12. Luapan Rasa.
Tepat dua jam setelah Lea dan Naka pergi, Rindu dibuat bingung saat mobil berwarna silver berhenti di sisi jalan rumahnya. Sambil memicingkan tatapan mengamati siapa yang keluar dari pintu kemudi, Rindu mendesah pelan melihat pria yang ia kenal sejak mulai menempati rumah ini tersenyum sebelum memasuki pintu pagar.
"Mas Agam?"
Untungnya Rindu sudah selesai dengan acara beres-beres rumah yang begitu menguras tenaga, juga sudah berganti pakaian dengan dress sebatas lutut berwarna biru muda yang sudah lama tak ia kenakan.
"Ndu, Bapak sama Ibu ada?"
"Oh, lagi nggak ada, Mas. Ada acara keluarga dari kerabat ibu. Tadi pagi-pagi banget berangkat. Ada apa, ya?"
Pria yang sudah berdiri di hadapan Rindu itu berdeham ragu sambil melarikan tatapan pada lantai teras yang ia pijak.
"Masuk dulu, Mas. Ada Aruna sama Naura juga di dalam."
"Oh, nggak usah. Cuma ... sebenarnya saya mau izin ke Bapak mau ajak kamu sama Lea ke ... ke—"
"Ke mana, Mas?"
"Ke ... jadi ada acara di sekolah, setiap kelas ditantang suruh hias kelas masing-masing. Kamu mau temenin saya buat beli peralatan hiasnya, nggak?" Agam berdeham setelah berhasil menyeret satu alasan yang terdengar masuk akal, menurutnya. "Sambil makan siang bareng kalau kamu mau."
"Oh ...." Rindu juga mulai gugup saat merasa tujuan Agam yang sebenarnya begitu transparan untuk dibaca. "Kebetulan Lea lagi nggak ada di rumah, Mas."
"Eh, ikut sama Bapak, ya?"
"Bukan. Lagi diajak jalan-jalan sama ayahnya."
"Oh." Agam manggut-manggut meski hatinya sedikit terganggu sejak pertemuan pertamanya dengan ayah dari muridnya itu. "Kalau begitu besok-besok aja perginya."
Rindu tak berniat menjawab, ia hanya mengangguk saja sambil berdeham melihat raut gugup bercampur kecewa di wajah Agam. Hingga satu kalimat baru yang keluar dari pria itu nyaris membuatnya terbatuk-batuk.
"Kalau sama kamu aja gimana, Ndu?" Agam mencoba beranikan diri. "Bantu aku beli hiasan buat kelas sama temenin aku makan siang."
"Eh?"
"Kalau nggak bisa nggak apa-apa."
"Bukan itu, Mas." Rindu merasa sungkan jika menolak karena ia tahu pria ini begitu baik pada anaknya, bahkan terkadang begitu kentara memperlakukan Lea dengan istimewa. "Boleh, tapi saya juga nggak pinter pilih hiasan, Mas. Saya temenin Mas Agam pilih aja, ya."
Senyum Agam merekah tiba-tiba. "Iya, nggak apa-apa. Makasih ya, Ndu."
Rindu pikir tak ada salahnya membantu pria itu, walaupun sebenarnya ia tahu maksud lain dari Agam yang dulu pernah mengatakan hal serius padanya.
"Saya nggak tahu, sebenarnya saya nggak tertarik sama perempuan atau nggak tertarik jalin hubungan. Tapi Ndu, setelah lihat gimana kamu kerja keras buat biayain Lea, bantu keluarga, entah kenapa saya tertarik buat kenal lebih dekat sama kamu. Jangan ngerasa dibebanin sama maksud saya, ini cuma ungkapan kalau saya deketin kamu udah ada niat baik. Bukan main-main karena status kamu."
Saat itu Rindu tak memberi tanggapan apa pun. Ia memilih diam sambil meremas tali tas yang dikenakan hingga lambat laun, Rindu perlahan mengenal baik sifat Agam. Sama persis seperti yang orang-orang bicarakan.
Kegiatan mengantar Agam memilih hiasan kelas dan makan siang itu tak memakan waktu lama. Sekitar satu setengah jam berlalu mereka sudah memutuskan pulang. Jadi, Rindu sudah ada di rumah jauh sebelum Naka dan Lea kembali.
Mungkin sekitar jam tujuh malam saat Rindu sudah mulai was-was menunggu kepulangan anaknya, mobil yang dikendarai Naka mulai terlihat dan berhenti di sisi jalan. Tak lama pria yang mengendalikan setir keluar dan membuka pintu penumpang untuk membawa Lea yang telah tertidur selama perjalanan pulang.
"Kalian udah pulang?"
Rindu sudah berdiri menyambut dua orang itu di depan pintu pagar. Ia pikir Naka akan memindahkan Lea ke gendongannya saat mereka saling berhadapan. Namun, pria itu hanya mengangguk pendek dan meneruskan langkah menuju rumah.
"Gimana? Lea nggak rewel, kan?" tanya Rindu basa-basi lagi sambil memperhatikan Naka yang begitu hati-hati meletakkan putri mereka di atas tempat tidurnya. "Kalian udah makan malem?"
Masih sama, tak ada jawaban dari pria yang terlihat sudah sangat lelah. Rambut Naka terlihat sedikit berantakan, dua kancing kemejanya terbuka dan memperlihatkan kaus putih polos sebagai lapisannya, serta lengan kemeja yang tadi pagi rapi tergulung tinggi sampai ke siku. Lantas ada sesuatu yang membuat Rindu mengernyit penasaran.
Ada tatto di lengan pria itu. Rindu yakin itu bukan manset atau sejenisnya, itu tinta yang tertanam di kulit dengan gambar yang tak terlalu jelas saat dilihat sebentar. Naka tak memiliki tatto saat dulu bersamanya.
"Ka?"
"Aku ambil mainan Lea dulu di mobil," balas Naka melewati Rindu tanpa berniat melirik sedikit pun.
Beberapa menit kemudian, dua paperbag besar dan satu kantong plastik berwarna merah mengisi kedua tangan Naka. Pria itu kembali masuk ke kamar saat Rindu baru selesai menarik selimut untuk putrinya.
"Banyak banget belinya. Bukan mainan semua, kan?"
Naka meletekkannya di bawah kasur. Mengabaikan pertanyaan Rindu untuk yang kesekian kalinya sebelum menarik napas lelah dan menatap sang putri yang terlelap dari setengah jam lalu. Kemudian, perasaan lelahnya bercampur dengan rasa dongkol saat melihat Rindu yang juga sedang menatap Lea.
Sebenarnya setelah telepon siang itu berakhir, Naka ingin sekali cepat pulang. Namun, Lea masih ingin menjelajahi permainan dan membeli beberapa potong baju serta aksesoris yang menyita waktu hingga berjam-jam. Tak bisa menolak dan merasa tak punya alasan kuat kenapa ia harus pulang, akhirnya Naka menuruti semua kemauan putri kecilnya.
Lagi pula jika dipikir-pikir untuk apa Naka pulang? Menarik tangan Rindu jika melihat wanita itu berdiri di samping pria lain atau memarahinya habis-habisan? Rasanya mengerikan jika itu sampai dilakukan.
Melihat pergerakan Naka yang mulai keluar kamar, Rindu gegas berjalan mengikutinya. Merasa tak kapok meski sejak tadi ia diabaikan secara terang-terangan.
"Gimana acara jalan-jalannya? Nggak ada kendala, kan?"
Kali ini Naka menoleh setelah mereka sudah sampai di ruang tamu. "Nggak ada, tuh. Tapi kasian ya, Lea. Dilihatin sama ibu-ibu di mall karena jalan cuma sama ayahnya. Bener-bener nunjukin banget kalau dia anak broken home."
"Ka—"
"Kenapa?"
Naka mendesis. Ia tak peduli apa ada orang lain dalam rumah selain mereka, tapi yang jelas kekesalannya mengingat kebersamaan Rindu dengan pria lain sementara ia seperti seorang ayah yang patut dikasihani, membuatnya tak bisa lagi menyembunyikan sorot marah pada wanita di hadapannya.
"Jadi, ini alasan kamu nggak mau pergi sama Lea? Karena ada janji lain?"
"Maksudnya?" Rindu mengernyit sebelum mengingat sambungan telepon yang siang ini terputus secara sepihak. "Aku ... tadi aku nggak punya janji apa pun buat dijadiin alesan kenapa nggak mau ikut sama kalian."
"Terus kamu pikir aku percaya? Setelah semua yang kamu lakuin, aku harus percaya lagi?"
"Ka, aku tahu aku salah. Kamu boleh benci semau kamu karena keputusan aku delapan tahun lalu."
"Tapi kamu nggak pernah nyesel ninggalin aku begitu aja, kan? Pisahin aku sama Lea dan bikin aku jadi orang gila yang cari keberadaan kamu!" bentak Naka makin menatap Rindu dengan sorot murka.
"Ka—"
"Gara-gara kamu, Ndu!" Napas Naka bergemuruh. Ia bukan pria yang pandai mengolah emosi dan menyalurkannya hanya dengan tatapan tajam. "Gara-gara kamu aku benci sama perempuan mana pun! Aku selalu anggap mereka sama kayak kamu, egois! Nggak bisa diajak berjuang sama-sama! Kalian cuma mau yang udah sukses aja, kan?!"
"Naka, aku ... aku bener-bener minta maaf."
"Aku udah coba lupain malam itu! Tapi sekarang tiap kali ketemu kamu, bayangan itu balik lagi!"
"Naka ...." Suara Rindu mulai bergetar melihat emosi yang meluap-luap begitu jelas di mata Naka.
"Aku kecewa banget, Ndu. Gimana cara hilanginnya, hah?" Naka berdecih sambil menyugar rambutnya kasar. "Sekarang aku cuma mau Lea bahagia, ngerasain ada ayah sama bunanya. Tapi yang mikir ke sana kayaknya cuma aku doang, kan."
"Tadi karena aku takut," balas Rindu sambil mengusap pipinya yang mulai kejatuhan air mata. "Aku tahu gimana sifat kamu, aku nggak mau ada ditengah-tengah kalian tapi kayak orang yang nggak terlihat. Udah berapa kali kamu abai sama pertanyaan basa-basi yang aku buat, udah berapa kali kamu natap aku kayak musuh, Ka!"
"Karena aku benci! Aku benci sama kamu, Ndu!"
Sialnya kebencian Naka seperti kompetisi jika disandingkan dengan perasaan rindunya pada wanita itu. Semua bergerak dalam garis dan kecepatan yang sama. Mengejek dirinya jika bersikap seolah hanya rasa benci yang tersisa di sana.
"Aku tahu ...." Rindu mulai terisak kecil merasakan kebencian Naka begitu melukai hatinya. "Aku cuma bisa minta maaf, Ka. Aku minta maaf."
"Aku nggak tahu bisa maafin kamu atau nggak." Naka menarik napas saat dadanya mulai terasa panas. "Sakit banget, Ndu, ditinggal waktu lagi sayang-sayangnya sama anak aku. Ditinggal gitu aja tanpa kamu kasih jejak apa pun," pungkasnya merana.
Tak lama dari itu, Naka memilih memutar tubuh untuk membawa langkahnya pergi. Namun, baru dua langkah Naka meninggalkan ruang tamu, tangannya diraih oleh wanita yang matanya sudah sangat basah.
"Ada alasan lain kenapa aku pergi, Ka. Please, jangan benci aku sebesar itu."
Decihan Naka kembali terdengar.
"Sekarang aku harus percaya sama alesan apa lagi selain kamu yang ninggalin aku karena aku cuma pengangguran, karena aku dianggap nggak mampu biayain kamu sama Lea. Alasan yang mana lagi, Ndu? Kamu tahu kan, pengorbanan apa aja yang udah aku lakuin buat bisa sama kamu. Tapi balasan kamu kayak gini."
"Maaf ... aku bener-bener minta maaf."
Naka mendengkus kasar, lalu menyentak tangannya dari genggaman Rindu yang ternyata masih memberi efek seperti delapan tahun lalu saat mulai menyentuh tubuhnya.
"Kalau kamu udah mulai sibuk cari pengganti aku dan ngerasa keganggu jadiin Lea bagian dari pendekatan kamu sama lelaki lain, mending aku bawa Lea pergi—"
"Aku nggak pernah mikir ke situ!" bentak Rindu tiba-tiba. "Aku nggak pernah sedetik pun mikir kalau Lea pengganggu! Dan aku juga nggak pernah niat deket sama lelaki lain! Aku nggak pernah mikir cari lelaki lain buat gantiin posisi kamu!"
Setelah rampung ucapan itu, Naka yang tak bisa lagi menahan diri menarik tangan Rindu, menahan pinggang wanita itu dan mendorongnya ke tembok rumah dengan gerak sedikit kasar. Bisa ia lihat ringisan sakit sekaligus terkejut di wajah Rindu. Rasanya ingin sekali meluapkan amarah dengan cara meraup rakus bibir Rindu dan membawanya pada ciuman kerinduan. Menekan hingga merasa puas meski Naka yakin tak akan puas hanya dengan ciuman.
Namun, kebencian di hati mengolok-olok Naka. Membuat ia hanya mampu mengadu deru napas yang sama-sama terasa memburu. Membiarkan sapuan udara yang keluar dari mulut dan hidung Rindu terasa hangat menyentuh wajahnya saat wanita itu mendongak menatap matanya.
Hingga beberapa detik kemudian dengan posisi Rindu yang bersandar di tembok sambil memegang lengannya, barulah Naka menyudahi kontak fisik itu dan melangkah mundur sambil menatap wajah wanita yang juga menatapnya.
Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Naka melenggang meninggalkan Rindu yang masih memandangi dirinya pergi.
_____________
Oke oke, Duda sensian ini agak kasihan sebenarnya. Tapi ya udahlah, nanti mereka bakal punya waktu buat ngomong dari hati ke hati. Mas Agam hatinya nggak usaha ikutan dulu, ya. Sini sama aku ajaaaah wkwkw.
See you guys!
Makasih dukungannya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top