18.

Rintik hujan masih terdengar menetesi genting rumah-rumah kawasan pemukiman ini. Suasana di luar sangat tenang dan lengang. Biasanya, pukul segini ada penjual nasi goreng tektek lewat atau sekoteng yang menjajakan makanan tengah malam. Kali ini, tidak. Mungkin mereka tahu jika para pemilik rumah lebih asik bergelung di bawah selimut, alih-alih duduk menunggu untuk isi perut.

Bagi sebagian banyak manusia, hujan adalah anugrah yang bisa memberikan mereka kelelapan yang nyaman. Aroma petrikor yang mungkin saja masuk dari jendela kamar, juga hawa setelah hujan reda, adalah nina bobo alam yang tak pernah gagal membelai manusia ke dalam mimpi.

Hanya saja, semua itu tak berlaku bagi sepasang suami istri yang masih duduk tegang dengan mulut yang terbungkam oleh ego dan emosi. Mereka masih dengan posisi yang sama. Tegang, marah, kesal, ingin berteriak, dan tak lagi peduli dengan mie yang sudah dingin mengembang, juga tahu bakso goreng yang tak lagi hangat.

Shanti menangis dalam diam. Tak ada isak keras ataupun lirih. Matanya terus menghujani wajah wanita itu dengan cairan emosi. Shanti berharap, setidaknya Wisnu mengucapkan sesuatu atas permintaannya beberapa saat lalu, bukan terdiam dengan wajah menakutkan seperti ini.

Hingga gelap meninggalkan mereka dan bohlam-bohlam itu sudah bekerja sesuai tugasnya pada malam hari, Wisnu tak juga mengatakan apapun kepada istrinya. Pria itu justru membereskan mangkuk dan air mineral yang ada di atas meja, membuang makanan yang tak sempat masuk perut istrinya, lalu mencuci perkakas makan kotor. Ia meninggalkan Shanti yang masih tersedu sedan, dan memilih melakukan sesuatu agar tak perlu berdebat panjang dengan Shanti selarut malam ini.

Dada Shanti rasanya kian sesak dan wanita itu tak tahu harus bagaimana. Ia memilih terus menenangkan diri dan mensugesti bahwa langkahnya sudah benar dan semua akan baik-baik saja. Ia melirik pada jendela dan mendapati hujan tak lagi hadir menemani malamnya hari ini. Baiknya ia tidur saja. Baiknya ia beristirahat demi menenangkan tubuhnya yang terasa hancur lebur.

Sayang, pikiran Shanti tak kunjung lelap meski matanya sudah terpejam dengan paksa. Rungunya mendengar deru halus mesin cuci dan pergerakan Wisnu yang tampaknya membersihkan dapur dan kamar mandi. Entah apa yang ada di pikiran Wisnu yang memilih membersikan rumah, alih-alih menghampirinya dan bicara. Atau setidaknya, mereka bisa tidur saja, bukan? Jangan melakukan sesuatu yang membuat Shanti semakin merasa tak berguna sebagai istri. Hatinya tak terima dengan harga dirinya kian merasa terinjak.

Entah sudah berapa lama mereka seperti ini. Shanti di kamar sendiri dan Wisnu menghabiskan sisa hari ini mencuci piring, baju kotor, dapur hingga kamar mandi. Penat yang konstan terasa, membuat Shanti akhirnya menyerah pada alam dan membiarkan tubuhnya berangsur relaks hingga berjalan ke alam mimpi.

Kala Shanti membuka matanya, ia mendapati matahari sudah terang bersinar dan jarum jam di dinding kamarnya menunjukkan pukul tujuh pagi. Ah, lagi-lagi kesiangan. Salahkan Wisnu yang membuatnya menangis semalam dan menjauhkannya dari anak-anak hingga ia tak lagi memiliki alasan terbangun pagi sekali. Rumah sepi. Tak ada suara televisi, celoteh anak-anak atau apapun yang membuat tubuhnya mau tak mau bangun dan beraktifitas.

Shanti tetap beranjak dari kasur dan berniat sarapan mi instan saja. Ia tak memiliki gairah keluar rumah, kecuali pergi sendiri entah kemana. Saat keluar kamar, langkahnya terhenti dan tubuhnya tertegun mendapati Wisnu tengah menyeruput secangkir kopi hitam di meja makan sendiri. Tak ada sarapan atau roti. Hanya secangkir kopi dan ponsel yang menjadi fokus pria itu saat ini. Wisnu belum berangkat ke kantor? Bukankah pekerjaanya sedang banyak?

Ingin bertanya, tetapi mulut Shanti enggan berucap. Wanita ini mencoba abai dan tetap beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri, setelah itu sarapan satu cangkir teh hangat saja. Setelah mandi dan memakai baju rumahannya, Shanti hendak membuat teh lalu mencoba sibuk bersama tumpukan naskah yang harus ia atur tata letaknya. Namun, saat ia baru mulai menjerang air, Wisnu memanggilnya.

"Kamu siap-siap, Mi. Kita ke rumah ayah ibu kamu. Bawa semua perlengkapan yang sekiranya kamu butuhkan untuk tinggal lagi di sana." Suara Wisnu dingin dan rendah. Tak ada rasa sayang, kelembutan, atau kehangatan di dalamnya.

Tubuh Shanti seketika menegang dan wajahnya yang segar, kembali sendu dengan mata berkaca. Jadi, ini jawaban Wisnu atas permintaannya. Napsu untuk sarapan sudah hilang. Shanti mematikan kompor lantas bergerak menuju kamar dan berkemas. Ia mengambil koper dan memasukkan baju-bajunya ke sana. Matanya mulai berair, tetapi ia harus kuat.

Setelah satu kopernya penuh, ia beranjak ke meja kerjanya dan mengemas komputer jinjing serta apapun yang biasa ia gunakan untuk bekerja. Wisnu mengusirnya. Memintanya tak lagi tinggal di rumah yang mereka perjuangkan mati-matian. Ya, perkara rumah beserta isinya, bisa mereka diskusikan nanti di pengadilan agama.

Wisnu beranjak dari meja makan, lantas mencuci cangkir kopi yang tadi ia nikmati. Tubuhnya sudah rapi dengan pakaian kerja dan harum yang menggoda. Dari tempatnya, Shanti menyadari satu hal. Tidak sulit bagi Wisnu mencari penggantinya jika kelak mereka benar bercerai. Wisnu tampan, berkarir baik, dan selalu tampil rapi. Meski tubuhnya tak seatletis dulu dan perutnya sudah membuncit, semua itu tak menurunkan daya tarik Wisnu di mata perempuan. Buktinya, Sazkia saja tampak menyesal pernah mencampakkan Wisnu saat mereka kuliah dulu.

Hati Shanti mendadak nyeri. Ia sadar betul mencintai suaminya sepenuh hati. Hanya saja, hidup hanya satu kali dan ia ingin pergi dari penderitaan ini.

"Sudah siap? Sudah kemas semua?" Wisnu bertanya dengan nada datar dan wajah tak acuh.

Shanti mengangguk dari ambang pintu kamar, lantas mengikuti langkah Wisnu yang menduluinya keluar rumah. Hati Shanti terasa sesak dan pedih. Ini rumah yang ia bangun bersama Wisnu. Bersama pria yang menggandeng tangannya dalam pernikahan ini hingga sampai di titik ini dalam usia pernikahan ke sembilan. Mata Shanti meliar melihat rumahnya yang sederhana dan berlantai satu ini dengan hati yang sendu, sebelum menaiki mobil yang sudah siap.

Tak ada percakapan selama perjalanan. Inilah akhirnya. Wisnu akan menemui orangtuanya dan mengembalikan dirinya. Mengembalikan dengan hati yang sakit dan wajah yang suram. Sangat jauh beda dengan sembilan tahun lalu, saat ia menemui orangtua Shanti dengan senyum semringah cerah sekali dan wajah penuh harapan baik.

Mobil Wisnu sampai di depan rumah orangtua Shanti. Pria itu turun mendului Shanti lalu mengambil koper serta tas kerja istrinya. Wisnu menekan bel dan memasuki pekarangan, setelah ibu Shanti membuka pagar dan terkejut mendapati kedatangan mereka. Shanti menghela napas panjang di dalam mobil. Matanya berkaca lagi dan tubuhnya seperti tak bertenaga. Ini keputusannya dan inilah yang ia inginkan. Mengawalinya mungkin terasa sakit dan menyedihkan, tetapi Shanti yakin jika semuanya akan berjalan baik dan membuatnya semakin lebih baik.

Shanti turun dan memasuki hunian yang dulu sering Wisnu datangi, hampir setiap hari hanya untuk menemani ayahnya bermain catur sambil sesekali melayani kebutuhan warga sekitar. Wisnu tak pernah menyatakan cinta dan memberi status hubungan selama mereka dekat. Pria itu hanya memberikan perhatian sewajarnya kepada Shanti dalam bentuk jemput sepulang kerja jika sedang melewati kantor Shanti setelah meeting dengan klien, mampir rumah Shanti sepulang kerja dengan alasan bosan di rumah dan ingin bermain catur bersama ayah Shanti, atau alasan mendapat vocer potongan harga restoran cepat saji dan membelikan untuk Shanti karena orangtuanya tak suka makanan yang dianggap kurang sehat itu.

Shanti yang sembilan tahunan lalu heran dengan kelakuan teman kuliahnya, mencoba abai dan tak acuh demi melindungi hatinya dari gede rasa. Mana sangka, setelah beberapa bulan terbiasa dengan kehadiran Wisnu di rumahnya, pria itu melamar dan mereka menikah.

Pernikahan yang mungkin saja akan berakhir pagi ini, atau minggu ini, atau bulan ini.

Saat memasuki ruang tamu kediaman orangtuanya, Shanti yang matanya sembab sudah disambut oleh ayahnya yang duduk terdiam di kursi tamu, juga ibunya yang mendampingi sang ayah di samping pria itu. Wisnu juga sudah duduk, setelah meletakkan koper dan tas kerja Shanti di pojok ruang ini. Perlahan, Shanti beranjak duduk di salah satu kursi yang tersedia lalu menunduk dalam.

"Anak-anak mana?" pertanyaa ibu Shanti memecah Hening yang sempat merajai mereka.

"Sedang liburan bersama Oma dan Opa," jawab Wisnu dengan nada rendah dan wajah tegang. "Saya ke sini mau antar Shanti pulang ke rumah orangtuanya. Semalam dia menangis hingga dini hari dan meminta cerai."

Wajah ibu Shanti tampak terkejut dan terpukul, sedang wajah ayahnya menegang dengan emosi yang kentara. Mendengar penuturan suaminya kepada orangtuanya, Shanti jadi semakin takut dan gugup.

"Saya sedang sibuk dengan banyak projek besar yang harus saya tangani. Saya takut jika tidak melakukan ini, saya mungkin saja akan bertengkar dengan Shanti setiap malam. Jadi, saya putuskan mengantar Shanti pulang dulu, hingga semua pekerjaan saya sudah mereda."

Ayah Shanti menatap Wisnu dengan pandangan memohon penjelasan, setelah melihat wajah putri tunggalnya yang menangis lagi di tempatnya. "Kalian ada masalah apa?"

"Jujur saya tidak tahu karena Shanti tidak bicara. Namun, untuk permintaan Shanti terhadap perceraian kami, saya tidak akan mengabulkan. Saya mohon maaf."

Tangis Shanci pecah seketika. Sejak tadi, hanya air mata yang mengalir tanpa isak. Setelah mendengar jawaban Wisnu di depan orang tuanya, entah mengapa emosinya kembali berkecamuk dan meledak. Wisnu menolaknya. Wisnu menolak permintaannya sekali lagi. Wisnu memang lebih suka mengurung dan memenjarakan dirinya dalam pernikahan yang tak lagi Shanti nikmati.

"Terus rencana kamu gimana, Nu?" suara ibu Shanti terdengar parau. "Ibu gak mau ada perpisahan. Kasihan cucu-cucu Ibu."

"Saya titip Shanti dulu di sini, agar ada teman. Saya ingin fokus bekerja dan menyelesaikan projek-projek yang tak bisa saya duakan. Setelah itu, saya akan kembali ke sini menjemput istri saya. Saya mohon bantuan Ayah dan Ibu."

Mulut Shanti mengeluarkan tangisan. Entah apa yang saat ini ia rasa. Semuanya campur aduk dan berhasil membuat pikirannya penat.

"Sekali lagi, saya mohon maaf karena merepotkan Ayah dan Ibu. Hanya saja, saya tidak memiliki opsi lain selain ini."

"Tinggalkan Shanti kepada kami. Kamu fokus saja dengan urusanmu. Lekas kembali jika kamu merasa sudah siap menyelesaikan semuanya." Ayah Shanti terdengar tegas dan bijaksana.

Wisnu mengangguk mantap sebelum beranjak dari duduknya dan pamit bekerja. Sebelum meninggalkan ruang tamu, pria itu melirik istrinya yang masih menunduk dalam dengan tangis pilu, lantas mengusap lembut kepalanya dengan lembut sebelum berkata, "Papi berangkat, Mi. Assalamualaikum."

Shanti tak menjawab. Mulutnya tak kuasa membalas salam Wisnu karena emosi tengah menguasai hati dan tubuhnya saat ini.

******


Ada tambahan tujuh ekstra part, di versi terbiit.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top