1. Tawaran PHK.

Desas desus yang beredar tentang kebangkrutan perusahaan sudah dari beberapa bulan lalu terdengar. Informasi simpang siur yang merajalela di kalangan karyawan makin menambah keresahan mereka yang sudah bekerja lama di PT. Sport Global Industri.

Perusahaan besar yang menampung lebih dari 15000 karyawan itu diduga akan segera tutup dikarenakan merosotnya pendapatan ekspor produksi. Dari mulut-mulut yang membuat informasi makin terdengar mengerikan, mereka terancam tidak mendapat uang pesangon yang menjadi kompensasi bagi karyawan yang terkena PHK. Terhitung sudah dari minggu lalu, pengurangan karyawan dilakukan oleh para atasan yang berkuasa memilah pekerja untuk lebih dulu disingkirkan.

Mereka yang sudah bertahun-tahun bahkan ada yang puluhan tahun bekerja—mengingat perusahaan yang memiliki sembilan gedung itu sudah berjalan 43 tahun, selalu merasa was-was meskipun tangannya masih fokus memegang pekerjaan. Tentu saja perasaan takut dan pasrah menjadi satu apabila benar gosip tentang pengurangan karyawan tanpa kompensasi dibenarkan. Walaupun ada tiga serikat yang melindungi, mereka tahu betul kalau jasa perlindungan karyawan itu tidak bisa membantu banyak jika memang benar perusahaan sedang sekarat.

"Ih, masa sih, kita nggak dapet pesangon? Gue udah kerja 11 tahun, loh."

"Berdoa aja semoga gosip itu kagak bener."

"Gue lebih berdoa semoga nih, pabrik nggak jadi bangkrut."

"Iya, gue lebih ngarep ini tempat jalan terus sampe anak-anak gue minimal lulus kuliah."

"Eh, kalau normalnya, nih. 10 tahun masa kerja tuh, biasanya dapet berapa?" Seorang wanita yang sejak tadi menyimak mulai melibatkan diri dalam obrolan.

"Tahun kemarin tahu, kan, Pak Rusli. Sewing line 8A. Beliau ngundurin diri setelah 10 tahun kerja, katanya dapet 150 juta. Itu udah bersih sama dua PMTK, sih."

"Waduh, lumayan."

Wanita yang tadi bertanya mengangguk menyetujui. "Tapi kalau sekarang nggak jelas, ya?"

Mereka berlima yang sebenarnya sedang sibuk memegang kerjaan masing-masing hanya mampu mendesah pasrah. Kemudian, menyudahi acara 'ngerumpinya' saat salah satu supervisor melewati lorong line mereka.

Tetapi beberapa saat kemudian kembali melanjutkan.

"Harusnya tahun kemarin gue resign aja setelah nikah. Kalau begini huru hara nggak jelas, kerjaan terancam hilang, pesangon juga masih jadi bayang-bayang." Salah satu wanita yang sedang memegang mesin jahit kembali menyerukan keresahannya.

Hal tersebut sebenarnya sedang dirasakan Rindu, wanita berusia 29 tahun yang bekerja sebagai operator sewing itu sudah memasuki delapan tahun masa kerjanya. Meski sangat jarang menyerukan pendapat atau terlibat langsung dalam pergibahan ibu-ibu pekerja keras, Rindu menjadi pendengar dan pengamat setia saat ada informasi yang sedang hangat dibicarakan.

Seperti sekarang ini.

"Lu, Ndu, udah berapa tahun kerja?"

Rindu sedang memperhatikan bahan sepatu di atas meja saat wanita yang memakai kemeja lengan pendek berwarna biru serupa dengannya, memanggil sambil mendorong pelan bahunya. Ia menoleh, menatap wanita yang akrab dipanggil Mbak Awi.

"Udah delapan tahun, Mbak. Tapi kurang empat bulan kalau nggak salah."

Mbak Awi yang terkenal di perusahaan sebagai rentenir baik hati, mengangguk sambil memajukan sedikit bibirnya yang dipoles lipstik merah.

"Lu mah, enak, Ndu. Masih muda kalau mau cari kerja lagi. Kalau gue udah tinggal nungguin pensiun malah di PHK."

Rindu tersenyum formal saja. "Nggak menjamin, Mbak. Aku cuma lulusan SMP yang punya pengalaman jahit doang. Sekarang perusahaan nyari yang fresh graduate."

"Halah! Padahal mah, ya, yang begitu paling cuma bisa main hape sama selfie doang. Nggak ada pengalaman." Mbak Awi kembali berceloteh sambil menarik benang di atas mesinnya.

Ingin menimpali ucapan Mbak Awi, suara intercome yang dipasang di setiap sudut gedung mulai terdengar. Benda itu biasanya memberi informasi perusahaan atau panggilan kepada salah satu karyawan yang sedang diperlukan. Kali ini panggilan itu tertuju pada Rindu.

Tiga kali panggilan itu terdengar santai dengan menyebut nama Rindu berserta bagian dan nomor induk karyawan. Wanita yang sering disebut janda kecil itu mulai bangun dari kursinya setelah mematikan mesin jahit yang menjadi pegangannya.

"Ndu, Ndu! Lu kan, deket sama Mbak Naura. Coba deh, minta spill. Bener nggak sih, gosip PHK tanpa pesangon? Bilang karyawan mau demo gitu kalau emang bener." Seorang wanita seusia dengan Rindu tiba-tiba berseru, lalu para ibu-ibu yang tadi bergosip ria mengangguk mendukung perintah itu.

Rindu hanya terkekeh saja sambil mengangkat jempol setinggi dada sebelum melenggang pergi menuju kantor para staff perusahaan. Ruangan yang berada di depan pintu masuk itu biasanya memang menjadi tujuan pertama karyawan yang mendapat panggilan. Mengetuk sekali daun pintu berbahan kaca tersebut, Rindu mendorongnya pelan dan melihat lima meja yang diisi orang-orang berseragam kemeja lengan pendek berwarna abu-abu dengan id card bertulis nama masing-masing.

"Tuh, anaknya!"

Seorang pria yang Rindu kenal sebagai kepala eksekutif sewing, berseru saat ia mulai memasuki ruangan.

"Sini sini duduk, Ndu!"

Pria lain dalam ruangan ikut berseru. Tanpa banyak bertanya, Rindu berjalan ke arah meja di pojok ruangan. Menarik kursi di depannya dan duduk setelah melirik salah satu wanita yang ada di meja lain.

"Kenapa, Pak?"

"Nih, ada surat."

"Eh?" Detak jantung Rindu tiba-tiba saja bertalu. "Saya di PHK ya, Pak?"

Pria bernama Ari itu tertawa kecil. "Baca dulu, Ndu. Main tebak aja. Sebenarnya gue sengaja manggil lu di jam-jam mau deket istirahat, biar nanti habis makan siang lu pikirin ini."

Benar saja setelah ucapan Ari rampung, bel yang menjadi penanda berakhirnya jam kerja berbunyi nyaring. Rindu masih mengamati surat putih yang baru saja disodorkan, lalu melihat pria yang tadi bicara padanya mulai berdiri.

"Makan siang dulu, Ndu. Baru baca surat cintanya." Ari setengah bergurau mengatakannya.

Keadaan dalam ruangan itu benar-benar tak sama dengan suasana suram yang Rindu rasakan di kalangan karyawan biasa. Orang-orang di sini tampak santai bahkan terlihat tidak ada beban. Setelah mengangguk dan melihat tiga orang pria keluar dari ruangan, Rindu menoleh pada wanita yang sibuk memeriksa penampilan rambut dalam cermin di atas meja.

"Ra?"

Naura Saliha, wanita berusia 28 tahun itu menoleh pada sahabatnya yang kini beralih menempati kursi di depan mejanya. "Why? Ada yang bisa saya banting, Mbak Janda?"

Rindu mendengkus. "Pak Ari kasih surat apaan, sih?"

"Buka aja, Ndu." Naura melirik surat di tangan Rindu. "Baca aja biar nggak penasaran."

Mulai melakukan hal yang diusulkan sahabat sekolahnya dulu, Rindu mengernyit setelah membaca tiap paragraf yang mengisi selembar kertas dalam amplop.

"Gue mau dimutasi ke Brebes, ya?" Rindu mendongak saat Naura tak kunjung bersuara. "Ra?"

"Kayaknya, sih, begitu." Wanita yang menjabat sebagai asisten direktur di gedung sewing itu memilih bersandar di kursinya. "Lu ogah, ya?"

Rindu melakukan hal serupa, hanya bedanya kursi yang ia duduki terbuat dari besi tanpa lapisan busa hingga punggungnya yang baru saja bersandar kasar sedikit merasa tak nyaman.

"Kenapa nggak mau, Ndu?"

"Lu juga dimutasi ke sana, Ra?"

Naura mengangkat bahunya samar. "Gue baru dapet info kalau tim sewing pilihan yang bakal dimutasi ke sana. Kalau bagian staff belum."

"Emang bener ya, nih, tempat mau bangkrut?"

"Sebenarnya bukan bangkrut, Ndu. Lebih tepatnya dipindah. Di sini tetap jalan cuma nggak akan ada tim sewing. Ya ... permainan direktur utama yang baru. Di Brebes UMR nya masih kecil, beda jauh sama yang di sini. Mereka cari untunglah, buka loker gede-gedean di sana tapi ngebabat habis karyawan di sini. Cuma karena sayang kalau gedung ini kosong, jadi mereka mau jadiin khusus cutting sama tim sampel."

Rindu mengangguk paham. Surat yang ada di tangannya masih dimainkan, sedangkan kepalanya sudah dipenuhi dengan pemikiran-pemikiran memusingkan.

"Terus bener, ya, anak-anak yang kena PHK nggak dapet pesangon?"

Naura kembali mengangkat bahunya. "Jangan percaya dulu, itu permainan perusahaan. Mereka kepingin kalian yang pada ngundurin diri supaya dapet satu PMTK dan pesangon kecil. Gue belum denger gosip itu dari pihak HRD, jadi kemungkinan besar masih hoax."

Rindu kembali mengangguk paham, kali ini ia menatap surat di tangannya dengan tatapan mempertimbangkan.

"Kenapa sih, Ndu, nggak mau? Gue denger sih, kalau karyawan mutasi kayak lu, nih. Gaji tetep sama UMR di sini. Plus, jabatan lu di sana bukan cuma operator sewing."

"Idih ogah!" Rindu langsung menimpali. "Gue nggak tergiur naik jabatan, bebannya makin gede. Mending karyawan biasa kalau selesai jam kerja langsung pulang."

Naura terkekeh kecil. "Tapi misal lu minta tetep jadi karyawan biasa terus diturutin, lu tetep nggak mau, kan, dimutasi?"

Rindu terdiam sambil menatap wajah cantik sahabatnya yang baru saja menebak isi kepalanya.

"Kenapa, sih? Suami nggak punya, anak dijaga sama orang tua. Lu tinggal kirim uang jajan aja tiap bulan."

"Lu nggak tahu, capek gue berkurang kalau lihat anak. Kalau dimutasi paling sebulan sekali pulangnya."

Naura memilih mencebik sambil bangun dari posisinya. "Capek mah, capek aja. Masa iya, sih, lihat anak doang jadi semangat. Gue malah kalau nanti udah nikah mau ikut Mbak Gistav yang milih childfree." Lalu menepuk Rindu yang sejak tadi sudah merosot. Mereka keluar bersama dari ruangan ber-AC itu.

"Gue bisa nangis terus, Ra, kalau dimutasi ke Brebes gara-gara nggak bisa ketemu Lea setiap hari."

"Iya, sih, nggak heran gue. Di sini aja lu sering nangis, entah karena mikirin Lea atau mikirin Bapaknya."

"Sembarangan, kapan gue nangis di sini?!"

Naura tertawa mengejek. "Waktu si Lea kepingin punya ayah. Lu nangis kan, gara-gara pusing sendirian?"

Dan Rindu memilih tak menjawab ledekan Naura yang terus membawanya berjalan menuju kantin perusahaan. Ia malah kembali menatap surat di tangannya dan mulai memikirkan, apa kira-kira keputusan tepat untuk menanggapinya.

^_________^^_________^^_________^

Jangan lupa vote dan komen, ya.
Makasih udah mampir 💙

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top