8.
"Mi ... kaus kaki adek bolong. Jempolnya kelihatan." Bayu datang mendekat pada Shanti yang tengah konsentrasi menggambar alis. Malam ini acara resepsi pernikahan Herman, dan ia berkeras ingin tampil paripurna.
"Mi ... jempol adek terasa kena angin." Tangan Bayu menarik sudut lengan dres yang Shanti kenakan. Mau tau mau, ada garis tak singkron yang tergambar di wajahnya.
"Isshhh, Adek!" tegur Shanti sedikit kesal. Ia ingin membentak Bayu yang menggangunya berhias, tetapi urung karena takut Wisnu akan murka seperti beberapa hari lalu. "Kalau kaus kaki yang itu bolong, kan bisa cari kaus kaki yang lain. Minta tolong Papi, sana." Shanti mendorong pelan bungsunya sembari mengibas tangan ringan. "Mama lagi sibuk," tambahnya seraya memarerkan pensil alis.
Shanti menghela napas panjang. Mau kondangan saja begini ribetnya. Wisnu tengah sibuk menyiapkan Ryan, sedang ia sibuk sendiri sejak tadi di kamar untuk berhias dan memastikan payet-payet di dress baru tidak ada yang rontok. Dress berwarna putih keemasan yang cocok dengan alas kaki coklat keemasan, membuatnya percaya diri akan tampil paling cantik di acara nanti.
"Mi ... kaos kaki Bayu dimana?" Suara Wisnu terdengar dari kamar anak-anak.
Shanti mendengkus sesaat sebelum menjawab. "Laci celana dalam. Semua di sana."
Ah, selalu begini. Jika ingin pergi keluar rumah, selalu saja ada keributan kecil yang membuat geraknya harus melambat. Namun, saat ini waktu berhias Shanti tak boleh diganggu gugat. Ia ingin tampil prima, seperti saat reuni 10 tahun lalu.
Kurang dari dua jam kemudian, mobil Wisnu memasuki hotel tempat resepsi diadakan. Dada Shanti sedikit berdebar dengan antusiasme bertemu teman-teman lamanya. Apa kabar setelah enam tahun tak bertemu? Terakhir kali Shanti berkumpul bersama teman-temannya, saat acara pernikahan Ika. Setelah itu, ia jarang datang ke acara resepsi jika diundang.
"Shanti, Wisnu?" Suara seseorang menyapa.
Wisnu yang tengah menggendong Bayu berbalik untuk menatap asal suara. Pria itu tersenyum lalu balas menyapa. Begitu pun Shanti yang menggandeng Ryan. Menyapa teman-teman lain yang bertemu di lobi hotel tempat acara resepsi Herman.
Mereka saling sapa dan bertanya kabar, dilanjut menaiki lift bersama menuju hall tempat acara diadakan. Acara resepsi Herman terbilang cukup mewah. Shanti sempat terkagum dalam hati dengan fasilitas dan makanan yang tersaji di acara ini. Ah, semoga penampilannya sedah sesuai dengan kemewahan ini.
"Ini pernikahan kedua Herman." Seorang teman Shanti yang tengah berkumpul bersama Ika dan lainnya, menginformasikan hal ini. "Gosipnya, cewek ini orang ketiga perceraian Herman sama istrinya. Padahal istrinya Herman cantik banget, kan? Anak mereka juga lucu. Eh, hancur juga sama pelakor."
"Ah masa, sih?" Ika terlihat tak percaya. "Yang gue denger, istri pertamanya memang malas dan suka buang-buang uang Herman. Keluarga Herman gak suka sama tabiat mantan istrinya yang boros dan hedon itu. Terus, pengantin perempuan ini tuh, bawahan Herman yang bikin usaha Herman berkembang pesat. Setahu gue gitu."
"Kok, gue malah gak tahu apa-apa," celetuk Shanti yang sejak tadi bingung sendiri. "Intinya, cewek ini hadir sebelum Herman cerai sama mantan istrinya? Apapun masalah rumah tangga dia sebelumnya itu?"
Semua wanita di lingkaran itu mengangguk. "Kebetulan, pengantinnya ini lebih muda jauh, lebih cantik, lebih sederhana, dan ... pintar. Gak dipungkiri, usaha karaoke dan restaurant Herman maju pesat, kan?"
Shanti mengangguk setuju. Herman ini memang pengusaha muda terkenal di ibu kota. Memiliki puluhan karaoke keluarga dan ratusan franchise resto sea food cepat saji. Hanya saja, Shanti tak menyangka bahwa rumah tangga pria itu ternyata memiliki kisah yang tak enak diengar.
"Jaman sekarang, perempuan yang pintar dan bisa memberi keuntungan bagi pria, lebih dicari dari pada sekadar cantik fisik."
"Halah, belom tentu," sangkal salah satu diantara mereka. "Sazkia, belum nikah sampai sekarang loh. Denger-denger, karirnya bagus banget sebagai marcom manager di perusahaan seluler. Gajinya gede dan sering ke luar negeri. Kurang pintar apa, dia? Kaya iya. Cantik? Jangan ditanya. Dari dulu, dia yang paling kinclong di antara kita."
"Sazkia masih lajang?" Suara Shanti tak bisa dikendalikan lagi. Keterkejutan jelas tercetak di wajahnya dengan mata yang membeliak tanpa ragu.
Beberapa wanita di lingkaran itu mengangguk dengan wajah bingung mendapati reaksi Shanti. "Memangnya kenapa, Shan?" tanya salah satu di antara mereka.
Wajah Shanti perlahan memucat dengan ketegangan yang membuatnya tampak pasi juga. Terbata, wanita itu berkata sambil melirik ke arah Wisnu bersama dua putra mereka. "Dari tadi Szakia sama laki gue di meja VIP sana."
"Ah, bego, Shanti! Laki lo kenapa gak dijagain, sih?" Ika mulai ikut senewen. "Gue males ada drama kumenangis membayangkan, Ya!"
"Udah akh, gue mau ke sana dulu!" Shanti segera beranjak dari pekumpulan kecilnya dan berjalan cepat menuju meja VIP tempat Wisnu dan anak mereka.
Sebelum Shanti berkumpul dengan genk kuliahnya, ia memastikan jika ketiga laki-lakinya dudu tenang menikmati zuppa soup dan bulgogi. Memang tak lama setelah itu, Shanti mendapati Sazkia datang dan bicara dengan suaminya. Ia pikir hanya sekadar sapa basa-basi. Meski sedikit bertanya dalam hati mengapa wanita itu lama duduk di meja bundar yang ditempati suaminya, pikiran Shanti tak sampai ke arah jika Sazkia ternyata single, kaya, tetap cantik, karir gemilang, dan bisa jadi ....
"Papi," sapa Shanti sedikit lantang, lalu mencium pipi Wisnu dengan sengaja di depan semua orang.
Wisnu sedikit menjauhkan wajahnya, setelah tampak kaget dengan aksi sang istri. "Malu, Mi," tegur Wisnu pelan dengan senyuman, tetapi mata pria itu menghunus tajam pada Shanti.
Shanti tak acuh dan tetap bersikap santai. Ia menjabat tangan Sazkia dan berbasa basi. Tak lama, Wisnu pamit menemui mantan dosen mereka yang ternyata juga menjadi tamu acara ini.
"Ngobrolin apa saja sama suami gue, Saz?" Shanti tersenyum sopan, tetapi hatinya mulai panas.
Sazkia yang duduk dengan anggun, meminum sedikit soft drink yang ada di atas mejanya. "Biasa, kerjaan. Gue baru tahu, kalau Wisnu udah jadi manager kaya gue. Hebat juga dia."
Shanti menyunggingkan senyum jemawa. "Selalu ada wanita hebat di balik kesuksesan pria, Saz."
Sazkia tersenyum simpul, tetapi tampak misterius. "Dan ... di balik kesuksesan pria, pasti ada setidaknya sedikit patah hati yang menjadi cambuknya untuk maju. Gue tadi hanya minta maaf ke suami lo, kalau surat cinta yang dia kasih dulu ke gue, belum sempat sampai ke gue karena sudah dibuang sama Hendy, gebetan gue. Gue minta maaf untuk itu aja, sih."
Hati Shanti mendadak panas. "Itu masa lalu, ya. Sekarang, Wisnu sudah punya anak dan istri."
"Gue tahu, dan istrinya lagi di depan gue dengan dandanan yang ...," mata Sazkia memindai penampilan Shanti, "dangdut banget."
"Sialan lo, ya!" desis Shanti geram.
"Sorry, Shan. Di dunia kita, bicara jujur itu perlu. Gue gak menghina lo, ya. Gak ada yang salah kok dengan tampilan ala dangdut. Hanya saja, sedikit kurang cocok dengan elo yang sudah punya anak dua dan istri pejabat perusahaan ternama. Lo harus tahu bagaimana berhias yang pantas, bukan norak kayak gini." Sazkia beranjak dari duduknya, lalu mengambil tas kecil bermerek yang Shanti yakin tak akan mungkin Wisnu belikan untuknya. "Tapi wajar sih, kata Wisnu lo hanya ibu rumah tangga yang gue yakin kurang pergaulan."
Tanpa menghiraukan Shanti yang tampak mati-matian menahan emosi, Sazkia pamit padanya dan teman-teman lain di meja mereka masing-masing. Dari tempatnya duduk, Shanti jelas melihat bagaimana Sazkia mencoba cari perhatian pada suaminya.
"Gue duluan, ya, Nu. Jangan lupa sama tawaran gue tadi." Mata Sazkia bahkan mengerling penuh goda pada suaminya yang tersenyum semringah.
"Gampang. Nanti gue pikirin," jawab Wisnu antusias seraya mengacungkan jempolnya. Jangan lupa, senyum Wisnu kepada Sazkia sangat manis dan tampak penuh kharisma.
Enggan menahan amarahnya lebih lama lagi, Shanti mengambil gelas air minerak dan meneguknya hingga tandas tak bersisa. Wanita itu meminta Ryan menghabiskan cepat puding yang anak itu nikmati, lalu menghampiri Wisnu yang masih bicara pada mantan dosen mereka.
Shanti meminta Wisnu untuk pulang saat itu juga dengan alasan kakinya sakit. Wisnu yang tampak keberatan, akhirnya menyetujui lantas pamit pada rekan-rekan di sana.
"Sazkia cantik banget, ya? Mami baru tahu kalau Papi pernah surat-suratan sama dia."
"Itu masa lalu, Mi. Mami mau Papi suratin juga?" tanya Wisnu seraya menghidupkan mobil mereka.
"Cih, gak sudi. Awas aja kalau Papi berani main belakang sama dia."
"Main apaan sih, Mi?" Wisnu tampak jengah dan menatap Shanti dengan matanya yang tajam.
"Itu tadi. Pas Sazkia pamit pake kedip-kedip manja, papi acung jempol sambil jawab oke-oke. Kesel Mami!"
"Terus mau Mami gimana? Papi bales pake acung jari tengah?"
"Ya gak gitu juga!" Kekesalan Shanti akhirnya meledak. Mata wanita itu merebak air mata akibat akumulasi malu dan sakit hati. Sazkia sialan! Terang-terangan menggoda suaminya setelah menghina habis-habisan statusnya yang seorang ibu rumah tangga juga terkait penampilannya. "Mami benci Sazkia." Tangis Shanti pecah. "Papi jangan deket-deket dia, apapun alasannya!"
"Yang lecet kaki Mami, kenapa jadi Sazkia yang bikin Mami nangis?"
"Gak ada hubungannya sama kaki Mami! Pokoknya sekarang pulang! Jangan deket-deket Sazkia lagi!" Tangis Shanti makin kencang hingga anak-anak mereka tak berani bersuara dan berebut souvenir.
Suasana perjalanan pulang seketika terasa horor dan dingin. Wisnu bingung dengan sikap istrinya, sedang Shanti berperang batin dengan segala hal yang ia ketahui malam ini.
Tentang kemungkinan rumah tangga disisipi wanita yang lebih maju dan modern pola pikir dan kecerdasannya. Tentang Sazkia yang masih lajang dan tak malu menggoda suaminya. Juga tentang Wisnu yang ternyata pernah menyukai mantan model kampus mereka itu.
******
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top