19.
Aroma mentega panas membangunkan tidur Shanti. Matanya mengerjap menangkap matahari yang terik menyinari. Samar, rungunya mendengar percakapan orangtua yang entah berada di ruang mana.
"Bangunin, Bu. Suruh belanja sayur anaknya."
"Jangan,Yah, kasihan. Lagi ada masalah dan tertekan itu anaknya. Biarin istirahat dulu."
"Dia harus kuat kalau mau hidupnya langgeng dan sejahtera. Kalau dikit-dikit minta berhenti ya susah."
"Shanti hanya sedang lelah, Yah, bukan sungguhan inginberhenti dengan Wisnu. Ibu yakin itu. Shanti hanya butuh waktu untuk istirahat dan kita harus memberikan dia apa yang dibutuhkan."
Tak ada lagi lanjutkan percakapan dan aroma mentega panas berubah menjadi lebih gurih. Shanti menebak, ibunya pasti memasukkan bawang putih dan saus tiram entah untuk membuat apa.
Shanti tersenyum sendu dan getir. Keinginannya untuk berhenti berumahtangga bersama Wisnu, nyatanya membuat orangtua wanita itu sedikit berdebat. Shanti tak ingin menjadi beban orangtuanya. Sudah cukup ayah membiayai sekolahnya hingga sarjana dan ibu merawatnya hingga dewasa. Shanti hanya ingin berpisah dan memulai hidupnya dengan berdiri di atas kaki sendiri. Sayang, Wisnu menolak permintaannya.
Setelah merenggangkan badan, ia beranjak dari kasur dan keluar kamar. Ayah tengah membersihkan kandang burung di halaman belakang rumah, sedang ibu memasak di dapur. Shanti mencuci muka, lantas duduk di meja makan. Matanya terasa berembun saat mendapati susu hangat dan roti bakar yang sudah tersaji di tempat yang biasa ia duduki. Ah, sisi melankolis Shanti muncul lagi. Ia seperti berada di masa sepuluh tahun lalu atau lebih. Saat ia masih menjadi anak Ayah dan Ibu yang mendapat banyak perhatian.
Setiap pagi, ia akan terbangun dengan semangat dan cinta yang menguar dari kedua orangtuanya. Menikmati sarapan yang sudah terhidang sebelum matanya terbuka dan membawa bekal enak buatan Ibu. Ibu selalu memasak sendiri karena Ayah hanya mau menikmati makanan buatan Ibu. Menjadi vegetarian membuat ayah selektif memilih makanan dan Ibu menjadi lebih produktif menyajikan hidangan.
Satu sisi hati Shanti sedikit tersentil. Ia berkaca sendiri dan malu pada ibunya. Sembilan tahun menikah, ia merasa belum bisa menjadi istri yang sempurna. Jangankan memasak sajian khusus vegetarian, menggoreng nugget saja bisa berakhir bencana.
"Sarapan, Shan," sapa Ibu seraya membawa satu piring tumis brokoli dengan jamur kancing dan wortel. "Mau makan nasi goreng? Ibu buatin."
Shanti menggeleng dengan air mata haru yang ia tahan habis-habisan. Orangtuanya tak lantas menghujaninya dengan pertanyaan atau penghakiman. Mereka memberikan Shanti waktu dan jeda untuk menenangkan diri dan melayaninya layaknya seorang putri yang selalu dicintai. Ia malu pada diri sendiri. Shanti malu pada dunia dan orangtuanya, karena belum mampu menjadi ibu seperti Ibunya.
"Jangan nangis, Sayang," bisik Ibu seraya mengusap lembut punggung Shanti. "Istirahat saja dan tenangkan pikiran kamu. Cerita sama Ibu dan kita cari solusinya bersama."
Shanti mengusap wajahnya yang basah dengan satu dua tetes air mata. Ia tersenyum dan meneguk susu coklat hingga perasaannya berangsur lega. "Shanti makan sayur saja seperti Ayah dan Ibu," jawab Shanti, karena enggan membuat ibunya masak dua kali. "Rotinya juga pasti Ibu isi abon ayam."
Ibu Shanti tersenyum seraya mengangguk. Shanti hapal betul, setiap menginap ke rumah ini, ibunya pasti menyuguhkan roti bakar isi abon sapi dan ayam untuk sarapan anak dan cucunya.
Mereka makan bersama dalam hening. Ayah Shanti masih tampak tegang dan marah dengan apa yang terjadi pada rumah tangga putrinya. Namun, Shanti tahu mereka pasti sabar menunggunya bercerita dan meluapkan apa yang membuatnya penak seperti ini.
Usai makan, Shanti mencuci piring lalu mandi. Ia tahu, orangtuanya tak akan mungkin betah menunggu hingga beberapa hari kedepan hanya untuk tahu apa yang menimpanya. Jadi, Shanti sudah menyiapkan hati untuk menceritakan semuanya.
"Shanti lelah dan ingin berhenti dengan Wisnu, Bu, Yah," mulainya setelah duduk di atas karpet ruang tivi. "Shanti merasa kalau pernikahan justru membuat hidup Shanti tertekan dan tak bisa menjadi wanita yang membanggakan."
"Kamu bicara apa? Masalahnya apa?" Ibu mulai tampak khawatir.
Shanti menghela napas panjang sebelum menjawab, "Ryan minggu lalu masuk rumah sakit dan ranap selama tiga hari ...." Shanti melanjutkan ceritanya dan mendapati wajah terkejut kedua orangtua wanita itu. Tanpa ragu, ia meluapkan segala kegagalan yang ia rasa sebagai ibu rumah tangga. Mulai dari rumah yang tak pernah bersih, Ryan dan Bayu yang kerap bertengkar, tubuhnya yang mudah lelah serta emosional, juga ketidakmampuannya menyiapkan sajian sehat dan lezat seperti yang selalu Ibu lakukan di rumah ini.
Air mata Shanti mengalir lagi. Segala sesak yang ia rasa, coba ia keluarkan demi membuatnya tenang dan mendapat dukungan untuk berpisah dengan Wisnu.
"Shanti tak lagi bisa membanggakan diri, tak lagi bisa memuji diri sendiri dan merasa berguna, Bu. Dulu, saat Shanti bekerja, Shanti bisa membeli perabot rumah dan belanja dengan gaji Shanti sendiri. Saat lebaran, Shanti bisa memberi Ayah dan Ibu hadiah juga Mama dan Papa. Banyak hal yang membuat Shanti merasa bangga terlahir dan bersanding bersama Wisnu." Tangis Shanti sedikit reda, tetapi sesak di dadanya masih sangat terasa. "Saat ini, coba Ibu sebutkan, apa yang hebat dari diri Shanti? Apa yang bisa Shanti tunjukkan pada dunia sebagai istri dan ibu? Shanti kerap lalai menjaga anak-anak, tak mampu mengatur rumah dan pekerjaan domestik lainnya, tak bisa memasak dan selalu mengandalkan Wisnu. Shanti merasa Shanti hidup hanya dengan raga, bukan jiwa Shanti sesungguhnya."
"Kenapa gak cari asisten lagi saja, Shan?" tawar Ibu lirih. "Kamu juga bisa panggil Ibu kalau kesulitan urus rumah. Ibu pasti kesana bantu kamu."
Shanti menggeleng. "Ibu dan Ayah tahu pasti, apa prinsip Wisnu dalam menjalankan rumah tangga kami. Dia paling anti meminta bantuan dan merepotkan orangtua. Kami memilih kontrak di rumah petak dengan sewa lima ratus ribu alih-alih menempati rumah Ayah yang kosong. Kami memilih hemat dan hidup sederhana demi bisa menabung untuk DP rumah. Semua Wisnu atur dan kami jalani berdua dengan semangat. Sayangnya, semakin ke sini Shanti merasa ini bukan hidup yang tepat untuk Shanti. Shanti ingin bekerja lagi dan memiliki sesuatu yang bisa Shanti tunjukkan pada dunia. Jika Shanti gagal dan tak bisa menjadi seorang istri dan ibu yang baik, setidaknya Shanti memiliki karir yang bisa Shanti tunjukkan hasilnya."
"Wisnu gak kasih ijin?"
"Enggak," jawab Shanti dengan wajah yang sangat terpukul. "Wisnu menuntut dan memaksa Shanti untuk tetap di rumah saja. Dia gak mau ngertiin Shanti yang butuh bergaul dan berpegian untuk melepas penat. Dia gak paham kalau Shanti lebih suka berinteraksi dengan banyak orang dan melakukan pekerjaan yang bukan cuci baju lagi, cuci piring lagi, urus anak hingga rasanya urat leher nyaris putus. Wisnu gak paham kalau Shanti ingin memiliki pencapaian dalam hidup Shanti sendiri dalam bentuk eksistensi dan aktualisasi diri. Jujur, Bu, setelah Ibu dan Ayah menyekolahkan Shanti hingga wisuda dan jadi sarjana, Shanti tidak tahu apa yang bisa Shanti lakukan dengan keterbatasan ini. Dengan segala permintaan Wisnu yang memaksa Shanti mengorbankan apa yang Shanti inginkan dan impikan."
"Kamu ... merasa berat mengurus anak-anakmu sendiri?" Suara Ayah terdengar geram.
Shanti menghela napas panjang seraya menggeleng. "Ayah tahu, tidak ada ibu yang keberatan mengurus anaknya berapapun itu. Hanya saja, Shanti tetaplah manusia. Seorang wanita juga ibu yang memiliki batasan kesabaran juga impian dan perasaan. Ayah tidak tahu rasanya melihat Wisnu membersihkan rumah sepulang kerja padahal istrinya ada di rumah. Ayah tidak tahu bagaimana rasanya disalahkan jika anak-anak Shanti terluka. Ayah tidak tahu bagaimana rasanya ketika ada wanita lain yang terang-terangan menghina Shanti dan mengatakan jika Wisnu lebih pantas dengan wanita yang memiliki karir setara dengannya alih-alih ibu rumah tanpa pergaulan. Shanti gak punya kekuatan untuk melawan semua itu, Yah. Shanti ingin bekerja, membantu Wisnu mendapatkan lebih banyak aset dan memberikan fasilitas lebih baik untuk Bayu dan Ryan. Masalahnya, Wisnu gak mau ngerti dan berkeras memaksa Shanti di rumah."
Tangis Shanti pecah dan isaknya terdengar memilukan. Ayah Shanti masih tampak emosi dan mata ibunya mulai berkaca.
"Terus maunya kamu apa? Maunya kamu Ayah dan Ibu bagaimana?" Bibir Ibu Shanti gemetar. Tangisnya nyaris pecah, tak tega melihat putrinya memendam derita hati yang tak bisa ia pahami bagaimana mencari solusinya.
"Shanti mau kerja lagi. Hanya saja, suapa bisa kerja lagi, Shanti harus pisah dari Wisnu. Ibu dan Ayah bantu Shanti agar kami bisa berhenti dari hubungan ini. Shanti ingin bebas dan melebarkan eksistensi Shanti lagi. Melakukan banyak hal dan menghasilkan banyak untuk aktualisasi diri Shanti. Membuktikan jika Shanti memiliki sesuatu yang bisa dibanggakan."
"Tidak bisa," jawab Ayah tegas. "Ayah tidak bisa menerima alasan dan permintaan kamu. Ayah tidak meridhoi langkahmu berpisah dengan Wisnu hanya karena keinginan itu. Ayah menolak dan Ayah tidak akan membantumu untuk berhenti berkeluarga bersama Wisnu." Suara Ayah menggelegar. Tampak marah besar dengan nada kecewa yang kental terasa.
Shanti menangis lagi. Tubuhnya bahkan gemetar dan tak tahu lagi harus bagaimana. Semua pria di hidupnya tak mampu memahami apa yang ia inginkan. Ia hanya ingin dimengerti bahwa ia tak mampu menjadi ibu rumah tangga yang selalu ada di rumah dengan rutinitas itu-itu saja. Shanti memiliki jiwa bebas yang mendorong nalurinya untuk berekspresi dan eksplorasi. Bukan terkurung di rumah dengan segudang rutinitas monoton yang membuatnya penat hingga merasa kehilangan jiwa dan hidupnya.
"Ibu," panggil Shanti dengan wajah memohon pembelaan. Setidaknya, sesama wanita pasti bisa memahami isi hati, bukan?
Ibu Shanti beringsut mendekati putrinya dan memeluk Shanti erat. "Istighfar, Nak, istighfar. Cerai bukan solusi dari setiap masalah rumah tangga."
Jawaban ibunya membuat tangis Shanti semakin pilu. Ia tahu, orangtuanya tak akan mendukung keputusan dan keinginannya. Ia kalah telak, dari Wisnu juga kedua orangtuanya. Ia tak tahu lagi harus bagaimana untuk menemukan dirinya yang dulu mudah tersenyum dan tertawa riang.
*****
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top