4.
Apa kurangnya aku di dalam hidupmu, hingga kau curangi aku?
Halah! Lagu apaan sih ini? Shanti seharusnya tidak memutar lagu-lagu melow seperti ini saat hatinya masih terasa rapuh. Ia bahkan belum beranjak dari depan cermin sejak tiga puluh menit lalu. Padahal, Ryan sudah membuat Bayu dua kali menangis karena tidak mau meminjamkan mainannya. Shanti yang biasanya menjadi wasit galak, tiba-tiba mematung seakan tak peduli apa yang terjadi pada kedua putranya.
Matanya sembab akibat menangis semalaman. Pagi tadi, saat Wisnu terbangun dan mendapati wajah Shanti berantakan akibat tangis yang tak henti hingga dini hari, pria polos mantan mahasiswa cupu itu hanya mengernyit samar sebelum bertanya, "Apa semalam aku bikin kamu sakit, Mi?" Lalu Wisnu tanpa sungkan-sungkan membuka kembali daster Shanti untuk melihat apakah ada bercak merah kebiruan yang berpotensi menjadi penyebab istrinya menangis.
Shanti yang sedang sakit hati setengah mati, hanya bisa berteriak tanpa suara, lalu pergi ke kamar mandi mengunci diri. Wisnu benar-benar ulung menyembunyikan kebejatannya.
Hingga Wisnu pergi bekerja, pria itu tak sekalipun mengajak Shanti bicara. Ia tetap menikmati secangkir kopi yang ia buat sendiri karena Shanti mengurung diir di kamar dan membawa satu bungkus bakery untuk dinikmati di perjalanan.
"Aku harus apa?" Bibir Shanti gemetar halus saat mengucapkan kalimat itu. Tangannya mengusap pipinya masih terasa basah karena sesaat lalu, ia menangis lagi.
Mata wanita itu memindai sekali lagi tubuhnya. Perut bergelambir yang tak lagi semenarik saat awal menikah dulu. Tetapi hal itu tentu terjadi karena ulah Wisnu juga. Pria itu yang membuatnya dua kali hamil dan melakukan operasi melahirkan. Membuatnya mau tak mau menghabiskan sisa makanan jika lauk yang ia beli tak habis. Cari uang tidak gampang, jadi Shanti paling anti membuang makanan yang ia beli. Apa lagi, jika harganya relatif mahal.
Setelah prihatin dengan perubahan bentuk perut dan pinggulnya, kini mata Shanti kembali menuju wajah wanita itu. Ujung mata yang mulai berkeriput dan beberapa titik hitam yang tersebar di bawah mata. Pipinya pun tak semerona saat baru melahhirkan Ryan. Waktu memang selalu jujur. Tak pernah membohongi siapapun tentang usia.
"Baru keriput dikit aja, Wisnu udah begini. Gimana kalau gue beneran jadi nenek-nenek?"
Bukannya Shanti enggan merawat diri. Hanya saja, ia sadar jika nasibnya tidak seperti Maia Estianty atau Syahrini yang dinikahi pengusaha kaya. Ia harus pandai mengatur keuangan demi anak-anaknya. Ada saat dimana ia harus bersiap dengan segala permohonan bantuan keuangan dari keluarga atau amplop kondangan yang tak bisa diisi dengan satu lembar rupiah. Ia harus menjaga nama Wisnu di depan publik sebagai pria yang sudah mapan.
Kadang, biaya rumah sakit juga tak bisa diprediksi. Meski Wisnu mendapat fasilitas kesehatan bagus dari perusahaannya untuk keluarga mereka, tetap saja paling tidak ia harus mengeluarkan satu dua juta untuk biaya operasional. Jadi, harusnya Wisnu paham mengapa sejak di rumah saja, Shanti lebih suka membeli daster kelas pasar dan perlahan berhenti perawatan.
Shanti menarik napas panjang dan berusaha mengenyahkan segala gundah yang memberatkan hati dan harinya. Ia harus keluar kamar dan bertindak sebagai polisi juga hakim pada kedua anaknya. Ryan yang terlalu dimanja oleh orang tua Wisnu, membuat anak itu menjadi sulit menerima kehadiran Bayu. Akibatnya, Shanti harus turun tangan membuat mereka terus akur dan memahami konsep adik kakak.
"Pada mau mama mati muda, ya? Berantem terooss!!" Batinnya berteriak memprovokasi hati. Bagaimana keriput-keriput itu tidak berdatangan jika hari-harinya diisi dengan emosi seperti ini tiada henti. "Kasih pinjam adiknya! Kamu main sepeda saja di luar atau nonton tv. Jangan ganggu adik main Tobotnya kamu."
"Adik main lego aja, Mi!" Ryan membantah.
"Adik kamu minta Tobot, bukan Lego. Kasih sekarang!" Gaya Shanti bukan lagi seperti aparat keamanan, tapi lebih seperti singa galak tanpa pawang. Ia berkacak pinggang dengan mulut yang bersuara lantang dan wajah sangar.
Ryan tampak murka namun tak bisa melakukan perlawanan. Bocah itu membanting Tobot warna kuning sebelum lari ke luar rumah. Tak lupa, sebelum membanting pintu, Ryan berteriak, "Mami jahat!"
Sakit hatinya jadi terasa dua kali lipat. Dicurangi suami, lalu dibenci anak sendiri. Hampir gila rasanya jika harus terus bertahan dengan kondisi ini. Belum pulih pikiran kacaunya, tubuhnya yan ikutan lemas harus membereskan rumah. Lego berceceran, aneka hotwheel yang tak Ryan kembalikan ke kotak penyimpanan juga pedang serta pistol mainan.
Setelah memastikan Bayu duduk manis bermain Tobot, Shanti mulai membungkuk dan memunguti mainan anak-anaknya. Ia membereskan lantai dan membersihkannya hingga rapi, lalu menuju dapur untuk menyelesaikan cucian yang menumpuk. Setelah ini, ia harus berpikir beli lauk apa untuk makan malam. Jika terlalu malas, nugget dan spaghetti bolehlah jadi pilihan.
"Lo yakin si cupu kesayangan lo itu selingkuh?" Suara Ika terdengar ragu dari seberang sana. Namun, ia sendiri yang membuat hipotesa itu. "Bisa aja, sih, secara marketing itu cantik-cantik."
"Kebanyakan anak buahnya cowok, Ka. Sales pipa kebanyakan cowok," kilah Shanti membela suaminya. "Cuma, laki gue yang selalu lo bilang cupu itu, mau gak mau harus lo akuin tambah ganteng. Sejak kita ketemu lagi sama dia di reuni, dia udah berubah. Lebih rapi, supel, modis, sering senyum, dan ... menggoda. Gak usah ngelak, lo sendiri yang dulu bilang Wisnu tambah cakep."
"Itu sebelum dia nikah sama elo, Shanti. Setelah nikah biasa aja di mata gue. Perutnya juga buncit."
"Perut laki gue buncit, tapi pesonanya makin bersinar. Tiap malem gue lihatin wajah dia. Wibawanya kelihatan, kharismanya semakin menguar entah kenapa. Bener badannya gak seatletis waktu kami awal menikah, tapi tetep aja gue selalu tergoda. Apalagi cabe-cabean di luar sana." Shanti menghela napas panjang, demi mengurai gelisah yang semakin memadati pikirannya. "Anak buah dia kebanyakan cowok, tapi gak sedikit juga yang cewek. Bisa jadi pikiranlo bener kalau marketing yang cantik-cantik di kantor itu, ada satu yang laki gue simpen di otaknya."
"Wisnu gimana lihat lo nangis?"
"Biasa aja. Tetep sarapan, terus berangkat kerja sekalian antar Ryan sekolah. Kaya gak ada apa-apa."
Tawa geli campur prihatin terdengar dari Ika. "Coba lo godain kaya semalam. Dia respons, gak? Gue suka make up sex setelah berantem. Lo harus lakuin itu. Inget, Shan, lo udah menjalin pernikahan sama Wisnu selama sembilan tahun. Lo harus menguasai hidup Wisnu, juga dirinya."
"Gimana ceritanya gue godain dia di masa hati gue gondok gini!"
"Elaaah, kaya pengantin bocah aja, sih, lo! Tinggal lempar ponselnya kalo dia masih sibuk chat entah sama siapa, terus serang dia. Gue yakin dia gak bakal nolak."
Shanti bukan wanita agresif. Saat ia dan Wisnu memulai hubungan, Wisnulah yang aktif. Pria itu memiliki caranya sendiri menjerat Shanti hingga mereka mendapat restu menikah. Cara Wisnu yang tak bisa diprediksi, membuat Shanti merasa terkejut dengan taburan cinta. Hingga tanpa bisa wanita itu cegah, jatuh cinta pada Wisnu menjadi pilihan dan takdirnya.
"Gak usah bengong! Sayang-sayang pulsa. Gue ada webinar sebentar lagi. Lo pikir-pikir saran gue tadi. Jangan buruk sangka dulu sama Wisnu. Kalaupun beneran dia nyeleweng, lo harus menangin dia. Oke!"
"Hm,"
"Menjalin dan mempertahankan rumah tangga itu gak kaya drama korea yang cuma enam belas episode dengan satu dua konflik. Kita hidup di dunia nyata yang kadang kondisi dan masalahnya gak bisa kita prediksi sendiri. Tetap semangat, sayangku. Gue selalu ada buat lo."
Sambungan antara Ika dan Shanti terputus. Shanti menghela napas dan mencoba memahami masukan-masukan sahabatnya. Ia harus segera mandi dan merebus spaghetti. Badannya sudah terasa lengket dan lelah. Ia pun harus bersiap bicara atau melakukan sesuatu demi keutuhan rumah tangganya.
Pukul sepuluh malam lewat empat puluh menit. Anak-anak sudah tidur di kamar Shanti, karena wanita itu lupa memanggil servis ac seperti janjinya pada Wisnu. Sedang ia sendiri, cemas menunggu Wisnu sambil tetap konsentrasi menyelesaikan layout. Tidak biasanya Wisnu pulang telat begini. Kalaupun harus lembur, suaminya akan pamit. Namun, tak ada kabar dari Wisnu. Shanti enggan menghubungi duluan karena gengsi dan egonya masih setinggi tower provider.
Hatinya lega saat deru mobil Wisnu akhirnya terdengar. Ia tak berajak membuka pintu dan tetap berada di mejanya, dengan gestur seakan fokus mengerjakan tugas.
Tak ada ucapan salam atau sapa saat Wisnu masuk. Pria itu hanya menatap Shanti sesaat yang tanpa sadar Shanti balas hingga mereka saling bertukar pandangan selama beberapa detik, lalu kembali buang muka. Ah, kalau begini Shanti jadi bingung untuk bergerak.
"AC belum selesai?" Dari semua pembahasan, perkara kecil itu yang Wisnu masalahkan?
"Tukang ACnya libur," dusta Shanti.
Wisnu hanya berdeham, lalu lanjut melakukan rutinitasnya sebelum tidur. Mereka kembali tidur di kasur palembang depan tivi. Shanti menyusul berbaring setelah Wisnu mengahbiskan sisa spaghetti buatannya tanpa pujian atau terima kasih. Mereka saling terdiam, sebelum akhirnya Wisnu menoleh dan pandangan mereka saling bertemu.
"Semalam kamu kenapa? Aku ada salah?"
Shanti mengulum bibirnya dan menggigit pelan. Bagaimana caranya bertanya pada Wisnu tentang lipstik dan siapa pemiliknya. Ia belum siap bertengkar atau dibohongi lagi.
"Shanti," panggil Wisnu dengan wajah yang semakin mendekat pada wajah istrinya. "Aku bikin kamu sakit semalam? Apa aku terlalu semangat dan bikin kamu gak nyaman?"
Embusan napas Wisnu terasa jelas di kulit wajah Shanti. Jika begini, otak Shanti semakin tumpul dan dia hanya bisa membalas dengan memulai lumatan lembut. Hanya sebentar, karena setelah itu ponsel Wisnu berbunyi dan pria itu menyudahi ciuman mereka.
"Aku angkat telepon dulu. Urgent." Lalu Wisnu meninggalkan Shanti yang semakin sesak napas. Wisnu menginggalkannya. Pria itu menerima telepon yang katanya mendesak di teras, alih-alih meja makan yang bisa Shanti dengan dari ruang tivi ini.
Siapa sih yang menghubungi suaminya selarut malam ini?
*****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top