20. Kebablasan (?)

Nemenin jandud jalan-jalan yuk!
Komen yang banyak yaaaa, vote jangan lupa. Selamat membaca💙

____________

Acara jalan-jalan bersama hari ini jelas berbeda dengan yang sebelumnya. Semua terasa lebih baik dan menyenangkan. Meski tempat yang dikunjungi masih seputar timezone dan tempat makan mewah yang menjadi pilihan Naka membahagiakan buah hati dan mantan istrinya, tapi kali ini setiap detik benar-benar terasa berbeda.

Momen indah yang pernah Naka ragukan akan terjadi.

Hal yang kerap ia bayangkan dalam mimpi.

Hari ini semua menjadi nyata meski kadang terasa seperti halusinasi.

"Kamu mau apa, Ndu?"

"Nggak ada cuma air putih aja yang dingin."

Naka mengangguk pendek. Setelah puas menuruti gadis kecil yang duduk di kursi belakang mencoba segala permainan, sekarang Naka sedang di luar mobil dengan pintu setir yang sedikit terbuka. Bertanya pada wanita yang duduk di sampingnya sebelum pergi ke minimarket untuk memenuhi permintaan Lea yang ingin makan es krim rasa cokelat.

"Oke," seru Naka sambil berjalan membuka pintu penumpang di belakang. "Ayo, Sayang! Nanti kamu pilih sendiri es krimnya."

"Jangan terlalu banyak makan es krim, ya. Tadi di mall udah dua kali makan es krim."

Lea mengangguk patuh.

Tak lama Rindu melihat Naka berjalan sambil menggendong Lea menuju pintu masuk sebuah minimarket besar di pinggir jalan. Sekitar lima belas menit berlalu, dua orang tersebut keluar dengan sekantong belanjaan yang sepertinya tak hanya berisi es krim dan air mineral.

"Buna, Lea nggak jadi beli es krim tapi beli cemilan sama susu kotak aja."

Rindu tersenyum lalu menerima air mineral yang disodorkan Naka saat pria itu sudah kembali menempati kursi kemudi.

"Makasih."

"Sama-sama, Buna."

Rindu ingin mendengkus geli mendengar panggilan itu keluar dari mulut Naka. Namun, yang terjadi hanya senyum tipis sebelum ia kembali melihat bocah yang mulai meminum susu cokelat dalam kotak.

"Sekarang pulang ya, Le?"

Gadis kecil itu menggeleng. "Lea mau tidur siang di rumah Ayah, Bun. Boleh, kan?"

Rindu refleks menatap Naka yang mulai menarik rem tangan di sisinya.

"Apartemen aku. Lea sebutnya rumah. Mau kan, Ndu?"

Rindu tak buru-buru menjawab, ia kembali menoleh pada putrinya. "Mau tidur siang di sana, Le. Nggak di rumah aja?"

"Iya." Lea menyertai jawaban itu dengan anggukan pendek.

Kembali duduk dengan posisi menghadap ke depan, Rindu berdeham ragu. "Ya udah. Nanti habis tidur siang baru pulang."

Naka terdengar membersit geli setelah mendengar Rindu bicara. "Lemesin aja sih, Ndu. Tegang banget."

"Apanya?"

"Muka kamu," goda Naka lalu melirik sang anak yang sibuk membuka bungkus camilan lewat kaca spion di hadapannya sebentar. "Aku nggak berani ngapa-ngapain kalau ada Lea."

Rindu berdecak kasar agar ungkapan Naka tak membuat ia merasa gugup.

"Tapi nggak tahu sih, kalau Lea nanti tidur." Dan Naka kembali terkekeh saat Rindu menoleh padanya disertai tatapan terkejut.

***

Unit apartemen Naka berada di lantai 21. Lokasinya tak jauh dari showroom dan jika diperkirakan mungkin hanya butuh waktu sepuluh menit Naka berangkat dari sana ke tempat kerja.

Keluar dari sangkar besi yang membawanya ke tempat tujuan, Naka berjalan lebih dulu sambil menggendong Lea yang ternyata sudah tidur saat perjalanan menuju apartemen.

"Di sini."

Rindu mengangguk dan mengernyit saat Naka menunjukkan pintu kamar tanpa melakukan apa-apa.

"Boleh minta tolong masukin sandi pintunya."

"Oh ...." Rindu bergeser untuk membantu Naka membuka pintu. Pria itu mungkin sedikit kesulitan karena sedang membawa Lea yang tertidur pulas. "Berapa PINnya?"

"27219294."

Setelah selesai memasukkan nomor yang terasa tak asing bagi Rindu, pintu itu mengeluarkan bunyi klik dan bisa dibuka. Ia mendorong benda penghalang tersebut dan membiarkan Naka berjalan lebih dulu menuju satu pintu yang ada di dekat ruang tamu.

Selama Naka membawa Lea ke kamar, Rindu sibuk menelisik tempat tinggal pria itu. Ada gitar akustik di pojok ruangan, tepatnya di atas bupet setinggi pinggang yang diisi jajaran miniatur mobil dan motor. Lantas tatapan Rindu yang masih menyapu pajangan di dekat televisi itu berhenti pada bingkai berisi gambar yang beberapa hari lalu ia berikan pada Naka. Kertas putih itu menggambarkan seorang anak perempuan yang berdiri di antara ayah dan ibunya. Tahu kalau sang ayah memiliki tubuh tinggi, Lea menggambarkan Naka dengan postur tubuh yang tinggi dan besar. Bahkan gambarnya malah mirip dengan seorang ayah berdiri dengan dua putrinya.

Perlahan Rindu berjalan menuju bingkai yang ada di atas bupet tersebut, tersenyum merasakan kasih sayang Naka yang begitu tulus pada putri mereka sebelum terkejut karena satu kecupan mendarat cepat di pipinya.

"Apa, sih!" gerutu Rindu sambil mengusap pipinya. "Lea gimana?"

"Kamu lihat sendiri aja di kamar. Dia tidurnya pules banget," jawab Naka sambil berjalan menuju pantri yang tak diberi sekat dengan ruang tamu. Mengabaikan gerutuan Rindu yang mendapat ciuman jailnya. "Kamu juga kalau mau tidur silakan."

"Nggak usah." Rindu duduk di salah satu stool saat Naka mulai membuat minuman.

"Mending nggak usah, sih. Nanti takut aku khilaf nemenin kalian."

"Kamu akhir-akhir ini udah sering khilaf."

Naka tertawa geli mendengar balasan Rindu.

"Kamu sejak kapan tinggal di sini?"

"Sejak showroom buka. Satu tahun setengah kayaknya."

"Sewa?"

"Bukan, aku beli." Naka menyodorkan jus jambu yang ia tuang dari kemasan dalam kulkas pada Rindu. "Aku nggak pernah masak, jadi nggak ada bahan apa-apa di sini."

"Aku juga nggak niat masak di sini."

Naka tersenyum kecil sebelum keluar dari area pantri dan duduk di samping Rindu yang bahkan belum membuka tasnya.

"Kamu nggak nyaman, ya?"

"Maksudnya?" Kening Rindu sedikit mengernyit saat menatap pria yang sudah duduk di sisinya.

"Tas kamu." Naka tarik tali tas di bahu Rindu, melepaskan benda itu dan meletakkannya di atas meja yang sengaja dibuat seperti mini bar. "Bisa santai kan, Ndu? Kamu nggak percaya aku nggak akan ngapa-ngapain kamu, ya?"

"Sedikit," gumam Rindu nyaris tak terdengar.

"Aku nggak akan perkosa ibu dari anak aku sendiri. Walaupun kepingin, sih." Detik itu juga Naka meringis merasakan pukulan keras di lengannya, lalu tertawa kecil melihat ekspresi Rindu. "Kita pernah saling kenal, kan? Aku nggak akan ngelakuin hal yang bikin kamu marah atau maksa sesuatu ke kamu. Jadi bisa kan, santai? Jangan tegang."

Rindu menarik napas pelan sebelum mengangguk samar. "Ka?"

"Hmmm."

"Kamu udah bilang sama keluarga kamu tentang Lea?" Rindu berujar sembari menoleh pada Naka yang ternyata sudah lebih dulu menatapnya. "Tentang aku?"

Naka menggeleng. Ia menekuk siku di atas meja, menopang sebelah pipi dengan tatapan yang tak berpindah sedikit pun.

"Aku ada niat bawa Lea ke rumah kalau dia libur panjang di sekolah."

"Maksud kamu?" Kening Rindu kembali mengernyit.

"Aku mau kenalin Lea sama keluarga aku."

"Ka—"

"Aku tahu apa yang kamu khawatirin, Ndu. Tapi please percaya sama aku."

Rindu tak segera merespons ucapan pria itu. Ia hanya menatap Naka dengan sorot tak biasa sambil memikirkan hal-hal yang mulai membuatnya sedikit ketakutan.

"Ka, aku nggak bisa."

"Nggak bisa apa?"

"Kasih izin kamu bawa Lea ke sana." Rindu melihat tangannya yang mulai diraih Naka, merasakan genggaman erat di sana yang terasa menenangkan "Ka, kamu tahu kan, masalah kita di masa lalu bukan cuma ekonomi, tapi—"

Tak sampai rampung ucapan itu, Rindu terkejut dengan gerakan cepat Naka membungkam bibirnya dengan sebuah ciuman tanpa lumatan. Ciuman yang bertahan cukup lama sebelum terlepas tanpa pergerakan sedikit pun.

"Aku tahu," kata Naka sambil mengusap bibir Rindu dengan ibu jarinya sebelum menjauhkan wajah. "Tapi aku tetap mau bawa Lea ke sana, mau nunjukin ke mereka kalau ada darah daging aku yang selama ini hidup jauh. Darah daging yang bikin aku nyaris gila waktu cari-cari keberadaannya."

"Naka, aku cuma takut." Rindu masih merasakan genggaman tangan besar Naka saat bicara. "Maksud aku, apa nggak cukup kamu aja yang tahu? Aku nggak akan batasin pertemuan kamu sama Lea, nggak akan larang kamu mau ajak Lea main ke mana pun karena aku yakin kamu masih Naka yang dulu, yang bisa aku percaya."

Tersenyum melihat raut Naka yang tampak berubah, Rindu mengusap pipi pria itu sebentar dengan senyum tipis yang bertahan di wajah.

"Kamu ayah terbaik buat Lea. Lea cuma butuh sosok kamu, Ka. Dia punya kakek dan nenek, punya tante yang sayang sama dia, punya Om yang beberapa kali gantiin sosok kamu selama nggak ada. Lea punya keluarga yang lengkap dan dia nggak kekurangan kasih sayang dari keluarganya, apalagi setelah ketemu kamu." Rindu merasakan tangannya terangkat, lalu berhenti di depan bibir Naka sebelum merasakan kecupan bertubi di sana. "Aku minta maaf karena pisahin kalian. Itu bakal jadi penyesalan aku seumur hidup, Ka. Maaf."

"Apa kepergian kamu ada hubungannya sama keluarga aku, Ndu?"

Rindu bersyukur masih bisa tersenyum sambil menggeleng kecil. "Itu bener-bener cuma keegoisan aku. Bahkan saat kita ketemu lagi aku pasrah kalau kamu bakal benci banget sama aku, Ka. Aku bener-bener minta maaf."

"Aku juga maunya kayak gitu. Aku mau benci kamu sampai bener-bener benci buat lihat wajah kamu, tapi nggak bisa, Ndu." Naka memilih turun dari stool, berdiri di hadapan Rindu setelah memutar sedikit tempat duduk yang dipakai wanita itu agar mereka saling berhadapan. "Kasih tahu aku gimana caranya benci banget sama kamu, benci yang nggak mau ketemu setelah aku tahu kamu di mana."

Rindu belum mengatakan apa-apa, ia masih menatap wajah Naka dan merasakan tangan pria itu mulai merapikan rambutnya ke belakang telinga.

"Gimana caranya, Ndu?" Naka menunduk, mendaratkan satu kecupan di kening wanita itu. "Benci sama orang yang ternyata masih sombong nguasain hati sama kepala aku?"

"Naka ...." Rindu refleks terpejam merasakan sapuan hangat napas Naka menerpa pipi hingga telinga.

"Aku kangen kamu, Ndu."

Dan Rindu tak tahan lagi dengan segala kata-kata Naka serta godaan bibir pria itu di kulit wajahnya. Jadi, saat ucapan terakhir Naka sampai ke telinga, Rindu memilih menarik tengkuk Naka, mempertemukan bibir mereka dan memulai ciuman yang langsung terbalas dengan tak kalah gila seperti apa yang ia lakukan.

Ciuman itu berlangsung lama, kian panas dan membara. Menciptakan decapan kasar dalam ruangan hingga tak sadar membawa keduanya ke sofa panjang yang ada di ruangan. Rindu menahan desah saat tangan Naka meremas salah satu payudaranya dari luar kemeja yang dikenakan, mencium rakus mulutnya hingga turun ke leher sebelum mendesah kecewa karena semua pergerakan Naka berhenti begitu saja.

"Ndu?"

"Hmmm."

Rindu menahan napas saat sadar posisinya sudah terbaring di atas sofa sedangkan Naka yang juga sadar dengan keadaan intim itu sedang sibuk mengatur napas di atasnya.

"Ndu, aku ... aku," ucap Naka ragu sambil menjatuhkan wajah di dada bagian atas milik Rindu. "Aku mau nikahin kamu lagi."

Rindu mengerjap terkejut. "Naka?" Ia membawa wajah pria itu agar mereka saling bertatapan.

"Ayo nikah lagi, Ndu. Aku kepingin kayak dulu. Aku kangen masakan kamu, kangen peluk kamu waktu tidur, kangen kamu marah-marah kalau aku lupa masukin baju kotor ke dalam keranjang, aku kangen—"

Ucapan Naka terpotong lagi karena Rindu kembali menciumnya. Namun, kali ini Naka menyudahi tindakan itu sepihak.

"Mau kan, nikah lagi sama aku?" Naka tahu ada keraguan di mata Rindu. "Ndu, jawab dulu."

"Aku nggak tahu."

Mendengar itu Naka terdiam sebentar sebelum menjatuhkan tatapan pada bibir basah Rindu. "Jangan salahin aku kalau kebablasan, ya," ancamnya kembali memulai ciuman lebih dalam dan brutal.

Dan mereka berdua sadar apa resiko jika berani melewati batasan.

______________

Gue ngeri Lea banguuuun wkwkwk.

Duh, kalian ke penghulu dulu deh baru main bablas-bablasan hahaha.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top