14. Maaf Yang Sama.

Guysss, aku kan lagi usahain banget update tiap hari. Boleh gak minta apreasiasinya lewat vote dan komentar. 👉🤏 Aku tunggu, ya. Selamat membaca.



Saat masih di apartemen, Naka berkali-kali memeriksa tampilan pada setiap cermin yang ada di sana. Menelisik dengan saksama kemeja berwarna biru yang lengannya digulung dua lipatan, celana jins hitam yang membungkus kaki panjangnya, serta rambut yang hari ini memang sengaja ia biarkan sedikit berantakan agar terlihat lebih santai.

Namun, model rambut santai yang Naka pilih ternyata tak membuat hatinya merasa demikian. Lantas karena mulai ngeri pada diri sendiri yang terus bercermin dan sesekali menyemprotkan parfum berulang kali, akhirnya Naka putuskan pergi ke rumah Rindu sesegera mungkin.

Sudah sekitar satu jam Naka di sana, mengobrol dengan mantan ibu mertuanya karena kepala keluarga dalam rumah itu sedang bekerja menarik angkot seperti biasa.

"Oh, jadi sekarang kerjanya di showroom, ya?"

Kening Naka mulai mengernyit. Sebenarnya sejak wanita baya itu mulai bertanya tentang pekerjaan, ia sedikit heran dan menerka-nerka apa Rindu tak pernah menceritakan siapa dirinya selama ini? Mustahil wanita itu tak tahu jabatannya di showroom.

"Iya, Bu." Tapi Naka iyakan saja prasangka wanita tersebut. Ia sedang malas membahas pekerjaan.

"Oalah, gajinya lumayan pasti, ya. Sama kayak PNS gitu, nggak?"

Kening Naka makin mengernyit. "Eh ... nggak tau sih, Bu. Aku nggak tau gaji PNS soalnya."

"Ibu juga nggak tau, sih. Tapi kayaknya lumayan. Tuh, Pak Agam kan, guru PNS. Dia bisa punya rumah sendiri, kontrakan, motor, mobil juga punya."

Naka nyaris mencebik. Dalam hati mulai tak nyaman saat wanita di hadapannya ini berceloteh ke arah yang baginya tak penting sama sekali.

Gue lebih dari itu punyanya! batinnya menggerutu.

"Eh, tapi sekarang kamu juga punya mobil, ya? Apa itu mobil yang di showroom?"

"Iya, Bu. Mobil punya showroom." Naka tersenyum paksa sambil kembali membatin, Tapi mobil yang di showroom punya gue semua.

"Oh, punya showroom." Bu Sani mengangguk paham sebelum melihat sang anak muncul sambil mendorong pintu pagar. "Eh, tuh, Rindu udah pulang."

Naka refleks menoleh ke arah pintu yang kebetulan mempertontonkan halaman dan sebagian jalanan di depan rumah. Senyumnya terbit alami melihat wanita dengan sweater rajut dan celana jin hitam ketat berjalan terburu-buru. Mungkin Rindu sadar kalau kepulangannya sedikit terlambat mengingat ini sudah jam satu siang.

"Ndu, Naka udah sejam nunggu kamu."

"Eh ...." Rindu yang baru saja masuk ke rumah refleks menjatuhkan tatapan pada pria yang duduk di sofa. "Iya, maaf. Ternyata ada pesenan baru yang masuk jadi agak telat." Lalu berdeham demi menghilangkan rasa curiga, apa saja yang dua orang itu bicarakan selama menunggunya pulang. "Lea di mana, Bu?"

"Buna!"

Gadis kecil itu muncul dari kamar Aruna dengan tampilan rambut yang diikat begitu terampil. Berhias jepit kecil berbentuk bunga-bunga berwarna merah muda.

"Eh, udah siap, Sayang?"

Naka yang bertanya, niatnya sekalian memberi kode pada Rindu agar cepat membawanya pergi dari rumah itu juga dari pertanyaan-pertanyaan wanita yang sejak tadi mengajaknya bicara.

"Udah, dong! Buna juga udah pulang."

Rindu tersenyum. "Sebentar ya, Buna ganti kaus dulu tadi kotor kena tepung kue."

"Oke!" sahut Lea riang.

Butuh waktu sekitar lima belas menit menunggu Rindu keluar dari kamar, berganti dengan rok sebatas lutut dipadu kemeja lengan pendek yang memiliki kerutan kecil di lengan dan pinggangnya. Wanita itu masih mengikat rambutnya seperti pulang bekerja hanya saja wajahnya sedikit lebih segar setelah keluar dari kamar mandi beberapa waktu lalu.

Tanpa membuang waktu banyak, Naka membawa anak dan ibu itu melenggang menuju mobilnya yang terparkir di sisi jalan. Tentu setelah berpamitan singkat pada Bu Sani dan Aruna yang jika ia datang lebih banyak menghabiskan waktu di dalam kamar.

"Kalau dilihat-lihat kayak keluarga bahagia, ya, Bu?"

Bu Sani mengangguk menyetujui ungkapan Aruna sambil menatap putri keduanya yang melenggang menuju mobil hitam di sisi jalan.

"Kalau sekarang sih, keliatannya begitu. Waktu Lea bayi, mau beli susu aja Mbak mu nangis-nangis pinjam uang ke Mas Reno!"

Aruna menoleh. "Sesusah itu, ya, dulu?"

"Hmmm," gumam Bu Sani sambil mengangguk pendek. "Naka kerjanya nggak bener, dipecat mulu. Heran ibu juga."

Mengikuti sang ibu yang mulai masuk ke rumah, Aruna hanya mengangguk saja. Saat itu ia masih sangat kecil untuk mengerti masalah rumah tangga kakaknya.

"Ibu tadi tanya nggak Mas Naka kerja apa?"

"Kerja di showroom. Mobil yang dipake juga mobil showroom. Mendingan kakakmu sama Agam, ya? Mapan tampan punya banyak kontrakan juga. Enak uang bulanan tinggal nagih kontrakan."

Aruna meringis mendengar hal itu. "Udahlah nggak usah jodoh-jodohin Mbak Rindu, biar Mbak pilih sendiri kalau emang niat nikah lagi."

"Halah! Dulu tuh, dia yang pilih akhirnya malah acak-acakan. Mana terlanjur punya anak, susahnya double."

Aruna mendesah pasrah mendengar jawaban ibunya sebelum kembali ke kamar. Malas meladeni sang ibu jika diajak mengobrol masalah jodoh. Sementara itu, wanita yang dibicarakan sedang menatap pria di balik setir dengan perasaan sedikit gugup.

"Apa?" tanya Rindu yang baru selesai memakai sabuk pengamannya. Melihat tatapan malas Naka, ia berdeham sebelum melirik Lea sebentar yang duduk di sampingnya. "Kenapa, sih?" ulangnya setelah menatap Naka lagi.

"Sesuai aplikasi kan, Mbak?"

"Ha?"

"Iya, mau sesuai aplikasi atau sesuai mood saya?" balas Naka sambil mendengkus malas.

"Ayah kok, nanyanya kayak sopir greb?"

Sahutan dari bocah dalam mobil membuat Naka semakin kesal. Jelas bukan kesal pada putrinya, tapi pada wanita yang ikut duduk bersama Lea di kursi belakang.

"Kamu mau Lea duduk di depan?" tanya Rindu hati-hati. Ia rasanya hafal sikap Naka yang satu ini jika sudah mulai menyindir. "Atau aku yang duduk di depan?"

Kembali duduk dalam posisi yang benar sambil memegang setir, Naka menjawab setengah hati. "Terserah, pindah atau aku nggak akan jalanin mobilnya."

Mendengar itu Rindu meringis. Apa sulitnya sih, tinggal bilang ia harus duduk di kursi depan daripada harus memberi sindiran dan raut wajah yang tak bersahabat. Tadi saat mulai memasuki roda empat itu, Rindu memang sempat ragu ia harus menempati kursi yang mana. Namun, saat Lea dengan santai memasuki kursi belakang ia mengikuti saja sebelum suasana berubah suram melihat Naka menoleh pada dirinya.

"Lea mau di sini atau duduk temenin Ayah di depan?"

"Lea mau di sini aja."

Rindu mengangguk setelah mendapat jawaban putrinya. "Buna pindah ke depan, ya." Lalu saat gadis kecil itu bergumam, Rindu mulai turun dan berjalan mengitari mobil untuk duduk di samping Naka.

"Kamu tinggal bilang aja mau ditemenin nggak usah nyindir," gerutu Rindu sepelan mungkin setelah berhasil duduk di kursi depan.

"Lagian nggak peka, dikira sopir greb apa," balas Naka tak kalah menggerutu sambil melirik Lea yang mulai sibuk melilit rambut boneka kesayangannya.

Kereta besi itu mulai melaju meninggalkan sisi jalan, membawa tiga orang di dalamnya yang sama-sama memilih diam untuk beberapa menit ke depan hingga bocah yang duduk di belakang menghancurkan keheningan itu dengan celoteh riangnya.

"Kita mau makan di mana, Yah?"

Naka menatap sang putri dari cermin kecil di atas setir. "Kamu mau makan apa, Sayang?"

Lea tampak berpikir. "Lea mau makan di tempat yang ada sayur bayamnya."

Mendengar hal itu, Naka refleks melirik Rindu yang juga sedang menoleh padanya. Kemudian, mendengkus geli mengingat sesuatu.

"Kamu nggak bosen, Le?"

"Bosen apa, Yah?"

"Makan sayur bayam?"

Gadis kecil itu terlihat kebingungan. "Nggak. Kemarin Bude kan, nggak ada di rumah jadi nggak ada yang masakin sayur bayam. Mbak Una kan, nggak bisa masak."

Kekehan kecil Naka terdengar sebentar. "Maksud ayah, kamu nggak bosen dari dalam perut udah dikasih makan bayam terus," sindirnya sambil melirik Rindu yang baru saja mendengkus kecil sebelum melempar tatapan ke luar jendela. "Ayah aja sampai sekarang bosen kalau liat bayam."

"Ayah nggak suka sayur bayam?"

"Suka, cuma dulu pernah overdosis sama sayur bayam."

"Jadi, sekarang ada nggak rumah makan yang sediain menu sayur bayam!" timpal Rindu seraya menoleh pada pria yang mulai membicarakan sesuatu menjengkelkan di masa lalu. "Le, besok buna libur kerja. Kita besok aja ya makan sayur bayamnya, berdua aja di rumah. Buna yang masakin," sambungnya kali ini menoleh ke belakang.

"Oh, oke!"

Mendengar hal itu membuat Naka membersit geli. Ia melirik Rindu sebentar yang kembali melihat ke luar jendela sebelum menatap sang putri dari pantulan kaca spion dalam mobilnya. Tawa yang tadi nyaris keluar karena mendengar sahutan ketus Rindu, kini berubah jadi senyum kecil melihat dua wanita dalam mobilnya yang perlahan menghantarkan rasa hangat yang menggelitik hati.

Sementara itu, selama perjalanan yang tak Rindu ketahui ke mana tujuannya, ia sesekali melirik Naka yang fokus pada setir dan jalan raya. Melihat dengan jelas perubahan fisik pria itu sebelum merasa penasaran dengan tatto yang terlihat beberapa hari lalu. Sayangnya, ia tak bisa melihat itu karena Naka hanya menggulung dua lipatan kemeja yang menunjukkan pergelangan tangan beruratnya.

Namun, Rindu yakin ia tak salah lihat ada tatto huruf atau mungkin gambar yang malam itu terlihat tak begitu jelas. Mengingat tindakan Naka yang kadang impulsif dan susah dikendalikan, ia berpikir pria itu pasti melewati masa-masa sulit setelah ditinggalkan hingga melampiaskan rasa sakit itu dengan cara yang tak terduga.

Setengah jam berlalu, mobil itu terparkir di depan rumah makan yang halamannya banyak mobil mewah. Ketika melihat gaya bangunan serta desain berkelas di depan, sepertinya rumah makan itu bukan rumah makan yang ingin Rindu datangi saat berpikir mengajak pria itu makan siang bersama.

"Ka, makan di sini?"

Sambil membuka sabuk pengaman, Naka mengangguk. "Ini makanan Sunda, aku harap sih, mereka nyediaan sayur bayam," jawabnya santai tanpa nada ketus seperti tadi. "Lea masih mau makan sayur bayam, kan?"

"Di sini ada?" tanya gadis itu setelah membuka seat belt.

"Ayah nggak tahu, tapi nanti kita tanya, ya. Kalau nggak ada nggak apa-apa, kan?"

"Iya, nggak apa-apa."

Mendengar percakapan anak dan ayah itu, membuat Rindu tersenyum kecil. Suara Naka pasti berubah menjadi manis dan lembut saat bicara dengan Lea. Berbeda jauh saat dengannya yang selalu berapi-api dan memakai untaian kalimat kasar yang membuatnya dihantui sesal.

"Ini bener rumah makan sunda?"

"Bener." Naka menoleh pada Rindu yang masih memperhatikan rumah makan dua lantai tersebut. "Kamu yang ajak berarti kamu yang bayar, ya."

"Kamu yang pilih tempat berarti kamu yang bayar," balas Rindu tanpa menoleh pada pria yang tertawa geli. Lantas tanpa mengatakan apa-apa lagi, ia turun dari mobil untuk membantu Lea keluar dari kereta besi itu.

Sayur bayam yang sedang Lea idamkan tidak ada dalam daftar menu. Jadi, mereka hanya memesan yang disediakan restoran. Sebenarnya Rindu dan Lea hanya memesan sedikit makanan yang dirasa cukup membuat perut kenyang, tapi Naka memesan hampir semua yang ada dalam daftar menu. Hasilnya, meja persegi panjang yang mereka tempati penuh dengan piring-piring berisi menu makan siang yang waktunya sudah sangat terlewat.

"Ka, apa nggak kebanyakan?"

"Iya, Ayah ini makananya banyak banget."

Naka tersenyum kecil. "Habisin, ya."

Sebenarnya Naka sadar ini terlalu berlebihan, hanya saja ia merasa ingin membalas sesuatu karena dulu ia bahkan tak bisa membawa Rindu ke tempat makan yang diinginkan. Bukan tak bisa, lebih tepatnya wanita itu selalu mengutamakan hal penting. Katanya jangan terlalu sering membuang uang banyak hanya untuk makan malam berdua.

Sambil menikmati makanan yang tersedia di atas meja, Naka terus mendengarkan celoteh putrinya yang mengomentari rasa makanan di sana. Semua sesuai selera. Pun dengan Rindu yang entah sayang melihat banyak makanan atau memang lapar hingga memilih memakan apa pun yang tak dihabiskan Lea.

Setelah selesai membayar dengan harga yang membuat Rindu sedikit meringis, Naka membawa dua wanita itu ke tempat yang banyak permainan anak di dalamnya. Kini mereka sedang bersantai melihat Lea yang asyik melukis dalam kanvas bergambar karakter kartun sambil duduk di kursi tunggu yang terbuat dari besi. Bentuk kursi itu memanjang dan sudah jelas mereka duduk dengan menyisakan ruang yang mungkin cukup ditempati dua orang di tengah-tengahnya.

Ini yang Rindu takuti, saat Lea asyik dengan dunianya ia dan Naka justru terjebak dalam suasana suram yang seperti memaksa mereka mengingat masa lalu. Jadi, untuk menyingkirkan hal itu terjadi lebih lama, ia menoleh pada pria yang setia menatap anak mereka sambil meletakkan sebelah tangan pada sandaran kursi.

"Ka."

Naka bergumam tanpa mengalihkan tatapan sedikit pun.

"Kamu nggak apa-apa keluar lama gini? Maksudnya nggak ada di showroom."

"Showroom itu punya aku."

Rindu ingin sekali mendengkus mendengar jawaban sombong itu. "Iya, aku tahu. Maksudnya pegawai kamu gimana?"

"Apanya yang gimana?"

Kali ini Naka menoleh, menatap Rindu yang masih betah duduk di ujung sana. Rasanya ingin sekali menarik tangan Rindu agar mereka tak terlihat seperti dua orang asing yang sedang mengobrol basa-basi.

"Nggak gimana-gimana, sih." Rindu mulai malas, jadi ia sudahi obrolan itu dan kembali memperhatikan Lea.

"Nggak ada hal penting hari ini, jadi aku bisa ninggalin showroom."

Rindu kembali memberi atensi pada pria yang masih menatapnya. Lantas teringat hal yang tiba-tiba saja mengganggu pikiran.

"Tadi kamu ngobrol sama ibu, kan?"

Naka mengangguk masih menatap wanita yang sudah tak lagi berbasa-basi.

"Ngobrolin apa aja?" tanya Rindu sedikit penasaran.

"Nggak banyak, soalnya pas aku datang cuma ada Una sama Lea di rumah. Dua puluh menit sebelum kamu pulang aku baru ketemu ibu."

"Terus, kalian ngobrolin apa aja tadi?"

Naka mendengkus geli. "Kepo banget."

"Naka, kamu tahu kan, gimana sikap Ibu."

"Aku nggak ngobrolin apa-apa, cuma bahas gaji PNS lebih besar daripada orang yang punya showroom." Naka membersit saat Rindu terperangah tanpa mengeluarkan suara. "Eh, bukan. Maksud aku gaji pegawai showroom."

"Ibu mikir kamu kerja di showroom?"

Naka mengangguk, lalu berdecak kecil mengingat obrolan itu. "Guru Lea itu udah PNS, ya?"

"Siapa? Mas Agam?"

"Nggak tahu, aku lupa namanya," balas Naka sedikit kesal mendengar Rindu memanggil pria itu dengan embel-embel Mas. "Punya mantu PNS itu masih jadi sesuatu yang membanggakan ya, di kalangan ibu-ibu. Padahal ada banyak pekerjaan yang hitungan gajinya lebih besar dari pegawai sipil."

"Ibu mikirnya mungkin status PNS lebih menjamin."

"Nggak juga, tuh. Banyak PNS yang kena korupsi, pelecehan, bahkan sampai kasus obat-obatan. Jabatan mereka otomatis dicopot."

"Tapi nggak semuanya, kan?"

"Ya, sih, cuma oknum. Tapi kalau dikumpulin bisa satu kabupaten."

"Kok, jadi sinisin PNS gini, sih?"

"Suka-suka akulah mau sinisin siapa juga."

"Ck, nggak jelas."

"Ayah!"

Baru saja ingin membalas ucapan ketus Rindu, Naka dibuat menoleh dengan panggilan nyaring putrinya yang sedang mengangkat kanvas lukisan bergambar kartun Winnie the Pooh. Ia tersenyum dan melambai sebentar pada gadis itu.

"Kayaknya beberapa bulan sebelum ketemu kamu, Lea sering banget marah kepingin punya ayah." Rindu kembali memulai sambil menatap Lea yang melanjutkan coretan cat di kanvas lukisan. "Dia pernah demam karena nangis seharian minta sosok ayah sama aku. Aku nggak nyangka, ternyata permintaan Lea jadi firasat ketemu sama kamu."

Jika Rindu menatap anaknya saat bicara, maka Naka memilih menatap wanita itu dengan senyum tipisnya.

"Ka?"

"Hmmm."

Rindu menoleh mendengar suara gumaman itu. Ia kembali mempertemukan tatapan dengan sepasang manik gelap di wajah Naka.

"Maaf, bikin kamu sama Lea kepisah lama."

______________

Nggak apa-apa, Ndu. Aku yakin kamu punya alasan kenapa sampai pilih jalan itu. Yuk, semangat terus kasih pengertian ke Naka kalau kamu nggak seegois yang Naka pikir.

Dan buat yang baca, kita slowly aja ya masuk ke dunia Duda Janda ini. Coba kalian utarakan sesuatu buat Naka dalam kolom komentar, Duda pundungan yang suka flexing ituu 🤣🤣

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top