3.

Kata Ika, Shanti harus segera bergerak cepat atau ia bisa terlambat dan semua sudah terlanjur runyam. Masalahnya, Shanti tidak tahu harus bergerak seperti apa dan bagaimana menilai jika rumah tangganya sudah berada di titik runyam.

Wisnu memang lebih sering diam akhir-akhir ini. Namun, pria itu tak pernah tampak marah atau kecewa mendapati rumah masih berantakan atau masakan yang lupa dihangatkan. Shanti memang hampir tak pernah masak. Ia selalu membeli lauk matang dengan alasan efisiensi waktu dan tenaga. Mengurus sekolah Ryan dan menjaga Bayu ditengah tumpukan orderan layout, membuat wanita itu tak mungkin sempat berkutat di dapur. Jika Shanti sedang lupa membeli lauk makan malam, Wisnu juga tak pernah marah. Pria itu akan mengambil motor matik mereka dan mengajak Bayu atau Ryan memilih menu makan malam untuk keluarga kecil mereka.

Sesederhana dan sesantai itu hidup Shanti. Namun, entah mengapa segala kemudahan dan pemakluman yang Wisnu berikan, membuatnya merasa cemas akan nasib hubungannya dengan sang suami.

"Lo harus kembali seperti saat kalian pertama kali jatuh cinta."

Saran Ika terngiang terus di kepala Shanti. Bahkan, hingga dua hari setelah percakapan mereka. Iya, sudah dua hari berlalu namun Shanti belum bergerak sedikitpun.

Denting pesan masuk berbunyi. Shanti membuka ponselnya dan mendapati pesan bahwa ada satu naskah baru yang harus ia layout.

"Ini naskah mature romance, ya, Mbak. Jadi, tolong dilayout dengan konsep yang menggairahkan namun tak vulgar."

Shanti mengerjap seraya berpikir tentang menggairahkan yang tak vulgar. Ikon atau vector apa yang harus ia gunakan untuk menghias lembaran-lembaran novel itu nantinya? Begini saja. Shanti butuh membaca beberapa bab secara acak untuk mengidentifikasi apa tema cerita itu. Ia bisa berimaginasi dan membuat konsep menggairahkan tanpa harus menempelkan ikon-ikon vulgar.

Ketika Shanti bergerak menuju meja komputer dan mulai membuka surel untuk membaca judul atau apapun untuk mendapatkan ide menatap layout naskah ini. Namun, konsentrasinya tak bisa maksimal. Setelah membaca judul novel yang akan ia layout, hatinya justru cemas.

"Godaan Wanita Muda? Judul macam apa ini?" Shanti mendumal sendiri. Biasanya, apapun judul atau cerita yang ia garap, ia tak peduli. Baginya, yang penting tampilan halaman rapi dan bagus, selesai kerjanya. Hanya saja, entah mengapa kali ini emosi dan perasaan ikut merecoki pikiran yang biasanya santai.

Alih-alih membaca acak bab untuk mengetahui tema cerita, Shanti justru menyandarkan kepala di atas meja komputernya hingga tanpa sadar matanya terpejam. Otak Shanti berputar keras memikirkan setiap wejangan Ika tentang apa yang harus ia lakukan pada suaminya, pada rumah tangganya, hubungan mereka, juga bagaimana mengatur rumahnya dengan baik.

Sayang, belum sampai pikirannya menemukan solusi, mata itu harus terbuka seketika saat mendengar keributan di dapur. Dengan cepat, Shanti berlari menuju sumber suara pecahan kaca dan melihat Bayu gemetar di tengah lantai yang kacau.

"Kamu ngapain?" Sebenarnya Shanti tak ingin berteriak, tetapi suaranya tak bisa dikendalikan. "Jangan bergerak! Tunggu sampai Mami membersihkan ini!" Sambil mendelik pada anaknya, Shanti mengambil sapu dan pengki, lalu menyapu pecahan kaca gelas yang berserakan bersama ceceran susu cair kotak.

"Adek mau susu. Mau bobok." Bayu mulai menangis dengan nada penuh penyesalan.

"Bisa minta tolong Mami, kan?"

"Mami lagi bobok di meja, tadi. Nanti Mami marahin Bayu." Bocah itu mulai sesegukan dengan wajah penuh rasa bersalah dan takut.

Shanti menghela napas panjang. Sebegini rumitkah hidup sebagai istri dan ibu di rumah saja? Enggan memperpanjang omelannya, Shanti mempercepa bersih-bersih lantai lantas mengangkat Bayu menuju kamar anak itu.

"Panas, Mi," keluh Bayu saat mereka baru saja membuka pintu.

Kening Shanti mengernyit, lalu menengadah menatap ac yang ada di kamar anaknya. "Ah, Mami lupa servis sekaligus cuci acnya. Bayu tidur kamar Mami saja." Lalu, mereka pindah ke kamar Shanti dan menidurkan Bayu hingga terlelap.

******

Deru mobil Wisnu terdengar saat jam menunjukkan pukul sembilan malam. Ryan sedang membereskan buku-buku pelajaran yang harus anak itu bawa untuk sekolah esok, sedang Bayu sudah terlelap sejak satu jam lalu.

"Waalaikumsalam, Papi." Shanti menyambut Wisnu dengan senyum manisnya. Senyum yang menurutnya selalu membuat hati Wisnu luluh. "Sudah makan? Mami beli sop kambing tadi."

"Belom, Mi. Laper banget. Tadi ada meeting sepulang kantor, tapi di cafe aja. Jadi Papi belom makan."

Senyum Shanti semakin merekah. "Papi mandi dulu. Mami siapin makannya."

Tanpa mendebat istrinya, Wisnu mengangguk lantas beranjak ke dalam kamar. Kening pria itu mengernyit samar melihat Bayu sudah tidur terlentang dengan ompol yang tercetak jelas di atas kasur. "Kok Bayu di sini?"

"Uhm ... itu, kamar anak-anak acnya bermasalah. Aku lupa panggil tukang ac untuk cuci dan servis berkala. Besok aku pastikan mereka datang membenahi ac kamar anak-anak."

Seperti biasa, Wisnu hanya menganggukkan kepala lantas masuk tanpa suara. Ia meletakkan tas kerja, lalu keluar kamar untuk mandi.

Saat suaminya sedang sibuk membersihkan diri, Shanti meminta Ryan segera masuk kamarnya dan tidur bersama Bayu yang pulas meski celananya basah. Tentu saja Ryan nurut. Shanti berhasil memaksa anak itu mengerjalan tematik hingga lelah sendiri. Jadi, dalam hitungan menit, Ryan sudah pergi ke alam mimpi.

Seperti cerita novel yang selalu ia layout, kadang kala ada hikmah dan kebahagiaan dalam sebuah derita. Seperti saat ini contohnya. Ia menggelar kasur palembang di depan televisi dan menata dia bantal diatasnya. Saat Wisnu sudah keluar kamar mandi, "Pi, kita tidur di sini, ya. Gak papa, kan?"

"Hm." Hanya itu respon Wisnu seraya menuju meja makan.

Shanti segera bergerak menyusul suaminya dan melayani kebutuhan makan Wisnu, sekalian menemani pria itu makan. Dalam hening yang merajai mereka, Shanti berpikir jika tak ada salahnya mulai mengulang kembali masa-masa awal mereka menikah dulu.

"Pi," panggil Shanti saat aia dan suaminya sudah terbaring di atas kasur palembang. "Inget, gak, waktu awal nikah, alas tidur kita ya kasur tipis ini," kenang Shanti memulai malamnya yang terasa sunyi. "Kita nekat ngontrak rumah petak, padahal papaku ada rumah kosong."

"Aku gak mau repotin keluarga kamu, Mi. Sudah beruntung aku diterima jadi menantu." Wisnu menjawab disela kesibukannya dengan ponsel.

"Dan aku gak masalah," timpal Shanti. "Kita naik motor berdua kemana-mana. Gajiku sebagai admin pabrik kardus, dan komisi kamu sebagai sales, nyatanya bisa membuat hidup kita jadi berubah perlahan. Terima kasih ya, Pi, udah kasih aku kebahagiaan ini."

Bagai mantra mujarab, ucapan tulis Shanti membuat Wisnu tiba-tiba menghentikan pergerakkannya bersama ponsel, lalu meletakkan gawai itu sembarangan. Wajah pria itu kini menatap istrinya dengan senyum lembut yang selalu berhasil membuat Shanti jatuh cinta.

Ah, mengapa pipi hingga telinga Shanti terasa menghangat? Semoga temaram ruang tivi tidak membuat Wisnu menangkap rona merah malu-malu yang menyebar di wajah Shanti.

"Ryan udah tidur?" bisik Wisnu dengan mata yang mengutarakan satu permintaan.

"Udah, dari pas Papi mandi tadi."

Tubuh Ryan bergeser mendekat pada Shanti hingga tak ada lagi jarak di antara mereka. "Mau satu atau dua?"

Shanti yang selalu salah tingkah tiap berada di fase ini, menunduk dan mengangguk malu-malu. "Terserah Papi." Agaknya dia lupa jika sudah pernah mengalami dua kali operasi cecar, dua kali hamil, dan sembilan tahun pernikahan bersama Wisnu. Reaksi jantungnya masih sama. Berdegup kencang dengan debar di hati yang tak bisa ia tutupi.

Seperti mampu membaca kesiapan dan kemauan istrinya, Wisnu merubah posisi tidur hingga pria itu berada di atas Shanti dan mengungkung istrinya. "Kangen kamu," tukas pria itu dengan binar mata yang Shanti tahu menyorotkan kejujuran.

"Apalagi aku," balas Shanti dengan nada manja, seakan usia mereka masih dua puluh lima, alih-alih tiga puluh tiga. Jika sudah berada di tengah suasana menggairahkan yang tidak vulgar ini, sifat manja yang selalu berusaha Shanti tutupi seketika mencuat lagi. Ia melingkarkan tangannya di pundak Wisnu dan merespons setiap sentuhan suaminya.

Pagutan itu masih sama. Selalu berhasil mendebarkan hati dan membuat jantungnya bekerja lebih keras. Namun, di atas semua itu, Shanti selalu suka. Perlakukan Wisnu padanya tak pernah mengecewakan. Sentuhan wisnu lembut namun memabukkan. Membuat Shanti merasa jika dirinya adalah dewi khayangan yang pantas dicinta dan dipuja.

"I love you, Mi," bisik Wisni parau setelah percintaan mereka yang menyenangkan.

"Love you more," balas Shanti yang memberanikan diri memagut bibir suaminya, padahal mereka masih mengatur deru napas.

"Jadi ngantuk aku." Wisnu merentangkan tubuhnya di samping Shanti, lalu terpejam. Tak perlu menunggu lama, dengkuran halus khas Wisnu sudah terdengar dan Shanti merasa ia perlu memeluk erat suaminya hingga pagi nanti.

Hanya saja, baru beberapa detik tangannya melingkari perut Wisnu yang mulai sedikit buncit, layar ponsel Wisnu tiba-tiba nyala dengan satu baris pesan yang terpampang di beranda. Mata Shanti yang belum terpejam, dengan sadar membaca apapun yang bisa ia dapatkan dari layar ponsel suaminya.

"Mas, lipstikku kayaknya ketinggalan di mobil kamu."

********

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top