25. Kelabu Yang Pernah Membelenggu.
Bab ini akan menguak masalah utama kenapa Rindu sampai ninggalin Naka. Anyway makasih banyak buat vote-nya🥺🤏
Yuk, aku mau 125 vote sama komennya dong 50. Nanti kita satsetsatset lagi.....
Makasih, selamat membaca 💙
_________________
Rahang Naka mengetat. Tangannya yang sejak tadi bersembunyi di saku celana mulai bergerak dilipat di depan dada. Sorot matanya yang tajam, tak lepas dari sosok gadis kecil yang terlelap di atas tempat tidurnya. Namun, tenang saja Naka bukan sedang marah dengan putrinya tapi pada ucapan sang ibu yang tak bisa menerima darah dagingnya.
Ia tak mengerti dengan jalan pikiran ibunya. Apa yang sebenarnya dipikirkan wanita itu saat membayangkan pendamping hidupnya? Bukankah wanita dengan banyak gelar di belakang nama tak menjamin ia bahagia?
Kebahagiannya ada pada Rindu.
Wanita sederhana yang tak banyak mengeluh apalagi meminta sesuatu. Wanita itu selalu bisa membuat Naka merasa paling beruntung. Rindu tak banyak menuntut untuk membuat dirinya jauh lebih baik, berbeda dengan sang ibu yang bahkan mengatur jurusan saat ia ingin masuk kuliah.
Naka paham, mungkin karena jadi anak laki-laki satu-satunya membuat wanita baya itu menaruh banyak harap dan kebanggaan di atas kepalanya. Tapi tidakkah terpikir oleh ibunya kalau kebahagiaan bukan mutlak tentang pendamping wanita pintar kaya raya yang memiliki gelar di belakang nama. Naka ingin hal yang lebih sederhana. Termasuk dalam memilih wanita yang ia tunjuk untuk menemani hidupnya. Tak perlu wanita yang masuk kualifikasi cantik di mata orang banyak, Naka hanya cukup dengan wanita yang tak banyak tersenyum di depan orang, mendengarkan obrolan randomnya dengan senyum geli, sambil mengusap kepalanya yang bersandar nyaman di atas paha.
Hanya itu.
Lantas Tuhan begitu baik hati sudah mengirim malaikat kecil di tengah-tengah mereka. Itu sudah lebih dari cukup dari tawaran apa pun yang membuatnya bahagia. Naka hanya ingin itu, tak lebih. Sayangnya kenapa sulit dimengerti?
Berjalan santai setelah meloloskan napas resah, Naka memilih duduk di bibir kasur setelah mengecup pelipis putrinya. Ia raih ponsel yang tergeletak di dekat bantal lalu mencari kontak yang ia beri nama Rindu Lea.
Tak butuh waktu lama, sambungan telepon yang dua kali berbunyi tut langsung mendapat jawaban dari wanita di seberang sana.
"Ka?" sapa Rindu dengan suara yang terdengar tenang. "Gimana? Lea udah tidur?"
Sambil memijat kening, Naka embuskan lagi karbondioksidanya dengan resah. "Ndu," lirihnya terdengar pasrah.
"Ya, kamu sama Lea baik-baik aja, kan?" Nada bicara Rindu mulai naik. "Mau video call?" sambungnya masih mencoba tenang.
"Ndu, besok sore aku pulang."
Dan ucapan itu membuat Rindu mengerti, anaknya belum diterima dalam keluarga mantan suaminya. "Ya, aku tunggu." Tapi Rindu tak ingin membahas itu sekarang. "Lea gimana, udah makan?"
"Hmmm."
"Kalau kamu?"
"Ndu?"
"Nggak apa-apa."
Naka mulai membenci ini. Harusnya Rindu mengumpat saja, mencaci orang tuanya yang terlalu angkuh dengan sebuah kasta manusia. Bukan malah bersuara tenang yang membuat hatinya makin nelangsa.
"Besok pulangnya hati-hati, ya. Aku nunggu kalian di rumah."
Rumah?
Rumah mana yang sedang Rindu bicarakan?
Bukan. Ini bukan tenang bangunan sederhana dengan tiga kamar di dalamnya. Ini tentang dirinya yang masih tak tahu diri memberi sebutan rumah. Rumah bagi anaknya dan juga pria disambungan telepon.
"Aku janji bakal jagain Lea, Ndu."
"Aku tahu."
"Aku juga dulu pernah janji buat jagain kamu."
"Aku juga tahu, kamu udah nepatin janji kamu, Ka. Makasih."
"Aku sayang kamu, Ndu. Sayang sama kalian berdua."
"Aku juga ... tahu."
***
Kegelapan mulai memayungi semesta. Kicau burung yang tadi siang bersahutan berganti dengan suara binatang malam. Udara panas yang menyengat mulai digantikan dengan kesejukan angin malam, pun dengan tenaga yang hari ini terkuras semoga bisa diganti saat tubuh dan hati terlentang damai dalam singgasana yang ada.
Sembari mengajak putrinya bicara, Rindu tersenyum tatkala bayi yang baru selesai ia dandani tampak merespons ucapannya. Memekik dengan suara khas bersama sorot mata yang belum terlalu fokus ke wajahnya.
"Sekarang pakai parfum, ya." Rindu tuang beberapa tetes parfum khusus bayi ke telapak tangan, lalu mengusapkannya ke baju dan celana sang anak. "Hmmm, udah wangi. Kita tinggal tunggu Ayah pulang, oke? Kemarin Ayah bilang apa, kamu wangi kalau habis mandi. Nggak bau asem susu."
Rindu tersenyum dan mulai bergerak membawa tubuh sang putri ke atas pangkuan. Baru saja hendak membuka dua kancing teratas untuk memberi ASI secara langsung, ketukan di daun pintu membuat ia urung melakukan itu. Sambil membawa Lea dalam gendongan, Rindu berjalan menuju pintu kontrakan dan mengintip sebentar dari jendela untuk mengetahui siapa yang datang.
"Mas Reno?" sapa Rindu setelah membuka pintu kontrakannya dan melihat sang kakak berdiri dengan raut gusar yang tak bisa disembunyikan. "Masuk, Mas."
"Ndu, Naka mana?"
"Belum pulang."
"Kerja?" Reno sudah masuk ke bangunan kecil itu, tapi tak berniat duduk tenang untuk memulai pembicaraan. "Naka lagi kerja, Ndu?" ulangnya tak sabaran.
Ragu-ragu Rindu menggeleng. "Tadi siang Naka bilang ada temennya yang minta dibantuin pindah rumah. Kenapa, Mas?" Melihat gelagat sang kakak yang tak biasa, Rindu melirik ke arah putrinya sambil meremas selimut yang membungkus kaki Lea untuk menyalurkan perasaan curiga.
"Mas?"
"Ndu, Bapak masuk kantor polisi."
"M-maksudnya?" Raut wajah Rindu tak banyak berubah, tapi remasan pada selimut Lea makin kencang. "Mas?" panggilnya cemas.
"Angkot Bapak nabrak anak kecil. Sekarang Bapak lagi di kantor polisi." Mengusap wajah yang begitu kalut, Reno mendesah kasar saat tatapan sang adik mulai berkaca-kaca. "Kebetulan anak kecil yang nggak sengaja ketabrak Bapak ternyata masih kerabat Naka. Keponakan ibu mertua kamu. Ibu Naka yang nuntut, Ndu."
Merasa lemas mendengar kabar tersebut, Rindu terduduk di lantai dengan pandangan yang kosong dan mulai buram. Pelukannya pada tubuh bayi dalam gendongan makin erat saat cerita panjang lebar Reno yang ikut duduk di hadapannya bak tali kawat yang berdenging nyaring di telinga.
Ibu Naka menuntut ayahnya.
Malam itu tanpa sepengetahuan Naka, Reno dan Rindu yang memilih menitipkan bayi pada ibu kos gegas datang ke kantor polisi. Lantas melihat wanita yang berpakaian begitu stylish duduk di dekat kursi tunggu di depan gedung kantor polisi. Saat mereka datang, wanita itu berdiri sambil menatap dengan sorot angkuh. Memindahkan tas kecil ke tangan lainnya lalu berjalan menghampiri mereka.
"I-ibu?"
Pemilik nama lengkap Rumia Harshad itu berdecak malas saat wanita yang ia tuduh mengambil putranya sampai ke hadapannya. "Kamu tahu, Bapak kamu udah nabrak keponakan saya sampai masuk rumah sakit!" todongnya tak ingin berbasa-basi.
Sebenarnya ini menjadi urusan dari adik iparnya. Namun, Rumia tak tinggal diam saat mengetahui siapa yang menjadi pelaku dalam kasus ini. Sejak awal ia tak merestui kisah cinta putrnya dengan wanita ini dan makin menentang saat Naka meminta restu untuk menikah di usia muda. Ia tahu sifat anaknya keras, sulit dikendalikan, dan cenderung melawan jika merasa tak adil dihadapkan pilihan. Tapi saat itu Rumia berharap besar kalau wanita ini yang akan mundur, melepaskan Naka, lalu pergi dari kehidupan anaknya.
Namun, bukan pergi yang terjadi malah sebaliknya.
"Bu—"
"Biaya rumah sakit mencapai puluhan juta dan Bapak kamu terancam masuk penjara!"
Rindu menggeleng takut. Ia menoleh pada sang kakak yang mengusap bahunya, lalu kembali menatap wanita di hadapannya dengan mata yang basah.
"Saya minta maaf, Bu. Bapak pasti nggak sengaja—"
"Terlepas dari itu dia tetep nabrak orang!"
"Saya yang bakal tanggung jawab buat biaya rumah sakitnya." Reno menimpali ucapan wanita angkuh itu. "Tapi tolong cabut tuntutannya. Bapak saya nggak bersalah, semua saksi setempat bilang kalau anak kecil itu yang tiba-tiba lari ke tengah jalan saat pulang sekolah."
"Enak aja! Kamu mau salahin anak kecil?!"
"Bukan, Bu. Saya cuma berujar sesuai fakta yang didapat dari saksi mata." Reno menarik tangan Rindu, memeluk adiknya yang mulai menangis dengan suara tertahan. "Saya janji bakal tanggung jawab!" tegasnya tak main-main.
"Nggak perlu!" Tatapan tajam Rumia kembali pada Rindu. "Saya cuma mau dia ninggalin anak saya dan semua urusan selesai!"
Rindu refleks memberi atensi dengan linangan air mata yang terjun melewati pipi. Ia menggeleng meminta simpati pada wanita itu. "Saya ... kami punya bayi, Bu." Jelas kata kami yang ia ucapkan merujuk pada Naka dan dirinya.
"Saya nggak peduli!"
"Jangan, saya nggak bisa ninggalin Naka." Dan Rindu tahu, Naka pun sama.
"Ya udah, saya bakal bawa kasus ini ke ranah hukum dan minta biaya rumah sakit. Pilihan di tangan kamu, jangan egois jadi anak!" pungkas Rumia sebelum berjalan melewati kakak adik itu, lalu pergi menuju mobil hitam yang sudah terdapat sopir di dalamnya.
Dan malam kelam itu menjadi saksi bagaimana kesakitan dan dilema begitu nyata meremas hati. Rindu berjalan cepat memasuki kantor polisi, menemui sang ayah yang masih bisa memasang senyum agar anak-anaknya tak khawatir. Namun, bukan hilang rasa khawatir itu yang Rindu rasakan hanya sesak di dada hingga raungan tangisnya menggema ke seluruh penjuru ruangan.
Apa yang harus ia pilih?
Ada dua pria yang sangat ia cintai. Seperti berdiri di ujung jembatan tali yang memaksanya untuk memilih, ke mana kakinya harus pergi. Dan pilihan yang saat itu berbisik nyaring ternyata menghancurkan hati seorang pria yang begitu dalam mencintai.
Setalah hari itu, Rindu selalu bersikap tak acuh pada Naka. Mempermasalahkan ekonomi mereka hingga keadaan nyaman dalam kontrakan yang tak pernah ia perdebatkan. Lantas dua hari setelah itu ia pun memutuskan pergi meninggalkan Naka yang menangis menahan dirinya, memohon dengan air mata yang melimpah ruah agar ia tetap bertahan dalam keadaan sulit dengannya.
Rindu tak kuasa. Ia bahkan menjerit dalam hati saat kesakitan Naka menjalar menggetarkan jiwa, tapi hanya itu pilihan yang ia punya. Rindu pikir pria itu pasti tak akan kesulitan jika kembali pada keluarganya, meski ia sendiri tak yakin apa bisa hidup membesarkan anaknya tanpa seorang suami.
Semuanya benar-benar berakhir di sana. Di bangunan kecil yang jadi saksi bisu kisah mereka dan menutup lembaran cerita dengan luka yang berdarah-darah.
***
Baru selesai membersihkan halaman, Rindu yang hari ini izin tak masuk kerja sedang duduk di beranda rumah. Tangannya sedang mengotak-atik ponsel, menunggu pesan atau mungkin sebuah panggilan. Namun, hingga jam sepuluh pagi tak ada kabar apa pun dari orang yang ia tunggu.
Semalam Naka bilang ingin kembali ke sini. Jadi, Rindu sengaja meminta izin tak bekerja demi menyambut Naka dan Lea yang pulang setelah pergi mengunjungi keluarga pria itu. Entah ada cerita apa yang dibawa putrinya, tapi Rindu tahu keadaan tak berjalan baik-baik saja.
"Ndu?"
"Iya ... Oh, Mas Agam?" Rindu berjalan menuju pria yang datang dengan bungkusan plastik berwarna putih.
"Ini, ada oleh-oleh dari Ayah saya yang baru pulang umroh. Ada gelang-gelang kecil juga buat Lea."
"Oh, iya. Makasih Mas." Rindu terima pemberian itu dengan senyum formal. "Mau duduk dulu, Mas."
Agam mengangguk. Ia mengikuti Rindu yang mengarahkannya duduk di kursi kayu dalam teras. "Lea-nya di mana, ya?"
"Lea lagi sama ayahnya, Mas." Rindu tak berniat duduk menemani pria itu. "Saya ambilkan minum dulu, ya. Kebetulan hari ini Bapak nggak narik angkot katanya mau lihat warga lomba mancing di waduk," katanya seraya berdeham saat pria yang duduk di sana tersenyum sambil mengangguk.
Rindu mulai berjalan membawa buah tangan yang diberikan Agam, lalu menoleh saat pria itu kembali memanggilnya. "Iya, Mas." Kakinya berhenti tepat di depan pintu masuk sedangkan kepalanya kembali menoleh untuk menatap pria yang sudah berdiri dan berjalan menghampiri.
"Saya sebenarnya nggak bisa lama-lama."
"Oh." Rindu bingung harus mengatakan apalagi.
"Ndu, saya mau tanya. Kamu ... maksud saya, kamu sama mantan suami kamu—"
"Kami mau rujuk, Mas."
Sebab Rindu tahu makin lama ia mengulur hal itu makin membuat Agam berharap besar padanya. Pria di hadapannya ini terlampau baik dan lembut, ia tak bisa bermain dengan memberi harapan semu. Lantas menyakiti hatinya seperti yang ia lakukan dulu pada Naka.
Cukup. Ini rasanya sudah cukup. Seandainya tak lagi berjodoh dengan Naka, ia tak mau membawa pria lain masuk hanya untuk mengobati luka. Agam tak pantas hanya dijadikan kapas putih yang menutupi luka menganga. Jadi, hari ini sudah cukup membuat pria itu berharap padanya.
________
KENAPA SIH NANGIS KALO CERITA MASUK KONFLIK?!
Tenang .... aku akan balas dendam dengan menciptakan paragraf manis penuh tawa dan tangis bahagia dari keluarga yang pernah dilanda nestapa.
See you......
See you juga Mas Agam
😭😭
Mas Agam, pintu rumahku selalu terbuka lebarrrrr...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top