16. Sensi Banget.

Guys, tolong dikomen atuh biar aku gak males update tiap hari...

Saat pertemuan pertamanya dengan Rindu, Naka tak berharap banyak bisa mengulang hubungan yang dulu terjalin manis di antara mereka. Bahkan ia sempat berpikir mungkin wanita itu sudah menemukan pengganti dirinya yang sesuai dengan apa yang diidamkan. Jadi, rasanya cukup mendekati Lea saja agar hal tak menyenangkan tak akan terulang.

Namun, rasa penasaran yang tak terjawab saat ia bertanya pada putrinya terus mendesak. Alhasil Naka mengorek informasi Rindu dari mantan adik iparnya yang sejak kembali bertemu sepertinya memilih menghindari komunikasi. Entah karena tak nyaman atau karena Aruna memang tak beda jauh dengan Rindu yang tak banyak bicara jika bersama orang asing.

Orang asing?

Benar, Naka hanya orang asing saat sedang ada di rumah Rindu. Status ayah bagi Lea pun rasanya tak mengubah hal itu.

"Seinget Una sih, Mbak nggak pernah pacaran. Kalau deket sama lelaki mungkin ada walaupun nggak banyak. Tapi kalau Ibu sama Bapak tanya, Mbak paling bilang itu cuma temen doang. Sama kayak Mas Agam yang sampai sekarang cuma dianggap teman, tetangga, plus wali kelas Lea."

Setelah mendengar kalimat panjang yang meluncur dari gadis berusia 20 tahunan itu, Naka hanya mengangguk tanpa merespons dengan pertanyaan lain. Harusnya Naka tak perlu ikut campur dengan kehidupan Rindu sekarang karena wanita itu pun tak pernah bertanya apa-apa yang menyangkut hal pribadi tentangnya.

Selain menyindir masalah yang terjadi di masa lalu, mereka berdua paling hanya mengobrol tentang pertumbuhan Lea dan sekolah gadis kecil itu. Semua sudah tak lagi tentang apa yang mereka rasa karena pertemuan itu sepertinya ditakdirkan untuk membuat Lea merasakan sosok ayah yang sebenarnya.

Namun, Naka selalu terusik jika mendengar kedekatan Rindu dengan laki-laki bernama Agam. Apalagi setelah sang putri menceritakan kalau pria itu pernah menawari memanggil dengan sebutan ayah.

"Cih, ayah apa? Ayah gadungan!" batin Naka merasa kesal jika mengingat obrolan yang terjadi antara ia dan anaknya saat itu.

Naka yakin hanya merasa iri dengan kedekatan Lea dan Agam yang sudah terjalin jauh sebelum ia bertemu anaknya. Mulai jengkel dengan obrolan Lea tentang kebaikan Agam selama ini, Naka memilih bangun dari kursi kerjanya sambil mendesah kasar. Berdiri di depan jendela untuk menatap toko roti. Dan sepertinya Naka mendapat takdir bagus karena melihat Rindu baru saja keluar dari sana.

Wanita dengan cepol asal-asalan itu berjalan sendirian menuju rumah makan Padang di samping toko. Masuk ke sana sebelum lima belas menit kemudian keluar dengan kantung plastik berwarna merah yang cukup besar. Naka masih setia pada posisinya, menatap Rindu hingga wanita itu kembali masuk ke toko roti dan mengundang senyum tipis muncul di wajahnya.

Mengeluarkan ponsel dari saku celana, niat Naka ingin mengirim pesan singkat menanyakan kabar Lea yang sudah lima hari ini tak ia kunjungi. Berharap ada balasan dari wanita itu yang bisa membangun obrolan panjang di antara mereka. Namun, sudah setengah jam pesan itu terkirim, Naka tak mendapat balasan apa pun. Bahkan setelah pesan yang tersebut sudah dibaca oleh si penerima.

Hari ini adalah hari pertama Naka ada di kantor setelah lima hari sibuk mengurus pameran mobil yang diadakan di Jakarta pusat. Ia juga harus bolak-balik ke showroom milik sang ayah untuk membicarakan satu hingga dua hal terkait pameran. Meskipun kegiatan itu sudah biasa, tapi kali ini ada yang sedikit berbeda. Terkadang pikiran Naka tiba-tiba tertuju pada putri semata wayangnya, menciptakan sunggingan senyum tipis mengingat-ingat suara berisik Lea sebelum senyumnya makin melebar kala bayangan itu merembet ke wanita yang dipanggil Buna oleh anaknya.

Jika sudah seperti itu, Naka tak akan fokus dengan apa pun.

****

Rindu masih memikirkan balasan apa yang tepat untuk pesan Naka yang masuk lima menit lalu. Namun, baru saja mengetik sesuatu dalam roomchatnya bersama Naka, seorang teman memanggil dari arah dapur toko hingga membuatnya kembali mengantongi ponsel dan beranjak cepat menghampiri orang tersebut.

"Makan siang bareng, yuk! Mbak Lufi bawa cumi saus Padang sama kari ayam." Ternyata Dilla yang memanggil. "Lu lagi teleponan, ya?"

Rindu menggeleng. "Tadi nasi Padang-nya aku letakin di dekat meja finishing."

"Iya, udah gue ambil. Makanya gue nyari lu, kok, nasinya ada, orangnya nggak ada. Gue kira nyangkut di rumah Padang."

Rindu hanya mendengkus saja mendengar ucapan Dilla, lalu berjalan menuju dapur yang tadi dibicarakan. Di sana hampir semua pegawai sudah berkumpul. Meja yang menjadi tempat loyang-loyang kue kini diisi dengan beberapa menu makan siang yang tadi Dilla sebutkan.

"Ada acara, ya?" bisik Rindu.

"Bukan, kayaknya Mbak Lufi lagi dapet orderan yang untungnya lumayan."

Rindu mengangguk kecil saja. Selama acara makan siang berlangsung, celoteh dan obrolan random tak pernah surut di ruangan paling rahasia dalam toko itu. Bahkan setelah selesai pun masih ada beberapa dari pegawai yang asyik berbincang dengan pegawai lainnya.

Berbeda dengan Rindu, saat jam kerjanya dimulai ia kembali fokus di balik etalase. Merapikan beberapa peralatan di sana sambil melayani pengunjung yang mulai berdatangan. Hingga tak sadar kegiatan yang tadi sempat tertunda benar-benar ia lupakan.

Benar-benar lupa sampai jam kerjanya selesai.

Keluar dari toko sambil memeriksa ponsel yang tak sempat ia buka lagi, Rindu baru ingat dengan pesan Naka yang tadi siang berniat ia balas. Lantas saat membuka ruang obrolan itu, pesan baru dari pria yang sama kembali masuk.

Naka.
Pulang jam berapa?

Rindu.
Biasa jam enam.

Naka.
Berarti udah keluar, kan?

Rindu.
Udah, baru aja. Kenapa?

Naka.
Aku di halte.

Rindu.
Maksudnya?

Naka.
Masa kalah sama bocah SMP yang gak kudu blak-blakan dikodein udah pasti paham.

Rindu.
Aku emang gak paham. Kamu di halte ngapain? Mau ngajak aku pulang bareng?

Naka.
Y.

Rindu terkekeh membaca balasan Naka. Kakinya yang sudah sampai pada trotoar depan toko mulai berhenti. Ia menoleh ke arah kiri, lalu menajamkan penglihatan ke tempat yang biasa dipakai orang menunggu transportasi umum.

Rindu.
Tapi aku baru aja pesen ojol.

Naka.
Cancel.

Rindu.
Gak bisa, gak enak nanti sama abangnya. Udah deket juga kayaknya.

Naka.
Ya udah kamu mau jalan ke halte atau aku ke sana. Nanti aku yang cancel orderan kamu.

"Ndu?"

Terkejut mendengar panggilan itu, Rindu yang masih mencerna pesan terakhir Naka menoleh pada wanita yang memanggil sambil menepuk bahunya.

"Pulang sama apa?" Dilla yang sudah memakai helm lengkap dengan jaket kulit berwarna hitam memulai obrolannya.

"Oh, aku pesen ojol."

Dilla mengangguk pendek. "Ya udah, gue duluan, ya."

"Hmmm, hati-hati, Dill."

"Ya, lu juga!" balas Dilla sebelum melenggang menuju parkiran motor yang ada di sisi toko.

Sementara itu, Rindu yang khawatir Naka nekat menghampirinya ke toko mulai berjalan ke arah halte bus dengan langkah yang lumayan cepat. Tak butuh waktu lama untuk Rindu melihat roda dua milik Naka di sisi jalan yang jaraknya lumayan jauh dari halte, lalu di samping kendaraan itu seorang pria bertubuh tinggi besar sedang menatap ponsel menyala hingga wajahnya yang tak begitu jelas karena kondisi langit yang makin menggelap samar-samar terlihat.

"Naka?"

Pria itu refleks menoleh. Naka sudah rapi dengan jaket jins berwarna biru gelap serta helm yang melindungi kepalanya.

"Udah di cancel ojolnya?" tanya Naka tanpa basa-basi sambil mengantongi ponsel.

"Belum. Tapi aku tadi udah chat nunggu di dekat halte."

"Ya udah." Dengan santai Naka berikan satu helm pada Rindu.

"Ya udah apanya? Nanti kalau abang-abang ojolnya dateng gimana?"

"Kita tunggu biar ojolnya dateng dulu, Ndu. Bentar lagi, kan?" Naka masih memegang helm yang tak buru-buru Rindu terima. "Nih, pake ini dulu!"

Meski merasa bingung dan sedikit kesal dengan sikap Naka yang suka memaksa, Rindu tetap menuruti perintah tersebut sambil berjalan ke samping Naka. Tak lama setelahnya seorang pria baya dengan jaket hijau berhenti di hadapan mereka.

"Atas Nama Rindu, kan, Mbak?"

"Oh, iya. Itu saya, Pak." Rindu menyahut sambil menoleh ke arah Naka yang sedang mengeluarkan dompet dari kantong celana.

"Berapa ongkosnya, Pak?"

Tukang ojek yang tadi bicara dengan Rindu kini memberi atensi pada Naka. "Eh ... dua puluh ribu, Mas."

Naka menyodorkan uang pecahan 100 ribu pada jasa ojek online yang tampak kebingungan. "Orderan Bapak yang ini saya ambil, ya. Ini ganti ongkosnya. Kembaliannya ambil aja."

"Ha ... jadi saya tetep dapet uangnya?" Pria yang usianya sekitar 40 tahunan itu mengambil uang yang disodorkan Naka, lalu melirik Rindu yang sedikit meringis.

"Iya."

"Oh, kalau begitu makasih banyak, Mas, Mbak." Dengan senyum semringah abang ojek online itu mengantongi uang yang sebenarnya sedikit mengejutkan. "Mbak, nanti jangan dikasih bintang tiga, ya."

Rindu tersenyum kecil. "Nanti saya kasih lima, ya, Pak."

Tukang ojek itu kian menyengir lebar. "Makasih banyak, Mbak. Kalau begitu saya undur diri dulu, mau lanjutin makan di warteg. Moga langgeng ya, Mas, Mbak. Permisi."

Setelah mendengar harapan dari tukang ojek yang diberi uang cuma-cuma itu, Naka dan Rindu kompak berdeham kasar hingga suara bising dari kendaraan yang baru saja meninggalkan mereka mulai hilang di telinga. Berganti dengan suasana hening dan canggung karena kebetulan tak ada kendaraan lain yang lewat di depan mereka.

"Pulang, kan?"

Tak berniat untuk menjawab, Naka memilih berjalan menuju motor. Lantas melirik Rindu yang mengikutinya setelah dirinya benar-benar duduk di atas jok motor. Ia nyalakan mesin roda dua itu dan tak lama merasakan tangan Rindu yang ragu-ragu berpegangan dibahunya untuk menempati jok belakang.

"Udah?"

"Hmmm," gumam Rindu sambil mengangguk.

Hanya butuh waktu beberapa detik, perlahan kuda besi itu bergerak dan membawa mereka pergi dari tempat tersebut. Tak ada obrolan yang terjadi setelahnya. Seperti biasa, Rindu lebih tertarik memandangi langit dan menonton lalu lalang kendaraan lain, sedangkan Naka kadang memilih tersenyum entah karena hal apa. Mungkin harapan tukang ojek yang sedikit mengusik hatinya atau karena ia kembali merasakan momen yang seakan menariknya ke waktu sembilan tahun lalu.

Sesekali ia melirik tangan Rindu yang setia bertumpu pada lutut, tubuhnya juga terasa jauh dari punggung hingga Naka sempat berpikir mungkin Rindu duduk di ujung jok belakang karena tak ingin tubuh mereka bersentuhan. Padahal dulu ... ah, terasa menyedihkan sekali jika harus membandingkan masa lalu dengan yang saat ini terjadi.

Tanpa obrolan dan sentuhan, mereka berdua sampai di rumah yang jadi tujuan. Motor Naka sudah berhenti tepat di bawah pohon mangga sebelum Rindu turun dan melepas helmnya. Kemudian, mereka memilih berjalan beriringan menuju teras yang terdapat beberapa orang di sana.

"Eh, udah pulang, Ndu?" Sani yang pertama kali menyapa.

"Iya, Bu."

"Eh, Nak Naka. Baru ke sini lagi, sibuk, ya?"

Naka tersenyum formal pada wanita yang tadi menyapa. Kemudian, atensinya sedikit terganggu dengan dua pria yang duduk berhadapan di pojok teras. Di sana mantan ayah mertuanya dengan pria yang selalu membuat jengkel sedang asyik bermain catur sebelum memberi perhatian pada kedatangan ia dan Rindu.

"Ndu, Ka. Pulang bareng, ya?"

"Iya, Pak." Naka yang menyahut santai saat pria tua yang menunda permainannya mulai bertanya. "Mau ketemu Lea, baru selesai sama kerjaan jadi baru sempet ke sini."

"Oh, iya iya. Duduk dulu sini, Ka."

"Iya, makasih, Pak."

"Lea di mana, Bu?"

Merasa dalam suasana yang tak nyaman saat Naka melihat keberadaan Agam bersama sang ayah, Rindu memilih membawa obrolannya ke arah yang pasti diharapkan Naka.

"Lea baru aja tidur. Tadi di sekolah habis vaksin, terus pulang ngaji sore bilang katanya tangannya sakit. Udah ibu kasih obat habis makan. Habis minum obat ke kamar, eh mau tidur ternyata," jelas Bu Sani sambil menatap Naka dan Rindu secara bergantian. "Mau ibu bangunin?"

"Nggak usah, Bu." Naka mulai menarik napas tak kentara, lalu menatap Rindu yang masih berdiri di sampingnya. "Aku pulang, ya, mungkin besok aja ketemu Lea-nya."

"Mau pulang?"

Naka mengangguk sambil menoleh pada dua pria yang kembali asyik bermain catur. "Pak, Naka pamit pulang."

Wawan langsung mendongak sebelum beranjak meninggalkan papan catur dan pria yang sengaja ia ajak menemaninya. "Eh, baru sampai, kan? Nggak ketemu Lea dulu?"

"Lea udah tidur dari habis Magrib, Pak." Bu Sani yang menyahuti pertanyaan suaminya.

"Oalah, iya tadi habis ngaji dia kayaknya rewel. Katanya bekas vaksinnya sakit."

"Iya, Pak. Saya mau pulang aja, besok mungkin balik lagi."

"Oh, ya udah hati-hati."

Setelah mengangguk dan menyalami dua orang dewasa di hadapannya, Naka kembali memberi atensi pada Rindu yang tak lama mengikuti ia berjalan sampai ke motor.

"Besok kalau demam mungkin Lea nggak sekolah." Rindu yang memulai saat raut Naka berubah jadi muram. Entah kenapa ia yakin itu bukan karena Lea yang hari ini tidur lebih awal.

"Kabarin aku kalau ada apa-apa."

Rindu mengangguk, lalu memperhatikan Naka yang kembali memakai helm setelah duduk di atas jok motor.

"Habis mandi, makan, mending temenin Lea tidur."

"Siapa?"

"Kamu lah," balas Naka sedikit menggerutu. Lantas melirik dua orang di depan teras rumah yang kembali pada kegiatan main catur.

Rindu mendengkus mendengar gerutuan itu. "Iya, aku juga nitanya begitu. Kamu hati-hati di jalan, ya."

Setelah mengangguk Naka mulai menyalakan mesin roda duanya, lalu meninggalkan pelataran rumah Rindu dengan perasaan yang sedikit kesal. Bukan karena tak bertemu sang anak melainkan karena pria yang tadi menyapa Rindu lewat tatapan dan senyum ramah masih betah ada di teras rumah.

Ck, sialan. Sok, manis banget jadi laki.

*******

Naka ngambek Mulu, heraannn...

Modelan duda sensi abis jemput janda🤣🤣

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top