5.

Ingatan Shanti berkelana pada sepuluh tahun lalu. Saat usianya 23 tahun, sedang cantik-cantiknya, dan karir mentereng sebagai admin pabrik kardus besar di Bekasi. Meski hanya admin penjualan, tidak semua bisa memahami bagaimana cara kerjanya yang harus teliti dan memahami tentang dunia kertas. Yang orang-orang tahu, kardus itu yang kotak bungkusnya Indomie atau Shopee. Namun, tak banyak yang tahu jenis kertas apa yang digunakan sebagai bahan kardus dan bagaimana kotak-kotak kertas itu didesain agar isi di dalamnya tetap aman selama proses distribusi.

"Nama kertasnya itu, kertas Kraft. Gramaturnya macem-macem. Tergantung kebutuhan klien. Kalau cuma buat indomie, mah, yang tipis aja, karena enteng isinya. Gramatur 125 dengan satu wall C Float 125 gram juga. Beda sama kardus elektronik atau sparepart yang berat. Harus pake kertas kraft grammatur 200 dengan float B atau C 150 gram. Tergantung kebutuhan, lah."

"Gue gak ngerti lo ngomong apa," kilah Ika yang saat itu masih gencar dengan bisnis kosmetik MLMnya. Ika masih anak baru, belum ada bonus besar atau hadiah jalan-jalan.

Dalam acara reuni kampus itu, Shanti tertawa ringan dengan wajah bangga. Ia menatap semumpulan teman-temannya sembari sedikit mengibas rambut panjang yang menguarkan aroma strawberry. Tiga jam lalu, sebelum datang ke acara reuni, Shanti ke salon dulu. Creambath sekalian blow agar penampilannya paripurna.

"Kalau lo pada mau konsultasi dunia perkardusan, silakan wa gue. Gue siap layakin lo untuk mengedukasi seberapa penting kualitas packaging produk kita. Kalau kantor-kantor lo pada butuh produk kardus, ke gue aja. Nanti gue bantu. Asal, jumlah pemesanan harus gede. Maklum, kantor gue bukan pabrik kardus ecek-ecek."

"Kalau aku butuh edukasi tentang kardus pipa, bisa?"

Suara maskulin itu seketika membuat sekumpulan teman-teman Shanti menoleh pada asal suara. Ada sosok pria bertubuh atletis, kulit putih, berkaca mata modis dengan senyum manis yang mengarah pada Shanti.

Kepala Shanti sedikit miring dengan kening yang mengernyit samar. Siapa pria ini? Tiba-tiba datang, berdiri di sampingnya dan tersenyum manis kepadanya. Mata pria itu terlihat hangat dan ramah. Tatapannya menyenangkan. Membuat Shanti merasakan sesuatu asing yang entah mengapa membuatnya mati-matian menahan sikap, jangan sampai salah tingkah.

"Lo ... Wisnu, bukan? Wisnu yang tiap kelas duduk di pojok paling depan. Gak pernah gaul. Kerjaannya belajar di perpus, di kelas, terus pulang. Gak pernah ikutan kemping atau jalan-jalan. Lo, Wisnu cupu yang itu bukan, sih?" Salah satu kumpulan Shanti bersuara.

Pria yang sejak tadi menatap Shanti dengan senyuman, menoleh pada penanya dan mengangguk santai.

"Buset! Beda banget, lo, Nu! Jadi cakep gini." Seseorang menimpali.

Wisnu hanya tertawa ringan dan kembali memusatkan atensinya pada Shanti. "Jadi, apa aku boleh dapet edukasi kardus untuk pipa?"

"Pipa gak dikardusin, Wisnu! Cupu boleh, bego jangan." Ika menimpali. "Biar gue cuma pegadang kosmetik, gue tahu jelas kalo pipa gak ada yang dikardusin. Modus banget, lo."

Ah, akhirnya Shanti jadi salah tingkah sendiri, kan! Ika kalau bicara selalu benar. Kurang ajar.

Wisnu meringis malu-malu sambil menggaruk kepalanya yang Shanti yakin tidak gatal. Mana mungkin rambut tebal rapi begitu bisa gatal-gatal. Kalaupun iya, Shanti mau kok bantu garukin.

"Pada produk pipa, bukan hanya pipa yang kami jual, Ka. Ada lem pipa, isolasi pipa, fitting pipa dan beberapa aksesoris lain. Untuk benda-benda kecil tersebut, tentu kami bungkus dengan kardus. Cuma, kardus produk pipa kantorku warnanya gak coklat, tapi putih dengan logo kantorku."

"Ya karena dicetak. Blok putih dan cetak deh sesuai kebutuhan," timpal Shanti yang dadanya entah mengapa mulai berdebar.

"Tempat kamu bisa cetak kardus juga?"

Shinta mengangguk pelan, sembari menyelipkan sejumput rambutnya ke belakang telinga. "Bisa," jawabnya lembut dan sangat sopan. Seakan Wisnu adalah CEO pabrik pipa besar yang berpotensi memberinya mega proyek tahunan. Padahal, pria itu hanya sales biasa.

"Memangnya kerjaanlo ngardusin lem, Nu?" Ika kembali bersuara dengan wajah penuh curiga. "Kan sayang tampang lo udah cakep gitu, kerjanya cuma ngardusin lem pipa."

Kini, entah mengapa Wisnu tampak bergerak salah tingkah dengan wajah malu-malu. "Bukan. Aku sales, tapi harus tahu dan paham tentang produk sampe ke kemasannya. Aku harus belajar tentang itu supaya bisa menjelaskan ke calon klien, mengapa harga kami relatif tinggi karena kualitas produk kami perhatikan hingga ke kemasannya."

"Sampe udah kerja masih demen belajar aja, Nu," goda salah satu suara.

"Harus," jawab Wisnu santai. "Kebetulan akhir-akhir ini proyek yang aku pegang lagi lumayan butuh perhatian. Pengadaan pipa untuk pembangunan pabrik dan beberapa gedung perkantoran. Sama mau nargetin bisa menang tender pengadaan untuk pembangunan stasium MRT."

"Hoah ... keren banget, Nu." Kali ini, binar mata Ika tulus memuji. "Belajar tekun ada hasilnya, ya."

Wisnu hanya tersenyum simpul pada Ika, lantas menatap Shanti lagi yang wajahnya mulai terpana. "Jadi, bisa kita pulang bareng nanti? Aku beneran mau belajar tentang kardus sama kamu."

Entah ini modus atau tulus, Shanti tak bisa membedakan lagi. Intinya, Wisnu sudah berubah sejak dua tahun berpisah setelah mereka wisuda. Anak cupu ini sekarang lebih modis dengan tubuh atletis. Pekerjaannya juga tak bisa diremehkan.

"Boleh." Shanti menjawab pelan dengan jantung yang berdebar kencang.

Semenjak itu, entah mengapa Wisnu jadi sering main ke rumah Shanti. Terkadang, pria itu menjemput Shanti di kantornya dengan alasan baru pulang meeting dengan salah satu pabrik dekat pabrik kardus Shanti.

Mereka tak memiliki hubungan. Wisnu tak pernah utarakan cinta. Setiap ke rumah Shanti, Wisnu menemui ayah Shanti dan mereka main catur sambil membahas apapun hingga tak terasa malam sudah larut dan Wisnu pulang.

Hingga delapan bulan kemudian sejak reuni itu.

Wisnu : Shanti. Aku mau ngajak kamu bikin organisasi. Mau? Tadi aku udah bahas sama ayah kamu. Beliau setuju dan bersedia jadi dewan pembina dan pengawas organisasi yang mau aku buat.

Kening Shanti sontak menyernyit dalam mendapati pesan Wisnu malam ini. Baru tiga puluh mneit lalu ia pulang dari rumah Shanti, tiba-tiba mengirim pesan seperti ini.

Shanti : Organisasi? Organisasi apa? Aku gak ngerti.

Wisnu : Jadi, di organisasi ini nanti, aku ketuanya dan kamu wakilnya. Pokoknya, kita pemilik organisasi ini nanti. Kita belajar leadership bareng-bareng. Kita bikin anggota yang banyak. Mereka nanti boleh panggil kamu Bunda, Mama, Mami, atau apapun yang kamu suka. Jumlah anggota pun kita diskusikan bersama. Berapa yang kamu mau dan kita konsultasi ke dokter setelah peresmian organisasi ini.

Demi Tuhan, bahkan petir yang tiba-tiba berbunyi kencang beserta hujan deras yang tiba-tiba turun tengah malam buta, tak membuat Shanti takut. Gadis ini justru tertawa kencang dan terbahak hingga air matanya merebak keluar. Ia bingung harus jawab apa terhadap ajakan Wisnu saat ini. Tangannya gemetar dan jemari lentik yang baru saja dimanicure itu tak bisa mengetik satu kata pun.

Wisnu : Shan, gimana? Kok pesan aku gak dibalas? Kalau kamu setuju, Sabtu besok aku mau ke rumah kamu sama orangtuaku.

Allahurobbi. Sabtu besok? Shanti pakai baju apa? Bicara apa? Harus bagaimana?

Wisnu : Shanti? Gimana?

Mengucap basmallah berkali-kali, jemari Shanti mebalas dengan tenang dan pelan sekali.

Shanti : Tanya papa mamaku. Kalau Sabtu besok mereka ada teh dan kue, kamu datang aja. Kalau enggak, bawa sendiri teh dan kue dari rumah kamu.

Tak sampai lima detik, balasan Wisnu datang lagi.

Wisnu : Sampai bertemu, calon istri, eh salah, calon wakil.

Malam itu, Shanti tertidur pulas dengan bibir yang tak henti tersenyum hingga pagi.

Lamunan Shanti harus berakhir saat ponselnya berdering. Wisnu menghubunginya sore ini. Ada apa?

"Ya, Pi?" tanya Shanti setelah menjawab salam Wisnu.

"Papi mampir ke rumah, Mi. Ada bendelan kertas penting ketinggalan di kamar. Mami bisa ambilin, gak? Jadi, Papi gak harus turun mobil. Papi mau ada rapat lemburan sama tim ini. Penting banget." Lalu Wisnu mengarahkan Shanti untuk mengambil benda yang pria itu maksud dan membuat istrinya menunggu mobil Wisnu di depan rumah mereka.

Tak lama, mobil Wisnu terlihat. Shanti berjalan ke arah pintu kemudi dan hatinya sakit melihat wanita cantik duduk di kursi yang biasa ia tempati. Sial. Sore ini ia belum mandi, rambut berantakan, wajah berkeringat, dan daster yang bolong di beberapa tempat. Ia lupa melakukan pinta Wisnu tentang membuang daster ini. Mau bagaimana lagi, rasanya enak dikenakan!

"Selamat sore ... Bu?" Wanita di sebelah Wisnu menyapanya dengan wajah bingung. "Pembantu ... Mas Wisnu?"

"Istri saya," jawab Wisnu santai sambil menerima bendelan kertas itu. "Jalan dulu, Mi. Papi pulang malam. Gak makan di rumah, ya." Lalu Wisnu menutup jendela mobilnya dan kendaraan itu melaju pergi meninggalkan Shanti yang merasa harga dirinya terinjak sehancur mungkin.

Wisnu tak memperkenalkan wanita itu pada dirinya. Hanya mengatakan istri tanpa perkenalan resmi atau setidaknya senyum. Wisnu bahkan tak menoleh lama pada wajahnya. Setelah menerima bendelan kertas itu dan memberikannya pada si wanita berwajah menor, pria itu langsung menutup jendela dan pergi.

Apa kabar organisasi yang dulu Wisnu bicarakan saat melamarnya? Bagaimana nasib anggota cilik mereka jika ada anggota baru yang memicu perpecahan? Shanti mulai bimbang. Ia harus apa? Pastinya, mempertahankan apapun yang ia bangun bersama Wisnu selama sembilan tahun ini. Tapi, apa Shanti bisa?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top