11. Cemburu?

Rindu masih berjongkok memakaikan sepatu di kaki Lea yang hari ini lebih ceria dari biasanya. Gadis kecil itu berencana pergi tamasya bersama Naka. Sambil tersenyum mendengar cerita yang sama sejak semalam, ia mendongak untuk memeriksa tampilan rambut sang anak serta dress overall yang dalamnya dilapisi kaus polos berwarna putih.

"Kata Ayah nanti mau ajak Lea ke tempat yang jauh! Naik pesawat buat datengin istana-istana yang suka ada di film kartun."

Rindu mengernyit saat ucapan Lea yang satu ini sedikit mengganggunya. Sejak awal Rindu memang khawatir Naka membawa Lea pergi tanpa sepengetahuannya, tapi ia rasa Naka tak sampai senekat itu meskipun hal tersebut tak menutup kemungkinan untuk terjadi.

"Lea, kalau Ayah ajak Lea ke mana pun, bilang dulu ya, sama buna."

"Kalau si Naka ngajaknya nggak bilang-bilang, gimana?" celetuk Naura yang sudah satu jam lalu ada di ruang tamu.

Rindu tampak berpikir sebentar. "Kayaknya Naka nggak sampai segitunya, deh. Maksudnya gue kan, dia udah dikasih akses bebas ketemu Lea asal dibawa pulang ke rumah."

"Ya, semoga aja Naka nggak nekat bawa Lea kabur."

"Nggak usah bikin gue takut!"

"Mbak, itu kayaknya mobil Mas Naka, deh."

Dari luar rumah, Aruna yang sedang duduk di kursi teras masuk sambil membawa informasi yang membuat Rindu dan Naura mengakhiri percakapan itu. Sedangkan gadis yang siap dengan ransel berbentuk kepala kelinci sudah bergegas cepat keluar rumah.

"Ayah!" pekik Lea sambil berlari menuju pria yang berjalan melewati pintu pagar.

"Hah?! Itu Naka, Ndu? Beneran?" tanya Naura tak percaya.

"Benerkan, kata Una juga apa. Beda orang kayaknya ini."

Naura masih menatap lelaki yang sudah menggendong anak sahabatnya di halaman rumah. "Ndu, serius itu Naka. Kok, gue nggak lihat persamaan dia yang dulu."

"Dulu dia kurus, cungkring, kusut. Itu kan, yang mau lu bilang?" balas Rindu setengah hati.

"Bukan cuma itu, auranya beda, Ndu. Si Naka punya kembaran kali. Itu kakaknya atau adiknya ... mungkin."

Mengabaikan keterkejutan Naura yang memang baru kemarin tahu tentang pertemuannya dengan Naka, Rindu memilih berjalan pada pasangan anak dan ayah itu. Kemudian, tersenyum tipis saat Lea begitu semringah bicara dengan Naka.

"Bapak sama Ibu lagi nggak ada di rumah, Ka."

Atensi Naka beralih menatap wanita yang baru saja berujar. Ia melirik dua wanita yang berjalan menghampiri Rindu. Kemudian, keningnya mengernyit melihat tampilan Rindu yang masih memakai setelan rumahan dan rambut diikat asal. Bukan berharap Rindu ikut dalam acara jalan-jalannya dengan Lea, tapi Naka masih ingat jelas anaknya begitu girang saat ia mengizinkan Rindu untuk bergabung.

"Kalian cuma ke time zone doang, kan?" tanya Rindu ragu-ragu.

"Kita juga mau makan siang di mall, Bun." Lea yang menyahut riang.

"Oh, ya udah hati-hati." Melangkah mendekat untuk merapikan rambut Lea, Rindu tersenyum melihat raut gembira sang anak yang sepertinya sudah tak sabar ingin segera berangkat. "Jangan jauh-jauh dari Ayah, ya. Harus nurut kalau Ayah larang sesuatu."

"Oke!"

Kini Rindu memberi atensi pada pria dewasa yang masih setia menggendong anaknya. "Lea nggak punya alergi, cuma jangan terlalu banyak kasih dia makan es krim. Biasanya kalau kebanyakan efeknya batuk."

"Kamu nggak ikut?"

Naka sudah menahannya, tapi pertanyaan itu seperti suara gong yang dipukul di dekat telinga jika tak dilontarkan sekarang juga.

"Buna nggak ikut, Yah! Katanya mau beres-beres rumah."

"Oh."

Naka mengangguk saja. Lagi pula ia tak berharap banyak Rindu andil bagian hari ini meskipun sebenarnya saat di apartemen, ia beberapa kali memeriksa penampilan sebelum benar-benar berangkat.

"Oke! Kita berangkat sekarang, Sayang?"

"Ya!"

Tak berniat menyapa atau memberi senyum pada dua wanita yang ada di belakang Rindu, Naka memilih melenggang pergi menuju mobil yang terparkir di sisi jalan. Mengabaikan tatapan sahabat serta adik dari mantan istrinya yang saat ini menatap kepergiannya.

"Bener itu si Naka, Na." Naura menyeletuk sambil menyenggol adik sahabatnya. "Dia mana mau nyapa orang duluan walaupun udah kenal."

Rindu menoleh ke arah dua wanita yang kembali menggunjing saat mobil Naka mulai melaju pergi. Lantas terkekeh melihat raut sinis Naura yang sejak dulu memang tak begitu dekat dengan Naka. Kata wanita berbadan tinggi itu, Naka memiliki raut wajah sombong yang jika dilihat-lihat akan terasa menyebalkan.

"Lu kenapa nggak ikut, Ndu?"

Mereka bertiga kembali berjalan menuju rumah. Sebenarnya sejak semalam Rindu nyaris tidak bisa tidur saat Lea menawarkan untuk ikut jalan-jalan bersama. Setelah menimang pilihan, akhirnya Rindu memutuskan untuk tak ambil bagian. Tentu setelah puas mengintrogasi Lea yang mengatakan kalau Naka hanya ingin mengajaknya naik komedi putar di time zone.

Jujur saja, Rindu masih kesal dengan kejadian di toko beberapa hari lalu. Meskipun sudah berpisah lama, Rindu masih hafal dengan sikap Naka yang memang lebih banyak menyebalkan ketimbang menyenangkan. Ia juga tahu, pria itu akan sangat sulit diajak bicara jika situasi hatinya tak bersahabat. Apalagi saat yang mengajaknya bicara adalah orang yang dibenci.

Rindu sudah membayangkan bagaimana suasana suram jika ia ikut pergi. Mungkin selama Lea menikmati permainan, ia dan Naka akan jadi dua orang asing yang duduknya saling berjauhan. Naka bukan hanya menyebalkan, tapi terkadang bersikap kekanak-kanakan. Dan sepertinya hal itu tak pernah berubah.

"Gue mau beresin rumah. Aruna mana peduli sama halaman yang udah kayak hutan gini."

Gadis remaja yang beranjak dewasa itu memilih menyengir, lalu berjalan cepat memasuki rumah. Tujuannya tentu adalah kamar, membaca novel atau menonton film seharian sampai lupa makan.

"Beneran cuma kepingin ngebabu? Gue kira takut CLBK sama mantan."

Rindu mendengkus menanggapi celotehan Naura.

"Tapi mending jangan, deh. Gue dari dulu nggak pernah sreg sama dia. Beneran ya, udah mukanya sombong, omongannya juga kadang nyelekit. Ya, walaupun bucinnya nggak main-main, sih."

"Lagian pikiran lu ke mana, sih. Naka cuma mau deket sama anaknya doang, lu ngapain mikir ke masa lalu?"

Sambil terkikik, Naura menggandeng lengan Rindu agar masuk ke rumah bersama-sama. "Mending sama Mas PNS itu, Ndu. Ganteng juga, kok. Mapan pula, kayaknya kalau dia bukan cuma mau deketin Lea, tapi juga deketin emaknya."

Menarik tangannya kesal, Rindu memilih melenggang pergi dan membiarkan Naura terkekeh puas sebelum masuk ke kamar Aruna yang pasti akan menghabiskan banyak waktu di dalamnya.

****

Ini sudah kali ketiga Lea menaiki wahana komedi putar yang ada di salah satu mall ternama. Naka yang duduk sambil mengamati putrinya bermain sudah merasa mual, tapi gadis kecil yang kali ini memilih karakter kelinci untuk diduduki sepertinya masih punya banyak energi untuk melambaikan tangan padanya bahkan mengikuti alunan lagu yang diputar di area bermain.

Kembali menyedot minuman, sebelah tangan Naka bergerak lincah melihat hasil jepretan yang sejak tadi mengarah pada putrinya. Mungkin sudah ada ratusan gambar yang diambil dalam waktu kurang dari tiga jam terakhir. Ia tersenyum melihat wajah ceria Lea yang tertawa lebar, bahkan tak jarang terlihat seperti orang kebingungan.

Banyak momen yang ia lewatkan selama ini. Jadi saat ada momen menarik di depan mata, Naka tak akan menyia-nyiakannya. Musik dari komedi putar berhenti membuat Naka mengalihkan atensi pada seorang pegawai wanita yang membantu anaknya turun dari wahana.

"Udah?" tanya Naka saat Lea sampai di hadapannya dengan napas yang sedikit tersengal. "Capek, ya? Istirahat dulu, tadi ayah udah pesen milk banana."

Mereka berdua duduk berdampingan, menghabiskan minuman dari kafe yang terletak tak jauh dari tempat mereka berada. Sambil menunggu Lea mengatur napas dan menghilangkan sedikit rasa lelah setelah puas bermain, Naka memilih merapikan rambut panjang Lea yang hari ini diikat satu menggunakan tali rambut berhias bintang warna-warni.

"Siapa yang ikat rambutnya?"

"Buna."

Naka tersenyum. "Bagus," komentarnya pelan. "Mau main apalagi? Atau mau makan siang dulu?"

"Lea laper, kayaknya mau makan dulu."

"Boleh. Mau makan apa, Sayang?"

"Ayam goreng krispi."

"Siap! Mau cari tempat makannya sekarang?"

Lea mengangguk antusias, lalu turun saat pria dewasa yang duduk di sampingnya mulai berdiri sebelum berjongkok ingin menggendongnya.

"Lea mau jalan aja, Yah."

"Nggak capek?"

"Nggak."

Naka mengangguk saja. Setelah menyambar kunci mobil dan dompet di atas meja kecil yang memang disediakan pihak wahana untuk para orang tua menunggu, Naka menuntun tangan Lea berjalan menuju salah satu kedai ayam krispi yang lumayan besar.

Sebenarnya sejak tadi Naka sedikit terganggu dengan beberapa pasang mata yang melirik dirinya sambil berbisik. Mungkin merasa aneh atau sedikit janggal seorang ayah pergi sendirian mengantar anaknya bermain.

"Kayaknya duda, deh."

"Istrinya ke mana ya, kira-kira?"

"Ayah idaman banget nggak sih, ditengah-tengah kesibukan masih mau anter anaknya main."

"Tapi jujur aja sih, aku kasihan loh lihat pemandangan kayak gini. Nggak tahu kenapa kasihan aja gitu, kayak lelaki baik-baik masa disia-siain gini."

"Eh, kita nggak tahu apa-apa. Siapa tahu itu ponakannya, atau kalau emang bener itu anaknya terus dia duda kita kan, nggak tahu problem apa yang bikin mereka pisah. Lagian sekarang banyak kok, kasus cerai anaknya di bawah pihak suami. Atau mungkin ibunya sibuk atau sakit jadi nggak bisa temenin main."

Kira-kira seperti itulah beberapa bisikan yang Naka dengar samar-samar. Ia sebenarnya tak peduli karena menghabiskan waktu dengan putrinya membuat Naka abai pada hal-hal tak penting seperti itu. Hanya saja tatapan para ibu-ibu tadi sedikit membuatnya kesal.

Selesai mengisi perut, sepasang anak dan ayah itu memilih tetap tinggal untuk memberi sedikit jeda sebelum melanjutkan kegiatan. Jika Lea sibuk menatap orang yang berlalu lalang sambil menggoyangkan kaki yang menggantung di bawah kursi, maka Naka sibuk mencuri gambar sang putri lewat kamera ponselnya.

"Ayah."

"Ya?"

"Mau telepon Buna, boleh?"

"Eh?" Naka mengeryit bukan karena tak ingin, tapi ia bingung karena tak memiliki nomor wanita itu. "Sebenarnya, ayah belum simpen nomor Buna. Jadi ayah nggak bisa hubungin Buna sekarang."

"Lea hafal, kok."

"Beneran?" Mata Naka sedikit memicing.

Gadis kecil yang baru saja meletakkan jus di atas meja mengangguk riang.

"Kalau salah nanti kita bisa nyasar nelepon orang lain, loh." Meskipun berujar seperti itu, Naka tetap membuka ponselnya untuk mencari kontak penyimpanan nomor baru. "Coba ketik di sini, nanti ayah yang telepon."

"Lea mau video call boleh, ya?"

Naka terkekeh kecil. "Iya, boleh."

Bergerak pelan-pelan sambil mengetik nomor yang diingat, Lea berhasil memasukkan dua belas nomor ponsel milik ibunya. Saat mulai bersekolah, Rindu memang menyuruhnya menghafal nomor ponsel agar jika dalam suasana genting dan harus menggunakan ponsel orang lain, Lea tak kebingungan harus menghubungi ke mana.

"Udah!"

Sambil menarik napas dan mulai terlihat ragu, Naka hubungi nomor yang belum ia beri nama itu. Menunggu beberapa detik sebelum suara tut membuatnya sedikit terkejut.

"Eh, nyambung, Le."

"Ya iyalah. Kan, nomor Buna selalu aktif."

Naka manggut-manggut sambil menggeser ponsel ke arah Lea agar saat panggilannya terjawab, wanita di seberang sana sudah melihat wajah anak mereka.

"Buna!" panggil Lea riang saat wajah wanita yang ia kenal mulai tertangkap di layar.

"Eh, Lea?"

"Lea habis makan sama main komedi puter tiga kali!"

"Oh, ya? Seru pasti, ya?" Suara Rindu terdengar ikut senang. "Jam berapa pulangnya?"

"Nggak tahu, nanti tanya Ayah."

"Sekarang Ayahnya di mana?"

"Ada di samping Lea. Buna mau ngomong?"

"Eh, nggak nggak!"

Penolakan itu mengundang decihan pelan dari mulut Naka yang sejak tadi melihat wajah Rindu dari samping layar ponselnya.

"Buna lagi di mana? Kok, di belakangnya ada pohon-pohon?"

"Oh, ini Buna lagi di luar. Tadi-"

"Ndu, yang ini bagus nggak?"

"Eh, iya kenapa Mas?"

"Oh, lagi nelepon, ya. Sorry. Lanjut aja lanjut!"

"Eh, ada Pak Agam ya, Bun? Buna lagi di mana?"

Pertanyaan terkejut Lea ternyata mewakili Naka yang juga terkejut saat anaknya menyebutkan satu nama pria yang tak ingin ia ucapkan. Lantas perasaan kesal membuat Naka refleks meraih ponsel di tangan sang anak dan langsung mematikan sambungan itu secara sepihak.

"Loh, kok, dimatiin, Yah?"

"Kita keluar dulu dari sini, ya. Nggak enak dilihatin orang-orang yang mau makan." Naka tersenyum saat tatapan Lea tampak kebingungan dan terkejut. "Maaf, ya. Nanti kita telepon Buna lagi. Sekarang Lea mau main lagi atau mau beli boneka sama mainan?"

"Lea mau boneka!"

"Oke!" Naka berseru antusias meski hatinya mulai dongkol tiba-tiba. "Habis beli mainan kita pulang, ya?"

"Iya. Lea boleh beli baju juga, nggak?"

"Boleh dong."

"Yee!"

Pekikan girang Lea memang menciptakan senyum semringah di wajah Naka, tapi pria itu sedang mati-matian menahan perasaan kesal yang makin terasa mengganggu. Mengingat Rindu bersama pria lain sedangkan ia seperti suami malang yang mengasuh anak, membuat gigi geraham Naka nyaris beradu hingga tulang rahangnya mengeras tegas.

__________________

Hahahaha malang amat Duda satu ini, lagi mongmong anak eh mantan istrinya malah jalan sama lelaki lain.

Yuklah, kasih semangat buat Naka yang lagi cemburu buta. Eh, gak cemburu. Naka mana mau ngaku wkwkwkw.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top