2.

"Lu kenapa dah? Muka kusut bener."

Shanti hanya melirik Ika yang tampak memperhatikan dirinya. Ia tak menggubris teman masa kuliahnya dan tetap fokus menghidu aroma kertas buku katalog kosmetik yang Ika jajakan.

"Ribut sama Wisnu?" lanjut Ika lagi.

Shanti menggeleng. "Enggak. Lu tau, kan, laki gue gak pernah ribet dan ngajak ribut."

Ika mengangguk sebelum menyeruput teh hijau hangat yang Shanti suguhkan siang ini. "Iya. Wisnu si cupu, mana sangka jadi manager marketing dan menikah sama elo."

"Waktu nikah sama gue, dia masih sales pipa," ralat Shanti sambil membolak balik halaman katalog terbitan bulan ini. "Gue gak sangka, loh, pernikahan gue sama Wisnu udah jalan sembilan tahun."

"Umur kita aja udah 33, Beiby," timpal Ika santai, "dan anak lo udah dua, anak gue satu."

"Kita ibu-ibu yang—rasanya kehilangan sesuatu yang membuat kita merasa bebas."

Kening Ika mengernyit bingung. "Kehilangan kebebasan, maksud lo?"

Shanti mengangguk sambil menghidu satu lagi halaman katalog yang memuat promo parfum pria.

"Lo aneh," ucap Ika sambil tetap memperhatikan Shanti. "Eh, itu parfum lagi promo. Dari 700 ribu, jadi cuma 500 ribu. Beli, gih."

"Enggak, ah, mahal," tolak Shanti santai. "Segitu itu, biaya lima kali gue layout."

"Ya pake duit laki lo, lah!"

Shanti menggeleng lagi. "Enggak. Duit Wisnu buat anak-anak gue." Shanti membalik kembali halaman katalog, lalu menunjuk gambar satu barang. "Mau pasta gigi anak yang diskon lima puluh persen ini, dong, Ka. Sama sabun dan samponya sekalian. Asik nih diskonnya."

Ika mencebik santai, tetapi tangannya mencatat pesanan Shanti yang nominal belanjanya tak sampai seratus ribu. Teman Ika yang satu ini berubah total sejak memutuskan hidup di rumah saja. Shanti yang terkenal suka barang bermerek dan nongkrong kanan kiri, sekarang menjadi pribadi super hemat dengan segudang pertimbangan saat berbelanja.

"Shan, gue lupa, kapan terakhir kali lo dandan cakep terus nongkrong di kafe sambil ngomongin model perhiasan? Dulu, kita sering banget keluar masuk toko perhiasan cuma buat lihat-lihat dan ngomongin gimana berlian sama ruby bisa bagus banget kalo jadi gelang dan cincin."

Wajah Shanti tampak lesu, saat Ika membahas kegiatan mereka dulu, yang sudah Shanti tinggalkan entah sejak berapa lama. Wanita itu menatap sahabatnya yang baru selesai mencatat pesanan dalam ponsel dan tersenyum sendu. "Udah gak jamannya lagi kita berhayal tentang kemewahan, Ka. Harus sadar diri sih, kalau sekarang fokus kita itu mau gak mau ya anak sama laki. Jujur, gue kangen mall dan nginep di hotel sama kalian cuma buat gosip sampe pagi. Hanya saja, sekarang sudah gak bisa. Kita sudah ada laki dan tanggung jawab anak. Gak bisa ditinggal."

"Laki gue gak masalah gue liburan sama tim MLM gue. Kami bahkan nginep di luar kota dan gue gak ajak mereka."

"Tapi gue gak bisa," sanggah Shanti dengan wajah yang entah mengapa terasa penuh beban. "Gue takut kalau gue terlalu enjoy sama dunia gue sendiri hingga lalai sama anak dan laki gue, posisi gue sebagai istri direbut sama perempuan lain."

"Anjay, pikiranlo sinetron banget, Shan! Amit-amit, ih! Eh, wanita karir beranak banyak tuh, banyak! Mereka tetap memiliki rumah tangga yang kokoh hingga kakek nenek. Pelakor atau perselingkuhan itu ada bukan karena wanita yang sibuk berkarya atau bekerja, tapi gimana rumah tangga itu berjalan dan suami nyaman."

"Itu masalahnya!" Bahu Shanti terkulai lemas. "Gue yang merelakan kesibukan luar rumah gue aja, merasa rumah tangga gue mulai menjenuhkan. Hubungan gue hambar dan gue takut suatu hari nanti Wisnu bisa saja pergi ke pelukan wanita lain."

Mata Ika menelisik gestur dan raut wajah sahabatnya. Shanti tampak tak baik-baik saja. "Gue gak akan pulang sampe dapetin apa yang mengganjal di hati lo sekarang. Pilih ungkapin semuanya sekarang, atau gue di sini sampe Wisnu datang dan tanya semuanya ke dia."

Napas Shanti berembus panjang. Entahlah, tiga hari sejak kejadian ia lupa menghangatkan opor ayam, perasaaan bersalah dan sikap dingin Wisnu membuatnya tak bisa bernapas dengan tenang. Mau tak mau, Shanti menceritakan semuanya kepada Ika. Tentang tekanan yang ia rasa terhadap tugas-tugasnya sebagai ibu rumah tangga dan membuatnya kerap merasa muak, tetapi harus ia lakukan karena sudah menjadi komitmennya bersama Wisnu sejak ia memutuskan keluar kerja demi Bayu. Tentang kecemasan bagaimana rumah tangganya jika ia tidak bisa segera menyelesaikan masalahnya mengatur rumah tangga hingga terkadang sulit mendapatkan waktu untuk dirinya sendiri.

"Lo udah bicara sama Wisnu?"

Shanti menggeleng. "Gue gak enak, Ka. Gue takut dia kecewa kalau ternyata selama ini gue gagal jadi istri dan ibu yang baik. Rumah gak pernah bersih dan terawat. Jangankan terawat dan berkilau kayak iklan obet pel lantai, rapi satu jam aja, gak pernah bisa. Perasaan, gue baru selesai sapu dan pel, baru mau gue tinggal siram tanaman, lantai gue basah sama jus atau susu. Gue beresin lagi. Baru kelar beresin sisa kekacauan, pot gue tumpah dan tanah berceceran di teras. Atau, mainan Ryan yang satu container besar itu berantakan di ruang tivi. Kerjaan gue cuma ngamuk, ngamuk, ngamuk, terus stress sendiri." Satu dua tetes air mata Shanti jatuh. "Bahkan setelah lo pulang nanti, gue masih harus gosok baju dan tata ulang lemari pakaian yang Bayu berantakin tadi pagi, gara-gara dia mau pake baju Iron Man yang gue lupa taruh mana."

Telapak tangan Ika mengusap pelan pundak Shanti. "Kenapa gak pake jasa laundry aja, Shan, dan pake jasa pembantu harian untuk bantuin lo urus rumah dan anak-anak. Sadar gak sih, kalau tugas ibu rumah tangga itu banyak banget dan gak akan kelar kalau cuma ditanggung seorang diri. Wisnu juga ada kewajiban bantu lo urus rumah. Dia gak mau?"

"Dia mau," tukas Shanti membela suaminya. "Dia bahkan gak pernah marah kalau tiap pulang kerja, rumah gue berantakan. Kemarin, kasur kamar gue berantakan sama remah-remah biscuit dan kacang. Wisnu katanya capek banget karena habis visit kliennya yang ada di ujung Tangerang sana. Dia mau tidur, tapi kamar kami kayak kapal pecah. Dia diem aja. Gak marah dan beresin kamar sebelum tidur sendiri."

"Bagus, dong!"

"Justru itu yang bikin gue jadi stres sendiri, Ka." Shanti menatap Ika dengan binar cemas yang tak bisa lagi wanita itu tutupi. "Lo serem gak sih, kalau laki lo kayak gak ada emosi sama lo. Maksud gue, minimal dia marahin gue, tegur gue, atau ngomong apa kek. Keluhan pedas pun gue rela terima asal dia ngomong sama gue. Akhir-akhir ini Wisnu diem aja. Gak ada ekspresi kesal apalagi tertarik sama gue. Dia kerjain kerjaan rumah yang gagal gue selesaikan hari itu, urus anak-anak, bantu Ryan kerjain tugas, lalu tidur sendiri di kamar kami."

"Berapa lama sejak terakhir kalian ...." Ika membuat tanda kutip dengan kedua tangannya. "Koleksi lingerie lo masih berguna, kan?"

Gelengan pelan dan dengan wajah getir menjawab pertanyaan Ika. "Gue rasa, terakhir kami quickie udah lebih dari dua minggu lalu."

"Quickie?" Wajah Ika tampak horror. "Hello! Lo itu istri sah! Bukan pelakor atau cewek panggilan sepuluh menit yang tugasnya cuma buat kuras kantung semen laki lo, Shan."

"Itu dia yang bikin gue stress!" Wajah Shanti sudah berlinang air mata. Sepertinya, ia baru menyadari jika sudah dua mingguan ini memendam sendiri gelisah dan gundah yang menumpuk di pikirannya perlahan namun pasti. "Gue ngerasa Wisnu udah berubah. Dia dingin gak terasa berjarak jauh banget sama gue. Meski setiap malam kami tidur bersama, bersebelahan, tetapi gak ada rasa hangat dan nyaman yang gue rasa. Gue kayak mau gila rasanya, Ka."

"Usep dulu itu muka lo. Gak enak dilihatnya. Udah cepolan berantakan, daster gombrong, kucel, sekarang muka basah deres sama air mewek." Ika mengangsurkan kertas tisu yang diterima Shanti. "Gue mau minta maaf sebelumnya. Seharusnya ini masalah tabu untuk gue tanyain. Hanya saja, gue harus bersikap sedikit gak sopan demi bisa membaca kondisi rumah tangga lo dan bantu lo cari solusi."

"Lo mau ngapain?"

"Satu. Sejak Wisnu jadi manager dua tahun lalu, apa lo tahu berapa penghasilan dia?"

Shanti mengangguk. "Tahu. Gue buka emailnya dia tiap bulan buat lihat berapa take home pay dia berikut komisi dari projek-projek pengadaan pipa yang dia pegang. Cuma, jatah gue tetap sepuluh juta perbulan dan itu udah termasuk bayar cicilan rumah, juga sekolah Ryan dan kebutuhan rumah tangga. Sisanya, kata dia mau dia pegang sendiri dan tabung. Itu makanya gue memilih ngalah gak beli kosmetik mahal yang lo jual itu. Juga, mulai menghemat beli baju dan memilih pake ini saja, karena gue gak mau terlihat manja di depan Wisnu."

Ika terlihat menghela napas panjang sekali. "Dua. Lo bilang, Wisnu lebih suka main ponsel sampe ngantuk dan tidur sendiri. Apa lo tau dia buka apa di ponsel? Game apa yang dia mainin, mungkin?"

Shanti menggeleng. "Wisnu gak suka game. Dia suka ngobrol dan chatting. Gue gak tau sih, dia chat sama siapa. Biasanya sama anak buahnya dan mereka bahas soal tender, projek-projek pengadaan pipa, atau isu harga dan kualitas pipa standar Indonesia dan Jepang. Cuma, kadang dia suka senyum-senyum sendiri sambil chatting."

"Yassalam." Ika mengerang. "Sampe jam berapa Wisnu chat sambil mesem-mesem gak jelas? Lo pernah buka ponsel dia dan cek apa yang dia obrolin sama siapapun di sana?"

Shanti menggeleng lagi. Kali ini, tubuhnya tampak lemas tanpa tenaga. "Ponselnya dikunci dengan sandi tiap aplikasi. Gue pernah tanya kenapa di-password pake pola? Katanya isi chat dia kebanyakan data rahasia perusahaan. Manager kaya dia, bener aja kan, bawa data confidential?" Sejenak, Shanti berpikir sebelum melanjutkan keterangannya. "Dia sibuk sama ponsel sampai hampir larut malam dan ngantuk lalu tiba-tiba udah ngorok aja. Gue sendiri gak berani ganggu atau sibuk sama kerjaan layout gue."

"Kiamat, deh, Shan, kiamat!" Rutuk Ika patah arang. "Something wrong with your marriage. Lo kudu gerak cepat sebelum terlambat dan segalanya sudah terlanjur runyam."

Rasanya, oksigen di rumah Shanti seperti habis tak bersisa. Ia mendadak sulit bernapas dan bergerak, apalagi berpikir. Benarkah yang Ika katakan jika rumahtangganya sedang tidak baik-baik saja?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top