chap 2
***
"Fatma kenapa, kenapa menangis?" Danu mendekati Fatma yang sedang menangis terduduk di kursi kayu.
"Ibu Mas, Ibu," suara rintihan Fatma hampir membuat hati Danu bergetar hebat. Namun dia tetap mencoba tenang.
"Iya, Ibu kenapa?"
"Tadi, Juminten datang dan bawa kabar Ibu jatuh sakit Mas,"
"Astagfirullah,"
Danu memeluk erat istrinya itu mencoba menenangkanya. Namun Fatma malah semakin larut dalam kesedihan. Disaat dia memendam kerinduan yang sangat dalam pada Ibunya, dia malah mendapatkan kabar yang buruk.
"Fatma ingin pulang Mas,"
"Iya, tapi Fatma-"
"Pokoknya Fatma mau pulang!" Dengan air mata yang terus mengalir, Fatma terus meminta Danu untuk mengantarnya pulang menjenguk Ibunya.
"Iya, kita akan pulang. Tapi nanti kalo keadaan sudah aman." Dengan lemah lembut Danu mencoba membujuk Fatma agar bersabar.
Beberapa hari yang lalu Danu mendengar kabar bahwa Tentara Inggris telah mengeluarkan Ultiamatum bahwa Rakyat Indonesia harus memberikan seluruh senjata dan peralayan perang yang berhasil mereka ambil dari Tentara Jepang kepada Inggris.
Dengan mengangkat tangan dan Rakyat Indonesia tunduk kepada Sekutu. Ultimatum itu membuat Rakyat Surabaya terbakar. Inggris tidak mengakui kedaulatan Indonesia dan TKR (Tentara keamanan Rakyat) yang saat itu sudah dibentuk.
Beberapa kali Danu mencoba membujuk Fatma agar tetap tenang dan bahkan dia berjanji akan mengantar Fatma pulang ke Surabaya secepatnya.
"Mas tidak sayang sama Fatma! Fatma tau itu! Mas menikahi Fatma buka karena Mas sayang sama Fatma!" Beberapa kali Fatma menangis meluapkan kekesalanya.
Fatma yang berumur 20 tahun saat itu masih tergolong sangat muda. Amarahnya masih belum terkendali gejolak diri yang masih belum bisa di tentang oleh siapapun.
Namun dengan kesabaran Danu menghadapi sifat Fatma yang seperti itu dapat membuat Fatma sedikit tenang.
***
Danu berjalan sembari menuntun sepeda bututnya. Pandanganya serasa kosong seakan dia tengah memikirkan suatu hal.
Seorang pemuda menghentikan laju sepedanya saat dia melihat Danu sahabat karibnya tengah bersedih.
Dia mulai menuntun sepedanya menyusul Danu yang bahkan belum menyadari keberadaanya.
" Hati- hati nanti bisa menabrak gubuk lagi kalo nuntun sepedanya sambil bengong,"
Danu menoleh dan mendapati Beni temanya tengah mengikutinya dari belakang.
"Ben, kamu ini ngagetin saya saja," serunya sembari tersenyum ramah.
"Ono opo, koncoku ini. Melamun sepanjang jalan. Hayo ceritakan."
Beni adalah sahabat karib Danu baru dua hari yang lalu dia datang ke Jakarta untuk suatu hal.
"Istriku Ben, dia minta pulang ke Surabaya Ibunya sedang sakit."
Terangnya, Raut wajahnya seakan memperlihatkan kesedihan.
Beni baru saja pulang dari Surabaya dia tau betul kondisi disana tengah genting karean ultimatum dari Inggris.
"Sepertinya akan susah datang ke Surabaya saat ini Nu, Para penjajah biadab itu selalu ingin menjajah negara kita ini. Padahal kita sudah merdeka tapi mereka belum mengakui " seru Beni menggebu-gebu.
"Betul itu Ben, penjajah-penjajah itu tidak akan berhenti jika tidak kita usir."
"Lah terus Bojo mu pie?"
Danu menghentikan langkahnya dan berfikir sejenak.
"Apa saya turuti saja keinginan Fatma ya Ben, dia itu keras kepala semakin aku larang semakin dia akan nekat."
"Tapi kamu emang sanggup menghadapi bahaya diperjalanan nanti ke Surabaya. Ndak takut istrimu kenapa-kenap nanti di jalan."
Danu terdiam kembali memikirkan perkataan Beni. Pria berkumis tebal dengan pakainan kas jawa itu memang lebih tua dari Danu. Walau seperti itu, Beni adalah sahabat satu-satunnya yang paling Danu percayain.
"Tapi Nu, saya yakin kamu bisa melindungi Fatma. Walau Fatma keras kepala dan ceroboh dia tetap nurut sama perkataanmu. Itu artinya dia masih bisa di atur. Sepeti yang kamu bilang semakin di kekang dia bakal semakin ngeyel dan bahkan bisa saja dia nekat."
Sontak Danu menatap tajam kearah Beni. Dia bahkan tidak ingin membayangkan jika Fatma benar-benar nekat pulang sendiri ke Surabaya.
"Nekat bagaimana! Kamu ini jangan nakut-nakutin saya!." Memukul bahu Beni dengan keras.
"Wadoh!!!. Sakit wedos!!"
"Saya ini ngga nakut-nakutin kamu. Bisa saja si Fatma minggat sendiri ke Sur-"
"Sudah! saya tidak mau mendengar ocehanmu lagi." Menaiki sepeda dan mengayunnya meninggalkan Beni yang masih belum menyelesaikan perkataannya.
"Weh. Wedos. Ada orang bicara malah minggat!"
**
Sudah hampir dua hari Fatma tidak mau makan dan terus mengurung dirinya bahkan dia tidak ingin bicara satu kata pun. Danu semakin Frustasi melihat tingkah istrinya itu. Dia bahkan sudah tidak bisa berfikir jernih lagi.
"Fatma maunya apa, biar Mas ngga serba salah seperti ini." Seru Danu yang hanya di balas dengan lirikan malas oleh Fatma.
"Fatma ndak mau makan, bahkan berbicara sama Mas juga tidak mau."
"Fatma kan sudah bilang, kalo Fatma mau pulang ke Surabaya!"
"FATMA!!!" Bentak Danu.
Suasana Rumah sederhana berlapis kayu yang selalu terlihat ramah seketika berubah menjadi hening.
Suara menggema Danu seakan menusuk telinga setiap orang yang lewat.
Fatma menatap tajam kearah suaminya itu. Seketika air matanya menetes. Danu sedikit merasa bersalah telah bernada keras kearah istrinya.
"Fatma cuma ingin melihat ibu Mas," air mata Fatma semakin deras mengalir. Danu yang saat itu sedang marah seketika merasa semakin bersalah telah membentak Fatma.
Danu mendekat dan memeluk Fatma.
"Maafin Mas ya, Mas udah bentak Fatma. Kalo Fatma memang mau pulang ke Surabaya, besok akan Mas antar."
***
Keadaan di Surabaya semankin memuncak setelah diadakannya rapat yang dilakukan beberapa anggota untuk menanggapi tindakan inggris yang di anggap provokatip.
Dengan mengluarkan pamflet dan ulimatum agar rakyat Indonesia menyerahkan seluruh senjatanya yang di ambil dari Jepang kepada Inggris. Itu artinya Inggris tidak mengakui kedaulatan Indonesia sebagai negara merdeka.
Surabaya semakin panas setelah Soemarsoeno mengumumkan pidatonya diradio-radio.
Tentang tujuan Inggris datang ke Surabaya. Soemarsono adalah salah satu anggota Badan Perjuangan Bersenjata yang hadir dirapat yang diadakan di Surabaya.
“Tentara Inggris yang berkedok sebagai Tentara Sekutu itu
sebenarnya adalah tentara penjajah yang membantu NICA untuk menghancurkan
kemerdekaan bangsa Indonesia, karenanya harus dilawan!” suara pidato Soemarsono yang di susul pidato Bung Tomo semakin membakar semangat Rakyat Surabaya untuk melawan penjajah.
Danu yang sedang mendengarkan serius radio yang mengumumkan tentang berita itu semakin cemas. Akan terjadi perang besar di Surabaya perang yan g akan mempertaruhkan kehormatan bangsa.
Perang yang akan menunjukan indonesia yang sebenarnya.
Danu segera melipat sarung dan bangkit dari duduknya. Dia mengambil selimut di ranjang dan menyelimuti Fatma yang tengah tertidur pulas.
Kecemasan semakin mengantui Danu akankah dia dapat membawa Fatma ke Surabaya menemui keluarganya sedangkan diluar sana tengah terjadi perang besar melwan iblis-iblis penjajah.
Bahaya mungkin saja akan mereka temui. Dan satu hal yang sangat dia takuti adalah kehilangan Fatma.
Namun Danu tidak akan membiarkan hal itu terjadi.
"Setiap detik. Hanya satu harapan semoga kelak, perjuangan mereka tidak di nodai hanya dengan perbedaan ".
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top