26. Mereka Saling Melengkapi.
Terima kasih banyak buat yang vote dan komen2nyaa. Maaf ya kalau aku sering target vote, tapi beneran kalau tercapai tuh rasanya girang banget. Dan target yang aku minta pun sebenarnya udah aku pertimbangkan (mungkin) bakal dapet. Hehehe 😁🙏
Pokoknya makasih banyakkk...
Yuk, selamat membaca.
___________
"Kita kok pulangnya hari ini, Yah?"
Naka sedang mengikat tali sepatu Lea yang duduk di bibir kasurnya saat mengangguk pelan menjawab tanya sang putri yang mungkin kebingungan kenapa mereka hanya sehari semalam di rumah itu. Awalnya Naka ingin pergi dari rumah di pagi hari, bahkan berniat membawa putrinya sarapan di luar saja. Namun, tertunda saat sang kakak masuk ke kamar dan membawa Lea yang masih malu-malu untuk ikut sarapan bersama. Tak lama dari itu ayahnya ikut masuk, membujuknya agar tak langsung pergi dari rumah dan membiarkan Lea mengenal beberapa kerabat mereka.
Naka akhirnya menurut. Ia tekan egonya yang sedang membumbung tinggi dan mendengarkan ucapan sang ayah yang ingin membuat putrinya mengenal keluarga besar Nawasena.
Sayangnya, perasaan kecewa Naka kembali datang saat sang ibu memilih tak keluar kamar seharian. Bahkan waktu sarapan pun tak muncul sama sekali. Wanita keras kepala itu masih memerankan karakter protagonis yang merasa paling tersakiti dan berkata sampai kapan pun ia tak menerima Lea sebagai cucunya.
Naka jelas marah, tentu saja. Tapi hal itu harus ia sembunyikan dari mata putrinya. Jadi, sore ini saat kemarahan Naka kian menanjak setelah bicara dengan ibunya secara empat mata, ia tak tahan jika berada terus dalam rumah. Menahan gejolak emosi yang membuatnya kerap menarik napas dalam-dalam, Naka mendongak setelah selesai mengikat tali sepatu sang anak.
"Udah selesai." Pria satu anak itu tersenyum tipis menatap bocah perempuan yang sedang memeluk boneka pemberian sang kakak tadi malam. "Rambutnya mau diikat, nggak?"
Lea mengangguk. "Ayah, katanya kita satu Minggu nginepnya. Kok, hari ini udah pulang?"
Beranjak duduk di samping putrinya, Naka mendekatkan tubuh kecil itu setelah mengambil sisir dan tali rambut. Ia biarkan jeda menyakitkan menjawab pertanyaan polos itu sebelum menarik napas panjang demi menetralkan emosi yang kembali datang.
"Buna tadi subuh nelepon, katanya udah kangen sama Lea," kilah Naka menyeret nama mantan istrinya untuk memberi pengertian. "Kenapa, Lea belum mau pulang, ya?"
Ragu-ragu gadis kecil itu mengangguk. "Lea mau main sama Ali. Kemarin sore udah janji katanya mau main ayunan di dekat kolam ikan itu, Yah."
Lalu Naka harus menjawab apa saat Lea yang cuma ingin bermain dengan salah satu anak kerabatnya terhalang karena sang ibu tak ingin melihat anaknya berkeliaran di sana. Tidak mungkin ia katakan yang sebenarnya.
"Awh! Ayah, sisirinnya jangan kayak gitu. Kepala Lea sakit!" gerutu Lea saat rambut panjangnya tak sengaja tertarik oleh sisir yang sedang digunakan Naka.
"Oh, maaf. Ayah nggak sengaja."
"Ayah bisa sisirin rambut nggak, sih?!" Lea menoleh dengan tatapan kesal.
Melihat kemarahan putrinya Naka hanya menyengir saja sebelum mencium pipi pualam Lea yang tampak menggemaskan saat marah. "Maaf, ya. Kali ini Ayah hati-hati, deh. Janji!"
"Lea mau dikepang dua."
"Ha? Dikepang?"
"Iya."
"Ayah nggak bisa kalau digituin. Dikucir biasa aja, ya."
"Nggak mau! Lea mau dikepang!"
"Besok sama Buna baru dikepang, oke?"
"Mau Mama Nana bantu kepangin, nggak?"
Ayah dan anak yang sempat berdebat prihal gaya rambut itu menoleh serempak ke arah pintu, lalu mendapati wanita yang entah sejak kapan sudah berdiri di sana sambil tertawa geli. Nana mulai berjalan menghampiri adik dan keponakannya sebelum duduk di antara ayah dan anak itu.
"Mama Nana bisa?" Lea beringsut duduk membelakangi wanita yang semalam menyuruhnya memanggil dengan sebutan Mama.
"Bisa dong!" Nana sambar sisir dan tali rambut di tangan adiknya yang sedikit meringis. "Ayah kamu mana bisa sisirin rambut, Le. Rambutnya aja jarang disisir."
Lea sontak terkikik geli. "Pantes aja kusut."
Memilih meninggalkan dua wanita beda usia yang pasti akan membicarakannya, Naka beranjak keluar kamar untuk menemui sang ayah yang hari ini mengambil hari libur dari pekerjaannya.
Pria tua itu sedang ada di paviliun. Melihat kolam yang diisi ratusan ikan koi sambil melempar butiran makanan pada hewan air di sana. Naka tersenyum kecil saat ayahnya menoleh tanpa ia panggil, lalu mengambil posisi berdiri di samping pria yang begitu hobi memelihara ikan.
"Papi kemarin beli black ghost cuma sebulan mati, Ka. Padahal nunggu datengnya lama banget. PO dululah, apalah ...." Pria itu memulainya dengan pembahasan ikan yang baru mati setelah sebulan dipelihara.
"Kenapa mati, Pi? Kemarin kata Papi bibitnya dua jutaan, kan?"
Bagas mengangguk pasrah. "Kayaknya nggak cocok sama lingkungannya."
Naka mengangguk saja. "Pi, Naka mau balik."
Bagas kembali merogoh pakan ikan, menyebarkannya ke atas air sebelum melihat lewat ekor matanya kalau sang putra mulai menghadap ke arahnya.
"Papi?"
"Hmmm."
"Naka mau pulang."
"Rumah kamu di sini, Ka. Mau pulang ke mana?" Bagas sudahi kegiatan memberi makan ikan untuk fokus pada putranya.
"Papi pasti tahu kan maksud Naka."
"Iya, Papi tahu." Pria tua itu beranjak meletakkan stoples pakan ikan di lemari khusus sebelum duduk di kursi kayu yang diikuti Naka. "Lea bilang mau nyoba main di sana," tunjuknya pada ayunan di bawah pohon mangga yang sedang berbuah lebat. "Sama Ali, nanti juga dateng anaknya. Biasanya habis pulang les main ke sini."
Naka tak menjawab. Ia memilih menumpu siku di atas lutut sambil mengusap wajah.
"Sudah kasih kabar sama Rindu mau balik hari ini?"
Naka mengangguk pendek. Ia desahkan napas kasar sebelum memusatkan perhatian pada pria yang menatapnya penuh wibawa.
"Aku serius, Pi?"
"Tentang?"
"Mau nikahi Rindu lagi."
Senyum lembut Bagas terbit. Ia tepuk bahu sang anak yang tampak merosot. "Papi tahu kamu udah dewasa sekarang. Dulu Papi sedikit nentang karena usia kamu sama Rindu masih muda, finansial kamu belum matang, dan mental kamu juga belum siap. Tapi sekarang Papi tahu kamu bener-bener bisa nentuin kebahagian kamu sama anak kamu."
"Pi-"
"Papi restuin, Ka." Bagas masih tersenyum bahkan saat melihat sepasang mata yang sama persis seperti miliknya mulai berkaca-kaca. "Kasih tahu aja waktunya, Papi usahain dateng. Tapi Papi nggak bisa janji bisa bawa Mami ke sana."
Naka mengangguk paham. Ia usap wajahnya demi menghalau air mata yang muncul saat menatap senyum menenangkan sang ayah, lalu beranjak bangun untuk mengantarkan pelukan singkat pada tubuh yang tak lagi gagah.
"Makasih banyak, Pi."
"Hmmm, kebahagian orang tua itu ada di saat lihat anak-anaknya bahagia. Kamu pasti paham karena sekarang udah ketemu anak kamu. Buktiin ke Mami kalau kamu bahagia sama pilihan ini."
Naka mengangguk, ia kembali mengusap sebelah matanya yang berair sebelum memalingkan wajah mendengar kekehan geli sang ayah yang menepuk-nepuk punggungnya.
"Malu lah masa udah punya anak masih cengeng," gurau Bagas masih mengusap punggung Naka yang sepertinya sudah menahan tangis sejak tadi pagi. "Papi mau ketemu Lea dulu. Kamu mau pergi jam berapa?"
"Mungkin jam tiga," jawab Naka masih sibuk mengusap mata agar pipinya tak basah.
****
Dari pagi Rindu memang sudah diberi kabar oleh Naka kalau pria itu akan kembali hari ini. Namun, ia tak diberi tahu tepatnya jam berapa mereka berangkat hingga Rindu bisa memprediksi kedatangannya.
Senja mulai mengintip dari sela dedaunan kelapa yang berdiri kokoh di dekat jalanan depan rumah. Sorot jingga dari pijar raksasa itu mulai menyentuh teras yang saat ini Rindu tempati. Sambil memegang sapu ijuk yang dipakai membersihkan lantai keramik, Rindu sesekali memeriksa ponsel. Berharap ada balasan dari Naka atau telepon yang begitu ia harapkan. Namun, sampai jam menunjukkan pukul setengah enam sore tak ada kabar apa pun di sana.
Rindu kembali duduk di kursi plastik. Menarik napas pelan demi meneteralkan perasaan resah dan gelisah yang kian menunjukkan eksistensinya.
"Aruna belum kasih kabar, Ndu?"
Rindu menoleh ke arah pintu, mendapati sang ayah yang sepertinya baru selesai mandi. Pria itu bertanya tentang anak bungsu yang sedang di luar rumah.
"Una tadi nelepon, Pak. Katanya mau mampir ke rumah temennya dulu habis kerjain tugas."
"Oh." Wawan mengangguk singkat. "Sudah makan, Ndu? Kamu lagi nunggu orang atau paket?"
Rindu memaksa senyum tipis. Ia memang tak mengatakan apapun pada orang tuanya tentang ucapan Naka yang berencana akan pulang secepatnya. Rindu yakin orang tuanya pasti menaruh rasa curiga jika ia ceritakan.
"Aku nggak nunggu paket, Pak. Tadi habis lihat-lihat ke samping rumah. Banyak pohon labu yang jadi loh, Pak."
"Iya, kemarin sengaja bapak buang bibit labu di sana." Wawan beranjak menuju lokasi yang dibicarakan putrinya. "Bapak juga tanam bibit anggur, Ndu. Kalau jadi nanti bapak buatin kerangkanya," pungkasnya sambil memakai sandal di sisi teras dan berjalan menuju halaman di samping rumah.
Sementara itu, Rindu yang tak berniat menanggapi lagi hendak masuk ke rumah sebelum mobil sedan hitam yang ia kenali pemiliknya berhenti di sisi jalan. Benar, itu Naka dan putrinya. Mereka benar-benar pulang dan artinya Lea memang tak begitu diterima di rumah besar Nawasena.
"Buna!"
Rindu berjalan cepat, tak menunggu Naka yang sedang menggendong sang anak sampai padanya. "Kalian udah pulang?"
Hari ini Naka merasa begitu emosional. Kenapa mendengar kata 'kalian pulang' saja hatinya sangat sentimental hingga memaksanya menarik napas panjang. Ia tak membalas senyum wanita yang menyambutnya dengan raut tenang dan binar mata ceria.
"Gimana perjalanannya. Seru?" tanya Rindu mengambil alih Lea di gendongan pria yang terlihat kusut. Bukan dari tampilan melainkan tatapan.
"Nggak tahu, Bun. Tadi habis berhenti di jalan buat beli jajan Lea ketiduran terus tahu-tahu udah sampai rumah."
Rindu terkekeh. Ia usap kepala sang anak yang rambutnya begitu rapi dengan kepang dua berhias jepitan berbentuk buah, lalu melihat kalung dengan liontin ceri kembar menghiasi leher Lea.
"Dari Papi, aku juga nggak tahu kapan Papi beli itu tapi tadi pas kita mau pulang kalungnya udah ada di sana."
Memberi atensi pada pria yang menjelaskan asal-usul kalung di leher putrinya, Rindu hanya tersenyum kecil. "Mau makan di rumah, Ka? Aku habis masak ayam goreng bawang putih, sambal matah, sama sayur bayam."
Naka kontan memalingkan wajah saat tawaran makan malam dari bibir kecil itu seperti kapas dengan cairan alkohol yang menyentuh lukanya. Ia ingin memeluk Rindu, mendesahkan napas pasrah di bahu wanita itu, sambil merasakan usapan lembut di kepala yang tanpa ia minta pun pasti akan dilakukan sang wanita.
"Ka?"
"Iya, aku mau."
****
Naka memang berniat mampir di rumah Rindu. Ada obrolan penting yang ingin ia utarakan dengan orang tua wanita itu. Jadi saat Rindu menawarkan makan malam di sana ia tak akan menyia-nyiakan kesempatan. Namun, saat mengantarkan Lea ke dalam rumah ia bicara sebentar dengan putrinya kalau ada urusan sebentar di luar. Urusan yang melibatkan Rindu.
Jadi, Naka kembali pergi setelah berpamitan singkat dengan nenek dan kakek anaknya.
Naka tak mengajak Rindu sia-sia. Ia membeli beberapa minuman dan makanan yang dijajakan barisan pedagang kaki lima, lalu setelahnya baru membawa Rindu ke dalam suasana serius untuk membicarakan hal yang jadi tujuannya pulang.
"Kamu serius, Ka?"
"Kamu nggak percaya?"
"Bukan." Rindu berikan senyum kecil saat pria yang duduk di balik setir berujar demikian. "Cuma mau mastiin aja."
"Aku udah yakin, sama kayak pertama kali ngajak kamu nikah." Naka raih tangan Rindu, menggenggamnya erat sebelum menghela napas pelan. "Kamu nggak tanya kenapa aku pulang cepet?"
"Nggak perlu, kamu pasti cerita kalau mau cerita. Sekarang mungkin belum, tapi kalau mau cerita aku pasti dengerin."
Naka tak menanggapi ucapan itu lagi. Ia memilih membawa Rindu ke dalam pelukannya sambil mengeluarkan napas lega. "Kamu tahu nggak, aku dari tadi dateng udah nahan-nahan buat peluk kamu. Tadi di depan rumah aku kepingin banget peluk kamu kayak gini," terangnya sambil membubuhi kecupan singkat di bahu Rindu sebelum merasakan usapan lembut di punggungnya.
"Kali ini Papi bilang bakal usahain dateng, Ndu." Masih dalam posisi yang sama, Naka tersenyum saat Rindu berhenti mengusap punggungnya. Wanita itu pasti sedikit terkejut.
"Kalau Mami kamu?"
"Papi nggak janji bisa bawa Mami." Naka lepas pelukannya, lalu menangkup wajah Rindu dengan kedua tangan besarnya. Mengecup kening, ujung hidung, dan bibir itu singkat. "Nggak apa-apa, ya?"
Rindu mengangguk saja meski perasaan takut dan ragu karena kejadian delapan tahu lalu samar-samar mulai menghantui. Namun, Rindu tak bisa menolak kehadiran Naka. Selain Lea yang membutuhkan sosok sang ayah, ia juga ingin pria itu kembali ada dalam lembaran cerita di kehidupannya.
"Kita pulang, ya. Lea pasti nunggu kita."
"Oke." Naka kembali duduk di balik setir dengan benar. "Oh, ya. Aku mau lihat tanda di dada kamu, deh."
Rindu refleks memegang dadanya. "Apaan?! Nggak ada!"
Naka terkekeh geli sambil menyalakan mesin mobilnya. "Masa, sih? Perasaan aku waktu buat merah banget, loh. Udah hilang beneran? Mau aku buatin lagi, nggak?"
"Kamu habis ini pulang ajalah ke apartemen, nggak usah makan malam di rumah!"
Naka tertawa puas mendengarnya.
Ah, seperti ini saja rasanya sudah bahagia. Menggoda Rindu hingga gerutuan kesal dari wanita itu terdengar olehnya. Jadi, mana mungkin Naka lepas kebahagiaannya apalagi saat ada sosok malaikat kecil di tengah-tengah mereka. Bahkan saat satu dunia menentang keputusannya, kaki Naka tak akan mundur untuk datang pada wanita yang masih jadi belahan jiwa.
"Aku mau ngobrol sama Bapak dulu lah baru pulang." Naka membalas setelah puas menggoda Rindu. "Dari sana balik ke apartemen sambil hapalin ijab kabul lagi. Nama kamu nggak ganti kan, Ndu?"
Rindu mendengkus saja menyembunyikan rasa gelinya mendengar pria itu kembali bergurau.
"Bapak bener-bener pengertian ya, kasih nama anak perempuannya nggak ribet. Jadi enak waktu ijab kabul."
"Halah! Nggak ribet aja waktu itu kamu sampai tiga kali salah."
Naka menyengir saat menoleh pada Rindu sebentar. "Masa, sih, kok aku nggak inget."
"Kalau nggak inget coba tanya Dafi, dia pasti inget karena hampir guyur kepala kamu sama air di botol," tandas Rindu sambil tergelak tawa mendengar gerutuan kecil Naka yang mungkin sedang mengingat momen khidmat sekaligus memalukan itu.
Dan ya, saat Naka menganggap Rindu adalah kebahagiaannya. Maka Rindu menganggap Naka adalah dunianya.
___________
Wkwkwkkwkw sampai mau diguyur sama Dafi ceunah. Duh, aku nanti niat nyisipin part mereka pertama ketemuan sampai kasmaran. Tapi kapan, ya. Nanti deh kalau udah ijab.
See yaa~~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top