2. Memilih Resign.
Setelah berseru terima kasih sambil turun dari bus antar jemput yang disediakan perusahaan, Rindu membawa langkahnya menuju gang sempit yang diapit dua kios pinggir jalan. Hanya butuh waktu kurang dari dua menit, wanita dengan jaket jin biru dipadu celana bahan hitam itu sudah bisa melihat bangunan sederhana yang memiliki halaman cukup luas di depannya.
Dua pohon mangga besar di sana memberi kesan teduh pada rumah yang sudah delapan tahun ini dihuni keluarganya. Lalu di salah satu batang pohon mangga berusia puluhan tahun tersebut, ada ayunan beralas ban mobil yang masih bergerak-gerak. Sepertinya benda itu baru selesai digunakan. Sambil membuka pintu pagar setinggi dada yang beberapa bagiannya sudah dilapisi karat, Rindu tersenyum melihat seorang gadis kecil duduk sendirian di beranda rumah beratap asbes dan tiang kayu. Gadis itu tertunduk serius sambil memegang ranting kecil untuk mencongkel tanah basah di dekat kakinya.
Mungkin bagi Naura dan beberapa wanita di luar sana, terdengar aneh saat ia bercerita jika lelahnya terasa luruh hanya dengan melihat sang buah hati di depan mata. Tetapi itulah yang Rindu rasakan saat ini. Mungkin bukan lelah tubuh yang hilang melainkan lelah hati yang berganti kebahagiaan hingga mengabaikan apa pun yang sedang dirasakan. Dan senyum Rindu makin mengembang melihat rambut panjang anaknya dikepang rapi menjadi dua bagian.
"Lea?"
Gadis pemilik nama lengkap Qiraam Falea Nawasena itu refleks mendongak. Lantas tersenyum menyambut sang ibu yang berjalan menghampiri sebelum menemaninya duduk di teras rumah.
"Buna nggak lembur?" tanyanya riang.
Rindu menggeleng. Memegang sebentar rambut sang anak yang lebih akrab dipanggil Lea. "Siapa yang kepangin rambutnya?"
"Mbak Una." Lea membuang ranting di tangan, lalu menggeser duduknya menjadi berhadapan dengan sang ibu. "Buna kenal temen Lea yang namanya Sri, nggak?"
Kening Rindu mengernyit saat mulai memikirkan nama anak yang baru saja disebutkan. Ia mengenal beberapa teman Lea, tapi yang satu ini sepertinya jarang terdengar.
"Buna nggak inget. Emangnya kenapa?"
"Itu loh, Bun, yang suka dipanggil Cici."
"Oh, Cici yang kemarin ulang tahun?"
Lea mengangguk antusias saat wanita dewasa yang sedang membuka resleting jaket di depannya ini berhasil mengingat salah satu teman sekolahnya.
"Kenapa dia?" Rindu kini beralih membuka sepatunya.
"Buna tahu kan, kalau ayahnya Sri udah meninggal."
Rindu mengangguk pendek meski matanya mulai melirik waspada ke arah gadis kecil yang hari ini memakai dress rumahan berwarna kuning pucat.
"Tadi pagi dia cerita kalau mamahnya udah nikah lagi, terus sekarang dia punya ayah, Bun." Suara Lea terdengar girang, seperti mendapat kabar baru saja dibelikan mainan. "Tadi pulang sekolah Sri dijemput ayahnya yang kerjanya kayak Abi Reno. Pakai jaket hijau gitu."
Sebenarnya Rindu ingin tersenyum menanggapi cerita random sang anak, tapi yang tercetak di wajah malah ringisan kecil memprihatinkan.
"Buna kapan nikah? Lea mau punya ayah juga, kalau bisa yang kerjanya kayak Abi Reno biar bisa jemput Lea pulang sekolah."
Mati kutu.
Itulah yang selalu Rindu alami tiap kali Lea meminta seorang ayah padanya. Tidak ada jawaban apa pun yang terlintas di kepala saat gadis berusia delapan tahun tersebut dengan enteng menyinggung sosok pria yang memang tidak pernah ada dalam rumah. Awalnya Rindu sempat bingung, Lea tidak pernah membicarakan ini sebelumnya. Namun, sejak dua bulan lalu bocah yang duduk di kelas dua sekolah dasar itu menginginkan sosok ayah di tengah-tengah mereka. Hal itu sama persis seperti menginginkan permen di barisan rak Alfamard.
Bahkan mirisnya saat Lea begitu menginginkan seorang ayah, malamnya gadis itu pasti mengalami demam tinggi. Membuat satu rumah panik karena Lea kerap mengalami kejang jika sedang demam. Keesokan harinya masih sama, Lea masih merajuk meminta ayah yang tidak bisa Rindu hadirkan sosoknya.
Lagi pula mau bagaimana?
Hal itu tidak semudah membeli susu kotak di dalam freezer Alfamard yang bisa ia bawa pulang setelah melakukan pembayaran. Meski merasa mencelos tiap kali mengingat kejadian itu, Rindu masih mampu memainkan raut tenang saat Lea kembali mengangkat topik yang sama.
"Le, kok, angkot Pakde udah ada. Tumben?" Rindu alihkan pembicaraan dengan menunjuk angkot sang ayah yang sudah terparkir di bawah pohon mangga.
Lea ikut melihat angkot berwarna merah biru milik kakeknya. "Udah dari siang, Bun. Tadi pulang langsung dikerikin sama Bude. Katanya masuk angin."
Ungkapan itu menghilangkan perasaan waspada yang tadi membayangi Rindu. Ia bangun setelah melepas jaket, sepatu, dan merapikan id card ke dalam tasnya.
"Buna mau masuk rumah. Lea mau ikut?"
Bocah yang memiliki kulit seputih susu itu menggeleng. "Lea mau main ayunan lagi," katanya sambil menunjuk ayunan yang sengaja dibuat untuk dirinya.
Rindu mengangguk saja sebelum beranjak menuju pintu rumah yang beberapa bagiannya ditempeli stiker kartun oleh sang anak. Ia tak perlu repot mengetuk saat benda berbahan kayu tersebut sudah terbuka lebar. Kemudian, saat masuk dirinya sudah disambut ruang tengah dengan tiga sofa berbeda ukuran. Memperlihatkan sang ayah yang sedang berbaring tenang di sana sebelum terusik karena kedatangannya.
"Udah pulang, Ndu?"
"Udah. Bapak sakit, ya?"
Pria yang usianya sudah memasuki angka 60 tahun itu menggeleng santai. "Cuma masuk angin. Udah ke puskesmas tadi," jelasnya sambil menggeser bokong agar sisi kosong di sofa usangnya bisa ditempati sang anak.
"Ibu mana?"
"Lagi beli sayur."
"Bapak mau bubur, nggak? Biar nanti aku chat Aruna buat beli bubur di jalan. Anaknya belum pulang, kan?"
Wawan—nama ayahnya Rindu—memilih menggeleng lagi. "Nggak usah," balasnya sambil memperhatikan anaknya. "Ndu, Bapak denger tempat kerja kamu lagi ada pengurangan karyawan, ya? Kemarin Pak RT cerita anaknya di PHK."
Rindu mengangguk. Sebenarnya ia memang ingin menceritakan hal ini pada sang ayah, tapi melihat kondisi pria tua yang sehari-harinya masih menarik angkot untuk membantu keperluan rumah dan ongkos kuliah si bungsu, sepertinya kurang tepat jika ia ceritakan masalah itu sekarang.
"Kamu kena, Ndu?"
"Nggak ... maksudnya belum, Pak." Rindu meringis tipis. Sepertinya lebih baik ia ceritakan saja. "Pak, pihak perusahaan mau ngadain PHK besar-besaran. Tadi siang aku dikasih surat, tapi bukan surat PHK." Tangannya merogoh surat yang tersimpan di dalam tas. "Ini surat mutasi ke Brebes. Menurut Bapak, gimana?"
"Loh, kenapa tanya bapak?" Wawan mengambil surat tersebut, membuka dan membacanya dari jarak sekitar 60 sentimeter. "Kamunya mau nggak dipindah ke sana?"
Tidak ada jawaban dan Wawan tahu maksud putrinya.
"Nggak usahlah. Cari kerja di sini aja kalau mau," imbuhnya tenang sambil memberikan surat itu pada anaknya.
"Tapi kalau aku nggak ambil, risikonya di PHK."
"Kalau kamu nggak ambil tawaran ini terpaksa pihak perusahaan mutus masa kerja kamu, Ndu. Jadi pikirin baik-baik sebelum ambil keputusan. Kalau kamu khawatirin gaji sama tempat tinggal, itu nggak perlu. Karyawan mutasi dari sini dapat fasilitas asrama, kalau untuk gaji hitungannya tetap sama."
"Kalau misal saya nolak, gimana sama hak-hak saya selama delapan tahun kerja, Pak."
"Akan dibayar oleh perusahaan, nggak usah khawatir."
Begitu bunyi percakapan singkatnya dengan Pak Ari saat Rindu kembali dipanggil ke kantor perihal 'surat cinta' yang tadi siang ia terima. Besok Rindu harus memutuskan, jika mau dimutasi Senin depan ia sudah berangkat ke Berebes. Kalau menolak, maka besok adalah hari terakhirnya bekerja.
"Ada uang pesangon kalau aku milih nggak berangkat, Pak. Mungkin bisa buat renovasi rumah."
"Ssssst ...!" Wawan tempelkan jari telunjuknya di depan bibir saat berdesis memperingati, lalu menyorot sang putri dengan pendar bijaksana. "Jangan keras-keras kalau ngomongin duit, nanti didengar ibu kamu," sambungnya sambil terkekeh bersama Rindu yang ikut menanggapinya.
"Kalau kamu dapat uang pesangon jangan bilang-bilang sama Ibu. Mending ditabungin buat sekolah Lea, bilang aja perusahaan cuma kasih kompensasi sedikit."
Rindu mengangguk sambil tersenyum. "Jadi gimana, Pak? Tawaran ke Berebes nggak usah diambil?"
"Bapak terserah kamu, Ndu. Tapi kalau kamu setengah hati mending jangan. Di sini banyak tempat kerja kalau kamu mau cari."
Ini yang membuat Rindu senang jika mengajak ayahnya bicara. Pria dengan uban di kepala yang memiliki tiga cucu itu tidak pernah memaksakan keputusannya.
"Ya udah, kalau gitu aku mau mandi dulu, Pak."
Baru saja bangun dari sofa, suara berisik dari dua orang di luar rumah mulai terdengar ke telinga. Tanpa mencari tahu pun Rindu hafal siapa pemilik suara-suara familiar itu.
"Mbak Rindu, dengerin gue dulu!"
Gadis yang menjadi anak bungsu dari pasangan suami istri Wawan dan Sani itu memanggil Rindu diiringi suara tawa geli yang ditahan-tahan. Aruna panggilannya, gadis yang tahun ini memasuki semester empat di perguruan tinggi mulai menampakan wujudnya dari arah halaman rumah.
"Mbak, Si Lea lucu banget, dah. Gue kan, pulang naik grab. Terus dia ngomong gini. Mbak Una, nanti Lea mau punya ayah tukang ojek online. Biar keliatan keren," celoteh Aruna saat sampai di hadapan Rindu. "Aduh, keponakan gue kasihan banget, sih. Cita-citanya kepingin punya ayah tukang ojek."
Sambil meringis mendengar cerita Aruna, Rindu memilih beranjak meninggalkan sang adik yang masih belum puas menertawakan sikap random putri semata wayangnya.
***
Hari ini hari terakhirnya.
Rindu tersenyum melihat kumpulan teman-temannya yang menunggu di depan gedung sewing. Sambil membenarkan tali tas di bahu, ia hampiri para wanita yang mulai besok mungkin akan sulit diajak bertatap muka.
"Rindu!" Salah satu wanita di sana memekik melihat kedatangan Rindu.
"Heh, Janda Kecil! Lu serius kena PHK. Aaaaaah, kok, bisa dapetnya duluan banget. Gue beneran kaget, loh!" Mbak Awi mengambil langkah lebih dulu, memeluk tubuh wanita yang sudah ia anggap seperti anak sendiri.
"Ndu, serius ini?"
Rindu menoleh saat berhasil melepaskan pelukan Mbak Awi yang begitu erat. "Iya. Bukan prank. Ini buktinya," jawabnya sambil memperlihatkan id card yang tidak lagi terdapat barcode absensi. "Besok udah nggak bisa masuk sini lagi, Mbak."
"Tapi pesangon aman, kan?" tanya Mbak Niken yang baru tiga tahun bekerja di perusahaan itu.
"Aman aman!" Rindu menyahut santai. "Saran aku, kalau nanti gosip PHK nggak dapet pesangon makin gencer. Terus kalian ditawarin suruh ngundurin diri sendiri sama diiming-imingi pesangon, mending tahan aja, ya."
"Ih, gue demen nih, gosip begini. Lu dapet info dari Naura, ya?" Mbak Awi kembali menimbrung.
Rindu mengangguk ragu sambil berbisik agar mereka tak berisik hingga menarik perhatian orang-orang di sekitarnya. "Jangan takut, gosip nggak dapet pesangon cuma buatan staff biar karyawan pilih ngundurin diri."
"Wah, ada licik-liciknya juga, ya, orang Cina, tuh."
"Mbak Awi, bos kita orang Korea bukan Cina." Niken membenarkan.
"Halah! Sama ajalah, mukanya cakep, matanya sipit, kulitnya putih!" balas Mbak Awi suka-suka.
"Mungkin bukan licik, Mbak. Mereka kemarin ngalamin kerugian waktu pandemi corona. Jadi, sekarang lagi ngatur gimana caranya balik modal."
"Hmmm, gue paham-paham!"
Wanita yang berbadan gemuk ikut menanggapi obrolan itu sebelum bergerak memeluk Rindu. Menepuk bahunya pelan, lalu para teman-temannya yang ada di sana ikut bergabung dan mengusap-usap punggung Rindu.
"Jangan kayak gini, dong." Rindu mencoba membebaskan diri, ia menunduk menatap ujung sepatu demi menyembunyikan perasaan sedih mengingat besok sudah tak seperti ini lagi.
"Gue masih nggak nyangka, Ndu. Lu kan, anaknya rajin banget. Kenapa kena PHK duluan?"
Rindu mengusap matanya yang mulai berair. Ia memang tidak bercerita tentang surat mutasi kemarin pada teman-temannya. Hal itu dilakukan demi menjaga amanah Pak Ari yang tidak ingin kabar itu bocor ke kalangan karyawan lebih dulu.
"Nggak tahu, Mbak. Mungkin rezekinya sampai sini aja." Rindu makin tidak kuasa saat Mbak Awi mulai menepuk-nepuk bahunya pelan.
Bukan hanya pekerjaan yang sudah delapan tahun ini harus ia tinggalkan. Tetapi tentang hubungan dan tali persaudaraan yang terjalin di dalamnya. Mungkin tak mustahil untuk mereka meluangkan waktu dan menjanjikan bertemu di satu tempat. Hanya saja jika sudah tak bersama, akan sangat jarang waktu yang mereka luangkan untuk melakukan pertemuan biasa.
"Gue doain semoga lu dapet kerjaan yang lebih baik setelah keluar dari sini. Ketemu sama orang-orang baik, ya. Gue tahu lu anaknya nggak banyak omong, tapi baik banget. Gue udah anggap anak, Ndu. Gue juga berharap lu dapet suami yang baik—"
"Tajir juga. Baik kalau nggak mau cari duit percuma, Ndu!" Salah satu wanita ikut menimbrung.
Rindu tersenyum kecil. "Makasih, Mbak."
Enam wanita yang sudah bersiap pulang itu malah kembali berpelukan. Mengantarkan satu sahabat mereka yang hari ini memutus kerja sama dengan perusahaan yang menjadi tempat pertemuan mereka.
Terkadang memang tak perlu ikatan darah untuk menganggap seseorang menjadi saudara.
***
Duduk di kursi bus yang sore ini terakhir ditumpanginya, Rindu tersenyum mendengar pesan suara dari nomor sang adik. Suara itu berasal dari putrinya. Sambil menghapus air mata yang sejak tadi terus berjatuhan, ia membalas pesan itu dengan suara yang semoga terdengar baik-baik saja.
"Hari ini Buna dapat bonus, Lea mau dibeliin apa?"
Menunggu beberapa detik, balasan dari Lea muncul dalam ruang chat. Alih-alih menelepon, Rindu lebih suka bertukar pesan suara dengan sang anak. Menurutnya jika sedang tak di rumah ia bisa memutar berkali-kali suara Lea yang memiliki intonasi cukup nyaring di telinga.
"Mau mixue, Bun."
"Udah, itu aja?"
"Mixuenya dua. Mbak Una mau katanya."
Rindu mendengkus geli. "Oke. Ada lagi, nggak? Dunkin' donuts mau? Buna sekalian mau beli obat di apotek buat Pakde."
"Iya mau, kata Mbak Una."
"Oke. Tunggu, ya, nanti sekitar jam tujuh Buna sampai rumah. Ini lagi kena macet."
"Oke." Gadis itu menimpali riang sebelum voice note baru menuysul. "Buna, nanti kalau lagi di jalan, sekalian cari ayah buat Lea, ya. Yang naik motor pakai jaket hijau pokoknya!"
Rindu tak berniat membalas. Ia malah meringis mendengar permintaan putrinya yang diiringi tawa keras dari Aruna. Rindu yakin adiknya itu sedang duduk di samping Lea sambil tertawa hingga mengeluarkan air mata.
_________________________
Oh ya, takut kalian bingung kok Lea panggil kakek neneknya pake sebutan pakde bukde?
Di kampung ku, cucu ada yg panggilannya itu. Pakde (bapak gede alias kakek atau bisa juga anak2 yg sekedar tetangga panggil itu ke kakek2) semoga kalian paham lah ya maksud aku😭✌️🙏
Duuuh, Lea. Sabar Sayang, bentar lagi ketemu Ayah yang asli, ya. Gak usah nyari di jalan-jalan. Ayah kamu limited edition. Susah ditemukan sekalipun duplikatnya wkwkw.
Oke, deh. Besok kita ketemu Mas Duda🤏 Terima kasih sudah mau mampir.
See yaa~~~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top