23. Tanda Dari Naka.
Halooo para warga DuSen. Kita juma lagi, ya. Yuk ramaikan komen dan jangan lupa vote. Selamat membaca dan terimakasih.
Oh, iya ada unsur mature 🔞
"Kamu sengaja kan, ngajak Lea ke toko?" Rindu mendesis kesal saat berada dalam mobil Naka yang hari ini menjemputnya pulang.
Menjemputnya di depan toko secara terang-terangan.
"Nggak niat sih, sebenarnya. Aku cuma mau ajak Lea main ke showroom setelah semesteran hari ini, terus dia liat toko kue. Katanya mau beli ya udah aku ajak aja ke sini." Naka menoleh pada sang anak yang sekarang sudah pintar memasang sabuk pengaman sendiri. "Ya, kan, Sayang?"
Lea mengangguk pendek sambil fokus membuka kotak makarun yang ia beli di toko sang ibu bekerja.
"Tapi ...."
"Kenapa, sih?" Naka mulai mendengkus pelan. "Kamu kaget atau malu?"
"Cuma kaget."
Rindu menghela napas pelan. Tadi beberapa pegawai langsung menyerangnya dengan pertanyaan bertubi saat Naka dan Lea keluar dari toko. Dilla yang tiba-tiba saja pusing mendapati fakta kalau pemilik showroom adalah ayah dari anaknya, terlihat seperti orang bodoh yang hanya menatap dalam diam saat Rindu meringis menjawab pertanyaan random itu.
Syukurlah Mbak Lufi keluar dari ruang kerjanya dan menengahi acara interogasi yang membuat Rindu sama seperti Dilla. Sedikit pusing sekaligus marah karena tindakan Naka. Pria itu malah terlihat santai bahkan masih menebar senyum sebelum keluar.
"Sayang, mau makan malam di mana?" Naka bicara pada Lea sambil memutar setirnya. "Mau makan di restoran Korea, nggak? Lea udah pernah makan di sana?"
Gadis kecil itu berpikir sebentar sebelum menggeleng dengan mulut yang sibuk mengunyah makarun.
"Mau nggak makan di sana?"
"Terserah Ayah aja."
"Oke!" sahut Naka lalu melirik Rindu yang mungkin masih kesal karena tindakannya. "Ndu?" panggilnya sambil meraih tangan wanita itu. "Kamu masih marah, ya?"
"Bukan ... aku cuma kaget."
"Sorry, aku tadi nggak kasih kabar dulu."
"Ya udahlah. Udah kejadian, cuma besok aku pasti masih dapet pertanyaan tentang kamu dari anak-anak di toko."
Naka tersenyum kecil. "Tinggal bilang aku ayahnya Lea sekaligus calon suami kamu. Apa susahnya, sih?"
Rindu mendengkus pelan sambil merasakan usapan lembut jemari besar Naka di punggung tangannya. ia menoleh untuk menatap wajah pria yang kembali fokus pada jalan raya, merasakan perasaan yang sama seperti sembilan tahun silam. Sepertinya Naka tak pernah berubah, dari mulai caranya bicara bahkan caranya menyampaikan perhatian. Hanya fisik pria itu saja yang terlihat lebih matang dan dewasa.
"Ka?"
"Ya?" Naka menoleh sebentar lalu mengernyit saat sebelah tangan Rindu yang bebas ikut mengusap tangannya. "Kenapa?" tanyanya penasaran.
"Nggak apa-apa."
Tetapi hal itu jelas tak bisa Naka abaikan. Berhasil membawa anak dan mantan istrinya ke dalam restoran mewah dengan segala fasilitas nyamannya, Naka sengaja menyimpan rasa penasaran itu untuk sementara waktu. Ia memilih fokus dengan gadis kecil yang tampak antusias dengan hidangan cantik di atas meja sambil berseru riang dan berencana akan menceritakan hal ini pada teman-temannya di sekolah.
Setelah menyenangkan buah hatinya, Naka mengajak Lea dan Rindu pada jajaran kuliner malam pinggir jalan yang tak sedikit menyuguhkan permainan anak-anak. Lantas setelah benar-benar puas, barulah mereka pulang dengan keadaan cukup lelah. Lea sudah tidur saat kendaraanya kembali dijalankan sedangkan Naka yang memilih menepikan mobil di depan taman kota memulai obrolan seriusnya.
"Kamu serius, Ka?"
Naka mengangguk. "Aku udah pernah bilang kan, sama kamu kalau mau ngajak Lea ke rumah. Senin besok Lea udah mulai libur sekolah, kan?"
"Ka ...."
"Kenapa, Ndu?" balas Naka lembut, ia meraih kedua tangan Rindu sambil menatap wajah wanita itu. "Kamu khawatir?"
"Sejak lahir, Lea bahkan nggak pernah diakui di rumah kamu." Rindu mulai emosional mengingat kelahiran Lea yang tak disambut baik keluarga Naka. "Gimana aku bisa kasih izin gitu aja," sambungnya sambil melihat sang anak yang terlelap di kursi belakang.
"Nggak percaya kalau aku bisa jagain Lea di sana?"
"Aku percaya, cuma—"
"Mbak Nana udah sebulan pulang ke Indo. Oh ya, kamu belum tahu, kan? Tiga tahun lalu Mbak Nana nikah sama orang UK. Dia tinggal sama suaminya dan sekarang lagi liburan di Indo."
"Oh, ya? Aku seneng dengernya." Rindu tersenyum mendengar nama wanita yang saat itu banyak membantunya. "Mbak Nana ada di rumah kamu?"
Naka mengangguk. "Sebelum nikah dia juga bantu aku cari kalian. Dan orang yang pertama kali aku kabarin saat ketemu kamu sama Lea adalah dia. Mbak Nana seneng banget ditelepon, Ndu. Sama kayak aku ... aku yakin kamu ngerti."
Rindu mengangguk samar. Ia tersenyum saat Naka terlihat bahagia menceritakan pertemuannya. "Aku yakin kamu bisa jagain Lea selama di sana. Tapi kadang aku masih ragu juga takut kalau nanti Lea malah—"
Ucapan Rindu tak mencapai akhir saat gerakan cepat Naka yang menarik tengkuk, tiba-tiba saja mencium bibirnya. Melumatnya lembut dan hati-hati sambil berusaha menarik tubuh kecilnya beralih ke pangkuan.
Ciuman itu terus berlanjut.
Rindu bisa merasakan gerakan tangan Naka di tengkuknya mulai turun ke bahu, mengusap kasar tulang punggung sampai ke pinggang sebelum kembali ke atas. Sentuhan itu sampai ke dadanya. Mengusap payudaranya dari balik kemeja yang dikenakan sebelum membuka dua kancing teratas di sana.
Rindu mendesah pelan saat Naka melakukan itu.
Tangan Rindu yang ada di bahu Naka sudah sejak tadi mulai meremas rambut legam itu, membiarkan tangan nakal Naka berkeliaran di tubuhnya. Rindu tersentak saat kerah kemejanya ditarik hingga sebelah bra-nya terekspos.
"Ka—"
"Ssssst ...."
Naka mendesis pelan. Ia menunduk sambil memberi kecupan-kecupan halus dari rahang, leher, belakang telinga, bahu, hingga ke dada Rindu. Lantas berhenti saat sampai pada tujuan utamanya. Sedikit memberi remasan pelan agar daging payudara Rindu yang tak tertutup bra menyembul keluar, Naka mengecup bagian itu pelan sebelum memberi dua tanda kepemilikan di sana. Hasilnya memuaskan. Selain kulit Rindu yang terlampau mudah ditandai, ia juga bangga bisa melakukan hal yang sudah sejak lama tak ia lakukan.
Naka mendongak, ia kembali mempertemukan bibirnya. Memberi lumatan rakus di sana sambil memberi pijatan lembut pada sebelah dada Rindu yang sedikit terekspos.
"Tandanya nggak akan hilang seminggu. Kamu kalau lagi kangen aku lihat itu aja," kata Naka setelah melepas ciumannya dan merapikan lagi kancing kemeja Rindu yang berantakan.
Rindu mendengkus pelan. "Kamu mau ke mana?"
"Pulang bawa Lea."
"Aku belum kasih izin."
Naka tersenyum lalu membiarkan Rindu bergerak meninggalkan pangkuannya dan kembali duduk di kursi penumpang. "Aku tahu kamu pasti izinin."
Rindu terdiam sebentar. Bukan untuk meredakan gairah yang disulut Naka seenaknya, tapi kembali memikirkan putrinya yang akan dibawa. Keegoisannya delapan tahun lalu tak sebanding dengan permintaan izin Naka yang ingin memamerkan Lea pada keluarganya. Jadi, mau tak mau rasanya ia memang perlu memberi Naka izin.
"Aku bakal balik ke sini, Ndu. Kamu takut aku bawa kabur Lea?"
Rindu menggeleng pelan. "Berapa lama di sana?"
"Mungkin lima hari."
"Kamu bakal terus kabarin aku, kan?"
"Pasti."
"Kamu pasti jaga Lea bener-bener, kan?"
"Kamu nggak usah tanya hal itu, Ndu."
"Nanti kalau banyak yang nggak suka sama Lea, gimana?"
"Aku yang pasang badan." Naka beringsut untuk menarik dagu Rindu dan mengecup dua kali bibir itu. "Jangan khawatir, Ndu. Please percaya sama aku."
Rindu mengangguk. "Hmmm, aku percaya."
Naka tersenyum melihat itu. Ia membawa Rindu ke dalam dekapan, menghidu aroma dari perpotongan leher wanita itu sebelum mendesah lega.
"Makasih, Ndu."
****
Anggota keluarga Rindu tak ada yang menentang dengan permintaan Naka malam itu. Namun, keterkejutan jelas terlihat jelas di wajah mereka. Setelah Naka pulang dan mengantongi izin besok pagi akan kembali dan membawa Lea pergi, semua yang ada di dalam rumah kecuali Lea yang pulang dalam keadaan tertidur, mengintrogasi Rindu terang-terangan.
Hari ini Rindu melewati hari yang penuh interogasi.
"Mbak seriusan?"
"Bener sih, si Naka ayahnya. Cuma ... Naka bakal balik lagi kan, Ndu?"
"Kamu udah pikirin ini, Ndu?"
Pertanyaan tumpang tindih itu hanya dijawab seadaanya oleh Rindu. Ia memilih masuk ke kamar, menatap gadis kecil yang tak sempat berganti pakaian sebelum menatap wajahnya lekat-lekat. Ada perasaan khawatir luar biasa, tapi jika ia melarang Naka bukankah itu sama saja memberi makan rasa egoisnya.
Terus memikirkan keberangkatan Lea besok pagi, akhirnya Rindu melewati malam itu dengan terus memikirkan kemungkinan buruk sambil menatap wajah sang anak.
Paginya, tepat jam delapan mobil Naka sudah terparkir di depan rumah. Pria itu tampak semringah dan santai dengan kaus lengan pendek berkerah dan celana cargo panjang. Berjalan mantap menemui orang-orang rumah, lalu berbasa-basi sebelum membawa Lea.
"Kalau misal nggak betah, diantar pulang aja ya, Ka." Bu Sani yang berujar seperti itu dengan nada sedikit memperingati.
"Iya, Bu."
"Mas Naka, Lea kadang suka ngompol kalau bukan tidur di kamarnya. Waktu itu tidur di kamar Una juga ngompol."
Naka mengangguk sambil tersenyum. Ia menoleh pada gadis kecil dalam gendongannya. "Kamu masih ngompol, Sayang?"
Lea mengangguk malu-malu. "Kadang-kadang, Yah."
"Diajak buang air kecil dulu sebelum tidur, Ka." Wawan menepuk lengan Naka pelan. "Hati-hati bawa mobilnya."
"Iya, Pak." Kali ini Naka memberi atensi pada wanita yang sepertinya memiliki kantung mata. "Aku pergi ya, Ndu."
Rindu mengangguk. "Kabarin aku setiap hari."
"Pasti."
"Lea, kamu jangan jauh-jauh dari Ayah, ya. Nanti telepon Buna kalau udah sampai sana. Jangan banyak makan es krim, nggak boleh masuk ke kamar orang sembarangan, jangan berisik kayak di sini. Ngerti?"
"Kamu ngancem, Ndu." Naka sedikit memprotes. "Aku sama Lea berangkat, ya."
"Hmmm, hati-hati."
****
Dalam perjalanan gadis kecil yang duduk di belakang tak henti bertanya tentang ke mana ia akan dibawa. Naka memang hanya memberitahu Lea kalau mereka akan pergi ke rumahnya yang ada nenek dan kakek gadis itu. Meski kebingungan, Lea mengangguk saja sebelum sibuk memakan camilan sambil melihat pemandangan selama perjalanan.
Sekitar dua jam setengah, roda empat Naka mulai memasuki kompleks mewah yang diberi nama Go Grend City Park. Lantas selang beberapa menit kemudian, barulah mobil itu benar-benar sampai ke tempat tujuan.
Rumah besar berlantai tiga di sana terlihat ramai di bagian pos jaga. Lalu di teras ada beberapa anak usia belasan tahu yang menjadi kerabat sang ayah sedang bermain riang di sana. Saat hari libur rumah itu memang tak pernah sepi, tapi jika hari biasa hanya ada ibu dan ayahnya saja.
Turun dari mobil yang sudah masuk garasi, Naka langsung membuka pintu penumpang. Menggendong Lea dengan bangga sebelum satu panggilan membuat ia menoleh dan tersenyum lebar.
"Naka? Astaga!"
"Mbak Nana?" Naka tersenyum melihat raut kejut sang kakak. "Steve di mana?"
Nana tak menghiraukan pertanyaan sang adik, ia justru terpaku dengan gadis kecil yang memiliki wajah nyaris seperti Naka.
"Ka ... ini?"
"Iya, ini Lea, Mbak. Anak Naka."
Mereka masih di area garasi saat panggilan kedua yang menyebut nama Naka kembali terdengar.
"Naka ... kamu pulang, Sayang. Kenapa nggak bilang Mami, sih? Coba kalau ...." Wanita dengan gaya rambut sanggul itu mengernyit saat sang anak membawa bocah perempuan dalam gendongan. "Eh, kamu bawa siapa?" tanyanya terheran-heran setelah benar-benar sampai.
Naka menoleh pada Lea yang memeluk lehernya dan menyembunyikan wajah di sana. Mengusap punggungnya sebentar untuk memberi ketenangan, ia mulai menatap sang ibu di depannya.
"Mami, kenalin ini Qiraam Falea Nawasena. Panggilannya Lea."
"Maksud kamu ... Ka, maksudnya apa?
"Ini anak Naka, Mi."
_____________
Kok aku kepingin bilang I Love You ke Naka, ya. Walau kadang ngejengkelin tapi dia papaable dan manis banget. Sumpah!😭🤏
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top