18. Bernostalgia.
Naka menyesal.
Harusnya malam itu ia tak langsung pulang. Meskipun alasannya memang benar ingin bertemu Lea, tapi ia bisa memakai alasan untuk mengobrol sebentar dengan tuan rumah. Namun, Naka kadung terpancing amarah melihat kedekatan Agam dengan mantan ayah mertuanya. Hal itu membuat Naka merasa tak bisa lama-lama ada di antara mereka.
Hasilnya, ia pulang membawa rasa kesal hingga menjelang waktu tidur datang.
Lantas seolah semesta sedang bersekongkol mempermainkan emosinya, pagi itu Rindu yang terdengar ragu-ragu menjelaskan hal yang lebih menjengkelkan dari kejadian semalam. Wanita itu bilang Agam turut andil dalam keadaan gawat darurat yang dialami putrinya.
Naka bisa apa selain mendesah marah dan kecewa?
Rasanya memarahi Rindu pun bukan jalan yang tepat sebab ia hafal, Rindu memang wanita yang akan lupa segalanya jika sedang dalam keadaan seperti itu. Apalagi keadaan genting tersebut menyangkut anak mereka. Kendati demikian, setelah hari itu ia tetap merasa kesal dengan Rindu yang baru memberi kabar saat pagi datang.
Dua hari setelah rajin menjenguk Lea, hari ini Naka melihat Rindu sudah mulai aktif bekerja. Sialnya, bara emosi yang Naka pikir akan padam dengan sendirinya malah makin menyala melihat Rindu turun dari motor pria yang jelas-jelas bukan seorang jasa ojek online. Ia sudah curiga saat menilik pria yang membawa motor itu berseragam cokelat dan kecurigaannya tepat sasaran melihat sekilas Rindu tersenyum sambil memberikan helm pada pria tersebut.
Masih setia menatap wanita itu masuk ke toko roti, kening Naka mengernyit melihat Rindu kembali keluar sambil membawa amplop cokelat. Penasaran ke mana wanita itu pergi, Naka makin mengernyit mendapati Rindu menyebrang jalan menuju showroom-nya. Lantas dengan gerak impulsif, ia menghubungi satpam yang hari ini berjaga dan memerintahkannya menyuruh Rindu datang ke ruangannya.
Dan benar saja, tak butuh waktu lama. Sekitar 10 menit kemudian Naka mendengar ketukan pelan di pintu kantornya sebelum merasakan benda itu terbuka dengan gerak hati-hati.
Jujur saja, perasaan Naka masih jengkel. Jadi saat Rindu masuk dan berceloteh tentang apa yang wanita itu bawa, Naka masih setia memunggunginya. Kendati demikian, saat Rindu terdengar mulai kesal dengan sikapnya, kendali Naka lepas begitu saja. Ia tak bisa membenci wanita itu meskipun menginginkannya. Jadi, alih-alih membentak Rindu dengan kalimat sarkas, ia malah membawa wanita itu pada ciuman penuh kerinduan.
Dan Naka girang bukan main saat ciumannya terbalas.
Perlahan tapi pasti, tubuh Rindu terdorong di atas meja kerjanya. Bibir mereka tak henti membelit, saling menelusuri isi mulut hingga menciptakan decakan kasar dalam ruang sejuk tersebut.
Lantas saat merasa tangan Naka mulai masuk ke balik kaus, Rindu baru sadar kalau hal ini pasti akan berakhir pada hal yang tak sepatutnya. Jadi, ia hentikan dengan cepat jemari yang ingin menyentuh busa branya, lalu mendorong dada Naka agar menjauh dan berhenti meneruskan tindakannya.
Pria itu terkejut dan sedikit terengah. "Kenapa?" tanyanya enteng.
"Jangan gila di sini!" Rindu mulai duduk dengan posisi benar saat Naka bergerak mundur. Ia menurunkan kausnya yang sedikit terangkat hingga memperlihatkan bagian perutnya. "Aku harus balik ke toko," katanya merasa gugup saat Naka menumpu tangan di sisi tubuhnya sambil menatap ia terang-terangan.
"Aku bisa telepon Mbak Lufi, bilang sama dia kalau aku lagi bicarain orderan kue sama kamu."
"Jangan ngaco, ya!" ancam Rindu. Ia ingin turun dari meja, tapi Naka sepertinya tak membiarkan itu. "Aku udah bilang ke Mbak Lufi tentang kamu, nanti dia bisa punya pikiran aneh kalau aku di sini sama kamu."
Naka tersenyum. Wajahnya menunduk perlahan, menghidu aroma dari leher Rindu yang dulu sering dilakukan. "Bagus dong. Aku nggak usah bohong kalau gitu."
Decak kasar untuk menutupi perasaan tak asing saat hidung Naka menelusuri kulit lehernya meluncur dari bibir Rindu. "Ka, aku mau kerja."
Naka mendesah pasrah. Ia biarkan wanita itu turun dari meja sebelum mengganti posisi menyandarkan bokong pada benda berbahan kayu tersebut. Kemudian, menarik sebelah tangan Rindu saat tangan lain wanita itu bergerak mengusap leher dan bibir yang basah.
"Nanti pulang bareng."
Rindu berdeham ragu. Apa hubungannya sekarang sudah membaik, tapi kenapa perasaannya tiba-tiba saja was-was. Ia pusatkan atensi pada tangan yang sedang digenggam Naka sebelum tersenyum tipis merasakan momen masa lalu kembali terjadi.
"Aku mau balik kerja."
"Iya, tapi nanti pulang bareng aku."
"Kita berdua tahu, kalau kata kamu begitu pasti begitu, kan?"
Naka tertawa bahagia. Selama bertahun-tahun rasanya baru kali ini ia benar-benar tertawa hingga membuat hatinya terasa menghangat. Menarik tubuh Rindu masuk kepelukan, Naka letakkan dagu di bahu sempit wanita itu.
"Banyak hal yang mau aku bicarain, aku tanyain, aku protes, bahkan aku maki-maki. Tapi buat sekarang aku cuma mau peluk kamu sampe berjam-jam. Aku kangen banget, Ndu."
Ragu-ragu tangan Rindu terangkat. Mengusap punggung Naka pelan sambil tersenyum. "Udah, ya, aku mau balik kerja."
"Lima menit lagi."
"Mbak Lufi nanti keburu dateng." Rasanya seperti deja vu. Rindu pikir hal ini hanya akan ia rasakan bersama Lea saja, memberi pengertian saat dirinya tak boleh pergi. "Ka—"
"Kamu nggak kangen aku, Ndu?"
"Naka—"
"Ka, gue dapet ... bujug! Buset dua bocah ini, astagfirullah mata gue pagi-pagi ternodai."
Rindu refleks mendorong dada Naka saat pintu ruangan tiba-tiba terbuka lebar tanpa aba-aba. Menampilkan pria yang ia kenal sedang memutar badan setelah melihat adegan pelukannya dengan Naka. Sedangkan pria di hadapannya baru saja berdecak kasar sebelum melempar beberapa proposal di atas meja ke punggung Dafi yang sedikit berjingkrak kaget.
"Tangan lu gue potong, ya! Tuman banget nggak mau ketuk pintu!"
Dafi kembali menatap dua orang yang tadi refleks ia punggungi. Sambil menyengir, ia mengambil benda yang dilempar Naka padanya. "Sorry, Yang Mulya! Hamba tidak menyangka tindakan hamba pagi ini ternyata mengganggu dua sejoli yang sedang CLBK," ujarnya sambil terkikik geli sebelum menoleh pada Rindu yang terlihat salah tingkah. "Sorry, ya, Ndu. Mulai sekarang gue bakal gedor pintu dulu kalau masuk ruangan ini."
"Aku harus balik ke toko deh, kayaknya. Permisi ...." Rindu berujar cepat, melempar senyum risih pada Dafi sebelum melesat meninggalkan ruangan itu.
Setelah Rindu benar-benar keluar, suara tepuk tangan yang diciptakan Dafi terdengar nyaring dalam ruang kerja tersebut.
"Wih, wih, wih. Pertama pepet anaknya, kedua emaknya. Double kill banget gerakan duda satu ini."
"Mulut lu gue geplak asbak, ya! Pepet anaknya, pepet anaknya! Itu anak gue, tolol!"
Dafi malah tertawa puas. Ia memilih duduk di sofa sedangkan Naka masih bersandar di pinggir meja. Melihat Naka melipat tangan di dada, lalu menggunakan salah satu ibu jarinya menekan-nekan bibir, Dafi mencebik malas sambil membuang tatapan.
"Abis cipokan lu, ya," tebak Dafi sedikit mendengkus geli. "Kebayang sama gue, gimana tindakan duda yang kemarau bertahun-tahun dikasih lahan basah. Apa kagak grasak-grusuk tadi."
Naka ingin mendengkus, tapi mendengar ucapan pria selengean yang duduk di sofanya, ia malah tertawa geli sebelum beranjak dari tempat itu dan duduk di kursi kerjanya.
"Lu mau apa ke sini?" Naka mulai berujar serius dan kembali kesal dengan etika Dafi yang tak pernah dipakai saat ke kantornya. "Demi, ya, gue kadang kepingin melintir tangan lu yang suka selunang-selonong ke ruangan gue."
"Iya, iya. Besok gue biasain gebrak pintu lu sebelum masuk."
"Nggak digebrak juga, tolol!"
Dafi terkikik lagi. "Udahlah, itu nggak penting. Sekarang gue mau kasih tahu, gue dapet undangan GIIAS." Ia meletakkan undangan yang dibawa ke atas meja di hadapannya, lalu mencebik tipis melihat ekspresi bahagia Naka. "Bahagia kan, lu! Pagi-pagi udah cipokan sama janda, terus berhasil dapet undangan ini. Nyengir dah situ seharian kayak kuda."
Naka abaikan ucapan kurang ajar itu karena ia memilih bangun untuk membuka surat undangan yang diharapakan.
"Daf?"
"Apa?"
"Beruntung banget gue pagi ini, ya. Perasan tadi pagi rasanya mendung."
Dafi berdecih sambil bangun dari posisi nyamannya.
"Makan siang ini, beliin anak-anak apa pun yang mereka mau. Gue yang teraktir!"
"Nah, ini gue demen. Daripada sensian mulu kayak anak gadis dateng bulan, mending teraktir anak-anak biar didoain yang baik-baik."
"Bilang sama mereka, jangan yang mahal-mahal. Kalau bisa beli kue di toko Mbak Lufi. Makan siangnya sama roti aja."
"Dih, najis ya!"
Naka tertawa mendengar gerutuan itu sebelum mengusir Dafi dari ruangannya. Ia kembali membayangkan ciumannya yang terbalas baik oleh Rindu sebelum bergidik ngeri saat salah satu bagian tubuhnya mulai bereaksi lebih.
***
Rindu.
Di halte lagi, awas ya tiba-tiba ada di depan toko!
Membersit senyum geli saat membaca ulang pesan yang setengah jam lalu Rindu kirimkan, Naka menarik napas panjang sambil tersenyum menatap tangki motor yang sedang ia tunggangi. Lantas memegang dadanya dan membatin, ini benar-benar nyata, kan? Ciuman pagi tadi bukan cuma mimpi, kan? Rasanya Naka akan memarahi apa pun di depannya jika nanti ia terbangun sambil senyum-senyum sendirian.
"Naka?"
Pria itu menoleh, lalu membalas senyum wanita yang beberapa langkah lagi sampai padanya. Sesuai permintaan Rindu, ia menunggu di dekat halte seperti waktu itu. Katanya tak mau pegawai toko tahu kalau malam ini pulang bersamanya.
Memangnya kenapa, sih? Naka merasa tampan paripurna, sekarang ia tak lagi membawa roda dua yang sering mogok di jalan, bahkan ia bisa mengeluarkan mobil di garasi showroom jika mau. Namun, karena tak ingin membuat suasana keruh, ia turuti saja kemauan Rindu.
"Udah selesai kerjanya?"
Rindu mengangguk sambil menerima helm yang disodorkan Naka. "Kamu udah lama di sini?"
"Udah, dari 1000 tahun yang lalu. Sekarang kalau kata Tulus, udah waktunya pamit."
Rindu tertawa kecil. Momen ini persis seperti sembilan tahun lalu, ada saja jawaban absurd Naka yang membuat ia merasa geli sendiri.
"Udah!" seru Rindu lalu beranjak menuju jok belakang motor Naka sebelum terkejut merasakan tangannya ditarik.
Detik selanjutnya Rindu merasakan pinggangnya ditahan dan tak lama bibir mereka kembali bertemu meski sempat terganggu dengan suara helm yang saling berbenturan.
"Naka! Udah gila kali, ya! Di pinggir jalan juga!" desis Rindu merasa kesal saat pria itu malah terkekeh santai.
"Nanti di rumah nggak bisa cium kamu." Naka mulai menyalakan roda duanya. "Udah, ayo pulang! Nanti dianggap lagi mesum loh, berhenti di pinggir jalan remang-remang gini."
Sambil mendengkus kesal, Rindu mulai menempati jok belakang itu. Menyamankan posisi sebelum mendapati tangan Naka yang menarik tangannya agar memeluk perut pria itu.
"Jangan dilepas, ya."
Rindu tersenyum dan menautkan tangan di depan perut pria itu.
"Oke! Kita berangkat, ya?"
Rindu mengangguk. "Jangan ngebut!"
"Iya, kamu mau dilama-lamain, kan?"
"Nggak usah ngaco! Udah ayo jalanin motornya."
"Iya, Sayang."
Dan ucapan Naka disambut dengan suara deru mesin yang terdengar kasar. Menandakan roda dua itu mulai meninggalkan tempat yang sepertinya akan Naka dan Rindu ingat tiap kali melewatinya.
_______________
Leaaa, Ayah dan Buna kamu kayak abegeh aja ini! Wkwkwkw.
Dahlah biarkan DuJan ini bahagia sambil bernostalgia sebelum kita korek konflik masa lalu yang membuat keluarga mereka amburadul xixixix.
Komen yang banyak biar cepet update dong....
See you~~~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top