"Lo nyuruh narik napas mulu dah perasaan!"

"Daripada gue suruh narik angkot. Capek ngitung receh mulu!" Dafi nyaris tergelak mendapati tatapan jengkel Naka. "Ya udah, gue doain semoga lancar!" sambungnya sambil menepuk bahu Naka sebelum menambahi. "Lancar narik angkot maksudnya."

Jika saja tak dalam suasana seperti sekarang ini, Naka pastikan pukulan kerasnya mendarat di biseps Dafi yang sudah menempati salah satu kursi.

"Nah, bisa dimulai, ya?"

Naka refleks menoleh saat kursi di sisinya ditempati seseorang. Dan benar saja, wajah terperangahnya langsung muncul melihat Rindu memakai kebaya warna putih yang menampilkan bahu dan dada bagian atas, menyanggul rambut sederhana, disertai riasan yang begitu manis tak berlebihan. Tampilan itu membuat Naka nyaris mengumpat pelan karena terkagum sekaligus tak sabar.

Maksud Naka tak sabar menyerukan ijab dan mengesahkan Rindu kembali jadi istrinya.

Syukurlah, pria di hadapan Naka kembali bicara. Menarik atensi yang beberapa detik lalu tersedot penuh oleh Rindu. Naka mengangguk saat penghulu mulai menyerukan pertanyaan basa-basi hingga datanglah momen di mana detak jantung Naka terasa berhenti saat tangan pria itu menyentak tangannya.

"Saya terima nikah dan kawinnya Rindu bin Wawan Supartja dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!"

Tanpa kacamata pantai, helm di kepala, bahkan hanya dengan satu kali tarikan napas, ijab kabul itu meluncur lancar dari mulut Naka. Membuat semua orang di sana terdiam sebelum satu kata sah membuat bahu Naka merosot lemah.

Ia menoleh pada sang ayah yang mengangguk sambil tersenyum, lalu memberi atensi pada Rindu yang langsung meraih tangannya dan menciumnya singkat. Namun, di tengah suasana haru yang membuat Naka mengusap mata basahnya, ada perasaan sesak kala menyadari sang ibu lagi-lagi tak ada di sana. Tak ada di hari bahagianya.

Setelah menandatangani surat pernikahan yang disodorkan, Naka berjalan dibuntuti Rindu untuk menyalami para orang tua di sana. Mendengarkan ucapan selamat dari teman dan beberapa karyawan yang menyempatkan hadir. Kemudian, tangis kecil yang tak bisa Naka tahan tumpah saat sang ayah memberi pelukan hangat padanya sambil menepuk-nepuk punggungnya.

"Selamat, Nak. Insyaallah kali ini kalian bakal hidup bahagia. Doa Papi nggak akan putus sampai hari ini."

"Makasih, Pi. Makasih banyak."

Dan Naka yakin kisah yang belum usai ini akan kembali dimulai. Ditulis dalam lembaran baru dan diisi cerita yang menyenangkan. Menggores tinta hitam yang tak akan habis menuliskan bagaimana keluarga kecilnya melalui hari demi hari dengan banyak kasih sayang dan senyuman.

Naka dan Rindu yakin, inilah kebahagian yang masih mereka idamkan.

S.E.L.E.S.A.I

Yeee FINALLY!

Aku udah siapin season 2 berisi keluarga kecil mereka.
Judulnya....

KISAH YANG TAK PERNAH USAI.

Paipai, terima kasih sudah mengantarkan Rindu dan Naka berlabuh dalam kebahagian yang sesungguhnya.

Terimakasih juga sudah memberikan banyak sekali support.
Aku harap kalian selalu sehat dan dilancarkan apa pun urusannya.

Ini yang mau mampir yaa.
Only karyakarsa.
Dan terima kasih atas dukungan kalian dalam bentuk apa pun.
Semoga semua hal baik yang kalian beri akan kalian terima lagi.

Aamiin.

Ada paket juga bisa dibeli satuan yaa

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top